PERUBAHAN
PERILAKU : MELALUI KETELADANAN/MODELING
oleh
Agung Kurniawan
Indonesia
bukan lagi sebagai tempat yang aman. Dunia internasional menjuluki Indonesia
sebagai sarang teroris. Pulau Bali yang banyak diminati oleh turis mancanegara
sekarang menjadi tempat yang menakutkan pasca bom Bali. Ambon yang dahulu
dikenal sebagai tempat yang harmonis di antara para pemeluk agama yang berbeda
telah menjadi tempat pembantaian manusia yang mengerikan. Hari natal yang
biasanya dijadikan suatu momen untuk berkumpul dengan keluarga dan beribadah ke
gereja dengam sukacita, telah menjadi hari yang penuh kecemasan, takut ada bom
yang disimpan di gereja. Perekonomian Negara tidak segera bangkit dari krisis
moneter dan utang Negara yang semakin banyak karena korupsi merajalela,
menyebabkan Indonesia menjadi Negara paling korup di dunia. Kita semakin dibuat
pusing oleh keadaan Negara ini. Pendidikan tidak dapat menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi. Adakah yang kurang ? Bagaimana mengubah perilaku
masyarakat bangsa ini menjadi lebih baik ? Melalui artikel ini, penulis ingin
memaparkan bahwa untuk mengubah perilaku, memerlukan contoh yang bisa
diteladani. Keteladanan atau dalam istilah psikologi dikenal dengan
modeling(social learning), merupakan hal yang bisa mengubah perilaku seseorang.
Teori social learning ini mula-mula dikembangkan oleh Albert Bandura dan yang
kemudian dikembangkan oleh Dollard-Millard. Ada tiga hal yang menyebabkan
seseorang meniru atau meneladani orang lain, yaitu kemampuan belajar dan
berpikir yng dimiliki manusia, adanya kebutuhan-kebutuhan yang sama dan
kebutuhan afiliasi dalam diri setiap orang, dan adanya konsekuensi positif yang
dituntut oleh setiap kebutuhan yang muncul.
Kemampuan
belajar dan berpikir yang dimiliki oleh manusia merupakan unsur yang menentukan
dalam keteladanan, atau yang dalam istilah psikologi disebut dengan social
learning/imitation. Manusia memiliki kemampuan ini karena memiliki akal
budi/hikmat (Matius 22:36). Memiliki akal budi berbeda dengan memiliki otak,
sekalipun akal budi berasal dari kerja otak. Akal budi adalah anugerah khusus
yang diberikan oleh Allah, dimana tidak didapati pada binatang. Binatang
memiliki otak seperti manusia namun dengan volume yang berbeda. Dengan otak
inilah binatang juga mempunyai kemampuan untuk belajar. Misalnya seekor gajah
bisa dilatih kemampuan khusus yang bukan perilaku umum “ masyarakat gajah “
seperti yang di dapati dalam pertunjukkan sirkus. Gajah bisa duduk di atas
kursi, bisa berdiri, main bola dan lain sebagainya. Namun tidak pernah
dikatakan bahwa gajah mempunyai akal budi, alkitabpun tidak pernah menyebutnya.
Akal budi bukan hanya memberikan kemampuan kepada manusia untuk belajar, namun
juga untuk berpikir. Binatang tidak bisa berpikir di luar kebiasaannya.
Perubahan perilaku seekor binatang karena adanya latihan dan pengalaman, namun
perubahan perilaku pada manusia tidak memerlukan latihan yang lama tetapi hanya
dengan melihat suatu contoh. Seorang anak yang belum terbiasa menggunakan
cangkul, ketika melihat seorang petani mencangkul, maka anak tersebut akan
dengan mudah menirukan perilaku mencangkul ketika bermain. Anak tersebut tidak
memerlukan latihan khusus untuk dapat meniru cara mencangkul. Kemampuan si anak
untuk meniru perilaku mencangkul karena adanya kemampuan belajar dan berpikir.
Jadi menirukan sesuatu yang dilakukan oleh orang lain merupakan hal yang mudah
bagi seseorang karena kemampuannya untuk belajar dan berpikir.
Kebutuhan
adalah unsur lain yang menentukan dalam keteladanan. Abraham H. Maslow
menyatakan bahwa perilaku seseorang di dorong oleh motivasi yang berakar pada
kebutuhan. Setiap orang mempunyai kebutuhan. Ketika suatu kebutuhan muncul pada
diri seseorang maka akan terjadi ketidakseimbangan dan ketegangan dalam diri
orang tersebut yang menuntut pemenuhan. Misal, ketika seseorang lapar, maka
muncul kebutuhan untuk makan. Kebutuhan ini mengakibatkan seseorang pergi ke
lemari,ke warung, beli roti dll. Keteladanan memerlukan unsur kebutuhan. Ketika
seseorang mencontohkan sesuatu kepada orang lain, tidak secara otomatis orang
tersebut akan meniru sesuatu yang dicontohkan. Peniruan suatu perilaku
didasarkan akan adanya kebutuhan yang sama, jika tidak maka peniruan tidak akan
terjadi. Misal: meskipun ada warung soto ayam yang banyak dikunjungi pembeli,
tidak semua orang mampir ke warung tersebut, karena kebutuhan yang berbeda
seperti kebutuhan rekreasi. Sekalipun mempunyai kebutuhan yang sama yaitu untuk
makan, tidak menjamin orang yang lapar tersebut mampir ke warung soto tersebut,
karena kebutuhannya bukan makan soto namun makan pecel. Kebutuhan yang berbeda
juga bisa membuat seseorang meniru peilaku orang lain. Hal ini muncul biasanya
pada seseorang yang mempunyai kebutuhan bergabung/bersama/afiliasi. Misal:
Hudson Taylor mempelajari budaya Cina dan meniru hal-hal yang dilakukan oleh
orang Cina (hal yang tidak bertentangan dengan Alkitab) dengan tujuan supaya
bisa diterima oleh masyarakat setempat sehingga berita Injil dapat sampai
kepada orang Cina. Jadi kebutuhan menyebabkan seseorang meniru atau mencontoh
orang lain.
Selain
kebutuhan, konsekuensi juga merupakan unsur penting yang menentukan dalam
keteladanan. Dalam istilah psikologi konsekuensi dikenal dengan nama reward.
(reinforcement). Seperti dijelaskan di atas bahwa kebutuhan memerlukan
pemenuhan yang memuaskan. Jika sesuatu yang digunakan untuk memenuhkan
kebutuhan tidak menimbulkan kepuasan, maka akan muncul ketegangan terus
menerus. Oleh karena itu tidak semua hal bisa digunakan untuk memenuhi suatu
kebutuhan. Misal: seseorang yang haus sekali, tidak akan merasa puas dengan
minum air hangat, sekalipun untuk memuaskan dahaga adalah air. Namun air hangat
bukan sesuatu yang pas untuk memuaskan dahaga, air dinginlah yang akan
memuaskan dahaga. Demikian juga dengan keteladanan. Seseorang akan meniru
sesuatu yang kita lakukan jika menimbulkan konsekuensi yang memuaskan bagi
orang tersebut. Contoh jelas mengenai hal ini adalah cerita alkitab tentang
perempuan Samaria yang bertobat. Selama ini hatinya terasa kosong dan hampa
sehingga mucul kebutuhan untuk hidup yang lebih berarti dan memuaskan. Dia
sudah melakukan banyak hal untuk memenuhi kebutuhannya, misalnya dengan
ganti-ganti pasangan. Namun ternyata semua yang dilakukan tidak mampu memuaskan
dahaga hatinya, karena berganti pasangan bukan sesuatu yang pas untuk memuaskan
kebutuhannya. Akhirnya dia memperoleh kepuasan hanya di dalam Yesus Kristus.
Oleh karena itu, jika kehidupan Kristen kita tidak menampilkan kepuasan hanya
di dalam Yesus, maka orang tidak akan tertarik dengan keKristenan. Ketika suatu
kebutuhan muncul, maka pemenuhan yang memuaskanlah yang akan dicari
(konsekuensi positif). Jadi seseorang akan meniru perilaku orang lain jika
menimbulkan konsekuensi positif (memuaskan) bagi orang tersebut.
Alkitab
mengajarkan mengenai keteladanan. Dalam perjanjian Lama, Allah memilih Israel
dari antara bangsa-bangsa untuk menjadi contoh suatu bangsa yang beradab dan
bermoral sehingga nama Yahweh dimuliakan (secara implicit: Roma 2:24).
Perjanjian baru juga mengajarkan mengenai keteladanan, misalnya dalam Matius
5:16-18, I Tim.4:12; II Tim.3:10; I Petrus 2:12). Manfaat keteladanan dalam
mengubah perilaku seseorang telah diajarkan oleh Allah sebelum dirumuskan ke
dalam teori oleh para ahli psikologi. Seperti kata Pengkotbah tidak ada sesuatu
yang baru di bawah matahari ( Pengkotbah 1:2-11). Segala sesuatu yang diajarkan
Allah pasti bermanfaat. Melalui penelitian oleh para ahli barulah diketahui
alasan keteladanan dipakai untuk mengubah perilaku seseorang. Ada tiga hal
dalam keteladanan yng dipakai menjadi dasar untuk mengubah perilaku, yaitu
karena manusia memiliki kemampuan belajar dan berpikir yang berbeda dengan
binatang, adanya kebutuhan-kebutuhan yang sama dan kebutuhan afiliasi dalam
diri setiap orang, dan adanya konsekuensi positif yang dituntut oleh setiap
kebutuhan yang muncul. Untuk memperoleh konsumen yang banyak dan meminati suatu
produk, dunia bisnis telah menggunakan keteladanan atau modeling dalam setiap
promosi baik itu melalui iklan di tv atau dengan demo secara live, bukankah
merupakan suatu kebodohan bagi kita jika tidak memanfaatkannya untuk hal-hal
yang kekal ? Mari kita berikan contoh yang baik kepada orang-orang disekitar
kita sehingga menarik mereka kepada Yesus Kristus Tuhan kita. Amin !(*Penulis
adalah Staf Mahasiswa dan Departemen Konseling Perkantas Surabaya)
Daftar
Pustaka :
Martin
E. Shaw & Philip R Costanzo, Thxosies of Social Psychology, McGraw Hill,
Book of Singapore.
John.
B. Watson ( Journal) Psychological Review, 1913
Komentar
Posting Komentar