Anak
di Tengah Peperangan; di Pihak Mana Orang Tua?
oleh
Iwan Catur Wibowo
Yang
terkasih rekan-rekan alumni (baik yang punya anak biologis maupun anak rohani),
teman-teman siswa-mahasiswa yang kelak jadi orang tua, Syalom! Saya bukan ahli
pendidikan anak, miskin pula pengalaman mengasuh anak (anak saya baru berusia
satu tahun). Saya juga belum pernah melakukan survey di manapun
tentang pola asuh orang tua. Maka melalui renungan ini, saya hanya ingin
mengajak pembaca Disciples mencermati teks alkitab yang relevan dengan judul
renungan di atas, tentang bagaimana seharusnya seorang anak dididik dalam
sebuah keluarga atau komunitas kristen.
Pendahuluan
Sebuah
film kisahkan drama sebuah keluarga yang tiga putranya satu persatu beranjak
dewasa. Keluarga petani bahagia yang hidup di masa perang ini sekali lagi
berduka, karena putra kedua mereka baru saja meninggalkan rumah. Usianya genap
lima belas tahun seminggu lalu, batas yang ditetapkan negaranya untuk wajib
angkat senjata membela negara. Kakaknya sudah pergi dua tahun lalu dan tak
pernah terdengar kabar beritanya. Selama ini mereka berusaha keras
menghindarkan anak mereka dari wajib militer. Tiap kali tentara mendatangi
rumah dan ladang mereka di atas bukit itu, suami istri ini mengaku hanya punya
satu putra. Dua anaknya disembunyikan di bawah tumpukan jerami. Mereka berduka
ketika tentara membawa si sulung dua tahun lalu dan mengira bahwa mereka bisa
hidup tenang bersama dua putra mereka sampai mati. Namun situasi tak sesuai
harapan mereka.
Meski
pasutri ini mengisolasi pergaulan dua remaja itu, dengan tujuan supaya
kabar-kabar tentang perang tak sampai di telinga mereka, namun tanpa
sepengetahuan mereka, setahun yang lampau seorang tentara yang desersi pernah
bersembunyi di kandang hewan di belakang rumah mereka dan menceritakan banyak
hal tentang peperangan di luar sana. Anak-anak itu terkejut sekaligus terpesona
dengan semua kisah perang itu. Diam-diam mereka berlatih perang-perangan dan
berlatih menggunakan senjata. Orang tua yang penuh kasih itu marah besar ketika
mendapati kedua putra mereka saling acungkan pisau dan memperagakan gaya
bertarung. Sejak itu mereka dilarang memegang benda-benda tajam, bahkan dipukul
saat kedapatan bermain sebatang kayu bak sedang memegang sebuah senapan.
Proteksi terhadap dua anak itu diperketat. Sejauh ini situasi bisa
dikendalikan.
Namun
semalam putra nomor dua itu mengingatkan bahwa minggu lalu umurnya genap lima
belas tahun, dan besok ketika tentara datang melakukan razia kampung mereka, ia
akan melaporkan orang tuanya pada tentara jika ia dipaksa bersembunyi lagi di
bawah tumpukan jerami. Sadarlah orang tua ini, bahwa mereka tak bisa lagi
halangi putra mereka terlibat dalam peperangan yang dihadapi negara mereka itu.
Yang mereka sesali adalah, andai mereka turut mempersiapkan anak-anak mereka
dengan sedikit ketrampilan pertahanan diri, bukannya memproteksi mereka
sedemikian rupa sehingga anak mereka berangkat berperang tanpa ketrampilan
menggunakan senjata. Mereka berjanji akan membekali putra bungsu yang masih
tinggal bersama mereka.
Anak-anak
perang
Pendahuluan
di atas memang agak panjang. Namun drama film ber-setting Amerika abad 11
itu cukup tepat menggambarkan sikap banyak orang tua Kristen dalam mengasuh
anak-anak mereka hari ini. Saya takut kebanyakan orang tua Kristen punya sikap
dan kebijakan yang sama seperti orang tua dalam film tersebut. Mereka punya
ketakutan kehilangan anak-anak mereka dalam peperangan melawan
pengaruh-pengaruh jahat di luar sana terutama pornografi/seks, minuman keras
dan narkoba serta kenakalan di sekolah. Di tengah realitas zaman yang
marak dengan gejolak dan ragam manifestasi dosa yang makin menggila ini, banyak
orang tua kristen memilih bersikap over-protektif. Anak dijauhkan dari realitas
peperangan rohani ini. Padahal realitas peperangan rohani itu tetap akan berada
dalam jangkauan anak-anak mereka, bahkan menjangkau anak-anak mereka, lewat
banyak cara. Peperangan itu tak terhindarkan buat mereka dan anak-anak akan
terkejut sekaligus terpesona. Penting untuk dipahami nasehat Firman Tuhan
seperti apa yang bisa jadi penuntun kita mengasuh anak di tengah realitas peperangan
yang nampak di depan mata dan yang tak mungkin dihindari anak-anak kita itu?
Memproteksi
anak?
Perhatikan
peringatan Paulus dalam surat Kolose 2: 20-23 ini:
Apabila
kamu telah mati bersama-sama dengan Kristus dan bebas dari roh-roh dunia,
mengapakah kamu menaklukkan dirimu pada rupa-rupa peraturan, seolah-olah kamu
masih hidup di dunia: jangan jamah ini, jangan kecap itu, jangan sentuh ini;
semuanya itu hanya mengenai barang yang binasa oleh pemakaian dan hanya menurut
perintah-perintah dan ajaran-ajaran manusia. Peraturan-peraturan ini, walaupun
nampaknya penuh hikmat dengan ibadah buatan sendiri, seperti merendahkan diri,
menyiksa diri, tidak ada gunanya selain untuk memuaskan hidup duniawi.
Konteksnya
di sini Paulus menyerang dan mengutuk pandangan asketisme yang diajarkan
guru-guru palsu dan jemaat yang terpengaruh ajaran guru palsu itu, secara
khusus di sini adalah makanan tertentu dan perbuatan-perbuatan tertentu.
Seluruh hidup orang asketis benar-benar terbungkus dalam kemasan sistem
peraturan dan larangan: jangan jamah ini, jangan kecap itu, jangan sentuh
ini (ay 21). Mereka punya pengharapan bahwa dengan mendisiplin tubuh, secara
rohani mereka akan makin suci. Inilah kesesatan yang Paulus serang dalam
ayat-ayat ini.
Menurut
Paulus, kita telah dipindahkan ke dalam Kerajaan Allah (Kol 1:13). Sebagai
orang Kristen, kita mati terhadap semua peraturan tradisi/budaya manusia karena
persekutuan kita dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya (lih. Kol
2:12-15). Karenanya, kita menundukkan diri pada hukum Allah, bukan pada
peraturan tradisi/budaya manusia. Ini bukan berarti orang kristen itu
tanpa aturan. Paulus tidak sedang menyarankan kita untuk memberontak, namun ia
sedang memperingatkan kita untuk tidak berpikir bahwa kita bisa menjadi rohani,
saleh, karena mentaati peraturan dan larangan tertentu. Bahkan Paulus mendapati
bahwa dalam prakteknya, peraturan ketat asketisme itu “tidak ada gunanya selain
untuk memuaskan hidup duniawi”(ayat 23). Artinya reputasi saleh orang
asketis ternyata tidaklah sesuai kenyataan.
Saya
rasa aplikasi teks ini bisa diterapkan dalam konteks pola asuh orang tua
terhadap anak. Dengan peraturan dan larangan, orang tua berusaha mensterilkan
dunia anak dari realitas peperangan rohani dan moral yang tak bisa dan tak
boleh mereka hindari. Karena orang tua tak bisa menghalangi peperangan rohani
terjadi, maka mereka terus mencari cara mengontrol perilaku anak-anak mereka.
Mereka akan pikirkan dan lakukan apa saja demi mengontrol pilihan-pilihan dan
kegiatan anak-anak mereka. Namun usaha menghalangi anak bersentuhan dengan
realitas peperangan rohani akan gagal, seperti yang pernah terjadi dalam hidup
jemaat di Kolose ini. Sikap memagari anak dengan satu set peraturan “jangan
ini-jangan itu; dilarang ini dilarang itu” ini tidak akan efektif. Mengapa?
Karena pendekatan ini hanya fokus menjauhkan anak dari masalah, namun tidak
menyentuh akar masalahnya.
Kegagalan
pendekatan ini cukup jelas: pertama, sebagaimana digambarkan film di atas,
informasi dan pengaruh buruk itu tak lagi hanya bisa diakses anak di luar sana,
namun bahkan bisa masuk ke rumah kita dan mengakses anak-anak kita. Kedua,
sama seperti yang Paulus ingatkan dalam teks ini, yakni bahwa sesungguhnya
peraturan-larangan yang ketat dan bagus itu tidak menyentuh level hati.
Pendekatan ini hanya membereskan gejala luar saja, bukan akar masalahnya. Anak
bersikap baik hanya karena peraturan (aspek manipulatif dari reward atau punisment-nya). Ketiga,
saatnya pasti akan tiba, cepat atau lambat. Begitu anak menginjak usia remaja
situasinya tak lagi mudah dikendalikan orang tua. Anak akan merasa punya hak
dan mampu membuat keputusan sendiri, bahkan bisa mengancam orang tua mereka.
Dalam
terang aplikasi teks ini, orang tua harus mengakui ketakutan-ketakutan mereka
(meski seringkali sangat beralasan) dan membereskannya di hadapan Tuhan,
bukannya terus mengambil alih tugas Tuhan dalam melindungi dan menjaga
anak-anak mereka. Menurut saya, orang tua tipe polisi, detektif, orang tua yang
punya ‘talenta’ hakim atau sipir penjara harus memperhatikan baik-baik nasehat
rasul Paulus dalam teks ini dan mengevaluasi strategi pengasuhan mereka
terhadap anak-anak.
Cepat
atau lambat, anak akan keluarkan jurus: “bantah, langgar, lawan!” Mereka akan
terus meningkatkan perlawanan mereka, demi kebebasan mereka. Bertahan dengan
pendekatan peraturan dan larangan hanya akan memperlebar jurang sikap
permusuhan dan bisa-bisa berujung perang antara anak lawan orang tua mereka.
Maka betapa malangnya anak, merasa sendiri karena punya dua lawan dalam
peperangan ini; tren-tren dosa zaman ini dan orang tua mereka!
Jiwa
anak-anak itu dipercayakan Tuhan pada orang tua. Tetapi memproteksi anak,
dengan mengandalkan peraturan serta menyiapkan hukumannya bila peraturan
dilanggar anak, itu hanya akan berujung kegagalan. Selaras dengan ayat-ayat
ini, orang tua seharusnya mendidik anak dengan pendekatan yang lebih tepat
sasaran dan lebih strategis, jika ingin anak mereka memenangkan peperangan di
luar sana. Alternatif apa yang Alkitab ajarkan pada orang tua?
Membekali
anak
Perhatikan
pengajaran Paulus lebih lanjut dalam Kolose 3:12-14 ini:
Karena
itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya,
kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan
kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan
yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti
Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas
semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan
menyempurnakan.
Di
sini Paulus mengingatkan jemaat Kolose pada anugrah Tuhan yang telah mereka
terima. Allah telah memilih mereka, menguduskan dan mengasihi mereka
(ayat 12). Mereka diingatkan akan anugrah besar itu sekaligus diajak menyadari
kembali konsekuensinya, bahwa mereka itu tak lagi milik mereka sendiri,
melainkan mutlak milik Allah (lih. 1 Kor 6:19-20). Di sini Paulus juga
mendorong mereka untuk fokus pada proses-proses pertumbuhan dari dalam keluar:
“kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan
kesabaran.” “Mengenakan” (pertumbuhan) manusia baru menjadi prioritas, bukannya
sibuk “melepaskan” manusia lama. Bagi Paulus, spiritualitas yang berpusat pada
Kristus itu cukup karena manusia rohani hanya bisa diubah dari dalam keluar,
bukan sebaliknya. Karena kuasa Kristus dalam hidup orang percaya berperan lebih
dari sekadar mengendalikan keinginan daging: kuasa itu menumbuhkan
keinginan-keinginan baru dalam hidup orang percaya.
Natur
menentukan selera. Orang kristen punya natur Allah dalam dirinya (2 Pet. 1:4),
dan itu artinya orang kristen punya ambisi dan keinginan kudus. Orang kristen
tidak butuh hukum atau peraturan dari luar untuk mengontrol selera mereka
karena mereka sudah punya selera-selera rohani itu di dalam diri mereka!
Legalisme atau asketisme yang diusung guru-guru palsu di atas tidak mampu
berdampak seperti itu. Sikap over-protektif sebagaimana diurai di atas hanya
akan menghasilkan kemenangan sesaat saja, karena alur perubahannya dari luar ke
dalam. Hati yang ditaklukkan pada Kristuslah yang akan terekspresi ke luar dan
membentuk kesalehan luar dan dalam seseorang.
Aplikasi
praktisnya dalam konteks pola asuh anak, teks ini menganjurkan orang tua untuk
fokus pada pertumbuhan rohani anak, pada pergumulan rohani anak. Mereka harus
menggembalakan hati anak. Ini berarti orang tua biologis maupun orang tua
rohani harus mengedepankan pendekatan wibawa rohani, yakni wibawa rohani yang
dimilikinya dan ketika mereka mengenakan, menghidupi karakter-karakter manusia
baru dalam pola asuh terhadap anak-anak mereka. Mereka akan hadir memperagakan
kehadiran Allah. Dan Allah yang sanggup ubahkan hati orang akan dengan leluasa
bekerja dalam hati anak melalui orang tua yang demikian. Wibawa rohani orang
tua akan dilihat dan rasakan oleh anak. Hati anak merasa tergembalakan, dan
inilah yang akan menstimulir terjadinya proses-proses perubahan dari dalam ke
luar.
Orang
tua yang mendekati anak-anak mereka dengan sikap hati seperti ini akan
mendapatkan hasil yang lebih maksimal (dan lebih alkitabiah) dibanding
pendekatan peraturan dan larangan. Karena pendekatan ini membuat mereka menjadi
sahabat anak, yang hadir bukan sekadar untuk menunjukkan anak salah dan
menghukum anak. Di awal saya menyatakan belum punya pengalaman mengasuh anak.
Anak saya masih berumur satu tahun. Tapi dengan petunjuk Firman Tuhan ini saya
berani mendorong rekan-rekan pembaca Disciple untuk menerapkan pola
asuh berdasarkan prinsip rohani teks alkitab ini.
Tentu
saya akan terus belajar seni mendisiplin anak, bahkan dalam batas-batas
tertentu saya juga akan tetap menerapkan peraturan dan larangan pada anak saya,
tapi fokus utama saya adalah berusaha hadir sebagai sahabat dan gembala bagi
anak saya sambil terus memperkenalkan dan mendekatkan anak saya pada Tuhan
Yesus, Sahabat dan Gembala sejati anak saya. Untuk tujuan itu, oleh anugrah
Tuhan semata, saya dan istri akan fokus pada pertumbuhan rohani kami sendiri
demi menanamkan disiplin rohani sedini mungkin pada anak kami. Disiplin membaca
maupun membacakan alkitab untuk anak kami. Disiplin berdoa dan mengajak anak
kami berdoa. Seiring bertambahnya usia anak saya, kami berharap ia terus
melihat dan merasakan Kristus di dalam hidup kami dan melalui pendekatan kami
terhadapnya. Proses inilah yang kami harap dan doakan menyuburkan proses
pertumbuhan rohani anak saya dan menghasilkan perubahan-perubahan dari dalam ke
luar. Dengan demikian anak saya akan memiliki suatu kekuatan rohani yang cukup,
memiliki perlengkapan rohani yang memadai untuk menghadapi peperangan rohani
yang pasti akan dihadapinya.
Penutup
Dunia
anak pada zaman kita saat ini bisa dikatakan jauh dari sejahtera dan damai,
bahkan penuh dengan realitas yang mengerikan, yang mana di luar sana berjuta
anak terpaksa menderita karena peperangan, HIV/AIDS, kerja paksa dan hidup di
jalanan kota yang berbahaya, bahkan dipukuli, dicabuli dengan kejam. Peperangan
rohani tak kalah marak. Beragam dosa (pornografi, narkoba, dll) mengakses
mereka, bahkan mengejar mereka sampai ke dalam rumah kita. Satu kuasa saja yang
akan melindungi dan menyelamatkan anak-anak kita: kuasa Kristus. Anak wajib
dimenangkan bagi dan bersama Kristus. Jadi, di mana Anda berdiri: di pihak
anak atau berhadapan dengan anak? Mana yang Anda pilih: memproteksi anak atau
membekali anak-anak Anda?
Komentar
Posting Komentar