Sejauh Mana Perkantas Telah Menjadi Komunitas yang Radikal? Sebuah refleksi berdasarkan Markus 10:29-30
Sejauh
Mana Perkantas Telah Menjadi Komunitas yang Radikal? Sebuah refleksi
berdasarkan Markus 10:29-30
oleh Triawan Wicaksono
Untuk
memahami konsep gereja dalam Injil Markus, kita akan menemui kesulitan karena
Markus tidak pernah memakai istilah ekklesia (diterjemahkan dengan
istilah jemaat dalam PB) seperti yang digunakan oleh Matius (16:18; 18:17) dan
Lukas (Kis. 8:1; 9:31). Jabatan gerejawi juga tidak kita temukan dalam Markus,
seperti dalam Matius (16:18-20) dan Lukas (Kis. 1:26; 2:42; 4:37) dalam deskripsinya
tentang otoritas para rasul.
Akan
tetapi di dalam Markus kita akan menemukan istilah yang berhubungan dengan
rumah tangga (household) dan keluarga, yang juga digunakan oleh para penulis
kitab PB yang lain, untuk mengekspresikan pemahaman mereka tentang gereja.[1]Karena
itu kita akan berfokus kepada penggunaan istilah yang berhubungan dengan rumah
tangga untuk menggali pemahaman Markus tentang pemuridan sebagai kehidupan
dalam komunitas. Tetapi karena keterbatasan tempat maka artikel ini hanya akan
berfokus kepada teks Markus 10:29-30.
Teks
ini merupakan bagian transisi dari pelayanan Yesus di Galilea menuju
penderitaan-Nya di Yerusalem (8:22-10:52). Konteks bagian ini adalah
percakapakan Yesus dengan seorang kaya yang bertanya kepada Yesus bagaimana
untuk memperoleh hidup kekal (10:17-31). Orang yang mau meninggalkan sesuatu,
termasuk keluarganya dan mengikut Yesus, akan memperoleh semuanya itu bahkan
menerima kembali seratus kali lipat. Dan bukan hanya itu, melainkan ia juga
akan memperoleh hidup yang kekal.
Menarik
bila kita bandingkan dengan Matius dan Lukas, maka kita akan menemukan beberapa
variasi. Yang pertama hanya Markus yang menambahkan kalimat : “akan menerima
kembali seratus kali lipat : rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu,
anak, ladang, ….” Matius hanya menulis, “akan menerima kembali seratus kali
lipat .…”(Mat. 19:29). Sedangkan Lukas hanya mengatakan,”akan menerima kembali
lipat ganda .…”(Luk. 18:30). Ketiga penginjil mengkonfirmasi janji hidup yang
kekal, tetapi hanya Markus yang menjelaskan bahwa keluarga yang telah
ditinggalkan karena mengikut Kristus, akan diganti dengan keluarga baru.
Pernyataan ini tidak bisa dianggap sebagai metafora belaka, karena dalam gereja
mula-mula, pengertian komunitas diekspresikan dengan menggunakan bahasa yang
berhubungan dengan keluarga (familial language).[2]
Yang
kedua, dalam Markus 10:29 yaitu hal-hal yang ditnggalkan karena mengikut
Kristus, yaitu rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, bapa, anak,
dan ladang, sama persis dengan yang akan didapatkan kembali seratus kali lipat
(dalam Mrk. 10:30), kecuali ayah. Tidak ada ayah dalam keluarga/komunitas yang
baru. Penjelasan yang mungkin adalah bagi Markus, satu-satunya Bapa adalah
Allah itu sendiri (Mrk. 11:25; 14:36).
Penjelasan
lain yang mungkin adalah hal ini mengeskpresikan sikap anti-patriarkal, yang
mengindikasikan sifat egaliter yang radikal dari komunitas dalam Injil
Markus. [3] Hal
ini sangat senada dengan konteks keseluruhan Injil ini dimana orang yang ingin
menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan
pelayan dari semuanya (9:35; band 10:42-45). Anak-anak yang merupakan simbol
mereka yang lemah dan tidak berdaya justru diterima oleh Yesus (9:36-37;
10:13-16). Istri tidak bisa dianggap sebagai barang milik, yang dapat dibuang
seenaknya oleh suaminya (10:2-11). Kekayaan yang dapat mengakibatkan pembagian
kelas sosial, yang membuat orang kaya merasa memiliki otoritas di atas mereka
yang miskin, justru dapat menghalangi seseorang masuk ke dalam kerajaan Allah
(10:17-27). Markus juga menegaskan bahwa Yesus datang bukan untuk dilayani,
melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi
banyak orang (10:45). Itu sebabnya kita dapat meyakini bahwa sifat saling
melayani (mutual service) dan penolakaan terhadap kekuasaan yang mendominasi (renunciation
of dominating power) adalah karakteristik utama komunitas Injil Markus.[4]
Yang
ketiga, keunikan bagian terakhir, yang tidak ada di Matius dan Lukas adalah di
Markus 10:30, yaitu kalimat “… sekalipun disertai berbagai penganiayaan…”
Penganiayaan ini akan dialami oleh keluarga/komunitas yang baru. Hal ini
seakan-akan merelatifkan berkat yang akan diperoleh bagi mereka yang telah
meninggalkan segala sesuatu karena Kristus. Di lain pihak, hal ini sejalan
dengan fakta dan pengajaran Yesus tentang penganiayaan yang akan terjadi karena
mengikut Dia. Misalkan, di dalam Markus 6:1-6, kita melihat fakta bahwa Yesus
ditolak oleh keluarganya sendiri. Dalam Markus 13:12 Yesus mengajarkan:
“Seorang saudara akan menyerahkan saudaranya untuk dibunuh, demikian juga
seorang ayah terhadap anaknya. Dan anak-anak akan memberontak terhadap orang
tuanya dan akan membunuh mereka.” Bagi Markus, kehidupan di dalam
keluarga/komunitas yang baru akan melibatkan penganiayaan dari
keluarga/komunitas yang lama. Yesus sendiri menegaskan bahwa mereka yang
menjadi keluarganya adalah mereka yang melakukan kehendak BapaNya (Mrk. 3:31-35).
Ketaatan yang radikal kepada kehendak Bapa lebih daripada apapun juga, yang
mengatur kehidupan komunitas baru, pastilah akan mendatangkan penganiayaan dari
komunitas lama.
Refleksi
Mengapa
saya tetap menjadi staf Perkantas? Saya tetap memilih ada di dalam Perkantas,
karena Perkantas adalah bagian dari komunitas baru yang berjuang untuk tunduk
kepada kehendak Bapa lebih daripada apapun juga. Saya mengalami sifat radikal
dari komunitas Markus yaitu kesetaraan/egaliter dan saling melayani di dalam
Perkantas. Memang di dalam Perkantas ada struktur organisasi seperti BPR, BPC,
dan BPN yang kepadanya para staf harus memberikan pertanggungjawaban. Akan
tetapi struktur-struktur itu bukanlah kekuasaan yang mendominasi. Dan dalam
hubungan ini, tidak ada pihak yang merasa paling berkuasa untuk menentukan apa
yang terbaik bagi kemajuan pelayanan ini. Saya mengalami bagaimana proses
pengambilan keputusan bukan hanya didasarkan kepada pertimbangan para senior
dan logika, tetapi lebih-lebih didasarkan di atas doa dan Firman.
Pertanyaannya
bagi kita semua adalah sejauh mana sifat kesetaraan, saling melayani, dan
penolakkan terhadap kekuasaan yang mendominasi, makin menjadi bagian dari
kehidupan Perkantas baik secara institusi maupun dalam kehidupan kita
sehari-hari? Intinya sejauh mana, karakteristik komunitas Markus yang radikal
itu menjadi bagian hidup yang kita perjuangkan setiap hari?
Perkantas
tidak lepas dari dosa dan kesalahan. Bukankah sejarah Perkantas tidak lepas
dari konflik yang berhubungan dengan kekuasaan? Itu sebabnya kita perlu terus
mawas diri dan dengan segala kerendahan hati terus belajar bahwa komunitas yang
terlalu menekankan kekuasaan, entah itu berhubungan dengan gelar-gelar
akademis, senioritas atau bahkan kerberhasilan pelayanan, hanya akan membuat
Perkantas menjadi makin jauh dari karakterisitik komunitas Markus. Bila ini
terus menerus terjadi, tidak mustahil kita akan menjadi komunitas yang justru
akan menganiaya mereka yang menghidupi karakterisitik komunitas baru seperti
yang telah diuraikan di atas.
Saya
berharap pelayanan Perkantas semakin lama semakin besar secara geografis,
semakin banyak siswa, mahasiswa, dan alumni yang bisa dilayani dan semakin
banyak staf yang melayani. Saya berharap akan semakin banyak staf yang memiliki
gelar S2 dan S3 di berbagai bidang. Hal ini penting demi pelaksaan misi
integral yang kita harapkan dapat memberkati bangsa ini dan memajukan Injil.
Saya juga berharap akan semakin banyak staf senior di luar Jawa yang
berkomitmen untuk terus memperjuangkan visi Perkantas dengan terus menggumulkan
misi integral dan menjadi gembala bagi para juniornya. Akan tetapi saya paling
mengharapkan Perkantas menjadi makin radikal dalam arti makin egaliter, makin
saling melayani dan makin jauh dari ambisi untuk saling menguasai. Karena tanpa
itu semua, tiga harapan saya yang awal, meskipun terwujud, tidak akan membawa
kesejahteraan bagi bangsa ini dan tidak mungkin membawa kemuliaan bagi
Nama-Nya.
Karena
Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan
untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang (Markus 10:45).
Oleh
Triawan Wicaksono (Staf Perkantas Salatiga)
[1] Herman
Hendrickx, The Household of God (Quezon City: Claretian Publications,
1992), 34.
[2] Ibid.
40.
[3] Ibid.
40.
[4] Ibid.
41.
Komentar
Posting Komentar