oleh Himawan Teguh Prambudi
Prolog
Salib ada di mana-mana. Lihatlah! Salib ada di depan mimbar gereja, tembok
pintu rumah kita, dan di sampul Alkitab kita. Tak berhenti disitu, salib kini
hadir dan menjalar sebagai salah satu bentuk fashion-itemblack-metal yang
terkesan seram. Salib dipakai pula sebagai gantungan kunci, yang sering
terlihat pinky, lucu dan menggemaskan. Jelaslah, salib ada di mana-mana.
Tetapi pertanyaan bagi kita semua, apa makna salib bagi mereka yang memakainya
dalam hidup ini? Asesoris (murahan) belaka? Apa simbol dalam pemakaian salib?
Sebagai tanda bahwa yang memakainya adalah Kristen? masa kini. Salib
bereksistensi sebagai kalung hiasan pengantin, salib hadir dalam kaos
Dalam kehadiran salib yang mengejawantah di mana-mana, penulis merasa sangat
ketakutan. Mengapa? Karena penulis ragu bahwa salib yang adalah tanda, dimaknai
sesuai makna historis-teologisnya yang sejati. Jangan-jangan, gambaran orang
masa kini tentang apa arti salib mulai kabur dan luluh dalam hiruk pikuk
sekularisme serta kehidupan modern yang hedonistik. Jangan-jangan, salib yang
menandakan sesuatu yang ditandakan itu, telah diturunkan menjadi sekadar simbol
yang berupaya untuk keren-kerenan belaka. Padahal, salib yang adalah
tanda, jika ditelusuri maknanya, ia akan mengungkapkan radikalitas iman dari
jalan pemuridan Kerajaan Allah. Kini, penulis memberanikan diri untuk mengajak
segenap pembaca merenung ulang makna dari salib sebagai tanda itu melalui
pembacaan terhadap Markus 8:34-38.
Mengapa
Markus 8:34-38?
Mengapa teks Markus yang dipilih untuk merenungkan makna salib sebagai tanda?
Jawabannya sederhana. Injil Markus telah di akui secara luas sebagai Injil yang
pertama kali ditulis dan dipakai sebagai sumber bagi kepenulisan dua Injil
Sinoptik yang lain, di mana fakta ini menunjukkan kepentingan Injil Markus
dalam gereja perdana. Kemudian, konteks khusus penulisan Markus juga menjadikan
Injil ini begitu menarik. Markus ditengarai ditulis pada kisaran tahun 60-70,
masa di mana Kaisar Nero berkuasa dan terjadi kekerasan terhadap orang Kristen.[1] Tetapi
kita tahu, bahwa memang pada dasarnya Imperium Roma adalah gambaran dari
ideologi dan tata cara pemerintahan dunia yang memakai kekerasan untuk memeluk
kekuasaan. Ideologi yang menghasilkan penindasan, penganiayaan dan penderitaan
bagi rakyat. Dalam latar belakang yang demikian, Markus menulis Injilnya
sebagai senjata perlawanan kaum lemah terhadap kekuasaan. Injil Markus
mengajarkan cara-cara hidup murid Kristus yang mendobrak kekerasan ideologis
Imperium Roma. Injil Markus juga memberikan daya kekuatan yang subversif bagi
iman jemaat yang hidup di tengah penindasan dan kekerasan Imperium Roma. Dan
ditengah itu semua, Markus mencantumkan kata salib di teks kita ini, yang
ternyata, baru pertama kali muncul di dalam teks Injil Markus. Hal ini membuat
penulis tergugah untuk merenungkan makna salib, yang adalah sebuah tanda. Apa
yang hendak disampaikan Markus kepada jemaat mula-mula? Dan apa yang hendak
dikatakan Markus kepada kita, pembacanya berabad-abad kemudian?
Pemuridan
Dalam kalangan sarjana-sarjana, nampaknya sudah diakui dengan cukup luas bahwa
salah satu tema yang dapat dibaca dari Kitab Markus adalah tema pemuridan.[2]Coba
pembaca meneliti, Markus dengan sangat kuat menggambarkan proses bagaimana
Yesus mencoba membangun pengertian murid-murid-Nya tentang identitas diri-Nya
yang sebenarnya. Markus memperlihatkan bahwa keduabelas murid itu selalu
dikhususkan oleh Yesus untuk menerima pengajaran-Nya dibandingkan orang banyak
(4:10-11, 33-34). Tetapi, detail-detail narasi dalam Injil Markus menunjukkan
bahwa murid-murid Yesus masih belum juga mengerti dan mengenal siapa Dia (lih.
kesalahpahaman murid-murid dan ketidakmengertian murid-murid, 4:13, 4:40-41,
6:49-52, 8: 14-21). Pengharapan bahwa murid-murid benar-benar mengerti
identitas Yesus muncul ketika Petrus mengungkapkan jati diri-Nya dengan kalimat
verbal yang kuat: “Engkau adalah Mesias!” (8:29). Tapi sayang, ternyata
pemahaman Petrus masih berbeda dengan apa yang Yesus inginkan untuk murid-murid
mengerti (8:32). Nampaknya, ada perbedaan pemahaman tentang arti Mesias dari
murid-murid dengan Yesus sendiri. Ini yang menarik! Setelah menguraikan
kegagalan-kegagalan murid-murid untuk mengerti identitas Yesus, Markus
menempatkan perikop ini sebagai perikop awal pada bagian tengah Injilnya.
Penempatan ini seolah-olah hendak menyatakan bahwa Yesus mulai serius dalam
memberikan pengertian kepada murid-muridNya!
Menyangkal Diri,
Pikul Salib, Ikutlah Aku[3]
Konteks teks ini menunjukkan bahwa saat itu Yesus berada di sekitar Kaisarea
Filipi (8:27). Kalimat pertama pada ayat 34 menunjukkan bahwa saat itu tidak
hanya murid-murid saja , tetapi orang banyak juga sedang mendengarkan
pengajaran Yesus. Kepada mereka Yesus “memanggil”. Kata “memanggil” ini
mengindikasikan sesuatu yang serius, yang perlu diperhatikan oleh
murid-muridNya dan orang banyak, kepada segenap mereka yang hendak mengerti
Dia. Maka dari itu, ketika kita membaca ayat 34, sesungguhnya Yesus sedang
memanggil setiap kita, agar dengan penuh perhatian mendengarkan apa yang hendak
di sampaikan-Nya! Lalu apakah itu?
Yesus berkata: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, harus menyangkal dirinya,
memikul salibnya dan mengikut Aku”. Ya. Kalimat ini adalah sebuah ajakan
terbuka, bahwa mereka yang hendak mengikut Dia akan di berikan sebuah tanda,
sebuah syarat, yaitu “penyangkalan diri dan pikul salib”. Pembaca harus waspada
di sini. Perhatikan bahwa perikop ini diletakkan dalam konteks pada saat Yesus
sedang mengajarkan kepada murid-murid bahwa jalan yang harus Ia tempuh adalah
jalan penderitaan (8:31). Maka dari itu, ungkapan “setiap orang yang mau
mengikut Aku” adalah ajakan irasional yang tidak menguntungkan. Karena ajakan
itu meminta kepada segenap orang yang hendak menerimanya untuk terlibat penuh
di dalam jalan penderitaan!
Jalan pemuridan yang penuh penderitaan, inilah yang diungkapkan Yesus dalam
kalimat “menyangkal diri dan memikul salib”. Penyangkalan diri berarti menolak
keinginan diri, meniadakan kepentingan pribadi demi menaati kehendak Ilahi.
Memikul salib berarti turut bergabung bersama Yesus untuk menerima hinaan,
malu, cercaan, makian, kekejian, ludah, kesakitan, dan bahkan kematian. Ajakan
untuk mengikut Yesus di mata dunia tentu begitu irasional. Tetapi, di mata
pembaca awalnya, tentu saja ajakan ini melahirkan sikap subversif!
Ingatlah bahwa waktu itu pembaca sedang menghadapi penindasan dan ancaman
penganiayaan kekaisaran Roma di bawah kekuasaan Nero. Salib adalah bentuk
hukuman yang di tujukan kepada orang Kristen yang dianggap melawan penguasa.
Pun demikian, gambaran mengenai salib adalah gambaran yang menakutkan! Bagi
pembaca mula-mula, “disalibkan” berarti menerima kematian dengan cara yang
menyedihkan. Tentu saja, karena salib adalah bentuk hukuman yang sesungguhnya
diberikan kepada budak. Ketika pembaca Markus yang mula-mula mendengar kata
salib, maka mereka mendengarkan suara menyeramkan, teror yang menakutkan,
mengerikan, tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan, dan di salib, itu berarti mati
dengan sangat-sangat memalukan. Tangan dan kaki dipaku, dan tubuh ditelanjangi!
Kepada pembaca mula-mula, demikianlah Markus mencatat ajakan Yesus yang radikal
itu. Ajakan pemuridan yang memakai salib sebagai tandanya! Tentu saja dengan
tujuan agar pembaca mula-mula dengan teguh, kuat dan yakin, dapat menerima
penindasan dan penderitaan sebagai hal yang layak mereka terima sebagai
pengikut Kristus. Agar pembaca mula-mula mampu menjalani jalan pikul salib
mengikut Dia. Fakta ini terlihat subversif dan amat menantang tentunya.
Kepada murid-murid, Yesus mengeluarkan ajakan itu pertama kali, kepada pembaca
perdana di tengah konteks penganiayaan, Markus juga menyampaikannya, dan kepada
kita, pengikut Kristus di era pascamodern ini, ajakan itu tetap bergaung,
mengusik nurani dan menampilkan potensi revolusionernya.
Dua
Alasan
Sebelumnya, kita perlu tahu dulu alasannya, mengapa mengikut Yesus perlu pikul
salib dan menyangkal diri, mengambil jalan penderitaan? Alasan tersebut
dikatakan Yesus dan dicatat oleh Markus dalam kalimat yang mengikut ayat 34.
Perhatikan ada beberapa kali kata karena dan sebab yang
muncul. Setidaknya, bagi penulis ada dua alasan yang di berikan Markus mengapa
murid-muridNya perlu menyangkal diri dan memikul salib, menghadapi penderitaan
dan kematian yang sama dengan Dia.
Pertama, karena
menyangkal diri dan memikul salib, berarti kehilangan nyawa di muka bumi ini,
adalah layak dilakukan sebagai konsekuensi pengikut Kristus. Inilah yang hendak
Markus jelaskan melalui paradoks kalimat dalam ayat 35 yang sebenarnya, sangat
sulit untuk dipaparkan. Dalam ayat 35 Markus hendak menjelaskan bahwa mereka
yang mengaku hendak mengikut Yesus jelas akan menapak jalan penderitaan-Nya.
Ini adalah konsekuensi yang layak, karena sesungguhnya hanya di dalam Dia
terdapat hidup yang sebenarnya. Tetapi, bagi mereka yang menolak untuk
menderita, maka mereka bukanlah pengikut Yesus yang sejati. Siapa yang menolak
ajakan Yesus berarti “mau menyelamatkan nyawanya” dan konsekuensinya adalah
jelas, “kehilangan nyawanya”. Mereka yang enggan menyangkal diri dan memikul
salib, tidak benar-benar serius untuk menjadi murid Kristus, dan demikian tidak
turut bergabung dalam damai yang sejati dalam Dia. Kepada mereka yang mungkin
menolak ajakan-Nya, dalam ayat 36 Yesus berkata, “Apa gunanya seorang
memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya? Karena apakah yang
dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” Seolah-olah di sini sedang
ditunjukkan sebuah kontras, bahwa kenyamanan dan kemanan hidup di dunia ini
(yang diraih dengan menolak mengikut Kristus) tidaklah berarti!
Dengan
demikian, pengikut Kristus tidak perlu takut menderita, menyangkal diri dan
memikul salib, karena kehilangan hidup di bumi ini adalah layak dialami.
Bukankah Ia juga tidak mendapatkan kenyamanan dan kehidupan semasa di muka bumi
ini?
Kedua, meneruskan
kontras dalam ayat 35 dengan ayat 38. Disini dapat kita lihat, menyangkal diri
dan memikul salib menyebabkan kita layak untuk bersama-sama dengan Dia di
dalam eschaton. Ingatlah bahwa gambaran salib pada mulanya adalah
tanda dari sesuatu yang memalukan, gambaran dari penghinaan dan caci-maki. Maka
dari itu, mereka yang enggan memikul salib adalah mereka yang “malu karena Aku
dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa
ini.” Mereka yang enggan menderita adalah mereka yang akan tidak layak untuk
bersama dengan Dia nanti, ketika “Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya,
diiringi malaikat-malaikat kudus.” Karena mereka yang menolak untuk menderita
dengan Dia itu berarti menolak untuk dipermalukan, dan dengan demikian tidak
layak untuk bersama-sama dengan Anak Manusia yang sudah dipermalukan dan
menapak jalan kehinaan.
Maka dari itu, ingatlah, bahwa jika kita sebagai pengikut Kristus menderita
karena Dia di bumi, itu akan membuat kita pantas untuk bersama-sama dengan Dia,
ketika “langit dan bumi yang baru” itu tiba!
Kesimpulan
dan Perenungan
Akhirnya, dalam usaha untuk mengerti makna salib yang sejati, kita dapat
mengerti arti salib yang adalah tanda itu. Salib, yang ada di mana-mana, adalah
tanda pengikut Kristus. Dan, makna salib yang sesungguhnya lebih dari sekedar
untuk bergaya. Pengikut Kristus diminta untuk memikulnya. Memikul salib berarti
menyangkal diri. Memikul salib berarti mengalami penderitaan. Memikul salib
berarti dipermalukan oleh dunia. Memikul salib berarti menapak jalan kematian
ragawi. Semuanya sama, dengan apa yang telah dijalani Yesus pada abad pertama.
Lalu, bagaimana pembaca masa kini mendengarkan ajakan Yesus, dan merelasikan
pengertian akan arti salib itu dalam kehidupan sehari-hari? Kepada mereka yang
memakai salib di hari-hari dan kehidupannya, Markus menyerukan suara yang sama,
suara yang lantang dan tegas, suara yang menantang kita untuk memikul salib,
menyangkal diri dan mengikut Dia! Bergabung dalam jalan penderitaan-Nya!
Dengan demikian, apakah penderitaan kita? Apakah salib kita? Apa yang membuat
kita malu? Segenap orang Kristen, para murid-murid Kristus dipanggil untuk
mengikut Dia. Ikut Yesus berarti mengambil jalan yang berbeda dengan dunia. Itu
berarti, ketika kita berada di pekerjaan, kita melaksanakannya dengan cara,
tindakan, tujuan dan motivasi sesuai dengan nilai-nilai etika kerajaan Allah,
bukan nilai kerajaan dunia. Itu berarti, ketika kita berada di lingkungan akademis
–kampus mau pun sekolah, PMK atau pun PSK- kita menjalaninya juga dengan jalan
yang sesuai dengan prinsip-prinsip pemuridan Kerajaan Allah. Nilai-nilai yang
bersendikan kejujuran, kasih, keadilan, kemanusiaan, egaliterian, dan
perdamaian. Kita berani memerjuangkan tindakan perlawanan terhadap sikap hidup
yang menghasilkan ketidakadilan, intoleransi, korupsi dan kebobrokan moral.
Kita berani menantang rezim-rezim korup yang tidak manusiawi, eksploitasi alam
demi kepentingan politik dan ekonomis. Inti dari jalan penderitaan di masa kini
adalah kita berani melangkah dalam jalan atau gaya hidup yang berbeda dengan
dunia. Dan jika bagi dunia, nilai-nilai kerajaan Allah yang kita junjung itu
adalah kebodohan, membuat kita terhina, menderita dan bahkan teraniaya secara
fisik, mental dan psikologis, itu adalah layak untuk kita pikul dan alami.
Salib
adalah tanda, identitas pengikut Kristus yang mengambil bagian dalam jalan
penderitaan-Nya, mengubahkan hidup dan mendobrak konteks dunia. Tepatlah di
sini penulis mengutip kalimat Jűrgen Moltmann, Sang Teolog Pengharapan itu, “Christian
life is a form of practice which consists in following the crucified Christ,
and it changes both man himself and the circumstances in which he lives.”[4]
Dengarkanlah
juga kalimat-Nya yang akan menguatkan kita, Berbahagialah orang yang
dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya kerajaan Sorga. Berbahagialah
kamu, jika karena aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala
yang jahat. Bersukacitalah dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga,
sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu. (Matius
5:10-12). Demikian sabda-Nya bagi kita yang akan menderita di dalam jalan
salib-Nya!
Akhirnya, ijinkan penulis mencantumkan sebuah doa, yang diambil dari sebuah
buklet doa yang diterbitkan oleh saudara-saudara Katolik,[5]
Yesus,
buatlah agar aku menghayati sengsara-Mu ya Tuhan.
Sengsara-Mu
memisahkan aku dari dunia dan mengangkat aku ke surga.
Sengsara-Mu
menjelaskan hidup, mendorong aku untuk menjadi persembahan, mengajar
pengampunan, dan menjadikan manis setiap penderitaan.
Buatlah
agar aku menghayati sengsara-Mu ya Tuhan, agar dapat mengenal keindahan yang
benar, serta kasih abadi, yang akan membuat iman kepercayaanku penuh tanpa
keraguan.
Buatlah
pada saat terakhir hidupku di dunia ini, semakin menghayati sengsara-Mu, supaya
aku semakin dekat pada-Mu, oh Tuhan, agar aku dapat memperoleh kedamaian yang
Kaujanjikan. Amin.
Kristus, Sang Tersalib, yang telah menjalani jalan penderitaan dan jalan salib,
dengan lantang memanggil kita murid-muridNya, “Setiap orang yang mau mengikut
Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.” Salib
sebagai tanda, adalah syarat bahwa pengikut-Nya akan masuk, mencemplungkan diri
dalam jalan penderitaan-Nya.
Mari!
Oleh:
Himawan Teguh Prambudi (Mahasiswa Sekolah Teologi Alkitab Asia Tenggara)
[1]Lih.
William L. Lane, The Gospel of Mark (NICNT; Grand Rapids: Eerdmans,
1974) 12-21; bdk. David A. DeSilva, An Introduction to The New Testament:
Context, Methods & Ministry Formation (Downers Grove: Inter Varsity
Press, 2004) 194-233; R. A. Guelich, “Mark, Gospel of,” dalam Dictionary
of Jesus and The Gospel: A Compendium of Contemporary Biblical
Scholarship (eds. Joel B. Green, Scot McKnight, I. Howard Marshall;
Downers Grove: Intervarsity Press, 1992) 512-525.
[2]Lih.
M. J. Wilkins, “Discipleship,” dalam Dictionary of Jesus and The
Gospel 182-189; bdk. James R. Edwards, The Gospel According to
Mark (PNTC; Grand Rapids: William B. Eerdmans, 2002) 16; lih. juga,
Guelich, “Mark, Gospel of” 522-523.
[3]Bagian
penjelasan ini mendapatkan banyak bantuan dari sumber-sumber berikut:
Edwards, The Gospel According to Mark 256-261; R. T. France, The
Gospel of Mark (NIGTC; Grand Rapids: Eerdmans, 2002) 339-343; C. A.
Evans, Mark 8:27-16:20 (WBC; Nashville: Thomas Nelson, 2001) 24-30.
Pembaca bisa menelusuri sumber di atas untuk penyelidikan lebih lanjut.
[4]The
Crucified God: The Cross of Christ as The Foundation and Criticism of Christian
Theology(Minneapolis: Fortress Press, 1993) 25.
[5]Buklet
doa ini berjudul “Doa di hadapan Salib” yang penulis dapatkan di toko buku
Katolik di kota tempat tinggal penulis.
Komentar
Posting Komentar