Suara
Pemuda : Jawaban di Tengah Krisis-Antara Kemapanan vs. Perubahan
oleh
Elroy
Pemuda
dan Zaman ini : Keberadaan yang Kritis
Dalam setiap zaman, seseorang selalu menanyakan apa yang disebut sebagai
“waktu” itu. Padahal “waktu” itu sangat dekat dengan kehidupan kita dan setiap
orang pasti mengenal apa dan bagaimana“waktu” itu berada.
Seiring dengan berjalannya waktu, dunia mengalami perubahan dalam berbagai hal.
Seperti perubahan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi
informasi, dan berbagai bidang kehidupan yang lain. Hal ini disadari atau tidak
mengantar kita pada suatu zaman dimana keberadaan manusia berada pada titik
kritis yang cenderung menyempitkan pilihan manusia untuk memimpin, menjadi pengikut
atau menyingkir dari setiap perubahan yang terjadi. Menjadi pemimpin berarti
menjadi pelopor sebuah kemajuan dalam perubahan ke arah yang lebih baik atau
menjadi pengikut yang setia mengekor ke sana-kemari tanpa tujuan yang jelas
bahkan tanpa tujuan atau pula menyingkir (meluputkan diri) dari perubahan yang
terjadi di dunia saat ini.
Pemuda berada di tengah kondisi dunia yang senantiasa berubah. Perubahan di
dalam cara pandang, gaya hidup, dan berbagai sistem sosial yang sudah melembaga
di penjuru dunia. Dari segi cara pandang, zaman ini lebih melihat kehebatan
teknologi-informasi dan pengetahuan sebagai “dewa” yang mampu membuat hidup
manusia menjadi lebih baik dan indah. Manusia memuja teknologi sebagai hasil
karyanya dan menyampingkan Tuhan yang meletakkan pengetahuan di dalam pikiran
manusia. Ketika seorang astonot berhasil mendaratkan diri di bulan, tentu yang
pertama mendapat pujian dan rasa kagum adalah si pembuat teknologi pesawat
ulang-alik yang bisa mendaratkan sang astronot sampai ke bulan dan si astronot
itu sendiri atas keberaniannya pergi ke bulan, sedangkan Tuhan dilupakan
begitu saja. Manusia memuja dirinya sendiri! Dari teosentris menjadi
antroposentris.
Dalam hal gaya hidup, manusia tentu mengenal berbagai pola relasi dengan
berbagai bentuk kehidupan sosial yang cenderung mengarah pada satu kebiasaan
atau simbol yang menjadi pusat perhatian gaya hidup itu sendiri. Misalnya, gaya
hidup hedonistik. Gaya hidup yang mementingkan kesenangan dan kenikmatan
sebagai hal yang utama di dalam kehidupan. Simbolnya adalah kenikmatan dan
kesenangan. Kebiasaannya adalah menebar kesenangan dan kenikmatan itu dengan
melarikan diri ke tempat-tempat yang mampu memberi kepuasan dan kesenangan itu
sendiri. Di sisi lain, ada pula orang-orang yang mengagungkan perihal
materi. Pada pihak ini, materi adalah segalanya yang mampu memberikan jaminan
atas keberlangsungan hidup tanpa perlu mengkhawatirkan sesuatu hal apapun dalam
hidup ini. Yang dicari adalah materi dan yang menjadi tumpuan adalah harta,
maka terbentuklah kaum borjuis-jetzet yang gemar mengumbar kekuasaan materi
sebagai modal dan senjata untuk menaklukan manusia yang lain.
Bila melirik pada keadaan politik, sosial dan ekonomi bergandengan dengan
perubahan iptek, maka bisa dikatakan bahwa keduanya memberikan simbiosis
mutualisme yang saling menguntungkan. Politik seringkali dikawinkan dengan
agama yang pada akhirnya secara membabi-buta membuat keputusan-keputusan
kontroversial yang berkontradiksi dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Dalam bidang sosial, keberpihakan terhadap kaum kapitalis dan borjuis oleh
sebuah pemerintahan telah menghasilkan kepemimpinan yang korup dan
menyengsarakan rakyat jelata. Dan dalam hal ekonomi, semua pihak memiliki
kepentingannya sendiri untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya berhubungan
dengan keadaan yang terjadi. Sistem pemerataan ekonomi yang mengandalkan
jatunya remah-remah roti kemakmuran dari pusat menuju daerah hanya akan
menambah jumlah orang-orang miskin di dunia. Keadaan akan semakin sukar untuk
mengangkat derajat hidup kaum marginal.
Itulah kondisi dunia yang saat ini sedang berkembang. Waktu terus berjalan
dengan segala perubahan yang terjadi silih berganti mendorong setiap orang
menentukan pilihan kehidupannya. Ke manakah zaman ini akan bergerak? Dan
bagaimana peranan kaum muda di dalam zaman ini?
Pemuda
dan Zaman ini : Krisis Identitas
Penulis
tidak bisa menyembunyikan sikap bahwa saat ini bukan saja terjadi krisis zaman,
tetapi juga krisis identitas yang melanda para pemuda di abad ini. Mungkin kita
sering mendengar merek dagang berbagai pakaian, tas, sepatu, parfum dan lainnya
yang notabene buatan Amrik atau negara maju yang lain dijual di dalam
negeri dengan harga yang cukup terjangkau, namun ternyata buatan dalam negeri
sendiri. Pertanyaannya adalah mengapa bila buatan dalam negeri sendiri,
menggunakan merek dagang luar negeri? Apakah kita tidak pe-de bila
menggunakan merek buatan kita sendiri? Atau jangan-jangan rasa nasionalisme
kita telah luntur tergantikan dengan gengsi yang seringkali lebih berharga
daripada harga diri sendiri! Wah, nampaknya itulah yang terjadi saat ini.
Ketidakpercayaan pada diri sendiri ditambah dengan kekaguman yang berlebihan
terhadap “barang” milik orang lain, jelas akan menambah daftar panjang krisis
identitas yang sedang dialami bangsa ini.
Bila melihat permasalahan lebih luas, mari kita simak kiprah negara-negara
dunia ketiga saat ini. Kegerakan bukan lagi timbul dari negara-negara super
power macam Amerika dan Rusia, tetapi telah muncul dari ranah Asia seperti
Iran, Cina, India, dan Korea. Negara-negara ini ingin menunjukkan kepada dunia
bahwa mereka tidak lagi berada di bawah ketiak negara super power yang hanya
menjadikan mereka sebagai boneka mainan yang mudah dikendalikan semaunya, namun
telah bangkit dengan ideologi dan semangat kemajuan yang tinggi untuk mengatasi
krisis identitas dan juga krisis zaman yang menerpa keberlangsungan hidup
negara dunia ketiga. Mereka bangkit dengan pengenalan akan jati diri mereka
sendiri! Bukan jati diri bangsa lain, bukan semangatnya negeri lain, tetapi
dengan berdiri di atas kaki sendiri, seperti kata Bung Karno. Mereka bangkit
mengatasi krisis dengan mengerahkan seluruh daya yang dimiliki, dan ketika
mereka melakukan perubahan itu, mereka melakukannya dengan kesungguhan hati!
Pemuda
dan Zaman ini : Menang dalam Zaman yang Kritis
Jikalau seseorang bertanya bagaimana pemuda bisa memberikan jawaban atas krisis
zaman yang menerpa hampir sebagian besar kehidupan di dunia ini, maka tidaklah
cukup satu ton teori untuk menjelaskannya, tetapi cukuplah satu ons tindakan
untuk memulai sebuah perubahan dan merajut jalan kemenangan atas zaman yang
kritis. Pemuda memang diberkahi dengan idealisme yang tinggi, cita-cita luhur
nan mulia, dan semangat juang yang berkobar, namun tanpa adanya tindakan
konkrit untuk menantang zaman ini, maka mustahil kita memiliki kekuatan untuk
menang atas zaman yang kritis ini. Selayaknya kita memperhatikan beberapa hal
yang dapat menjadi senjata bagi para pemuda, khususnya pemuda-pemuda Kristen
yang belajar untuk mengokohkan keyakinannya di tengah zaman yang kritis.
1.
Menegaskan Identitas Diri
Setiap
pemuda yang berjuang untuk melakukan sebuah perubahan, dan menang atas zaman
ini, hendaknya terlebih dahulu menegakkan identitas dirinya. Ya, identitas
sebagai anak-anak Allah yang tidak hanya berjuang untuk memajukan pemberitaan
Injil, membawa banyak orang datang kepada Kristus, tetapi juga memiliki sikap
perjuangan yang sama ketika bergerak menantang zaman, berani mendobrak
kemapanan dan melakukan perubahan. Zaman yang kritis dan sedang dalam krisis
ini, telah nyaman dan mapan dengan sebagian besar pandangan telah diracuni oleh
semangat kapitalisme yang di-gincu oleh kebebasan berekspresi seolah-olah semua
orang boleh bertindak semau gueyang berakibat pada pudarnya kesejatian
jati diri dan berujung pada upaya mengadopsi cara pandang dunia yang terlanjur
rusak karena telah dikuasai oleh idealisme-idealisme pragmatis yang hanya
menonjolkan sikap easy going dan pada akhirnya membawa orang
ikut-ikutan arus tanpa tahu mana yang baik dan yang buruk. Gejala yang
ditimbulkan sungguh mengejutkan. Setiap orang diajak untuk memiliki semangat,
sikap, cara pandang dan perilaku seperti kebanyakan orang di belahan bumi lain,
untuk kemudian dibius dengan berbagai identitas baru yang seolah-olah orang
tersebut sebelumnya tidak memiliki identitas apa-apa. Orang Kristen pun
terperangkap dalam hal ini! Mereka seakan meyakini ada sesuatu hal yang kurang
bila tidak meniru si dia, si anu atau siapapun yang terkenal,
tenar dan memukau banyak pihak. Mulai dari pakaiannya, asesoris yang dipakai,
mobil bawaannya, dan seterusnya, semuanya (kalau bisa) juga bisa menjadi miliki
saya! Standarnya telah bergeser, bukan lagi manusia mengerti dan memahami
tuntutan Allah di tengah-tengah dunia ini, tetapi manusia telah menjadi standar
bagi dirinya sendiri dan orang lain. Akibatnya, manusia seakan menerima standar
ganda, yang berujung pada pudarnya identitas diri sebagai orang-orang tebusan
Allah yang telah diperbarui hidupnya, dan berubah menjadi serupa dengan dunia
ini. Identitas diri yang “baru” di dalam Kristus itu perlahan menjadi pudar dan
ditutupi dengan berbagai macam identitas dunia yang kesemuannya adalah buatan
manusia belaka, yang penuh manipulasi dan tipu daya demi mendapatkan pengikut
dan menjerumuskannya pada kehancuran! Sehingga dengan demikian, perlulah kita
kembali mengoreksi diri kita sendiri, bagaimana kita selama ini memahami
identitas diri kita sebagai anak-anak Allah yang berada di tengah-tengah dunia.
Apakah utusan sebagai domba di tengah serigala telah berubah menjadi serigala
berbulu domba yang seolah-olah halus diluarannya, tetapi sesungguhnya sama
seperti serigala yang ada di tengah-tengah dunia?
2.
Menegaskan Kualitas Iman dan Hidup
Kualitas
keimanan kita bukan diukur dari seberapa banyak kita rajin ke gereja, banyaknya
aktivitas bergereja yang kita lakukan, tetapi bagaimana iman kita dapat
mendasari kehidupan kita sebagai apa yang kita yakini, itulah yang kita
lakukan. Sehingga pada intinya, iman dan perbuatan kita seiring selaras. Bukan
perbuatan yang berkontradiksi dengan iman, tetapi kita melakukan sesuatu
berdasarkan kebenaran keyakinan iman kita. Itulah yang mendasari hidup keimanan
kita kepada Allah. Hidup keimanan yang demikian akan menghantar manusia kepada
satu pengenalan yang benar akan Allah, dan pada gilirannya menuntun setiap
orang percaya untuk menyadari betapa lemah dirinya tanpa pertolongan dan
penyertaan Allah dalam mengarungi kehidupan imannya.
Di
tengah himpitan krisis, dan terpaan berbagai nilai-nilai zaman yang merasuki
pikiran manusia secara bertubi-tubi, patutlah kita bertanya, apa yang dapat
membuat kita bertahan di dalam semuanya itu? Kalaupun kita mengatakan bahwa
standar nilai moral yang kita yakini selama ini, ideologi-ideologi,
aturan-aturan sosial, batas-batas kebebasan, tanggung jawab moral dalam
kemanusiaan, atau pula keberpihakan terhadap kaum marginal, dan berbagai klaim
humanis yang melindungi segenap manusia di muka bumi ini, sekali lagi
pertanyaannya adalah: apakah semuanya itu memampukan kita bertahan di tengah
terpaan zaman yang kritis dan begitu kerasnya ini? Bukankah semua hal itu telah
menemukan kekalahannya oleh sebab akar dari semua kerusakan yang terjadi adalah
karena manusia lebih senang (cenderung) untuk mengangkat dirinya sebagai pihak
yang paling berkuasa di muka bumi ini dengan mengabaikan Allah yang menciptakan
bumi dan segala isinya termasuk manusia sendiri?
Menegaskan
kualitas iman dan hidup kita di hadapan Allah dan sesama menunjukkan diri kita
sebagai gambar dan rupa Allah yang memahami dengan benar, kehendak dan
kedaulatan-Nya, maka kita berada pada tempat yang tepat untuk menunaikan tugas
dan tanggung jawab kita sebagai bagian dari pihak-pihak yang berkehendak baik
untuk memberikan jawab terhadap krisis yang melanda zaman ini. Bukankah sudah
sering kita dengar bahwa keberadaan kita sebagai umat percaya perlu memberikan
arti pada tempat di mana kita berada. Sebagai kaum muda, misalnya, kita harus
menunjukkan kualitas kehidupan iman kita yang sesungguhnya. Bukan suam-suam
kuku alias ragu-ragu. Bukan pula setengah-setengah, asal mau, asal jadi, tetapi
kehidupan iman yang sungguh-sungguh dibangun dalam relasi yang intim dengan
Allah. Barulah kita sebagai kaum muda siap untuk memberi jawab atas krisis yang
melanda zaman ini. Maka mulailah segala perjuangan kita dengan Allah! Begin
with God.
3.
Menegaskan Niat Mempermuliakan Allah.
Langkah
pertama untuk memulai sesuatu adalah memiliki sebuah keinginan atau niat untuk
mencapai sebuah tujuan akhir. Apa tujuan akhir kita di dalam memperjuangkan
hidup ini? Hal yang tidak mungkin dapat disangkali adalah bahwa dengan
melakukan semua hal yang kita bisa, maka orang lain akan memberikan pujian,
sanjungan dan lainnya kepada kita sebagai tanda bahwa kita adalah orang yang
hebat, seolah-olah sosok yang sangat penting bahkan genting bagi zaman ini.
Namun, bila semuanya diarahkan pada manusia, bukankah seringkali membawa
manusia pada kejatuhannya dengan melupakan Allah. Jikalau kita mau mengakui
dengan jujur, bahwa hanya Allah sajalah yang layak menerima hormat dan pujian
dari seluruh penjuru muka bumi ini.
Jikalau
kita berani mengatakan di dalam diri kita bahwa hanya Allah saja yang kita
senangkan, yang kita sembah, yang kita puja, dan kita memuliakannya, maka
tujuan kita yang utama telah jelas bahwa hidup kita hanya untuk memuliakan Allah.
Dan hal ini berarti bahwa kita harus bersiap untuk terpisah dari pihak-pihak
yang melawan Allah, dan lebih mendukung para pembesar, orang-orang kuat, dan
para raja kecil yang berusaha menyaingi Allah. Maka dari sini, kita menerima
sebuah kabar baik bahwa kehidupan kita untuk menyenangkan Allah adalah jauh
lebih baik daripada kita menyerahkan diri kita kepada orang-orang yang melawan
Allah.
Sebagai
penutup rangkaian tulis ini, marilah sejenak kita merenungkan kembali apa yang
diungkapkan rasul Paulus kepada jemaat di Filipi :
“Supaya
kamu tiada beraib dan tidak bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela
di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga
kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia” (Filipi
2:15)
Kiranya
Tuhan dipermuliakan!
Komentar
Posting Komentar