oleh Reizky Nussy
Jokowi
ini, Prabowo ini. Prabowo itu, Jokowi itu. Bosan juga
mendengar black campaign yang muncul di Social Media menjelang
PilPres. Namun ada satu hal yang penulis pikirkan bahwa harapan
Indonesia sejahtera memang menjadi impian setiap insan negeri, walaupun
sepertinya perjalanan ke arah sana masih nampak membingungkan. Siapa yang
seharusnya menyediakan kesejahteraan di bangsa ini? Presiden kah? Parlemen kah?
Atau gereja? atau secara gamblang, Perkantas di kerumunan massa bisa
mengangkat tangan dan berkata, ”Kami, hey disini! Ya kami! Kami! Kami akan
menghadirkan kesejahteraan.” Boleh-boleh saja dan sah-sah saja, siapapun
bisa menyediakan kesejahteraan. Namun tidak kurang, Kitab Suci
menjelaskan, umat Tuhan harus menghadirkan syalom bagi bangsa ini. Umat
yang sudah diberkati Tuhan harus balik memberkati orang lain, orang-orang yang
ada di sekitar mereka.
Tentunya,
kita tidak asing dengan syalom. Bahkan setiap orang rindu syalom hadir
dalam hidup mereka. Sebuah kondisi yang sehat walafiat, utuh, ataupun
keadaan baik. Dari mana rasa rindu ini muncul? Tentunya muncul
karena kesadaran akan kekacauan dunia akibat dosa. Manusia butuh sebuah
kondisi yang tentram karena pada awalnya keteraturanlah yang disediakan Allah,
namun hancur berantakan karena ketidaktaatan manusia. Mulailah manusia
mencari cara mencapai kesejahteraan mereka. Lewat uang, materi, keinginan
daging, kepandaian mereka, namun selalu tanpa hasil, kalaupun ada, hanya
sesaat. Kesejahteraan objective hanya datang dari Allah.
Sehingga, sebagai umat yang sudah ditebus dan menerima syalom Allah, kitalah
duta syalom di dunia.
Dalam
pembacaan beberapa bagian Firman Tuhan, penulis menyimpulkan bahwa hadirnya
syalom oleh kita sebagai umat Tuhan perlu dimulai dalam empat hal:
Pertama,
kita tidak boleh lupa dari mana kita berasal. Apa yang penting di sini
adalah, ketika kita diingatkan akan asal-usul kita, akhirnya kita juga
diingatkan dan disadarkan akan hidup orang lain, secara khusus orang sekitar
kita yang menderita. Dalam konteks keseharian kita, kita bisa lebih
menempatkan kepentingan orang lain melebihi keselamatan dan keberadaan diri
kita secara pribadi. Bukankah sulit bagi kita untuk mengakui siapa kita ketika
kondisi menjadi buruk, apalagi harus menjadi pihak minoritas. Demi untuk
diterima pihak yang lebih mendominasi akhirnya kita mengorbankan hal-hal
prinsip. Kita tidak perlu malu apabila kita berasal dari latar belakang
ras, budaya, desa atau kota tertentu, tapi kita perlu malu apabila kita lupa
darimana asal kita. Jika seseorang menyangkali asal-usulnya berarti
membuat dia tidak bisa hidup dengan dirinya sendiri. Mengingat siapa diri
kita dan darimana asal kita adalah sesuatu yang esensi untuk kita bisa hidup
berbagi dengan sesama.
Kedua,
mengerti latar belakang panggilan kita, yaitu suatu kesempatan yang diberikan
Allah kepada kita supaya kita bisa melayani orang-orang di sekitar kita.
Banyak orang yang tadinya berasal dari latar belakang yang kurang baik mencapai
keberhasilan dengan melupakan kesulitan yang sudah mereka lalui.
Kesuksesan mereka bersifat egosentris dan penuh keinginan
individualistis. Tugas umat Allah bukanlah menikmati sukses pribadi dan
hidup dengan bersenang-senang, tapi bagaimana menunjukkan penyebab
kesulitan mereka dan menjadi tanda akan adanya pengharapan di kesulitan
tsb. Jika seseorang berasal dari daerah tertinggal di Indonesia Timur,
adalah godaan besar untuk menyangkal kondisi buruk mengenai daerah asal mereka
dibanding keberhasilan yang dia capai.Membela kepentingan pribadi sepertinya
lebih menarik daripada membantu sesama yang berasal dari daerah yang memiliki
masa depan suram. Dengan mengingat panggilan kita untuk melayani bangsa
dan menempatkan diri dalam batas-batas ketidaknyamanan lingkungan kita, kita
mampu menghadirkan syalom.
Ketiga,
mengingat akan pemilik hidup kita. Kita milik Allah. Hal ini yang
mendorong kita melayani sesama. Komitmen dan loyalitas kepada Allah lebih
baik didemonstrasikan tidak melalui lip service dan sikap-sikap
religius tapi menjalankan keadilan. Dalam situasi kontemporer saat ini,
krisis iman sesungguhnya bukanlah sekularisme atau humanisme, tapi lebih pada
kekurangan ketaatan yang radikal di antara umat Allah. Iman sejati adalah
sebuah ketaatan dan ketaatan berarti melakukan apa yang benar dan tepat dalam pandangan
Allah dan iman seperti ini mendemonstrasikan ketaatan, iman, sebuah relasi
percaya dalam kuasa pembebasan Allah dan komitmen kepada keadilan Allah yang
melebihi kata-kata dan aktivitas religius. Iman seperti ini menkonkritkan
kehadiran pemeliharaan dan pembebasan dari Allah yang hidup.
Keempat, Integritas.
Panggilan menghadirkan syalom bukanlah hanya dinampakkan dari sisi outward seseorang,
namun membutuhkan sisi inward juga sehingga panggilan ini adalah
sebuah panggilan integritas. Keutuhan antara hati dan tindakan umat Allah
menjadi kunci dalam melakoni kebenaran di hidup mereka. Sudah
seringkali kita lihat ketiadaan integritas di bangsa ini. Korupsi dan
ketidakadilan ditutupi dengan slogan-slogan manis padahal yang terjadi adalah
sebuah kebusukan yang mengakar kuat. Umat Allah harus hadir tanpa
dualisme hati, tanpa melacur pada dosa.
Jika
kita perhatikan, kunci menghadirkan syalom adalah damai sejahtera dengan
Allah. Kunci menjadi berkat adalah ketika kita sudah diberkati
Tuhan. Ketika mengalami damai sejahtera dengan Allah akan diteruskan
dengan damai sejahtera dengan sesama manusia. Bukankah itu juga tujuan
Kristus mati bagi kita? Mengupayakan sejahtera di dunia yang penuh dosa,
walaupun tantangan sangat berat. Umat Allah tidak hanya harus menjauhkan
permusuhan namun juga mengupayakan perdamaian, masuk ke dalam keselarasan
dengan orang lain dan menghadirkan syalom.
Perkantas
harus menjadi duta Allah menghadirkan syalom, justru karena Perkantas telah
diberkati sehingga dia harus memberkati. Seorang yang sangat
concern dengan pelayanan Perkantas mengatakan, “Apa kontribusinya (Perkantas)
bagi persoalan-persoalan bangsa? … dengan kesalehan individu sebagai basisnya,
menyasar kesalehan publik untuk mencegah pembusukan di dalam masyarakat
membongkar struktur-struktur dosa di dalam masyarakat yang memproduksi
dosa-dosa terstruktur. Hanya dengan cara itu Perkantas tidak kehilangan
relevansinya.”
(*
Penulis adalah Staf Mahasiswa yang Melayani di Mataram)
Sumber
gambar : http://edylon.files.wordpress.com/2010/05/janji-doa.jpg
Komentar
Posting Komentar