Relevansi KTB vs Kesibukan Siswa


Relevansi KTB vs Kesibukan Siswa 

Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa
dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Ku perintahkan kepadamu.
Matius 28 : 19 : 20a

I. Pendahuluan           
            Kita pasti sudah tidak asing membaca ayat di atas, bahkan kita pasti sudah menghafalnya di luar kepala. Perintah untuk pergi dan menjadikan semua bangsa muridKu keluar dari mulut Tuhan Yesus sendiri ketika Dia terangkat ke sorga. Hal ini menunjukkan bahwa perintah ini adalah sesuatu yang sangat penting dan menjadi kehendak utama Tuhan Yesus, yang merupakan bagian dari rencana keselamatan bagi dunia, yang telah Dia  selesaikan di kayu salib.
            Sesuatu yang menarik di sini adalah bahwa Tuhan Yesus tidak sekedar memberi perintah untuk menambah jumlah orang yang mengaku menerima dan mempercayai Dia, tetapi Dia menginginkan semakin banyak orang yang menjadi muridNya. Tuhan Yesus memanggil manusia untuk menjadi lebih dari sekedar sebagai kelompok massa yang berdiri di bawah lambang atau simbol agama tertentu, atau berlindung di balik tembok kenyamanan simbol-simbol itu. Dalam suatu  survei yang dilakukan oleh The Center for Study of World Evangelisation di Nairobi tentang kondisi kekristenan, didapatkan data bahwa di Eropa selama tahun 1979 sekitar 1.815.000 orang dewasa yang dulunya mengaku diri mereka orang Kristen didapati kemudian meninggalkan imannya dan memilih untuk menjadi seorang agnostik, ateis, berpindah ke agama lain bahkan terlibat dengan praktek-praktek okultisme. Penurunan yang serupa juga terjadi di gereja-gereja di kawasan Amerika Utara. Dalam survei yang dilakukan di Inggris pada tahun 2003 oleh Pollsters Mori dengan melakukan wawancara dengan 1001 orang, didapati bahwa orang-orang yang mengaku Kristen di sana walaupun masih mengaku percaya kepada Tuhan dan mengganggap bahwa Yesus Kristus adalah tokoh yang menarik, mereka meninggalkan gereja dan banyak melakukan aktivitas yang memuaskan diri mereka sendiri. Penganut kekristenan semakin menurun, sementara kelompok Hindu, Sikh, Yahudi dan Buddhist  kuat, bahkan para penganut aliran Gerakan jaman Baru semakin meningkat. Mengapa hal ini dapat terjadi ? Bukankah negara-negara itu sering diidentikkan dengan kekristenan ? Apakah memang kekristenan di tempat-tempat itu tidak mampu lagi menjadi solusi bagi para pengikutnya di sana ?
            Menurut David Watson, dalam bukunya yang berjudul Discipleship, hal di atas terjadi karena gereja di kawasan tersebut, dan kebanyakan gereja-gereja barat, telah mengabaikan apa artinya menjadi murid Kristus. Kebanyakan anggota gereja adalah mereka yang sekedar menjadi orang Kristen dan pergi ke gereja, pandai memimpin pujian atau liturgi, pendengar khotbah yang baik, pembaca Alkitab yang rajin atau orang-orang Kristen yang penuh semangat karena mengalami penyegaran rohani. Hal inilah yang menyebabkan orang-orang Kristen di sana tidak mampu memberikan pengaruh yang nyata bagi perubahan sosial di lingkungan sekitarnya, bahkan tidak mampu bertahan menghadapi tantangan jaman yang ada.  
            Keyakinan bahwa Injil atau kekristenan dapat mengubah jaman bukanlah suatu omong kosong. Kita tidak boleh melupakan apa yang terjadi pada abad pertama ketika gereja mula-mula mulai berdiri. Ketika sekelompok orang sederhana yang telah mendedikasikan dirinya selama lebih kurang 3 tahun untuk meninggalkan segala sesuatunya dan mengikut Yesus, dipenuhi oleh Roh Kudus dan membuat kebangunan rohani di Yerusalem. Ketika orang-orang yang mendengar dan menerima kesaksian mereka akhirnya benar-benar mendedikasikan dirinya untuk hidup dalam kebenaran Injil. Melalui merekalah telah terjadi kebangunan rohani terbesar yang pernah dikenal oleh dunia, bahkan kekaisaran Romawi yang besar sekalipun terkena pengaruhnya. Sesungguhnya Injil (baca : karya Kristus) memiliki kuasa yang sangat besar untuk melakukan perubahan yang drastis dalam masyarakat kita ketika pengikut-pengikutnya sungguh-sungguh menghayati hidupnya dan rela membayar harga sebagai murid Kristus. Seorang penganut ajaran Komunis pernah melontarkan suatu tantangan terhadap Kekristenan di dunia barat : Injil memang senjata yang sangat kuat sehingga mampu membendung pengaruh ajaran Marxisme kami, tetapi itu tidak masalah karena pada akhirnya kami juga akan mengalahkan kalian . . . Kami para penganut ajaran Komunis tidak bermain dengan kata-kata. Kami ini orang-orang yang realistis, yang akan berjuang dengan mati-matian untuk mencapai tujuan kami, dan kami tahu bagaimana kami mencapainya . . . Bagaimana mungkin ada orang yang akan percaya kepada otoritas mutlak dari kuasa Injil jika kalian tidak mempraktekkannya, jika kalian tidak membagikannya, dan jika kalian tidak mau berkorban untuknya, baik berkorban waktu maupun uang? Kami sangat yakin dengan ajaran Komunis kami, dan kami siap untuk mengorbankan apapun, bahkan hidup kami . . . tetapi kalian adalah orang-orang yang enggan untuk berjuang dan bekerja keras.
            Apa artinya dipanggil untuk menjadi murid Kristus? Kata murid (Ibrani: limmud, Yunani: mathetes) dalam konteks budaya orang Yahudi adalah sesuatu yang sangat tidak asing. Bagi masyarakat Yahudi kata murid  menunjukkan adanya suatu hubungan antara orang yang mengajar dan orang yang menerima pengajaran dari orang tersebut. Penggunaan ini misalnya dalam Markus 2:18; yang dimaksud dengan murid-murid orang Farisi adalah mereka yang hidupnya sehari-hari tidak lepas dari pengetahuan dan pengajaran yang detil tentang tradisi Yahudi, baik yang tertulis dalam Kitab Taurat maupun yang diajarkan oleh nenek moyang mereka secara lisan. Penggunaan ini juga ada dalam Mat. 9:14; Yoh. 1:35, di mana yang dimaksud murid Yohanes Pembaptis adalah mereka yang menerima pengajaran dari Yohanes Pembaptis dan berkomitmen penuh kepada pengajaran gurunya itu, bahkan rela berselisih paham dengan golongan lain demi mempertahankan apa yang diajarkan oleh gurunya (Yohanes 3:25). Kata mathetes sendiri dalam konteks relasi dengan Tuhan Yesus juga sering digunakan untuk menunjukkan orang-orang yang mengikuti Yesus ke mana Dia pergi (Mat. 10:42; Luk. 6:17; Yoh 6:66), namun demikian kata ini juga dipakai untuk menunjuk kepada 12 muridNya (Mat. 10:1; 11:1), yang tidak hanya pergi mengikuti ke mana pun Tuhan Yesus pergi tetapi yang telah meninggalkan segala sesuatu untuk mengikut Yesus.
            Dietrich Boenhoeffer pernah mengatakan: ketika Yesus memanggil seseorang untuk mengikut Dia, Dia memanggil orang itu datang dan mati demi Dia. Kalimat yang keras ini menyiratkan tentang inti dari pemuridan Kristen yang radikal dan tidak kompromi, walaupun tidak semua orang Kristen dipanggil untuk mati sebagai martir. Ketika Tuhan Yesus  memanggil orang-orang untuk menjadi muridNya, kata yang digunakan adalah Ikutlah Aku, bukan “Ikuti ajaranKu. Itu berarti Tuhan Yesus menantang orang-orang bukan hanya untuk mengikuti Dia tetapi untuk berkomitmen kepadaNya, hidup dengan Dia, belajar bagaimana hidup sebagai muridNya dan menolong orang lain mendengar Kabar Baik yang dibawaNya.

II. Strategi Pembinaan Melalui Pemuridan
            Mencermati apa yang telah dijabarkan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa membina generasi muda,  untuk menjadi murid Kristus yang sesungguhnya adalah suatu tujuan yang tidak bisa digantikan dengan yang lain. Sekarang yang perlu kita renungkan kembali adalah apakah artinya membina seseorang menjadi murid Kristus (Pemuridan) itu. Dalam buku Disciplemakers Handbook (Intervarsity, 1989), disebutkan bahwa Pemuridan adalah suatu proses untuk menolong seseorang untuk membangun hubungan pribadi dengan Yesus, dan memimpin orang tersebut untuk mengaplikasikan imannya itu. Dalam hal ini, pemuridan lebih dari sekedar persahabatan yang dekat dan karib, tetapi memiliki tujuan yang jelas bagi orang yang dibimbing dan melibatkan tindakan-tindakan aktif untuk menolong orang yang dibimbing untuk mengaplikasikan imannya.Dengan ini jelas bahwa kualitas pembinaan seperti ini tidak cukup dipenuhi hanya dengan kegiatan-kegiatan persekutuan besar atau KKR. Karena pemuridan itu adalah suatu proses, maka membutuhkan waktu sekaligus pendampingan yang cukup intensif.
            Perkantas, sebagai lembaga pelayanan  yang diijinkan Tuhan untuk melayani siswa dan mahasiswa di Indonesia, menangkap visi ini dengan melakukan pemuridan dalam bentuk KTB (Kelompok Tumbuh Bersama). KTB adalah sekelompok orang percaya yang terdiri dari 3-6 orang yang mempunyai kerinduan untuk bertumbuh dalam iman dan yang dengan kesepakatan bersama bertemu secara terencana untuk belajar Firman Tuhan, berdoa, membagikan pengalaman rohani dan pergumulan yang sedang dihadapi serta melakukan pelayanan (ekstern dan intern) bersama-sama. Di sini kita melihat bahwa kelompok kecil ini tidak hanya sekedar berkumpul tetapi bertemu dengan kesepakatan dan kesadaran untuk bertumbuh.
            Dalam Alkitab sebenarnya terdapat contoh tentang KTB, sekelompok orang percaya yang memiliki kerinduan untuk bertumbuh dalam kebenaran Firman Tuhan. Kita dapat mengamati kehidupan jemaat mula-mula yang memiliki kelompok-kelompok persekutuan yang bertemu secara rutin di rumah-rumah, meskipun mereka juga tekun berkumpul dalam Bait Allah. Dalam Perjanjian Lama kita mengingat tentang sekelompok anak muda dari Yehuda yang ikut terbuang ke Babel, yaitu Daniel, Hananya, Misael, dan Azarya (Daniel 1:8-17, 3:16), di mana mereka dalam situasi yang terjepit berkumpul dan bersama-sama menetapkan hati untuk mentaati Tuhan Allah dengan resiko apapun. Mungkin kita dapat bertanya dalam hati, bagaimana kita dapat menerapkan pemuridan yang tepat dalam kondisi jaman kita saat ini.
 Ketika berbicara tentang pemuridan, maka kita mendapatkan contoh yang paling tepat dari kehidupan Tuhan Yesus bersama dengan 12 murid-muridNya. Dalam buku Big Book for Small Group,  Jeffrey Arnold menyebutkan adanya 3 prinsip penting dari pemuridan yang dapat ditemukan dalam pemuridan Tuhan Yesus yaitu :
 Pemuridan itu adalah sesuatu yang dikehendaki/diinginkan (Yohanes 15:16)
Pemuridan menuju kepada keserupaan dengan Kristus (Kolose 1:28)
Pemuridan itu dilakukan melalui relasi/hubungan. 
Untuk memenuhi ketiga prinsip tersebut, maka dalam KTB terdapat 4 unsur penting yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh kelompok yaitu :
1.    Pengajaran, merupakan unsur vital untuk menolong seseorang untuk bertumbuh makin serupa Kristus (1Tim. 3:16). Satu-satunya alat yang dapat menolong seseorang untuk makin mengenal Yesus dan mengerti perintah-perintahNya adalah Alkitab. Karena itu sebuah KTB harus memperhatikan bagaimana tempat Firman Tuhan dalam kelompok.
2.    Penyembahan dan doa, bagian yang tidak terpisahkan dari pengajaran, di mana ketika seseorang itu sungguh membuka hati kepada kebenaran firman Tuhan, maka secara otomatis akan bertemu dengan Allah yang layak untuk mendapat penyembahan dan pujian kita. Sebagaimana seorang ayah menginginkan adanya relasi yang intim dan dekat dengan anak-anaknya, demikian juga Bapa kita di sorga menginginkan anak-anakNya untuk datang dan berelasi dekat dengan Dia (Filipi 4:6)
3.    Persekutuan. Lingkungan yang paling efektif untuk menolong sesessorang adalah lingkungan yang penuh dengan kasih, di mana pengajaran dibangun dalam suasana persekutuan bukan suasana mendikte yang kaku. Jika kita mengamati teladan Tuhan Yesus dalam memuridkan para murid, tampak bahwa Tuhan Yesus tidak hanya membagi pengajaran tetapi juga hidupNya, bahkan memberikan nyawaNya untuk mereka sebagai bukti kasihNya (Yoh.15:11 - 15). Inipun juga tampak jelas dalam contoh kehidupan jemaat mula-mula, di mana mereka tidak hanya berkumpul untuk PA tetapi untuk saling menguatkan, saling mendukung dan membagikan apa yang mereka punyai (Kis. 2:4-46; 4:32-35). Ini menjadi salah satu daya tarik yang kuat untuk membawa orang lain percaya kepada Kristus, sehingga jumlah mereka bertambah setiap hari. 
4.    Misi.  Salah satu ciri penting dari seseorang itu bertumbuh menjadi murid Kristus yang tidak boleh diabaikan adalah adanya perubahan sikap dan perilaku dalam relasinya dengan orang lain di sekitarnya. Selain kesungguhan untuk mengaplikasikan kebenaran yang didapatkan dari pemahaman Alkitab, seorang murid Kristus yang sejati juga bertumbuh dalam kasih dan bebannya bagi orang lain, baik sesama orang percaya maupun yang belum percaya. Karena itulah unsur misi ini tidak boleh diabaikan, kecuali jika kita ingin membentuk sekelompok orang-orang Farisi abad 21 yang eksklusif dan gagal memberi pengaruh positif bagi sekitarnya.

III. Kondisi sosial siswa saat ini
Dinamika kehidupan remaja, yang secara khusus diwakili oleh kelompok siswa memang tidak akan pernah berhenti. Komunitas ini memang akan selalu menjadi kelompok yang menarik untuk diamati dan dipelajari. Seiring dengan perubahan jaman, kelompok ini mau tidak mau selalu terpengaruh dan terimbas dengan perubahan jaman yang ada sehingga mereka akan menunjukkan suatu fenomena yang terus-menerus berubah dari waktu ke waktu.
Dalam buku High School Ministry, Mike Yaconelli dan Jim Burns mencatat saat ini terjadi perubahan struktur sosial yang sangat mencolok yang sangat membahayakan remaja, khususnya siswa, yaitu :
1.      Rentannya keluarga inti terhadap disintegrasi atau perpecahan. Pada masa lalu seorang anak remaja atau pemuda dapat mengandalkan keluarga sebagai suatu hubungan yang stabil dan aman untuk menjadi tempat mereka berlindung. Tetapi saat ini hal tersebut tidak selalu didapatkan oleh seorang anak. Perceraian menjadi sesuatu yang sangat mungkin terjadi dalam keluarga-keluarga saat ini, khususnya di kota besar.
2.      Pudarnya standar moralitas. Dalam bukunya Megatrends, John Naisbitt mengatakan bahwa di jaman ini kita hidup dalam masyarakat yang tidak lagi menghadapi pilihan moral hitam atau putih, benar atau salah.  Sekarang ini isu tentang mana yang benar dan mana yang  salah menjadi sesuatu yang dianggap tidak relevan. Sekarang yang dipakai untuk menentukan sesuatu benar atau salah bukan nilai moral itu sendiri, tetapi  kecenderungan atau kehendak pribadi.
3.      Pemujaan terhadap kemajuan teknologi. Pandangan yang berkembang di masyarakat bahwa teknologi dapat membawa kita kepada kehidupan yang lebih baik telah membuat masyarakat kehilangan sensitifitas untuk mengkritisi setiap perkembangan teknologi yang baru. Hal ini pun terjadi pada kaum remaja, khususnya siswa. Mereka menjadi pasar yang menguntungkan bagi perkembangan teknologi, di mana mereka menjadi obyek pasif yang menikmati kemajuan teknologi yang ada, tanpa mampu melihat dampak atau pengaruh dari perkembangan teknologi itu sendiri.
4.      Munculnya konsumerisme. Paham konsumerisme mengajarkan bahwa kepuasan dan kebahagiaan hidup dapat diperoleh dengan membeli barang dan memanfaatkannya. Remaja dan pemuda saat ini tidak hanya menerima konsep itu, tapi mereka mulai berpikir bahwa itulah diri mereka. Hal ini menyebabkan mereka juga melihat dan memperlakukan orang lain seperti barang, mereka menilai harga diri seseorang dengan melihat barang yang dimiliki dan penampilan luarnya.
5.      Pemujaan terhadap diri sendiri. Adapun 4 karakteristik yang mengkhawatirkan dari pemujaan terhadap diri sendiri adalah :
a.       Obsesi yang sangat besar terhadap kepuasan diri.
Saat ini banyak remaja dan pemuda menilai hubungan mereka, kegiatan mereka dan nilai-nilai mereka dengan tolok ukur seberapa banyak hal itu menyenangkan atau menguntungkan mereka. Kenikmatan dan keuntungan menjadi dasar mereka dalam mengambil keputusan, bukan nilai-nilai dari keputusan itu sendiri.
b.      Kehilangan sudut pandang yang sehat.
Hal ini membuat remaja dan pemuda tidak mampu melihat apa yang penting dan apa yang tidak penting, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak.
c.       Hilangnya kemauan untuk berempati.
Dalam tekanan dan tuntutan studi yang berat dan keinginan untuk memuaskan diri sendiri, membuat mereka menjadi orang-orang yang egosentris berpusat pada diri sendiri. Keinginan untuk maju dan menjadi yang pertama, seiring dengan tuntutan sosial yang ada, menyebabkan mereka kehilangan kepekaan terhadap orang lain sehingga tidak mampu untuk berempati dan bersimpati terhadap orang lain. Pendidikan yang ada sekarang lebih memusatkan pada bagaimaan mereka menjadi orang-orang yang lebih pandai, lebih hebat, daripada mengajarkan mereka untuk lebih perduli dengan orang lain.
6.      Kehilangan nilai diri dan makna hidup. Hal ini menyebabkan siswa tidak dapat menemukan tujuan hidupnya karena mereka hanya tahu bahwa nilai diri mereka adalah apa yang sekarang ini sedang mereka kerjakan. Hal yang penting bagi mereka adalah menjadi seperti apa yang dituntut pada diri mereka saat ini.
Menurut Mike Yaconelli dan Jim Burns keenam hal di atas akan memberikan dampak yang sangat kuat kepada siswa  yaitu :
1.    Siswa mengalami stress dan kegelisahan yang lebih besar. Hal-hal di atas baik secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan tuntuan-tuntutan kepada mereka dan akibatnya mereka merasa lebih tertekan dan gelisah. Karena itu tidak mengherankan kalau saat ini kita mendengar banyak siswa yang terjerat dengan narkoba, alkohol, seks bebas dan  sejenisnya. Itu semua menunjukkan usaha mereka untuk melepaskan diri dari rasa gelisah mereka akibat stress yang mereka rasakan.
2.    Aktivitas atau kesibukan siswa yang makin meningkat. Ini adalah dampak yang tidak bisa dihindari dari lingkungan yang lebih mengutamakan penampilan luar dari pada nilai-nilai. Karena adanya tuntutan untuk menjadi yang terbaik dan menguasai banyak hal, maka mereka didesak untuk menambah kegiatan mereka untuk memenuhi tuntutan itu. Maka tidak mengherankan kalau saat ini kita tidak mudah untuk mengundang seorang siswa untuk  ikut dalam suatu kegiatan.
3.    Kebergantungan siswa terhadap relasi antar teman. Bagi mereka hubungan persahabatan menjadi sesuatu yang sangat vital karena dalam hubungan itulah mereka menemukan rasa aman dan kehangatan, di mana mereka merasa diterima dan diperlakukan sebagai pribadi. Mereka akan lebih mudah untuk mempercayai teman-teman sebaya mereka daripada orang-orang dewasa.
4.    Siswa sangat haus akan pengalaman. Budaya teknologi canggih yang berkembang dalam masyarakat saat ini telah menggantikan perilaku manusia yang  tidak terduga dengan perilaku yang terkomputerisasi  lebih mudah ditebak dan dikendalikan. Mesin dan komputer tidak hanya menggantikan manusia tetapi juga pengalaman manusia (human experience). Hal ini mengakibatkan pengalaman manusia itu kehilangan makna sehingga menimbulkan suatu kehausan yang sangat dalam akan realitas pengalaman (human experience). Ini menyebabkan mereka sangat menyukai aktivitas dan kegiatan yang banyak menawarkan pengalaman/hal-hal baru bagi mereka.

IV. Cara pandang terhadap kesibukan siswa
             Tidak jarang saat ini kita menjumpai para pembimbing siswa atau remaja mengeluh karena sulitnya mereka diajak untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan yang mereka adakan karena kesibukan para remaja atau siswa tersebut. Dulu mungkin kita dapat sedikit merasa senang ketika melihat seorang remaja atau siswa yang aktif mengikuti pembinaan yang kita lakukan, bahkan tidak jarang kita berani berasumsi bahwa anak tersebut mempunyai kerohanian dan komitmen yang baik.
            Saat ini hal tersebut tidak lagi dapat dipakai sebagai acuan. Kita tidak dapat menilai keseriusan atau komitmen seorang siswa atau remaja untuk bertumbuh dari banyaknya  aktivitas rohani yang diikutinya.
            Menghadapi fenomena ini, kita harus mulai mencoba suatu pola pikir yang baru dalam strategi pelayanan siswa :
1.      Kita harus menerima kenyataan bahwa siswa pada jaman sekarang ini lebih aktif dibandingkan dengan jaman dahulu. Sebaiknya kita jangan sengaja bersaing dengan kegiatan yang mereka ikuti atau menambah jumlah kegiatan mereka. Dalam hal ini kita lebih berperan untuk menolong mereka memilih kegiatan yang tepat bagi mereka.
2.      Semakin tinggi usia siswa, pelayanan kita harus makin bersifat pribadi (personal). Kita sepertinya harus siap sedia memberi waktu ekstra karena kita yang cenderung mengikuti waktu mereka, dan bukan mereka yang mengikuti waktu kita. Makin banyak sekolah atau siswa yang dilayani, memang makin banyak waktu yang harus disediakan.
3.      Sebaiknya kita tidak kaku dengan jadwal kegiatan yang kita buat, terutama jika jadwal itu bertabrakan dengan kegiatan sekolah yang memang penting.
4.      Sebagai pelayan siswa, kita juga harus menyadari bahwa keterlibatan mereka dalam kegiatan sosial dan akademik di sekolah juga hal yang penting, sehingga dalam kasus-kasus tertentu kita mungkin perlu untuk mendorong mereka tidak mengikuti kegiatan rohani tertentu dan memilih kegiatan di sekolah tersebut.
Dengan melihat kondisi perkembangan siswa yang ada, sebenarnya KTB merupakan suatu strategi pelayanan yang sangat efektif. Dalam KTB pelayanan lebih bersifat pribadi (personal). Dengan perkembangan situasi yang ada kita dapat menyimpulkan bahwa siswa sangat membutuhkan adanya lingkungan yang dapat menerima dia dan memberi rasa aman.
Kita ketahui KTB, adalah suatu bentuk pembinaan di mana yang menjadi wadahnya adalah community . Dalam hal inilah KTB justru makin relevan di tengah dinamika dunia siswa yang ada saat ini. Pembentukan karakter dan pengubahan perilaku yang dilakukan melalui pendalaman firman Tuhan akan lebih mudah dilakukan ketika suasana penerimaan itu nyata. Siswa tidak merasa dirinya dituntut, tetapi justru termotivasi. Ketika mereka gagal, mereka tahu bahwa ada orang-orang yang akan menerima dan mendukung dirinya. Dalam hal inilah, mereka dapat makin mengenal dan merasakan kasih karunia Allah yang dinyatakan melalui Kristus.  
Hal yang penting yang harus dilakukan sebagai seorang pemimpin KTB, berkaitan dengan kesibukan siswa saat ini, adalah menolong mereka untuk dapat memilih kegiatan yang tepat dan efektif dan memahami pentingnya KTB itu. Penting sekali adanya jaminan bahwa KTB dapat memenuhi kebutuhan mereka akan adanya lingkungan yang menerima dan mengasihi mereka serta mendukung mereka untuk bertumbuh dalam Kristus.  Pemimpin KTB harus secara kreatif membuat KTB benar-benar hidup, di mana kebenaran-kebenaran Alkitab bukan hanya berhenti sebagai konsep atau teori tetapi menjadi pengalaman hidup yang nyata. 
Beberapa hal praktis yang dapat dilakukan oleh seorang pemimpin KTB berkaitan dengan kesibukan siswa adalah :
1.    Ketekunan untuk selalu mengingatkan janji pertemuan KTB yang telah disepakati sebelum  pertemuan KTB selanjutnya berlangsung.
2.    Mendorong adik KTB untuk berkonsultasi dengan pemimpin ketika ada jadwal kegiatan yang bertabrakan dengan jadwal KTB. Kita dapat menolong dia untuk mengambil keputusan yang tepat.
3.    Jika ada anggota KTB yang tidak hadir dalam KTB tanpa pemberitahuan, pemimpin sebaiknya berinisiatif untuk menanyakan penyebab ketidakhadirannya, jika ada suatu kasus yang cukup berat berkaitan dengan jadwal kegiatannya, maka kita perlu menyediakan waktu untuk bertemu secara pribadi dengan dia, menolong dia untuk dapat mengambil keputusan yang tepat berkaitan dengan kesibukannya.
4.    Sebagai pemimpin lebih baik kita menjelaskan pentingnya komitmen terhadap jadwal pertemuan KTB dalam membangun persekutuan (fellowship)  dalam KTB, dari pada berbicara tentang prioritas mereka untuk mengikut Yesus. Hal tersebut akan dengan dengan sendirinya mudah untuk mereka lakukan ketika mereka sudah merasa menjadi bagian dalam kelompok.

DAFTAR PUSTAKA :
1.      Big Book on Small Grou; 1992; Jeffrey Arnold; Intervarsity Press. 
2.      Discipleship, 1981; David Watson; Shalom Trust.
3.      Disciplemakers™ Handbook; 1989; Alice Fryling; Intervarsity Press.
4.      High School Ministry; 1986; Mike Yaconelli and Jim Burns; Zondervan Publishing House.
5.      Kelompok Tumbuh Bersama (makalah); Ev. Harry Limanto M.Div.
6.      Small Group Leaders™ Handbook The Next Generationâ; 1995;  Jimmy Long, Ann Beyerlein, Sara Keiper, Patty Pell, Nina Thiel and Doug Whallon; Intervarsity Press.


Komentar