Tujuan Kedatangan Sang Mesias: Bumi Penuh dengan Pengenalan akan Allah (Yesaya 11:1-10)


Tujuan Kedatangan Sang Mesias: Bumi Penuh dengan Pengenalan akan Allah (Yesaya 11:1-10) 
oleh Perdian Tumanan

Pendahuluan
Ada yang menarik dari fenomena film 2012 yang laris manis bak kacang goreng belakangan ini. Terlepas dari pro-kontra yang ada, film ini menimbulkan impak yang cukup signifikan baik terhadap orang beriman maupun orang yang tidak beriman. Kabar baiknya, film 2012 yang memberitakan tentang berakhirnya dunia membuat banyak orang mulai memikirkan dan mencari secara serius makna kehidupan. Tapi ekses negatif dari film yang sama sekali tidak memiliki dasar biblikal ini lebih besar. Banyak orang mulai sibuk berpikir tentang diri dan keselamatannya sendiri. Bahkan dalam kekristenan pun muncul fenomena spiritualisme baru yang mirip dengan bidat neo-platonisme atau proto-gnostikisme yang meracuni Gereja mula-mula. Yang terpenting bagi orang-orang ini adalah persoalan dunia rohani dan spiritual. Sedangkan dunia material ini tidaklah penting. Kita harus cepat-cepat melarikan diri ke sorga dan melepaskan diri dari kekangan dunia materi yang jahat dan akan dihancurkan Tuhan ini, dan dengan bersegera terus mencari Tuhan agar segera diselamatkan. Pada akhirnya orang Kristen menjadi apatis dengan dunia dan tidak lagi peduli dengan dunia.
Tidak heran kalau lagu-lagu Kristen pun penuh dengan nuansa eskapisme ini (melarikan diri). Lihat saja larik dalam stanza terakhir dari lagu yang sangat terkenal “How Great Thou Art” yang berbunyi demikian: 

When Christ shall come, with shout of acclamation,
And take me home, what joy shall fill my heart.
Then I shall bow, in humble adoration,
And then proclaim: "My God, how great Thou art!"

Padahal menurut seorang teolog Perjanjian Baru ternama saat ini, N. T. Wright, dalam versi Swedia, yang merupakan versi aslinya, himne ini sama sekali tidak berbicara soal “Christ coming to take me home; that was the translator’s adaptation.”[i]
Coba kita renungkan dengan baik hal ini. Pada akhirnya seluruh doktrin-doktrin Kristiani diarahkan ke dalam pengharapan eskatologis sempit ini. Bahkan tujuan kedatangan Sang Mesias terjanji pun disempitkan sekadar untuk menyediakan tempat buat saya “di sana” (sorga). Coba kita berefleksi dengan tepat. Betapa doktrin keselamatan Alkitabiah yang begitu agung dan mulia—yang tidak sekadar berbicara soal manusia tapi juga berbicara soal penyelamatan kosmis secara utuh dan universal dalam berbagai bidang kehidupan dan ke seantero semesta ini—kita sempitkan sekadar soal saya, saya dan saya. Mendekati momen natal ini mari sejenak kita melakukan rekoleksi kembali akan makna kedatangan Sang Mesias yang membawa damai dan sukacita kepada dunia!

Pembahasan
Menurut saya teks dari Perjanjian Lama ini membahas apa yang menjadi tujuan kedatangan Mesias itu dengan baik. Namun kita tidak akan mengerti dengan baik ide ini sebelum kita melihat sebentar latar belakang dan background dari teks ini.
Teks ini sebenarnya bukanlah teks yang berbicara soal hal-hal yang menyenangkan atau menggembirakan. Teks yang sangat dekat dengan nubuatan natal ini bahkan jauh dari kesan glamour yang ditunjukkan oleh suasana natal masa kini. Teks ini sebenarnya berlatar belakang peristiwa kelam. Ini diwakili oleh kata “tunggul” (ing. stump) pada ayat 1. “Tunggul” menggambarkan kayu yang sudah tidak ada gunanya; terpotong-potong dan tinggal menunggu kematian. Dan dari konteksnya tunggul ini sebenarnya mewakili dinasti raja-raja Israel yang rusak dan terpotong/terputus. Ide ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari apa yang dilukiskan lewat bahasa penghakiman dalam 10:33-34:
TUHAN Yang Mahakuasa akan merobohkan mereka seperti dahan ditebang dari pohon. Yang paling megah dan tinggi di antaranya akan dipotong dan dirobohkan. Belukar rimba akan ditebas dengan kapak, dan Libanon dengan pohon-pohonnya yang hebat akan jatuh.
Kalau kita membaca konteksnya dengan baik, khususnya nama-nama tempat yang dituliskan oleh 10:27b-32, semua itu adalah gambaran wilayah dekat Yerusalem, pusat pemerintahan, pusat kerajaan dan pusat ibadat Israel (Mikhmas, Rama, Anatot, Madmena, Gibea adalah kota di Benyamin; secara khusus Gibea adalah kota kelahiran raja Saul. Yerusalem sendiri adalah kota yang juga terletak dalam teritori Benyamin. Galim dan Gebim adalah kota di sebelah utara Yerusalem).  Apa artinya ini? Dengan memberikan bahasa-bahasa penghakiman bagi daerah-daerah yang ada di seputar/sekitar Yerusalem, penulis hendak menunjukkan penghakiman Tuhan yang sedang tertuju ke Yerusalem, pusat politk dan pusat ibadat umat saat itu. Namun mengapa ini terjadi? Perhatikan baik-baik apa yang dicatat dalam pasal 1 (ay. 3-4, 8-9, 10-12, 21-31). Mereka suka berbuat jahat (ay. 4), melakukan ibadah palsu karena mereka tetap hidup dalam kejahatan terhadap sesama (ay. 16-17), tidak ada keadilan (ay. 21), pemimpin korup dan penuh suap/sogok dan menelantarkan orang-orang lemah (ay. 23). Padahal pasal 2 menggambarkan betapa Yerusalem adalah kota harapan, kota yang akan memancarkan terang dan kemuliaan YHWH, kota di mana semua makhluk akan mengenal dan mengetahui siapa Tuhan, Allah yang maha pengasih dan maha adil (ay. 2-4). Himbauan terakhir dalam ayat 5 menjelaskan peran penting yang harus dimainkan Yerusalem. Mereka harus berjalan dalam terang Tuhan karena tanpa itu, bangsa-bangsa tidak akan melihat dan mengenal YHWH. Peran mereka sangat vital.
Jadi ini makna yang hendak di berikan oleh teks ini: Bukannya mengarahkan rakyat supaya hidup dalam terang Allah, agar bangsa-bangsa lain melihat Allah dan memuliakan Dia, raja-raja Israel (dan para pemimpinnya) hidup dalam kecemaran dan kefasikan yang sama dengan bangsa-bangsa tersebut. Dan bukankah ini yang dengan sangat ironis dilukiskan oleh kitab Raja-raja, bagaimana pemimpin silih-berganti naik takhta namun dosa, kefasikan, perilaku hidup korup terus saja berkelanjutan? Raja berganti raja, pemimpin berganti pemimpin, namun rakyat dan negara tetap hidup dalam kegelapan. Alih-alih memancarkan terang ke bangsa-bangsa sekitar, Israel justru tidak mampu lagi melihat terangnya sendiri. Saya yakin umat Allah yang sungguh-sungguh hidup mencari Allah saat itu pastilah hidup dalam kefrustasian. Seolah-olah tidak ada harapan. Dan menurut kesan saya situasi yang sama juga tampaknya dialami oleh orang-orang saleh pada zaman Yesus seperti Zakharia, Hana/Simeon dan Maria ibu Yesus. Coba saja lihat perkataan Simeon dan komentar Lukas tentang pengharapan Simeon dalam Lukas 2:25, 29-32:

Adalah di Yerusalem seorang bernama Simeon. Ia seorang yang benar dan saleh 
         yang menantikan penghiburan bagi Israel. Roh Kudus ada di atasnya,
"Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera,
         sesuai dengan firman-Mu,
sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu,
          yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa,
          yaitu terang yang menjadi penyataan
                   bagi bangsa-bangsa lain dan
                    menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel.

Perhatikan teks di atas dengan seksama! Yang ia nantikan bukanlah keselamatan bagi dirinya agar ia masuk surga. Yang ia nantikan adalah janji keselamatan Allah bagi umat Allah, di mana Israel akan diselamatkan dan lewat keselamatan yang diterimanya, Israel akan kembali menjadi alat Allah yang efektif untuk menyatakan terang Allah bagi bangsa-bangsa; agar seluruh bumi, segala bangsa dan segala makhluk tunduk di bawah otoritas-Nya.
Namun yang ajaib dari teks Yesaya tadi adalah Tuhan tidak tinggal diam. Secara aktif, Ia bertindak menghakimi dinasti raja-raja Israel yang dianggap-Nya tidak berjalan dalam terang-Nya; dan saya yakin itu juga terus berlangsung sampai hari ini dan terus akan berlangsung. Namun tidak cukup sampai di situ. Allah tidak hanya memangkas dan memotong pohon yang berbuah masam dan busuk, korup dan penuh dengan ketidakadilan. Ia juga menumbuhkan suatu tunas baru dari sebuah tunggul yang sebenarnya tidak berpengharapan itu.
Tunas baru itulah, Sang Mesias terjanji—dengan Roh Allah yang ada pada-Nya dan takut akan Tuhan yang menjadi kesenangan-Nya—yang akan membawa terang dan kemuliaan Allah keseantero bumi, supaya seisi bumi mengenal Allah (ay. 9-10). Apa yang akan ia kerjakan? Apa yang menjadi visi kehadiran-Nya? Apakah sekadar memberikan surga (tempat yang enak, indah, santai) kepada orang-orang yang percaya kepada-Nya? Bukan! Kalau kita mencermati dengan baik apa yang dipaparkan Yesaya dalam ayat 6-9 jelas sekali terlihat bahwa apa yang dilakukan dan dikerjakan oleh Sang Mesias berkaitan dengan bumi ini, di sini, di tempat ini! Ia tidak melakukan sesuatu untuk membuat orang-orang yang percaya kepada YHWH meninggalkan dunia ini dan pergi ke suatu tempat yang namanya surga; sebaliknya—kalau kita perhatikan dengan seksama ayat 6-9—yang Sang Mesias akan lakukan dalam misi-Nya adalah misi PEMBARUAN dunia! Ya, dengan kekuatan, hikmat dan kuasa Allah yang ada pada-Nya, Ia akan mengembalikan dunia yang sungguh dikasihi dan diciptakan Allah sungguh amat baik ini—namun yang telah rusak oleh dosa, kepada tujuan mula-mula yang Allah tetapkan. Perhatikan baik-baik gambaran ayat 6-8. Gambaran-gambaran ini tentu adalah gambaran-gambaran imaginer. Tapi jelas puisi yang sangat indah ini menggambarkan sebuah keindahan tak terkira pada saat Sang Mesias memerintah. Sebuah keindahan yang tampaknya “mustahil” bagi kita (sebab bagaimana mungkin serigala tinggal bersama domba atau macam tutul dengan kambing), tampaknya. Tapi saya tertarik dengan komentar Walter Bruegemann terhadap bagian ini: “However, this poem is about the impossible possibility of the new creation! The coming king will not only do what the world takes to be possible, but will also do what the world has long since declared to be impossible.”[ii] [Puisi ini adalah tentang sebuah kemustahilan yang mungkin tentang sebuah ciptaan baru! Sang raja yang akan datang itu bukan hanya melakukan apa yang dunia pikir mungkin, tapi juga melakukan apa yang dunia sejak lama pikir tidak mungkin dilakukan]. Coba bayangkan dunia yang digambarkan oleh ayat 6-9 ini: tidak ada narkoba, tidak ada pelecehan dan pelencengan seksual, tidak ada suap dan sogok, tidak ada lagi permusuhan antar etnis, tidak ada lagi pembunuhan dan saling memakan; semua orang saling berkasih-kasihan, saling berdekatan tanpa curiga, saling berbagi dalam ketulusan; tidak ada kemiskinan dan kesengsaraan, tidak ada fitnah dan iri hati dan dengki. Tidak ada manipulasi dan kekafiran. Dan puncaknya di ayat 9: “Tidak ada yang berbuat jahat! Semua orang mengenal Allah!” Tapi mungkin kita akan berpikir: “Ah, ini tentu tidak mungkin! Ini hanya utopia kalangan pemimpi. Lebih baiklah kita memang berharap Allah menghancurkan segala sesuatu yang ada di dunia ini.” Benar, kalau kita berpikir dari sisi kita dan dari sisi usaha organisasi dunia belaka. Menurut saya, perkataan Bang One mengomentari “mimpi” pemimpin KOMPAK Fadjroel Rahman tentang Indonesia yang bebas korupsi perlu direnungkan dengan seksama, “Apa mungkin Indonesia bebas korupsi?”  
Tapi itu menjadi sebuah keniscayaan (possibility) yang pasti terjadi oleh karena kita sudah ada di dalam masa kedatangan Sang Mesias tersebut. Itulah yang Ia lakukan selama 3,5 tahun dalam masa pelayanan-Nya. Ia menyembuhkan, mengusir setan, menerima orang-orang berdosa dan terbuang, terpinggirkan dan sampah masyarakat untuk mendeklarasikan bahwa tahun rakhmat Allah, bahwa “Kemustahilan yang mungkin” itu sedang datang, sedang terjadi dan akan menuju kepenuhannya pada kedatangan-Nya yang kedua. Dan itulah yang Ia lakukan saat memanggil 12 murid dan membentuk Gereja. Gereja, kita semua adalah saluran Allah, saluran Sang Mesias untuk meneruskan visi ini: sebuah visi kemustahilan yang mungkin. Arah dan gerak langkah kita harus bersatu-bersama-berpadu, tertuju kepada visi yang sudah, sedang terjadi dan akan mencapai kesempurnaannya kelak (already and not yet).

Itulah natal. Natal mengajak kita berefleksi kembali dan mengingat apa visi mesianik yang Yesus lakukan, merenung akan dunia baru yang Ia sudah, dan akan hadirkan sembari terus melihat dan bekerja keras bagi Kerajaan-Nya di tengah-tengah dunia kita saat ini. Mengambil bagian kita dalam dunia ini untuk menghadirkan terang-Nya kepada dunia sekitar kita supaya semua orang mengenal Allah. Namun saya yakin itu bukanlah hal-hal yang spektakuler. Kerajaan Allah adalah sesuatu yang dihadirkan seperti biji sesawi (Mat. 13:31-32), hal-hal kecil dan mungkin bagi dunia tidak signifikan tapi Allah sanggup menumbuhkannya dalam semalam! Setiap damai yang kita hadirkan di tengah-tengah pertikaian, setiap teguk air yang kita sediakan bagi mereka yang haus, setiap suap nasi yang kita relakan bagi mereka yang lapar, setiap upaya keadilan yang membuat kita berdiri paling depan membela mereka yang tertindas adalah hal-hal yang harusnya terus kita perjuangkan dengan penuh sukacita (bukan skeptis dan penuh keraguan) karena kelak, Dia akan memerintah sebagai Raja atas semesta dan bumi ini.

Penutup
Natal tidak membuat kita memikirkan surga dan surga. Natal justru membuat kita seperti Sang Mesias, rindu melihat bumi ini penuh pengenalan akan Allah, rindu melihat hadirnya zaman baru yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman ilahi karena segala makhluk mengenal Allah. Mungkin ini pulalah yang menjadi kerinduan Ibu Teresa melihat dunia yang kelam dan penuh pergumulan, yang sampai menuliskan kalimat yang sangat mengharukan ini dalam diarinya, “Andai aku menjadi Orang Suci—pastilah aku salah satu orang suci untuk ‘dunia gelap.’ Aku akan terus-terusan absen dari Surga—untuk menerangi mereka yang kegelapan di bumi.”[iii]

Perdian Tumanan
Staf Mahasiswa Perkantas Surabaya 



[i]Surprised by Hope: Rethinking Heaven, the Resurrection and the Mission of the Church (New York: HarperOne, 2008) 22. 
[ii]Isaiah 1-39 (Westminster Bible Companion; ed. Patrick Miller dan David L. Bartlett; Lousville: WJK, 1998) 100.
[iii]Ibu Teresa: Datang, dan Jadilah Cahaya-Ku (terj. Alex Tri Kantjono Widodo; Jakarta: Gramedia, 2009)


Komentar