Orangtua Yang Memberkati Anaknya


Orangtua Yang Memberkati Anaknya
oleh Lanny Herawati

“Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Ef 6 : 4

Seorang remaja putri usia 13 tahun, seorang anak yang pandai namun penuh dengan luapan pemberontakan, anak ini sering membuat ulah di sekolah maupun di rumah. Suatu saat dia menceriterakan perasaan yang dialami terhadap papanya.
 Dia membandingkan sikap ayahnya terhadap anjing peliharaan papanya dengan dirinya, Menurut pengamatan dia, jika anjingnya sakit maka papanya bingung sekali dan dengan sigap papanya akan membawanya ke dokter, sedangkan jika dia yang sakit, tidak sekalipun ayahnya menungguinya apalagi menemaninya ke dokter semua itu diserahkan pada mama atau omanya yang mengurus. Papanya selalu punya waktu untuk membawa anjingnya jalan-jalan bahkan membawanya ke luar kota dengan mobil yang bagus, sedangkan dari kecil sampai sekarang dia tidak pernah diantar ke sekolah oleh ayahnya semua hanya oleh supir dan dengan mobil yang sudah butut. Pernyataan dia diakhir ceriteranya adalah: anjingnya lebih berarti dan lebih bahagia daripada dirinya!
Benarkah sang ayah tidak mengasihi anaknya? Jawabnya pasti tidak benar! Ketika ayahnya mengerti pemikiran anak ini, dia sangat sedih dan terpukul; karena dia merasa sangat mengasihi anaknya. Dimana titik permasalahannya? Nampaknya makna pernyataan kasih orangtua dan kebutuhan kasih anak tidak selaras.
Kasih merupakan energi dalam kehidupan seseorang terutama bagi anak. Jika tanpa kasih maka anak akan kehilangan daya juangnya dalam menapaki kehidupannya. Sebaliknya dengan kasih yang tepat, maka anak akan bertumbuh maksimal dalam seluruh aspek kehidupannya. Dengan begitulah sang anak panah dapat melejit dengan luar biasa sesuai kehendak Sang Pemanah, dan orangtua sebagai busur juga bisa menjadi berkat bagi anak-anaknya.
ANAK-ANAK BUTUH KEHANGATAN KASIH
Dijaman yang serba cepat ini tanpa disadari banyak anak yang hidup dalam ketidak seimbangan. Tuntutan terhadap prestasi yang harus dicapai tinggi sekali sementara kebutuhannya terhadap kehangatan kasih dari orangtua sangat minim. Orangtua sibuk dengan tuntutan pekerjaannya supaya bisa memenuhi kebutuhan anaknya untuk mengejar tuntutan berprestasinya dengan menyediakan berbagai fasilitas dan kesempatan mengikuti kegiatan penunjang berupa les. Dampaknya ketika orangtua pulang ke rumah sudah ada dalam keadaan lelah, sulit berbagi diri dengan anaknya. Sentuhan, dekapan, telinga untuk mendengar celoteh anak sudah tidak mampu lagi diberikan, padahal itulah yang sedang dibutuhkan anak-anak yang sudah sarat dengan tekanan kehidupan di sekolah atau lingkungan.
Sikap orangtua yang terlalu cemas dengan kesuksesan hidup anaknya, sehingga ada standart yang ingin dipaksakan bagi anaknya tanpa memahami keunikan anaknya. Perilaku ini biasanya menimbulkan trauma dalam kehidupan anaknya. Trauma ini kadang bisa muncul dalam bentuk fisik misalnya anak yang suka dipukul karena adanya konsep kalau anak tidak dikerasin lmaka prestasinya tidak maksimal, atau anak yang trauma secara psikis karena suka dibandingkan atau dilecehkan dengan kata-kata negatif. Orangtua berpikir bahwa kata-kata itu dapat memotivasi anaknya sehingga anak akan berprestasi, padahal tiap anak punya kesensitifan emosi yang berbeda, sehingga pesan seperti itu makin mematikan bukan hanya prestasi tapi juga menghancurkan kepribadiannya.
Anak-anak juga sering merasakan ditinggalkan oleh figur penting tatkala ia membutuhkan, hal ini juga dikarenakan orangtua mengalami krisis waktu. Sering orangtua merasa waktu mereka habis untuk menghadapi tuntutan dan tantangan pekerja/ kehidupan, bahkan untuk memanjakan  diri mereka saja juga tidak  ada waktu; tidak heranlah ketika mereka diminta ”hadir” seutuhnya (fisik, hati dan pikiran) hal ini sudah diluar kemampuan mereka. Banyak orangtua seakan-akan bermain dengan anaknya atau mendengar anaknya bercerita tetapi hanya fisiknya yang seakan hadir padahal pikiran dan perasaan masih ”di dunianya” sendiri. Anak-anak sangat peka dengan sikap orangtuanya, ketika orangtua tidak hadir seutuhnya maka akan berdampak pada rasa tidak diterima oleh orangtuanya yang akhirnya mereka sendiri juga akan menarik diri dari jangkauan orangtua. Kondisi diatas inilah yang tanpa disadari dapat memicu amarah dalam hati anak-anak.

MENJADI ORANGTUA YANG MEMBERKATI
Melakukan peran dan tanggung jawab sebagai orangtua saja dimasa sekarang ini sudah terasa sulit, apalagi ketika dituntut untuk memberkati anak-anak kita. Hanya ada satu landasan dimana orangtua mampu memberkati anak-anaknya jika orangtua mendidik anak-anaknya dijalan Tuhan dan meneladankan kehidupan Kristus terpancar dalam semua aspek kehidupan pribadi mereka.
Ada beberapa kunci penting yang harus dilakukan orangtua:
P rioritize =membuat prioritas
Kesejahteraan anak
Menggapai kebahagiaan anda dan pasangan
Kembangkan hobby
Penuhi kewajiban essential
Interaksi dg keluarga besar
E xperience         = mengalami hidup bersama anak
R outinize             = menetapkan aturan, disiplin namun tetap perhatikan kreatifitas sehingga tidak “merobotisasi” anak
F ollow Through= menindak lanjuti rutinitas – konsisten dan fleksibel
E ncourage          = mendorong menemukan dan mengembangkan terkait dengan gaya hidup berdasarkan kebenaran
C ommunicate     = komunikasi yaitu membangun hubungan mendalam dan langgeng.
T each                  = mengajarkan dan menjadi teladan, karena anak-anak tidak suka jika dituntut “Ikuti apa yang orangtua katakan bukan yang orangtua lakukan.”
Orantua yang menyadari bahwa anak adalah anugerah yang dipercayakan kepada dirinya dan pada saatnya akan ada petanggungjawab yang harus diberikan di hadapan Tuhan yang mempercayakan anugerah itu, maka perlu menjadi orangtua yang bijak bukan orangtua ”penguasa”. Orangtua yang menyadari makna mendidik anaknya sesuai yang Tuhan mau, dengan memperhatikan keunikannya serta kedinamisan kehidupan anak. Orangtua perlu mengijinkan anaknya gagal untuk kemudian siap membimbing sebagai seorang ”Coach” dan mementori anaknya baik dalam sisi pengembangan potensi, emosi, sosial dan terutama dalam takut akan Allah, melalui komunikasi yang efektif. Dengan demikianlah kita bisa memberkati anak-anak kita yang akhirnya mereka bisa menjadi berkat bagi orang lian dan nama Tuhan dipermuliakan dalam kehidupannya.



Komentar