Perlindungan
Hak Anak, Kewajiban siapa ?
oleh
Elfina Sahetapy
Sebelum
kita membahas lebih lanjut permasalahan tentang perlindungan anak, maka
terlebih dahulu harus diketahui: siapakah yang disebut sebagai anak ? Definisi
anak memiliki aspek yang sangat luas. Berbagai makna terhadap pengertian anak
itu sendiri, dapat diterjemahkan untuk mendekati definisi anak yang berbeda
mengenai anak baik di dalam undang-undang, hukum adat, agama dan yurisprudensi.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka pengertian atau definisi anak mengacu pada
Instrumen Internasional yang kemudian diimplementasikan ke dalam hukum
positif di Indonesia.
Konvensi
Hak Anak (KHA) adalah sebuah konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
melindungi hak-hak anak, di mana KHA adalah salah satu bagian dari instrumen
internasional yang luas dan telah ditandatangani atau diterima oleh 190 negara
di dunia. Ada 4 prinsip utama dalam KHA, yakni: 1). non-diskriminasi ; 2).
Prinsip yang terbaik bagi anak ; 3). hak untuk hidup dan berkembang serta 4).
Hak untuk ikut berpartisipasi. Yang dimaksud dengan prinsip non-diskriminasi
artinya tidak membedakan anak berdasarkan asal-usul, suku, agama, ras dan
sosial ekonomi. Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip kepentingan terbaik bagi
anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh
pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka
kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Sedangkan
hak untuk hidup dan berkembang memiliki pengertian bahwa anak harus dijamin
untuk dapat tumbuh dan berkembang secara wajar sesuai dengan usia, minat dan
bakatnya. Hak untuk berpartisipasi dipahami bahwa anak memiliki hak untuk ikut
serta berpartisipasi tanpa membeda-bedakan latar belakang anak. Melalui
Konvensi Hak Anak sebagai sebuah Instrumen Internasional, pengertian anak
didasarkan Pasal 1 yang menyatakan bahwa: “Seorang anak adalah setiap
manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun, kecuali, berdasarkan
undang-undang yang berlaku bagi anak-anak, kedewasaan dicapai lebih cepat”.
Pengertian
anak di dalam hukum positif / hukum yang sedang berlaku saat ini di
Indonesia, pengaturannya masih tersebar dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Pada Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mendefinisikan anak sebagai berikut: “Belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap dua puluh satu dan tidak lebih dahulu kawin. Apabila
perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka
mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa, mereka yang belum dewasa
dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian”.
Adapun di dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Kesejahteraan Anak
memberikan pengertian tentang anak yaitu: “Anak adalah seseorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. Undang-Undang
Perlindungan Anak sebagai sebuah ketentuan yang secara spesifik mengatur
tentang hak-hak anak, mencantumkan kriteria anak sesuai Pasal 1, yakni anak
yang masih ada di dalam kandungan sampai dengan usia 18 tahun. Pengaturan
pembatasan usia anak dalam produk perundangan-undangan yang masih bersifat
diversifikasi pada akhirnya membawa implikasi dalam penerapannya.
Anak
adalah permata, generasi penerus, aset bangsa dan calon pemimpin bangsa. Ia
mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam bangsa, negara, masyarakat
maupun keluarga. Anak merupakan tumpuan harapan masa depan bagi bangsa, negara,
masyarakat maupun keluarga. Oleh karena kondisinya secara jasmani dan
psikologis belum matang , maka anak perlu mendapatkan perlakuan khusus agar
dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental dan rohani.
Namun di dalam kenyataannya, anak-anak masih terus tereksploitasi, baik secara
ekonomi menjadi pekerja anak (child labour), anak jalanan (street children)
ataupun eksploitasi seks sebagai pekerja seks anak (prostituted children),
perdagangan anak (child trafficking), penculikan anak, perlakuan kekerasan (violation)
dan penyiksaan (turtore) terhadap anak. Krisis dan konflik yang akhir-akhir ini
melanda Indonesia sebagai negara yang konon merupakan ‘jamrud katulistiwa’ ini,
membuat kondisi anak dan remaja dapat digolongkan sebagai kelompok rentan yang
makin terpuruk. Masalah seputar kehidupan anak telah menjadi perhatian dari
seluruh masyarakat internasional pada umumnya dan juga masyarakat Indonesia
pada khususnya. Ada banyak kegagalan pranata sosial serta kondisi ideal yang
diperlukan untuk melindungi hak-hak anak Indonesia yang sampai saat ini belum
mampu diwujudkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Tanpa
kita sadari, potret utuh realitas anak di bumi pertiwi yang kita cintai ini
belum seindah retorika verbal atau jargon sosial budaya dan politik yang
dilabelkan kepada anak. Kita semua menyetujui peranan anak (role of the child)
adalah harapan masa depan. Seperti kata-kata bijak masyarakat etnis Batak : “anak
hon mi do hamoraon di ahu” (anakku adalah yang paling berharga bagiku) dan
“anakku adalah semangat hidupku (tondiki)”, atau tamsilan suku Melayu, “ Anak
adalah buah hati sibiran tulang”. Ada banyak ekspresi serupa yang dapat digali
pada nilai kultur dan budaya bangsa Indonesia. Memberikan perlindungan yang
dapat memberikan rasa aman dan nyaman tentunya menjadi keinginan dan sekaligus
kewajiban kita. Menurut Irwanto, ada beberapa prinsip perlindungan anak, di
mana: pertama, Anak tidak dapat berjuang sendiri. Anak sebagai generasi penerus
dan modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa dan keluarga dimana
hak-haknya harus dilindungi. Pada kenyataannya, anak ternyata tidak dapat
melindungi hak-haknya secara sendirian. Sehingga negara dan masyarakat yang
berkepentingan akan kualitas dari anak-anak tersebut harus ikut campur di dalam
memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak. Kedua, Kepentingan Terbaik Anak
(The Best Interest of the Child). Agar perlindungan terhadap anak dapat
terselenggara dengan baik, maka perlu dianut suatu prinsip yang menyatakan
bahwa kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of paramount
importance (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan yang
menyangkut anak. Prinsip ‘the best interest of the child’ ini digunakan
karena di dalam banyak hal, anak adalah “korban”. Ketiga, Lintas Sektoral.
Nasib anak bergantung dari berbagai faktor yang makro maupun mikro yang
langsung maupun tidak langsung. Faktor kemiskinan, perrencanaan kota,
penggusuran yang terjadi, pendidikan yang mahal, peraturan yang mengandung
diskriminasi serta bencana alam yang terjadi berdampak baik langsung maupun
tidak langsung terhadap pemenuhan hak-hak anak. Perlindungan terhadap anak
adalah perjuangan yang membutuhkan perhatian dan kerjasama lintas sektoral di
semua lini masyarakat.
Menjawab
pertanyaan dari judul tulisan ini, yakni siapakah yang berkewajiban memberikan
perlindungan terhadap anak ? Sesuai dengan amanat dari ketentuan Perundang-undangan,
maka yang bertanggung jawab dan memiliki kewajiban untuk memberikan
perlindungan kepada anak adalah Negara dan Pemerintah, Masyarakat serta Orang
tua dan Keluarga.
Kewajiban
dan tanggung jawab Negara serta Pemerintah di dalam memberikan perlindungan
terhadap anak meliputi: a. Menghormati dan menjamin hak-hak asasi setiap anak
tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan
bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan / atau
mentalnya ; b. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak. Misalnya sekolah, lapangan bermain, lapangan olahraga, rumah
ibadah, balai kesehatan, gedung kesenian, tempat rekreasi, ruang menyusui,
tempat penitipan anak, dan rumah tahanan khusus anak ; c. Menjamin
perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan
kewajiban orangtua atau wali atau orang lain yang secara hukum bertanggung
jawab terhadap anak ; dan d. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan
pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.
Masyarakat
sebagai komponen bangsa juga memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam
memberikan perlindungan kepada anak yang dilaksanakan melalui kegiatan peran
masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Sedangkan
orang tua dan keluarga sebagai orang-orang yang paling dekat dengan lingkungan
dari anak memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mengasuh, memelihara,
mendidik dan melindungi anak ; menumbuh-kembangkan anak sesuai dengan
kemampuan, bakat dan minatnya ; dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia
anak-anak.
Perlu
diketahui, bahwa di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak juga mengatur
mengenai adanya Perlindungan Khusus yang diberikan kepada:
a.
anak dalam situasi darurat, yaitu anak yang menjadi pengungsi, korban
kerusuhan, korban bencana alam dan anak dalam situasi konflik bersenjata
b.
anak yang berhadapan dengan hukum
c.
anak dari kelompok minoritas dan terisolasi
d.
anak tereksploitasi secara ekonomi dan / atau seksual
e.
anak yang diperdagangkan
f.
anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya
g.
anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan
h.
anak korban kekerasan baik fisik dan / atau mental
i.
anak yang menyandang cacat
j.
anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Bagi
setiap pihak yang melanggar ketentuan yang diatur dan tercantum di dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak, dapat dikenakan sanksi pidana penjara, yakni
perbuatan setiap orang yang dengan sengaja melakukan: 1) Diskriminasi terhadap
anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril
sehingga menghambat fungsi sosialnya ; 2) Penelantaran terhadap anak yang
mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan baik fisik, mental, maupun
sosial ; 3) memperdagangkan anak ; 4) memperalat anak terkait dengan narkotika
dan psikotropika ; dan lain-lain. Yang dimaksud dengan penelantaran di sini
ialah di mana seseorang mengetahui dan sengaja membiarkan anak yang memerlukan
pertolongan dan harus dibantu, dalam keadaan anak: terlantar sehingga
mengakibatkan anak mengalami sakit atau dalam situasi darurat (menjadi
pengungsi, korban kerusuhan, korban bencana alam, dan dalam situasi konflik
bersenjata); berhadapan dengan hukum; dari kelompok minoritas dan terisolasi;
tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual; diperdagangkan; menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya;
menjadi korban penculikan dan / atau kekerasan.
Seberapa
jauhkan Gereja telah ikut berperan di dalam melakukan gerakan perlindungan
terhadap hak-hak anak ? Masih banyak anggota Jemaat yang mungkin juga tidak
pernah mendengar atau mengetahui bahwa Indonesia telah memiliki suatu ketentuan
Perundang-undangan yang khusus mengatur tentang hak anak serta kewajiban kita
sebagai anggota masyarakat untuk ikut perduli dan berperan aktif melakukan
gerakan perlindungan terhadap hak-hak anak. Belum terlambat, jika Gereja ikut
serta melakukan sosialisasi bagi para anggota jemaatnya, agar memiliki perasaan
peduli untuk ikut menyelamatkan generasi penerus bangsa ini. Terkadang, memang
masih ada yang beranggapan bahwa anak tidak perlu mengetahui hak-haknya, karena
dapat berakibat mereka hanya akan menuntut haknya. Jangan kita lupa, bahwa jika
berbicara mengenai hak maka tidak dapat terlepas dari adanya suatu kewajiban
yang juga harus dilaksanakan. Idealnya adalah, antara hak dan kewajiban
berjalan berdampingan. Menjadi tidak fair jika anak harus selalu menjalankan
kewajiban mereka tanpa mengetahui bahwa mereka ternyata juga memiliki hak yang
dilindungi oleh Undang-Undang. Sebagai contoh, anak diwajibkan untuk belajar
keras namun di samping itu mereka juga memiliki hak untuk bermain, berekreasi,
mengembangkan bakat sesuai usia dan minatnya. Terkadang para orang tua
cenderung lebih memaksakan kehendak dan keinginan mereka tanpa merasa perlu
untuk mendengarkan pendapat dari anak. Padahal sebagaimana diketahui, bahwa
memberikan pendapat adalah salah satu hak anak yang dilindungi. Tidak ada
kewajiban orang tua untuk mengikuti atau menuruti pendapat anak, namun sudah
menjadi kewajiban orang tua untuk mendengarkan pendapat anak dan memberikan
nasehat manakala pendapat anak tersebut ternyata tidak sesuai atau tidak benar.
Semoga
tulisan ini dapat menggugah hati setiap orang tua untuk lebih memperhatikan
masa depan, tidak saja anak mereka sendiri, tetapi juga ikut memperhatikan masa
depan anak bangsa Indonesia yang kita cintai.
Elfina
Sahetapy
Komentar
Posting Komentar