PERBEDAAN
UNTUK DIRAYAKAN TIGA TANTANGAN UMAT KRISTEN SEPUTAR ISU RAS DAN GENDER
oleh
Samuel Tumanggor
Ras
dan gender telah menjadi topik hangat di dunia mutakhir dalam era globalisasi.
Keduanya makin sering dibincangkan seiring pembangunan masyarakat sejagat
secara umum beralih dari pendekatan keamanan kepada pendekatan kesejahteraan.
Sebagai kenyataan perbedaan yang lekat pada setiap masyarakat, ras dan gender
selalu dikaitkan dengan keadilan sosial. Artinya, di mana masyarakat
("sosial") berlaku adil terhadap ras dan gender yang berbeda, di situ
ada kesejahteraan.
Kita
bisa memahami ras menurut pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia:
“golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik; rumpun bangsa."1 Sedang gender bisa
kita pahami menurut pengertian Lampiran Inpres nomor 9 tahun 2000: “Gender
adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan
perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan
budaya masyarakat.”2
Kalau
pengertian-pengertian itu kita tinjau secara Kristiani, kita maklum bahwa
perbedaan golongan/rumpun bangsa serta laki-laki dan perempuan digariskan Allah
sendiri. Perbedaan itu seharusnya dirayakan—disyukuri dan dijadikan pangkal
sukacita—oleh setiap masyarakat di bumi sebagai anugerah Allah yang unik dan
indah. Namun, karena dosa telah merasuki bumi, perbedaan justru kerap jadi
pencetus pertikaian atau penindasan. Masyarakat berlaku tak adil terhadap ras
dan gender yang berbeda, maka sejahtera pun luput darinya.
Sebagai
bagian dari masyarakat dunia dan bangsa, umat Kristen atau "Gereja"
tak boleh abai terhadap isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat.
Sesungguhnya, isu-isu sosial memberi kita peluang untuk menjajalkan fungsi
“garam dan terang” lewat sumbangan pikiran atau kiprah kita. Dalam hal ras dan
gender, Gereja Indonesia dapat mengerahkan fungsinya dengan menyambut tiga
tantangan besar untuk: 1) memahami isu ras dan gender sesuai dengan konteks
Indonesia; 2) memperkembangkan wawasan Alkitabiah tentang isu ras dan gender;
dan 3) menerapkan wawasan Alkitabiah tersebut dalam praktik.
TANTANGAN
PERTAMA: MEMAHAMI ISU RAS DAN GENDER SESUAI DENGAN KONTEKS INDONESIA
Tantangan
ini saya taruh di tempat pertama sebab sepasti kata atau konsep ras dan gender
kita impor dari luar negeri (dalam hal ini, Barat), sudut pandang atau konteks
luar negeri (Barat) pun tak pelak lagi menjadi muatannya. Dan sayangnya, kita
acap kali malas atau lalai menapis dan mengolahnya supaya lebih tepat guna bagi
masyarakat kita. Jadi, penting sekali kita cermati secara arif duduk perkara
isu ras dan gender dalam masyarakat Indonesia.
Secara
umum dapat kita katakan bahwa masyarakat Indonesia tidak dibebani masalah ras
dan gender yang akut. Bukannya tidak ada masalah, tetapi secara umum tidak
akut. Hal ini menjadi terang sewaktu kita cerminkan masalah ras dan gender di
Indonesia terhadap masalah ras dan gender di dunia Barat.
Dalam
hal ras, sejak dulu penduduk Nusantara dikenal sebagai orang yang sangat
terbuka kepada bangsa lain. “Rumpun bangsa” tak pernah jadi masalah bagi kita.
Leluhur kita, para saudagar-pelaut yang makmur itu, bergaul dan berdagang
dengan semua bangsa—dari Asia (Tenggara, Timur, Selatan, Barat), Afrika,
Eropa—secara seharkat dan semartabat. Sejarahwan Asia Tenggara, Anthony Reid,
menulis, “Budaya Melayu maritim pesisir Asia Tenggara sangat beragam secara
etnis, sangat terbuka terhadap pengaruh eksternal, sehingga membuatnya menjadi
tidak eksklusif.”3 Justru gaya monopoli dagang ala Eropalah yang merusak
keseharkatan itu dan memancang rasisme di Nusantara dengan menjadikan leluhur
kita warga kelas tiga di tanah air sendiri (warga kelas satu adalah orang
Barat, warga kelas dua adalah orang Timur lain seperti Cina, Arab, India).
Rasisme
era penjajahan adalah beban bangsa-bangsa Barat sampai hari ini. Setelah sukses
menaklukkan banyak wilayah di bumi, mereka mulai berpikir serong tentang
keunggulan bangsa-bangsa kulit putih atas bangsa-bangsa kulit “berwarna.” Ini
menetaskan rasisme ilmiah (atau, rasisme biologis) yang mengerahkan berbagai
metode dan temuan ilmiah untuk mengesahkan cara pandang rasis. Wujudnya kentara
dalam propaganda Nazi di Jerman, “hukum Jim Crow” tentang pemisahan ras di AS
Selatan, politik apartheid di Afrika Selatan, atau “kebijakan kulit putih Australia.”
Ide-ide gila macam itu tak pernah terlintas dalam pikiran orang Indonesia.
Memang
di Indonesia masalah ras sesekali meletup, baik antara warga pribumi dengan
non-pribumi maupun antara sesama warga pribumi. Tetapi alasannya bukanlah
rasisme ala Barat. Di sini tak pernah digubah teori (dan dipercayai) bahwa
suku/etnis tertentu kalah unggul secara alami sehingga perlu dibasmi atau
dipinggirkan, atau bahwa warna kulit tertentu menandakan kemuliaan atau
kutukan. Kalaupun ada sengketa akibat dominannya suku(-suku) tertentu atas
suku(-suku) lain di tingkat nasional atau daerah, “ciri-ciri fisik” bukanlah
pencetusnya. Isu Melayu versus Melanesia diembuskan sebagian warga Papua yang
ingin lekang dari Indonesia, tetapi orang Alor dan Ambon yang juga Melanesia
tenang-tenang saja berbakti kepada ibu pertiwi Indonesia. Orang Ambon malah
menjadi salah satu sokoguru penting yang mendirikan negara ini.
Warga
minoritas non-pribumi di Indonesia pun umumnya hidup mapan, berbeda dengan
warga minoritas kulit hitam dan (pribumi!) kulit merah di AS. Kalaupun orang
non-pribumi Indonesia terkadang dipersulit memasuki bidang tertentu, mereka
juga terkadang mempersulit karir orang pribumi di perusahaan/pabrik mereka atau
di gereja tempat suku mereka dominan. Jadi, ada diskriminasi yang timbal balik.
Sebagai tambahan, sebagian orang non-pribumi bahkan merasa lebih tinggi
kelasnya dari orang pribumi—terima kasih kepada penjajah Belanda yang telah
menata kelas-kelas di masa lampau!
Ya,
rasisme ada di Indonesia, tetapi tak pernah sampai membuat toilet
atau tempat duduk kendaraan umum yang terpisah berdasarkan ras ala AS Selatan
masa “Jim Crow.” Tak pernah sampai membiakkan, katakanlah, Klan Kulit Coklat
atau Bangsa-bangsa Melayu yang anti suku/etnis lain seperti Ku Klux Klan, Aryan
Nations, dan sederet kelompok supremasi kulit putih lainnya. Tak pernah sampai
membangkitkan Martin Luther King, Jr. versi Indonesia yang berjuang dan mati
demi persamaan hak ras minoritas. George Fredrickson, profesor AS perintis
studi rasisme, menganalisis dengan tepat, “Rasisme mempunyai lintasan historis
dan terutama, kalau bukan secara eksklusif, merupakan produk Barat”
(tekanan oleh saya).4
Dalam
hal gender, yang lazimnya lebih menyoroti soal peran kaum wanita, para srikandi
Indonesia seperti R.A. Kartini dan Maria Walanda-Maramis diberkati ide-ide
Barat yang menjebol tradisi pengungkung wanita. Feodalisme di Indonesia, bahkan
tafsiran agama, memang kerap memasung kaum perempuan, tetapi bukan berarti
sejarah perempuan Nusantara melulu seperti itu. Jejak-jejak penghargaan tinggi
kepada wanita dan perannya masih mudah dilacak.
Ambil
contoh kata “perempuan.” St. Mohammad Zain, tokoh kamus Indonesia,
menerangkannya berasal dari kata empu, “tuan.” Per-empu-an berarti “bangsa
empu-empu = pertuanan, bangsa tuan-tuan,”5 dan ini mengisyaratkan takzim
besar kepada kaum wanita. Tentulah budaya Minangkabau yang matrilineal (“garis
ibu,” menunjukkan penghormatan kepada per-empu-an) serta budaya Alor dan
Wemale-Seram yang mengandung unsur matrilineal bersulang girang di depan makna
itu.
Lembar
sejarah Nusantara pun bertutur tentang para pemimpin wanita yang mashur di masa
silam: Tumanurunga ri Tamalate, penguasa Gowa yang mula-mula; Ratu Sima dari
Kalingga; Ratu Ilah Nur dari Pasai; keempat sultanah Aceh (Safiatuddin,
Nakiatuddin, Zakiatuddin, Zainatuddin) dan para pemimpin barisan tempur Aceh
(Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, dll); serta ratu-ratu Bone dan Luwu, di
antaranya I Maneng Arung Data yang memimpin negara-negara Bugis berperang
melawan Belanda. Presiden Megawati di masa kini, dan juga Menteri Sri Mulyani,
Laksamana Pertama Christina Rantetana, dan Gubernur Ratu Atut Chosiyah,
hanyalah penerus dari tradisi Nusantara yang tak segan memercayakan
kepemimpinan kepada wanita. (Sebagai catatan, dalam 230 tahun lebih sejarahnya,
negara AS belum pernah sekali pun dipimpin per-empu-an.)
Betul,
ketidakadilan terhadap wanita ada di Indonesia. Budaya feodal,
wawasan patriarki yang kaku, poligami, kawin kontrak, tindak kekerasan, dsb
banyak merintangi peran wanita Indonesia. Namun, dapat kita nilai pula, bahkan
secara Kristiani, bahwa pada umumnya pola dan pandangan tentang hubungan
pria-wanita di Indonesia masih sehat.
Di
sini peran pria sebagai kepala rumah tangga masih dijunjung tinggi dan
perbedaan fungsi pria-wanita masih diakui secara wajar. Tidak marak tuntutan
untuk menghapuskan setiap perbedaan antara pria dan wanita ala feminisme Barat
yang radikal. Tidak ramai anjuran agar wanita merdeka dari agama dan pranata
pernikahan (yang dicap melestarikan budaya patriarki penindas
wanita—sampai-sampai kata ganti Inggris he, “dia” maskulin, untuk Allah
pun diganti dengan she, “dia” feminin, sebagai tanda berontak terhadap
budaya patriarki). Tidak gaduh seruan kebebasan seksual dan hak aborsi untuk
kaum wanita dan tidak riuh penistaan terhadap peran mulia ibu rumah tangga.
Jadi,
selepas mencermati keadaan di Indonesia, kita dapat melucuti muatan-muatan
asing dalam konsep ras dan gender yang tidak baik atau tidak
kena-mengena dengan masyarakat kita. Seperti R.A. Kartini, kita harus
tetap terbuka terhadap ide-ide luar negeri sambil celik akan keadaan dalam
negeri. Saya kira sudah waktunya kita ramu sendiri konsep ras dan gender
menurut potensi-potensi baik yang kita miliki (seperti terpapar di atas),
alih-alih terus mengutip atau membebek konsep asing. Sungguh rancak, bukan,
jika kita bisa menyumbangkan kepada dunia ide-ide bagus untuk menyikapi isu ras
dan gender berdasarkan pengalaman baik masyarakat kita? Masyarakat Barat, yang
dibebani rasisme dan feminisme radikal, pasti bisa diberkati pula olehnya.
TANTANGAN
KEDUA: MEMPERKEMBANGKAN WAWASAN ALKITABIAH TENTANG ISU RAS DAN GENDER
Setelah
konteks Indonesia kita kuasai, kita harus memperkembangkan—mengajukan dan
memajukan—wawasan Alkitabiah di tengah wawasan-wawasan lain tentang ras dan
gender yang bersemi di Indonesia. Tantangan kedua ini pada hakikatnya untuk
membuktikan bahwa wawasan Alkitabiah baik bagi umat manusia.
Wawasan
Alkitabiah selalu mendorong kita merayakan perbedaan ras dan gender. Batin kita
bergemar, misalnya, mendengar doa khidmat pemazmur di masa Perjanjian Lama:
“Kiranya bangsa-bangsa bersyukur kepada-Mu, ya Allah; kiranya bangsa-bangsa
semuanya bersyukur kepada-Mu” dan “Semoga anak-anak lelaki kita
seperti tanam-tanaman yang tumbuh menjadi besar pada waktu mudanya; dan anak-anak
perempuan kita seperti tiang-tiang penjuru, yang dipahat untuk bangunan
istana!” (Mzm. 67:4; 144:12, penekanan oleh saya).
Hati
kita pun tergetar mendengar ajaran luhur Rasul Paulus di masa Perjanjian Baru:
“Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat
manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim
bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka” dan “Dalam Tuhan tidak ada
perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan.
Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki
dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah” (Kis. 17:26;
1 Kor. 11:10-11, tekanan oleh saya).
Kita
segera paham bahwa perbedaan golongan/rumpun bangsa serta laki-laki dan
perempuan berasal dari Allah, ada oleh Allah, dan diperuntukkan bagi Allah.
Genaplah apa yang biasa saya sebut “Lingkaran Tuhan”: “Segala sesuatu adalah
dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai
selama-lamanya!” (Rom. 11:36). Perbedaan itu baik, harus diterima dan
disyukuri, dan ada untuk saling melengkapi.
Sebagai
contoh, dalam hal ras, kita lihat betapa semarak dan lengkapnya dunia karena
bangsa Kanaan/Fenisia menyumbangkan abjad (a,b,c,d, dst berakar dari abjad
Kanaan); bangsa Hindu dan Arab menyumbangkan angka (0,1,2,3, dst); bangsa Cina
menyumbangkan kompas dan kertas; bangsa Yunani menyumbangkan filsafat;
bangsa-bangsa Eropa menyumbangkan teknologi mutakhir; bangsa-bangsa kulit hitam
menyumbangkan musik yang “hidup”; bangsa Indonesia menyumbangkan batik dan
ikat; dst.
Dalam
hal gender, kita lihat, misalnya, betapa lancar kitaran roda kehidupan di dunia
karena pria mampu melaksanakan kerja-kerja berat mengolah bumi dan wanita mampu
melahirkan penerus-penerus umat manusia—semua sesuai dengan kapasitas jasmani
masing-masing. Mustahil peran dan fungsi mereka disetarakan dalam segala hal.
Fakta ini bukan saja ditandaskan Alkitab tetapi juga akal sehat. Di dunia olah
raga, contohnya, kita asyik menonton tarung ganda campuran dalam bulu tangkis
atau tenis. Tetapi tak ada asyiknya menonton tunggal/ganda pria melawan
tunggal/ganda wanita—apalagi dalam sepakbola dan tinju! Demikianlah ada tempat
di mana peran pria dan wanita bisa setara, dan ada tempat di mana kesetaraan
semacam itu tidak relevan.
Jadi,
baik Alkitab maupun akal sehat mewawas bahwa perbedaan itu harus ada, dan harus
ada untuk saling melengkapi. Umat Kristen harus memperkembangkan wawasan ini,
berikut simpulan-simpulan luasnya, di antara wawasan-wawasan lain tentang ras
dan gender yang beredar di Indonesia. Wawasan-wawasan lain itu sendiri—dari
Barat atau dari agama lain—harus kita telaah dengan patokan ajaran Alkitab.
Pasti ada persamaan dan perbedaan. Yang sama kita tegaskan, yang beda kita
jelaskan, lalu yang baik dan benar kita anjurkan. Dengan begitu, wawasan
Alkitabiah disampaikan secara tepat guna kepada masyarakat.
Saya
kira inilah saatnya kita melihat banyak pendekar keadilan sosial yang
berwawasan Alkitabiah tampil di panggung pemerintahan atau LSM. Kegiatan
pemuridan Kristen harus mencari, menempa, dan memasok orang-orang ini, yang
cakap, berbakat, dan secara khusus terpanggil melayani Allah di ranah keadilan
sosial. Mereka, mewakili Gereja, tidak tampil untuk memaksakan wawasan
Alkitabiah kepada masyarakat, tetapi untuk menghadirkannya sedemikian rupa
sehingga khasiatnya dapat menjawab kerinduan manusia yang terdalam.
TANTANGAN
KETIGA: MENERAPKAN WAWASAN ALKITABIAH ITU DALAM PRAKTIK
Akhirnya,
kita harus berupaya menangani masalah ras dan gender yang memang nyata dalam
masyarakat kita. Selain memasok para pendekar keadilan sosial untuk bangsa dan
dunia, Gereja Indonesia bisa merintis dan meneladankan penanggulangan
ketidakadilan sosial, dimulai dari kalangan sendiri. Itu akan memenuhi
tantangan ketiga untuk mempraktikkan wawasan Alkitabiah tentang isu ras dan
gender.
Dalam
hal ras, peran Gereja amat sangat strategis. Sebagai contoh, kita bisa berbuat
banyak untuk menghadapi isu-isu “pribumi dan non-pribumi” atau bahkan “Melayu
dan Melanesia,” mengingat banyak orang “non-pribumi” dan Melanesia merupakan
saudara-saudara seiman kita. Dialog terbuka dan berbagai kajian dapat digelar
demi meretas dan membereskan sentimen-sentimen terpendam.
Selain
itu, jika perbedaan “rumpun bangsa” memang ada untuk dirayakan, Gereja harus
mampu menggugah kebanggaan—bukan kesombongan—akan jati diri/budaya suku dan
bangsa. Kebanggaan ini harus ditumpukan pada konsep diri yang benar sehingga
dapat memacu etos kerja, etos ekonomi, kemandirian, kekreatifan, dsb. Dampak
semuanya adalah kemajuan suku dan bangsa. Hal ini amat penting, terlebih kalau
kita ingat “kantong-kantong Kristen” yang sampai sekarang tetap
tertinggal/miskin akibat, di antaranya, etos hidup warga Kristen yang payah.
Dan
penting juga kita insaf dari “rasisme Kristen” yang kita lestarikan secara
sadar/tidak sadar. “Rasisme Kristen” ini nyata dalam sikap
kebarat-baratan/keasing-asingan yang secara halus atau blak-blakan
mengungkapkan bahwa Allah lebih mungkin atau lebih pas didekati/dimuliakan
lewat budaya, musik, arsitektur, bahasa, pola pikir, teologi Barat/asing. Tak
salah lagi, ini warisan Pekabaran Injil (PI) era penjajahan, ketika
“lembaga-lembaga [PI Eropa, pen.] peka terhadap rasa superioritas
orang-orang Barat terhadap bangsa-bangsa non-Barat. Orang-orang Indonesia yang
hendak masuk Kristen sebaiknyalah sekaligus menerima peradaban Barat dan
kekuasaan negara-negara Barat.”6
Kalau
bukan sekarang, kapan lagi mau kita sudahi keterjajahan dan “rasisme Kristen”
itu?
Dalam
hal gender, Gereja Indonesia harus celik dan prihatin terhadap isu-isu seperti
peluang pendidikan, perubahan budaya masyarakat (yang mempengaruhi peran dan
tanggung jawab pria dan wanita), poligami, nikah bawah tangan, kekerasan dalam
rumah tangga, gizi ibu, dsb. Corong mimbar dan mata pena harus dibidikkan
kepada semua masalah itu untuk menyingkapkan, menggugah kesadaran, dan
mengusulkan jalan keluar. Pribadi-pribadi Kristen pun harus diterjunkan untuk
membantu mengatasinya sesuai dengan kapasitas dan panggilan masing-masing.
Sebagai
contoh, ketika Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 2006 menunjukkan rasio
buta huruf wanita dua kali lipat dari pria (10,3%:4,8%),7 orang Kristen
bisa mengadakan atau terlibat dalam kampanye berantas buta huruf, mulai dari
kantong-kantong dan keluarga-keluarga Kristen. Rasio itu muncul akibat peluang
pendidikan yang lebih kecil bagi wanita. Pola pikir lama, yang tidak
mementingkan pendidikan anak perempuan “karena anak perempuan nantinya akan menjadi
milik orang lain dan hanya akan menjadi ibu rumah tangga,”8 masih cukup
kental di Indonesia, istimewanya di kampung-kampung. Jadi, orang Kristen bisa
mengadakan atau terlibat dalam penyuluhan-penyuluhan untuk mencerahi pikiran
para orang tua.
Namun,
yang terpenting dari semua adalah mengokohkan wawasan Alkitabiah di antara umat
Kristen sendiri. Sedih kita saksikan, istimewanya di kota-kota, orang-orang
Kristen yang meminati atau menggeluti ihwal keadilan sosial tanpa wawasan
Alkitabiah. Karena jarang atau tak pernah diberitahu—secara menarik dan sesuai
dengan konteks hidup mereka—mereka pun maju berjuang dengan bekal wawasan lain
yang mungkin malah bertentangan dengan wawasan Alkitabiah. Ini harus kita
sudahi pula dalam masa hidup kita.
MENUNAIKAN
AMANAT PALING AGUNG
Apabila
ketiga tantangan besar itu disambut umat Kristen Indonesia, niscaya masyarakat
akan lebih mengecap “garam” dan “terang” kita. Sumbangan pikiran atau kiprah
kita akan turut memelihara potensi bangsa yang tahu menghargai perbedaan ras
dan gender, menjaganya dari rongrongan, dan membenahinya di arus perubahan
zaman. Di sinilah keadilan sosial mewujud—walau tak pernah sempurna di dunia
ini—dan kesejahteraan sosial mengikutinya. Di sinilah keberadaan kita jadi
bermakna di tengah bangsa dan ide-ide luhur Kristen tidak tertahan dalam
lingkungan sendiri.
Tetapi
sumbangan pikiran atau kiprah kita itu melampaui sekadar jajalan fungsi “garam”
dan “terang.” Di atas segalanya, itu menunaikan amanat paling agung untuk
mengasihi Allah dan sesama. Baik sesama, yang berbeda ras dan gender, maupun
Allah, yang membedakan ras dan gender, sama-sama disukakan. Dan kesukaan
keduanya memancar selagi perbedaan itu dirayakan di bumi Allah dengan
menggenapi kerinduan wawasan Alkitabiah: “Biarlah keadilan bergulung-gulung
seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Amo. 5:24).
Catatan
akhir
1 Kamus
Besar Bahasa Indonesia/Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, edisi 3. Jakarta: Balai
Pustaka, 2005, hal. 932.
2 Lampiran
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000, angka I.3.
3 Anthony
Reid. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: Sebuah Pemetaan. Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia, 2004, hal. 205.
4 George
M. Fredrickson. Rasisme: Sejarah Singkat. Yogyakarta: BENTANG, 2005, hal.
10.
5 St.
Mohammad Zain. Kamus Moderen Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Grafica,
tanpa tahun, hal. 571.
6 Thomas
van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860.
Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2000, hal. 156.
7 Ni
Luh Arjani. “Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan Tantangan Global” dalam INPUT:
Jurnal Ekonomi dan Sosial vol. 1 no. 2 Agustus 2008, hal. 115.
8 Ni
Luh Arjani, hal. 115.
Tentang
Penulis
Nama
Lengkap
Samuel
Tumanggor
Tempat/tahun
lahir
Prabumulih-Sumsel/1975
Pendidikan
terakhir
S-1
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan di Institut Teknologi Nasional-Bandung
(lulus tahun 1999)
Pekerjaan
Penyunting
dan pembaca teologi untuk Yayasan Bhineka Karya dalam projek terjemahan dinamis
Alkitab Perjanjian Lama (2003-2008).
Penerjemah
dan pengadaptasi untuk Lembaga Alkitab Indonesia dalam projek Pedoman
Penafsiran Alkitab (2008-sekarang).
Penerjemah
buku:
Community
Development and Discipleship (Gary T. Hipp, sudah diterbitkan oleh Kalam
Hidup, 2005)
The
Discipline of Grace (Jerry Bridges, sudah diterbitkan oleh Navpress &
Pionir Jaya, 2007)
Chosen (Ginger
Garret, sudah diterbitkan oleh Pionir Jaya, 2007)
Walking
from East to West (Ravi Zacharias & R.S.B. Sawyer, sudah diterbitkan
oleh Pionir Jaya, 2008)
More
Than Meet the Eye (Richard Swenson, sudah diterbitkan oleh Pionir Jaya,
2008)
The
Fruitful Life (Jerry Bridges, sudah diterbitkan oleh Pionir Jaya, 2008)
Loving
God (Charles Colson, sudah diterbitkan oleh Pionir Jaya, 2009)
The
Faith (Charles Colson & Harold Fickett, sudah diterbitkan oleh Pionir
Jaya, 2009)
Theophostic
Prayer Ministry: Basic Training Seminar Manual (Edward M. Smith)
The
Message of Leadership (Eugene H. Peterson/Daniel Southern)
Why
Beauty Matters (Karen Lee-Thorp & Cynthia Hicks)
Church
Without Walls (Jim Petersen, sudah diterbitkan oleh Pionir Jaya, 2009)
Business
for the Glory of God (Wayne Grudem)
Penulis
buku:
Demi
Allah dan Demi Indonesia: Suatu Pergulatan tentang Ihwal Kenasranian dan
Kebangsaan (2006)
Orang
Nasrani, Pandu Bangsamu! [Buku I] (2007)
Memandu
Bangsa: Ide-ide Nasrani untuk Kemajuan Negeri [Buku II] (2008)
Komentar
Posting Komentar