PERAN
SERTA ORANG KRISTEN BAGI DUNIA INDONESIA: SUATU UTOPIA ATAU TANTANGAN??
oleh
Yohanes Warsoma
A.
PENDAHULUAN
Bagi orang Kristen sejati, tidak ada perpisahan antara kehidupan dalam dunia
sakral dan dunia sekuler. Sejarah menyaksikan bahwa sejak orang kristen
mengenal Tuhan dan menerima Yesus sebagai Juruselamat satu-satunya, dia juga
dipanggil untuk menerima perannya sebagai garam dan terang bagi dunia di
sekitar dirinya berada. Namun kenyataannya, masih banyak dijumpai suatu
alienasi antara seorang kristen dengan dunianya sehingga seolah-olah dirinya
merasa hidup dalam menara gading atau timbul kecondongan ekstrim lain yaitu
meleburnya seseorang "tanpa bekas" hingga kehilangan jati dirinya ke
dalam suatu lingkungan duniawi tanpa memberikan warna apapun.
Orang kristen seharusnya tidak terjebak dalam paradigma hidup "katak dalam
tempurung" ataupun paradigma ekstrim lain "jago kandang"
sehingga keberadaan mereka tidak bisa berkiprah bagi dunia di sekitar kita
berdiri.
Artikel ini secara sederhana ingin mengajak kita bersama memikirkan sampai
seberapa jauh karakteristik peran diri kristiani terhadap dunia di sekitarnya
dipandang dari sudut psikologi kristen, sebagai garam dan terang dunia, tanpa
kehilangan jati dirinya sebagai seorang yang sehat secara psikologis sebagai
wujud emban terhadap tanggung jawab dan panggilan yang Tuhan berikan kepada
dirinya.
B.
KARAKTERISTIK ORANG KRISTEN YANG SEHAT
Bagaimana
ciri-ciri seorang kristen yang dewasa? Seberapa pentingkah aspek ini di dalam
kehidupan seseorang? Kalau diperhatikan Alkitab Perjanjian Baru, maka "the
New Testament repeatedly uses the concept to describe the character of
Christian experience ... Its basic meaning is mature, complete, or fully
developed, and it refers to the potential of the person or thing to grow,
develop, or become complete"[1]Ada
beberapa ahli yang mengungkapkan suatu tolok ukur terhadap diri seseorang yang
dikategorikan sebagai seorang pribadi yang sehat. John D. Carter menyatakan
bahwa seorang yang memiliki kepribadian dewasa memiliki 5 ciri yaitu:[2]
1. Pandangan
yang realistis tentang diri dan orang lain
Seseorang memiliki dimensi yang melibatkan suatu objektifikasi diri
(self-objectification). Gordon Allport[3] menyebut
ciri ini sebagai capable of self- objectification and of insight in
humor. [4]Pengetahuan
ini diperoleh seseorang dengan mengajukan pertanyaan seperti “apa yang menjadi
kekuatan dan kelemahan pribadiku? Apakah orang lain juga menyetujui/melihat hal
yang sama dalam kelebihan dan kelemahanku ini?” Biasanya kelebihan seseorang
senantiasa berhubungan erat dengan minat karena keduanya saling mendukung.
Gordon Allport menyatakan bahwa seseorang yang dewasa juga memiliki persepsi,
keterampilan yang realistik[5].
Sedangkan orang yang kurang dewasa memiliki suatu kecenderungan kekeliruan
dalam menilai apa yang menjadi kelebihan dan kelemahannya, bisa dalam bentuk
penilaian yang melebihi kemampuan sebenarnya ataupun sebaliknya, memiliki
penilaian yang berada di bawah kemampuan dirinya Agar dapat menilai
dirinya dengan tepat maka dibutuhkan suatu perspektif ilahi. Allah memandang
setiap manusia sebagai seseorang yang membutuhkan keselamatan karena telah
jatuh dalam dosa (Rom 3:23), sehingga ia menjadi ciptaan baru dengan
suatu pola hubungan yang baru dengan Allah, orang lain dan bahkan dirinya
sendiri (2 Kor 5:17). Salah satu aspek dalam kemampuan seseorang mengenali dirinya
dan orang lain adalah dengan mengenali apa yang menjadi trait dirinya,
kualitas karunia rohani serta tempat serta perannya dalam suatu tubuh Kristus,
yaitu jemaat-Nya (1 Kor 12:14-25)
2. Mampu
menerima diri dan orang lain
J D Carter menyatakan bahwa:
A second aspect of Biblical maturity involves accepting oneself and
other. Perhaps the clearest statement of this principle is given by Jesus ‘Love
your neighbor as yourself’ (Mat 22:39). It is important to note that the love
of neighbor depends in quality and amount on love of self in the sense of
acceptance[6]
Gordon Allport mengungkap bahwa kemampuan untuk dapat menerima orang lain ini
disertai dengan sikap kehangatan hubungan yang terbentuk. Kehangatan ini
terbentuk karena adanya 2 unsur penting yaitu intimacy dan kasih
sayang[7].
Masih dalam aspek kemampuan menerima diri ini, Allport menunjukkan bahwa
penerimaan diri ini disertai adanya suatu emotional security[8]. Seseorang
menerima dirinya sebagai seseorang/pribadi; disertai kemampuan mengendalikan
gejolak perasaan atau emosi yang sedang terjadi dalam dirinya. Sebagai contoh:
apabila seseorang sedang memiliki kebutuhan seksual yang tinggi, maka dirinya
tidak akan melakukan tindakan yang merugikan orang lain seperti memperkosa
orang.
Proses menerima diri dan orang lain harus
memperhatikan suatu prinsip yaitu adanya pengaruh kejatuhan manusia dalam dosa
dan keberdosaan seseorang yang mempengaruhi seluruh pengalamannya, baik sebelum
maupun sesudah dirinya menjadi Kristen. Memang seseorang sudah dilahir-barukan
kembali ketika dirinya ditebus oleh Kristus, namun secara fungsional
tetapdirinya bergumul antara manusia lama dan manusia baru.
Allah mengasihi manusia yang telah dicipta menurut peta dan teladan Allah itu,
dalam arti setiap manusia itu bernilai. Oleh karena itu, setiap manusia harus
diterima sebagai pribadi, walau bukan berarti kita menerima perbuatan dosa pribadi
yang bersangkutan. Alkitab memanggil manusia untuk mengasihi sesamanya (1 Yoh
3:16) dengan pemahaman dan kepekaan yang mendalam akan adanya kelemahan pribadi
itu sendiri (Ibr 12:12) dan menerimanya sebagai saudara seiman di dalam
Kristus. Bahkan Alkitab memanggil manusia untuk masuk ke dalam suatu hubungan
yang hangat demi menunjukkan kedewasaan dirinya.
3. Hidup
dalam ‘masa kini’ dari kehidupannya namun tetap memiliki tujuan ke depan jangka
panjang.
Alkitab menunjukkan bahwa seseorang dalam kehidupannya sebagai anak Tuhan
memiliki tugas untuk hidup di masa sekarang (membentuk sikap dan tindakannya
sehingga mampu menghasilkan buah Roh Kudus dalam kehidupannya) sebagai ciptaan
baru dengan memandang ke depan dimana pribadi ini memiliki suatu tujuan jangka
panjang yaitu serupa dengan Kristus melalui pertolongan Roh Kudus dalam proses
pengudusan yang terus menerus. Jadi adanya suatu perubahan perilaku yang dapat
dilihat pada saat sekarang, dimana pribadi itu hidup di dalam Tuhan. Seorang
Kristen yang tidak dewasa, akan kurang menunjukkan perubahan ini dan seringkali
tenggelam dalam kehidupan di masa lalu, dalam pergumulan dalam dosa yang tidak
pernah masuk ke dalam tahap kemenangan kehidupan pribadinya. “’Abide’ and ‘grow
up in Christ’ are repeatedly used to emphasize the current ongoing focus of the
Christian... the Christian life is also described as a race with a prize(Phil
3:14)”[9]
4. Nilai-nilai
yang kuat
Gordon Allport menyebut ciri kedewasaan kepribadian ini sebagai a unifying
philosophy of life earmarks the healthy adult [10] Pribadi
yang sehat dapat meletakkan dan mengintegrasikan seluruh nilai-nilai yang ada
dalam dirinya secara jelas, konsisten dan sistermatis di dalam melihat dan
memberikan reaksi terhadap kehidupan yang dijalaninya. Memang seseorang tidak
harus menjadi seperti Aristoteles untuk bisa memiliki nilai-nilai yang
integratif ini. Jadi seseorang yang dikategorikan dewasa memiliki sistem
nilai-nilai yang memungkinkan dirinya untuk menjalani kehidupan yang berarti
dengan didasari tujuan, tema atau sasaran hidup yang jelas.
Nilai-nilai[11] ini
muncul berdasarkan suatu keputusan atas pilihan pribadi yang dewasa bukan
karena paksaan. Ada hal lain yang menunjukkan adanya proses dinamis dalam
pembentukan dan evaluasi terhadap nilai-nilai yang dimiliki seseorang, seperti
apa yang diungkapkan Rasul Paulus dalam Fil 3:13-14 dengan tujuan mencapai
keserupaan dengan Kristus.
5.Mengembangkan
minat dan kemampuan diri dalam menyelesaikan
tugas-tugas kehidupan yang dituntut daripadanya.
Adanya minat dan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapinya dalam aktivitas hidup hari demi hari. Talenta dan karunia dalam
diri seseorang perlu digunakan agar membantu proses pembentukan kedewasaan,
baik di dalam pelayanan gerejawi maupun dalam kehidupan bermasyarakat lebih luas.
Gordon Allport menyatakan bahwa “healthy people possess appropiate skills for
solving objective problems. By being problem-oriented, they can lose themselves
in their work, provisionally settinh aside personal desires and impulses while
a task take precedence”[12] Bahkan
Allport dalam tulisannya menyatakan bahwa “The only way to endure life is to
have a task to complete”[13] Bahkan
Larry A. Hjelle dan Daniel J. Ziegler menyatakan bahwa “Mature people ...
possess sufficient skills to deal with reality, and they strive for personally
important and realistic goals”.[14]
Bagaimana
sesungguhnya pembentukan kedewasaan seseorang? Tentunya, kelima unsur di atas
harus melalui 2 proses yaitu: kongruensi, konsistensi dan integritas dalam
segala tindakan serta perkataannya; seluruh tindakannya diwarnai oleh
kehangatan emosi dan pemikirannya yang mendalam yang senantriasa dikaitkan
dengan imannya kepada Kristus, sehingga agama menjadi suatu keyakinan yang
bersifat intrinsik bukan ekstrinsik (semu) karena setiap orang yang dewasa
menyadari adanya Kristus dalam dirinya, sehingga tindakannya diusahakan agar
tetap sesuai dan mengarah kepada tujuan serupa dengan Kristus.
C.
DAMPAK TANTANGAN DUNIA BAGI JIWA SEORANG KRISTEN
Dalam perjalanan dan interaksi seseorang terhadap dunia sekitar, maka semua
tantangan itu akan menimbulkan reaksi dari dan terhadap dirinya. Orang Kristen
di Indonesia memiliki suatu tantangan yang secara langsung atau tidak langsung
akan mempengaruhi pembentukan kepribadiannya ketika ia berada dalam
lingkungannya
1.
Tantangan eksternal
Ada
beberapa gejala dalam dunia ini yang menjadi tantangan bagi kekristenan karena
adanya perubahan yang demikian cepat dan dinamis dalam kehidupan
masyarakat. Kennedy menyatakan “...beberapa kesulitan yang perlu pula
dicatat. Yang pertama ialah bahwa gelombang dalam penduduk dunia dan naiknya
ketidakseimbangan demografis antara negara kaya dan miskin. Faktor kedua adalah
ledakan penduduk juga menghasilkan tantangan lingkungan hidup yang secara
kualitatif berbeda dengan 60 tahun lalu .. faktor ketiga adalah tekanan
penduduk di banyak negara berkembang menyebabkan penyusutan sumber daya
pertanian lokal....Dalam bidang lain adanya indikasi bahwa beberapa dari
teknologi baru ... jauh dari menyelamatkan penduduk dunia berkembang yang
meledak, dapat merugikan negara-negara yang lebih miskin ... sering
menyebabkan masalah struktural ...teknologi maju mengancam untuk menggerogoti
ekonomi masyarakat berkembang.”[15]
Dalam
konteks Indonesia, ada beberapa krisis yang mengemuka yang dimulai sejak
krisis ekonomi 1998 yang masih memiliki dampak hingga saat ini. Yakub B.
Susabda menyimpulkan adanya beberapa krisis yaitu (1) krisis ekonomi dengan
jatuhnya nilai tukar Rupiah yang memunculkan krisis lain yaitu (2) suatu krisis
kepercayaan dimana masyarakat tidak lagi mudah percaya kepada figur otoritas
kepemimpinan, (3) masing-masing mengambil jalannya sendiri dalam usaha
menyelesaikan masalah bangsa sehingga muncul krisis ketidakpastian hukum yang
memunculkan reaksi demonstrasi dimana-mana dan semakin banyaknya perusahaan
asing menarik investasinya dari tanah persada Indonesia.
Ada
fenomena eksternal religius yang yang sangat khas nampak dalam masyarakat
Indonesia yaitu masalah pluralisme[16] yang
sama sekali bukan merupakan suatu tantangan yang baru. Masalah ini menjadi
masalah yang sangat sulit untuk bisa dikompromikan karena memang berdasar
kepada suatu pemahaman dan keyakinan yang mengakar. D A Carson menyatakan bahwa
“diakui atau tidak, doktrin Allah merupakan inti dari perdebatan pluralisme
kontemporer...dan bersumber pada pertanyaan mengenai wahyu”[17][18] tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah
Ibadat. Sebenarnya masalah yang muncul adalah syarat yang memberatkan proses
pendirian rumah ibadat bagi umat kristiani. Hal ini nampak dalam beberapa fasal
yaitu fasal 13[19],
14[20]
Bahkan lebih jauh dengan adanya tindakan makin hakim sendiri kelompok tertentu
terhadap beberapa gereja - dengan terjadinya penggunaan kekerasan oleh pihak
tertentu dalam kebebasan kehidupan beribadah di berbagai daerah - semakin
memperparah kebebasan kehidupan umat beragama di tanah Pancasila ini. Hal ini
juga mendorong pimpinan gereja-gereja di Indonesia melalui Majelis Pekerja
Harian PGI memberikan reaksinya terhadap perusakan gedung-gedung gereja
di Surabaya tanggal 9 Juni 1996, sebagai salah satu contoh kasus.[21] Ketimpangan
yang ditimbulkan dengan adanya pluralisme ini adalah adanya peraturan bersama
mentri yang memuncak pada diterbitkannya Peraturan Bersama Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negri no 9/no 8 tahun 2006
2.
Tantangan bersifat internal
Keadaan
krisis ini yang dialami bangsa Indonesia secara umum dan kekristenan secara
khusus ‘menghasilkan’ timbulnya berbagai golongan masyarakat Kristen yang
terbagi dua yaitu kelompok primordialistik[22] (yang
memperjuangkan kepentingan agama itu sendiri) dan arus kelompok “nasionalisme”[23] Kelompok
ini timbul karena adanya pembentukan karakter yang sejalan dengan pembentukan
reaksi yang diungkapkan umat Kristiani terhadap berbagai konflik eksternal yang
ada.
Kelompok primordialistik ini terus mempertahankan dirinya melalui hak pendirian
gereja dan cabang-cabang atau melakukan penginjilan melalui cara-cara yang
dikehendakinya, sehingga terjadi ekslusivitas dan timbul tembok pemisah yang
semakin tebal, kecurigaan serta saling tidak percaya antar umat beragama
semakin terbentang lebar.[24] Masih
dalam konteks yang sama, Yakub B. Susabda menyatakan “kelompok kristen
nasionalisme religius sedikit lebih mudah menempatkan diri di tengah perjuangan
berbangsa dan bernegara karena orientasinya pada pembangunan bangsa dan
bernegara”[25] Namun
demikian apabila mereka berada dalam situasi yang merugikan kepentingan
agama mereka, maka mereka akan cenderung menolak tanpa bisa lagi dikompromikan
alasannya. Di sisi lain kelompok nasionalisme sekuler akan menjadi kelompok
yang paling mudah menyesuaikan diri dan diterima lingkungan, dengan ciri-ciri
‘kepribadian’ kelompok ini. Namun masalah lain yang tidak kalah seriusnya
adalah pertanyaan di sekitar keyakinan dan iman seperti apa yang dianut
kelompok ini, karena terlalu mudahnya mereka berkompromi dengan lingkungannya
meskipun lingkungan ini memiliki warna yang sangat berbeda. Bagaimana warna
iman mereka sesungguhnya apabila mereka tidak berbeda dengan lingkungan yang
jelas-jelas memiliki warna iman berbeda?
Dilihat dari sisi paradigma pemikiran theologis psikologis, nampak ada dua kelompok
berbeda yang membedakan secara ekstrim-dualitas realita sebagai sekuler
dan spiritual yang akan mempengaruhi pembedaan aktifitas, penilaian, perlakuan
dan wilayah kehidupan. Hal ini membuat seseorang terjebak ke dalam dua ekstrim
realitas, entah itu hanya sebagai spritual maupun realitas sekuler tanpa bisa
melihat koneksitas antara kedua bidang realitas itu. Calvin menegaskan
sebenarnya masalah tersebut bukan sebagai masalah yang bertentangan dan
benar-benar terpisah. Dia menyatakan “they are not completely separable or
antethical”[26] Paradigma
pemikiran seperti ini tentunya didasarkan atas pembentukan serta pengajaran
theologi yang tidak utuh di satu pihak dan kekurang dewasaan kepribadian
seseorang sehingga mengkotak-kotak kan masalah kehidupan ini. Mereka cenderung
tidak bisa melihat bahwa iman mereka seharusnya mewarnai seluruh kehidupan
mereka, tidak dibatasi pada aspek kehidupan yang bersifat religius. Iman menjadi
bagian hidup yang tidak bisa menjawab seluruh masalah yang mereka hadapi,
bahkan terjadi ‘kemandulan’ fungsi iman dalam kehidupan seseorang. Jadi tidak
ada suatu proses integrasi antara dunia spiritual yang bersumber pada aspek
iman dengan dunia sekuler.
Bagaimana seharusnya seorang kristen dewasa dalam memberikan respon terhadap
tantangan ini? Di sisi lain, layaklah apabila kita mengajukan pertanyaan
“Apakah kehadiran gereja dan orang percaya di Indonesia ini sudah menjadi suatu
garam yang kehilangan asinnya?” Yakub B Susabda mengkritisi posisi gereja
dengan menyatakan “kehadiran gereja di bumi Pertiwi ini sebagai kehadiran
‘tanpa peran yang berarti’. Selama ini peran yang dimainkan adalah peran yang
terlalu kecil untuk anugerah dan kesempatan yang besar ... gereja semakin
kebingungan peran ... krisis identitas ... karena kita meninggalkan jati
diri kita sebagai orang yang ditebus. “[27]
Apabila
kita simpulkan pengaruh tantangan di Indonesia terhadap pembentukan kepribadian
seseorang. Kenyataan kehidupan agama di negara ini menyebabkan hal-hal yang
kurang menguntungkan bagi pembentukan kepribadian yang sehat, seperti:
1.
Kaum minoritas merasa diri tidak aman bahkan bisa saja mereka sulit untuk
mengembangkan suatu sikap yang bisa berbaur dengan bangsa ini karena adanya
perlakuan seperti itu. Namun di sisi lain, timbul pula tindakan ekstrim berupa
tindakan anarkhis kelompok tertentu dalam usaha mereka menyelesaikan
tekanan-tekanan yang ada.[28]
Kemungkinan
negatif lainnya adalah seseorang kurang berani menunjukkan warna imannya
sehingga iman menjadi suatu ‘hiasan’ bukan lagi bisa muncul dalam warna yang
aslinya. Iman hanya sekedar suatu realitas semu yang tidak lagi bisa dilihat
wujud aslinya. Seseorang akan menjadi demikian resah apabila diajak bicara
tentang iman dalam praktika kehidupan sehari-hari
Terjadi
pemisahan antara dunia sekuler dengan dunia rohani dimana iman dalam diri
mereka menjadi suatu barang yang tidak lagi bisa dibawa ke dalam kehidupan
realistis, karena keadaan lingkungan yang tidak memungkinkan terlaksananya
penerapan iman dalam kehidupan. Kehidupan iman seseorang menjadi makin lama
makin tidak lagi mengakar dan semakin menimbulkan jurang yang semakin jauh
antara kehidupan iman sebagai penghayatan pribadinya di satu sisi dengan
kehidupan iman sebagai petunjuk untuk bisa berkarya dalam kehidupan di
masyarakat.
Semangat
hidup yang berparadigma ‘jago kandang’ Dalam hal ini berbagai aliran
kekristenan hanya akan terjebak ke dalam prinsip kehidupan yang tidak mampu
memikirkan apa yang akan dilakukan terhadap tantangan di dunia luar. Mereka
akan hanya cenderung dapat berkata-kata atau berkiprah dalam kalangan sendiri
saja, tanpa bisa berbicara dalam konteks nasional bahkan internasional, dalam
upaya menjawab tantangan masalah yang ada.
Semangat
hidup lain yang berparadigma ‘katak dalam tempurung’. Paradigma berfikir ini
sebenarnya memiliki semangat yang tidak mau peduli terhadap apa yang ada di
luar sana. Manusia yang terjebak dalam keadaan ini hanya memikirkan masalah di
dalam, tanpa merasa terbeban terhadap pergumulan-pergumulan di luar sana.
D.
PANGGILAN GEREJA DAN ORANG
KRISTEN
Sebenarnya gereja menyadari adanya panggilan untuk turut serta dalam
pembangunan nasional. Gereja menyadari panggilannya dengan mengikuti teladan
seorang pendiri atau Bapa Gereja pada zaman Reformasi yaitu John Calvin
terhadap lima pemerintahan selama dari abad XVI sampai abad XVIII.[29] Kesadaran
akan panggilan ini sudah mengemuka dalam bagian Pengantar Keputusan Sidang Raya
X DGI tentang Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) tahun 1984-1989.
Kesadaran ini dilatar belakangi beberapa alasan seperti:[30]
1.
Tuhan sendirilah yang telah menempatkan gereja-gereja di
Indonesia dalam rangka pelaksanaan panggilan orang-orang percaya di segala
tempat dan di sepanjang zaman, untuk menjadi saksiNya. 2. Gereja merasa
terpanggil untuk bersekutu, bersaksi dan melayani bersama-sama di tengah
kehidupan bangsa Indonesia
Meskipun demikian, seluruh partisipasi gereja dan usaha melayani masyarakat
dalam pembangunan nasional itu tetap berada dalam bingkai tujuan, sebagaimana
yang tercakup dalam Bab V Keputusan Sidang Raya X DGI tentang Pokok-pokok
Tugas Panggilan Bersama (PTPB) tahun 1984-1989[31]:
57.
(a) Kita berpartisipasi dan melayani dalam pembangunan nasional dengan
tujuan agar dalam kehidupan bermasyarakat, bangsa dan negara Pancasila yang sedang
melaksanakan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dapat didirikan
tanda-tanda mengenai kesejahteraan,keadilan, kebebasan, persaudaraan perdamaian
dan kemanusiaan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia ini dengan kedatangan
kerajaan-Nya.
(b)
... kita sekaligus membarui, membangun, dan mempersatukan gereja dan memupuk
kemandirian di bidang teologi, daya dan dana
58.
(a) ... kita bertujuan untuk membangun di Indonesia masyarakat industri modern
yang adil, makmur, dan lestari berdasarkan Pancasila ...
59.
.(b)... gereja-gereja kita bertekad untuk menghindari kemungkinan yang pertama[32]dan
kedua[33] dan
bertekad untuk melaksanakan kemungkinan ketiga[34]
Bagaimana bentuk partisipasi gereja di dalam dunia Indonesia? Kembali hal ini
dinyatakan dalam beberapa cara:
60. ..telah menjalankan kegiatan-kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan,
pelayanan sosial, dan juga di bidang pertanian, kadang-kadang juga di bidang
pengangkutan
64 ... (a) memberikan sumbangan pemikiran yang bersifat makro dalam usaha untuk
menciptakan kerangka landasan bagi perkembangan dan pertumbuhan menuju
masyarakat industri modrn yang adil, makmur dan lestari .. (b) berpartisipasi
dalam pembangunan desa ... (c) berpartisipasi dalam pembangunan kota, ... (d).
Berpartisipasi dan melayani di bidang ketenagakerjaan ... (e) berpartisipasi
dan melayani dengan corak dan sikap tersendiri di bidang kesehatan, pendidikan,
kependudukan, termasuk bidang transmigrasi, pelayanan kepada kelompok
masyarakat yang terpencil dan terbelakang, ... (f) berpartisipasi dan melayani
di bidang sosial baik yang bersifat tradisional maupun di bidang-bidang
pelayanan sosial yang baru, ... (g) berpartisipasi dan melayani di
bidang-bidang yang memelopori perkembangan di masa depan seperti bidang
kecendekiawanan, kewiraswastaan, kesenian, ilmu dan teknologi dan seterusnya
... (h) berpartisipasi dan melayani dalam upaya memperingatkan, menanggulangi
dan mengurangi berbagaiekses negatif dalam pembangunan[35]
Apabila
dilihat dari keadaan di atas, nampak adanya suatu perumusan yang operasional
terhadap peran dan panggilan gereja bagi bumi persada Indonesia. Namun yang
menjadi masalah adalah sampai seberapa jauh setiap jemaat persiapkan? Beberapa
penelitian menunjukkan keadaan yang menyedihkan, walaupun hal ini bukan
dilakukan di Indonesia.
Banyak penelitian yang dilakukan. Salah satu masalah yang diteliti adalah
bagaimana hubungan antara agama dengan penyesuaian psikologis seseorang
terhadap lingkungannya? Apakah seorang Kristen akan secara otomatis bisa
mengkaitkan panggilan dirinya sebagai seorang Kristen dengan tanggung jawab
terhadap dunia? Beberapa penelitian terhadap keadaan beberapa orang
kristen menunjukkan hal yang menarik untuk disimak. Penelitian Pugh[36] menunjukkan
bahwa:
Negro
Baptist minsters, church members, and non-church members .... obtained high
scores on the religious scale. On the other hand, the social scale ranked
second with non-church members and fith among the ministers. The author
concluded that ministers might well reexamine their values for adequacy to
enable them to meet the problem which they, by the very nature of their work,
are forced to face [37]
Di
dalam masalah hubungan antara religiusitas dan sikap terhadap
masalah-masalah sosial, peneliti yang bernama Obenhaus mencoba
menghubungkan church affiliationdengan sikap terhadap beberapa pertanyaan
publik yang telah diseleksi dan menghasilkan suatu kesimpulan yang mengejutkan,
sebagai berikut: “he found an almost complete failure, among his subject, to
think theologically about social issues. According to Obenhaus, this raises
serious doubts about whether the church leadership is fulfilling its function
in social and ethical development”[38].
Nampak bahwa Obenhaus ingin menunjukkan dalam penelitiannya bahwa adanya suatu
tantangan gereja untuk mendidik jemaatnya memperhatikan maslaah sosial sebagai
suatu bentuk kepedulian dan implementasi nilai imannya terhadap panggilan
gereja di masyarakat. Bahkan adanya suatu tantangan yang cukup mengejutkan dari
hasil penelitian Salisbury[39] tentang
karakteristik kaum ortodoks terhadap masalah yang terjadi di masyarakat dengan
beberapa hasil penelitiannya sebagai berikut: :
1) “The orthodoxy personality interacts within a religious system removed and
remote from the problems of social millieu” 2) “Internalization of doctrine is
not reflected in external behavior, i.e. more tolerant, more democaratic, etc”.
3) “Religion to the orthodox person is a personal dan private affair with
little or no social implications”, 4) “Where the sacred ideologi is in conflict
with the secular ideology, the orthodox personality finds it possible to retain
or to reject individual values within the value system that characterizes his
particuolar religious system[40]
E.
LANGKAH STRATEGIS YANG PERLU DIPERSIAPKAN
Dengan
adanya tantangan dan keadaan Indonesia di satu pihak dan kepribadian seorang
kristen di lain pihak, maka seseorang yang ingin memiliki posisi dan peran
serta yang tepat bagi dunia sekitar tentunya harus mempersiapkan beberapa
langkah strategis, baik yang bersifat pemikiran teoritis maupun persiapan
aplikatif.
1.
Fondasi kerohanian seseorang: theologis vs sekulerisme
Dasar theologis yang benar dan kuat menjadi suatu hal yang mutlak dibutuhkan
seseorang agar dirinya bisa bertahan terhadap tantangan yang ada dan bisa
bereaksi secara tepat terhadap pergumulan hidupnya.[41] Nilai-nilai
ini seharusnya menjadi suatu pemersatu dan penopang seseorang dalam menjalani
kehidupannya.
Ada
beberapa unsur keyakinan theologis yang penting diingat dan menjadi dasar bagi
peran serta seseorang Kristen yang sehat, seperti diantaranya nampak di bawah
ini:
a. Kedaulatan Allah.
Konsep theologis ini menunjukkan bahwa Allah sebagai Pencipta berarti Dia
adalah Tuan yang berdaulat atas segala sesuatu yang diciptakanNya.[42] Implikasi
hal ini menunjukkan adanya suatu interdependensi dalam ciptaan ini, sebagaimana
diungkap oleh Leith[43]
b. Manusia sebagai peta teladan Allah.
Manusia sebagai image of God diungkap Wayne Grudem menyatakannya
sebagai “man is like God and represent God”[44] Karakteristik
ini yang membedakan manusia dengan ciptaan lain, menjadikan manusia sebagai
ciptaan yang paling mulia dan unik. Namun sayang, akibat pemberontakan manusia
terhadap Allah maka manusia jatuh ke dalam dosa dan berakibat rusaknya peta dan
teladan Allah ini. Hal ini akan mempengaruhi hubungannya dengan Allah, diri dan
sesamanya serta alam semesta ini. Manusia tentunya memiliki ciri-ciri seperti
Allah, yaitu kekal, rohani dan memiliki kemampuan untuk berkreasi. Inilah
yang menyebabkan manusia begitu bernilai, jauh dibandingkan binatang dan
ciptaan lain.
Pembentukan
nilai-nilai theologis ini menjadi panggilan gereja (dengan lembaga sejenis –
termasuk parachurch dan sekolah kristen) untuk bisa memberikan suatu dasar
kebenaran bagi setiap jemaatnya agar bisa memperoleh suatu pemahaman theologis
yang kokoh, suatu worldview yang utuh dan sistematis yang membentuk jaringan
kokoh sebagai modal untuk berhadapan dengan panggilannya sebagai seorang
kristiani di tanah air ini.
2.Orientasi
Religiusitas seseorang: bersifat intrinsik[45] vs
ekstrinsik.
Semua
nilai dan tatanan rohani seseorang seharusnya memberikan pengaruh dalam dirinya
demikian nyata, karena semua nilai rohani dan religius ini menyebabkan dirinya
memiliki orientasi religius yang bersifat intrinsik, menjadi integral dengan
kehidupannya, bukan hanya merupakan suatu hiasan hidup eksternal palsu semu
belaka. Allport membagi dua pribadi dalam kaitannya dengan agama, yang pertama
menggunakan agama bagi tujuan kehidupannya dan pribadi lain adalah yang
menghidupi nilai-nilai yang ada dalam agamanya. Lebih jauh dia menyatakan
“there are two types of religious person – those who use religion (the
extrinsic) and those who live the religion (the intrinsic) [46] Allport
dan Rose memandang motivasi dan menggunakan setiap tipe motivasi ini dalam
pembentukan agama. Lebih jauh mereka menyatakan:
Person with [extrinsic] orientation may find religion useful in a variety ways
– to provide security and solace, sociability and distraction, status and self
justification. The embraced creed is lightly held or else selectively shaped to
fit more the primary needs... Person with [intrinsic] orientation find their
master motive in religion. Other needs, strong as they may be, are regarded as
of less ultimate significance, and they are, so far as possible, brought into
harmony with the religious beliefs and prescriptions[47]
Hal
ini (the intrinsic) merupakan salah satu ciri dari pribadi yang sehat yang
memiliki ninlai-nilai yang mempersatukan seluruh hidupnya berdasarkan sistem
nilai yang dianutnya sehingga nilai agama ini bukan hanya sekedar pengetahuan
atau ritual atau seremoni atau baju bagi diri seseorang, namun menjadi kompas
dalam kehidupannya ketika bahkan menghadapi permasalahan yang pelik sekalipun
mengharuskan dirinya belajar banyak dari kegagalan kehidupannya.
3.Pendekatan
antara iman kristiani dengan seluruh aspek kehidupan: integratif vs partial.
Semua pengetahuan yang terkristal dalam iman seseorang seharusnya menjadi suatu
bagian yang terintegratif dengan kehidupannya yang nyata sehingga kehidupan itu
dijalani bukan dengan prinsip sekuler dan sacred oriented atau partial
region . Seorang kristen yang dewasa seharusnya memandang kehidupan ini
sebagai bagian utuh dan menjadi satu kesatuan yang terintegratif dengan
imannya. Jadi ruang lingkup kesaksian hidup seseorang kristen yang d\sehat dan
dewasa adalah mencakup keseluruhan area kehidupannya, bukan hanya sebagian atau
partial.
4.Pradigma the
life based on Theological values
Kehidupan ini harus senantiasa diberi makna berdasarkan theological vules yang
kita miliki. Hal ini menunjukkan suatu implikasi bahwa setiap aspek dalam
kehidupan ini harus diberi konteks dan nilai berdasarkan suatu pertimbangan
religius yang dimiliki, baik kehidupan ibadah formal di gereja maupun kehidupan
sehari-hari di rumah dengan segala tantangannya. Oleh karena itu dibutuhkan
suatu ‘latihan’ bagi seseorang dalam menganalisis kasus dilihat dari perspektif
theologis. Mungkin hal ini bisa dijadikan suatu modal bagi terbentuknya suatu kemampuan
dalam dirinya agar mampu menjawab seluruh tantangan dunia melalui aplikasi
pemahaman theologis yang benar. Mungkin pula hal ini membutuhkan suatu comparing
studies antara nilai-nilai suatu orientasi theologis tertentu dengan
orientasi theologis lainnya terhadap suatu masalah. Contoh: bagaimana seorang
kristen harus memberikan makna terhadap kejadian gempa bumi dan Tsunami di
daerah pantai selatan pulau Jawa dilihat dari theologi kristen, dibandingkan
dengan pandangan theologi Islam. Mungkin perlu diadakan kajian-kajian
sistematis dan kritis theologis terhadap berbagai gejala sosial kehidupan
masyarakat, seperti prostitusi, korupsidan lain-lain. Tujuan akhir dari langkah
persiapan ini adalah mempersiapkan seseorang agar dapat menilai segala fenomena
kehidupan ini berdasarkan sudut pandang theologis yang merefleksikan kehidupan
imannya.
5.Paradigma
kesaksian hidup: Garam dan Terang Dunia vs Jago Kandang dan menara gading
Paradigma kesaksian hidup garam dan terang dunia ini menjadi ciri khas bagi orang
Kristen di sepanjang pengajaran Alkitab. Oleh karena itu, seorang Kristen yang
baik bukan hanya dituntut untuk hidup bagi dirinya sendiri dalam lingkungan
yang terbatas (paradigma jago kandang) atau pun sama sekali tidak mau peduli
terhadap tuntutan lingkungannya (paradigma menara gading). Memang dibutuhkan
suatu upaya yang terus-menerus agar setiap orang memahami makna dan prinsip
terang dan garam dunia ini sehingga dirinya menjadi saksi yang tepat, bukan
hanya suatu utopia ataupun mengkompromikan nilai-nilai imannya ketika ia berada
dalam masyarakat.
6.Paradigma
penata layanan: Networking vs single person show
Melihat tantangan yang ada, maka perlu kiranya kita membangun suatu jaringan di
antara kekristenan, bukan lagi saatnya untuk hanya memikirkan untuk membangun
kerajaannya sendiri. Meskipun demikian, ada aturan-aturan main yang harus
dijaga bersama sehingga masing-masing pihak bisa saling menghargai dan
melakukan sinergi untuk kemajuan pelayanan dan kesaksian bersama, khususnya
dalam upaya untuk membangun. Hal ini memang membutuhkan suatu kebesaran hati
dan keteguhan hati bagi setiap pihak untuk membangun jaringan yang sama-sama
menunjang pelayanan bersama, sampai batas-batas tertentu sesuai dengan
talentanya masing-masing.
7.Generasi
Nehemia dan Yusuf vs generasi aku
Seringkali
yang menjadi masalah adalah bukan tantangan yang ada di luar diri seseorang
tetapi justru yang menjadi masalah adalah seseorang yang tidak bisa melihat dan
bahkan terdorong untuk ambil bagian dalam masalah yang ada. Nehemia adalah
salah satu contoh yang baik ketika ia mendengar kisah tentang runtuhnya tembok
Yerusalem sehingga menimbulkan suatu kehinaan bagi bangsanya. Nehemia yang
berada pada posisi terhormat dan ‘enak’ (sebagai Juru minuman raja) berani dan
rela meninggalkan kedudukannya untuk berjuang memperhatikan dan membangun
kembali tembok Yerusalem ini. Dengan bergantung kepada Tuhan, ia akhirnya bisa
mebangun kembali Tembok Yerusalem itu hanya dalam waktu 52 hari. Ini merupakan
mission impossible. Di sisi lain, Yusuf memberikan contoh dalam dimensi yang
berwarna lain. Yusuf adalah pribadi yang banyak mengalami penderitaan dan
ketidak-adilan karena perlakuan sekelilingnya terhadap dirinya, pada hal
dirinya memiliki suatu kehidupan yang berintegritas dan berusaha untuk
menyenangkan hati Tuhan. Dia memang bertahan di dalam penderitaan itu, karena
ia menyadari adanya Tuhan yang berdaulat atas kehidupannya. Oleh karena itu,
ketika ia diinjinkan Tuhan untuk memimpin bangsa Mesir pada saat itu juga ia
senantiasa berusaha untuk menyelamatkan bangsa Israel dari bahaya kelaparan
yang sedang melanda negrinya. Ia memiliki kebesaran jiwa dengan menerima
kembali dengan penuh kasih saudara-saudaranya yang telah menyiksa dan menjual
dirinya kepada saudagar Potifar. Ia berani berdiri di atas penderitaan dirinya
dengan tetap menjalankan panggilannya untuk membangun suatu bangsa yang besar,
yang mengasihi Tuhan.
Memang untuk menjadi Yusuf dan Nehemia, dibutuhkan banyak hal bukan merupakan
suatu yang sederhana. Dibutuhkan anak-anak Tuhan terbaik di bidangnya untuk
berjuang di tengah-tengah bangsa kafir yang bukan hanya memikirkan untuk
pengembangan dirinya tetapi memikirkan pengembangan dan restorasi bangsanya.
F.
KESIMPULAN
Marilah kita menyiapkan diri kita untuk peran serta kita dalam kehidupan bangsa
ini, bukan lagi untuk menangis ... meratapi nasib kita tetapi mari kita bersatu
.. menjadi saksi-Nya dan mercu suar bagi dunia sekitar. Ada baiknya kita
menyimak kalimat yang diungkap Bung Karno, seperti yang dikutip Sarwono
Kusumaatmadja:
Kita sekarang tida berkesempatan lagi oentoek menangis, kita soedah kenjang
menangis! Bagi kita sekarang ini boekan saatnja oentoek lembek-lembekan.
Berabad-abad kita soedah lembek sebagai kapoek dan agar-agar. Ra’jat dan tanah
toempah darah kita itoe membutuhkan otot-otot jang kerasnja sebagai badja,
oerat-oerat jang koeatnja sebagai besi, kemaoean jang kerasnja sebagai
batoe-item jang tegoeh dan sentausa oentoek menolak serangan-serangan dari
moesoeh, dan djika perlu bagi mentjapai toedjoean berani terdjoen didasarnja
samoedra ...”[48]
Selamat
berjuang ... bukan sebagai seorang yang minder ... bukan sebagai seorang yang
berjalan dengan menundukkan kepala ke bawah, tetapi dengan kepala tegak ..
memandang kehidupan dan tantangan masa depan sebagai bagian untuk pembentukan
diri dan dunia di sekitarnya sebagai suatu panggilan dalam dirinya yang terus
muncul sebagai seorang kristen, sebagai seorang pribadi yang sehat dan sebagai
seorang yang bertanggung jawab di hadapan Tuhan, diri dan sesamanya.
--------------0o0o0o0-------------
[1] J.D.
Carter, Healthy Personality. dalam David G. Benner (ed) Baker Encyclopedia
of Psychology. Forth Printing. (Grand Rapids, Michigan: Baker Book
House, 1993), h. 498-504
[2]
Ibid, h. 498.
[3] Gordon
Allport merupakan psikolog kristen yang banyak meneliti tentang psikologi
agama, khususnya perkembangan dan ciri religiusitas yang bersifat
instrinsik (sejati) dan ekstrinsik (palsu) dikaitkan dnegan kedewasaan
seseorang dalam kehidupan kepribadiannya. .
[4]
Humor merupakan suatu aspek yuang penting karena hal itu akan mencegah
terjadinya apa yang disebut sebagai pemuliaan diri yang palsu. Dengan
dimilikinya humor berarti seseorang dapat melihat dan menghargai kejelekan dan
ejekan terhadap kekurangan dlaam diri mereka atau orang lain tanpa merasa
dirinya tersinggung. Jadi dengan adanya humor merupakan suatu kemampuan untuk
memtertawakan beberapa hal yang merupakan kekurangan/kelucuan diri atau orang
lain tanpa adanya suatu perasaan harga diri yang terganggu. [Lihat Larry A.
Hjelle, Daniel J. Ziegler (editors), Personality Theories: Basic
Assumption, Research, and Application Second Edition. Fourth printing
(Singapore: McGraw-Hill Book Company,. 1986) h. 301]
[5]
Ibid, h. 301
[6] J.D.
Carter, Healthy Personality. dalam David G. Benner (ed) Baker Encyclopedia
of Psychology. Forth Printing., h. 501
[7] Intimacy ini
merupakan kemampuan seseorang untuk menunjukkan/mengekspressikan suatu
kasih yang mendalam terhadap keluarga dan kerabat dekat tanpa disertai adanya
perasaan cemburu atau sikap posesif. Sedangkan kasih sayang ditunjukkan dengan
adanya kemampuan melakukan toleransi terhadap perbedaan di antara mereka
sehingga memungkinkan mereka tetap menunjukkan apresiasi dan sikap menghormati
orang lain serta membina hubungan yang baik dengan orang lain [Lihat Larry A.
Hjelle, Daniel J. Ziegler (editors), Personality Theories: Basic
Assumption, Research, and Application h. 301]
[8]
Orang yang sehat ini memiliki self image yang sehat sehingga dirinya
bisa menunjukkan toleransi terhadap kejadian yang menimbulkan frustrasi atau
gangguan pada dirinya tanpa menimbulkan kepahitan hidup dalam dirinya. [Ibid,
h. 301]
[9] J.D.
Carter, Healthy Personality. dalam David G. Benner (ed) Baker Encyclopedia
of Psychology. Forth Printing., h. 501
[10]
Larry A. Hjelle, Daniel J. Ziegler (editors), Personality Theories: Basic
Assumption, Research, and Application h. 301
[11]
Nilai-nilai ini merupakan suatu ‘package plan’ karena nilai-nilai ini
mengandung seperangkat motivasi dan tindakan yang terintegratif dalam kehidupan
seseorang
[12] Larry
A. Hjelle, Daniel J. Ziegler (editors), Personality Theories: Basic
Assumption, Research, and Application h. 301
[13] Gordon
Allport, Pattern and Growth in Personality (New York: Holt, Rinehart
and Winston, 1961), h. 290
[14] Larry
A. Hjelle, Daniel J. Ziegler (editors), Personality Theories: Basic
Assumption, Research, and Application h. 301
[15] Paul
Kennedy, Menyiapkan Diri Menghadapi Abad ke-21 (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1995), hal. 17-18, 491-499
[16]
Pluralisme ini, diungkap DA Carson sebagai suatu keadaan yang juga dialami oleh
Amerika dan negara Eropa pada umumnya, mengacu pada pengertian adanya (1)
keragaman yang semakin meningkat dalam budaya, (2) toleransi masyarakat
terhadap keragaman tersebut, (3) pendirian filosofis. Hal ini berarti toleransi
adalah suatu mandat, karena tak ada gelombang di laut keragaman yang memiliki
hak untuk mendahului semua gelombang lain. Di dalam dunia religius, tidak ada
agama yang berhak untuk menyatakan bahwa hanya dia yang benar sementara yang
lainnya salah. Satu-satunya kredo yang mutlak adalah kredo pluralisme itu
sendiri, demikian Carson menyimpulkan. [Lihat DA Carson & John D.
Woodbridge (editors), God and Culture: Allah dan Kebudayaan Terj.
(Surabaya: Momentum, 1997), h. 35-39]
[17]
Ibid, h. 54, 58
[18]
Sebenarnya masalah ini sudah menjadi keresahan umat Kristiani sejak lama. Hal
ini nampak dengan adanya reaksi Persekutuan Gereja Indonesia yang dituangkan
dalam Pokok-pokok Pikiran Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) tentang
pembangunan Rumah Ibadah (I) – 1993 serta Pokok-pokok pikiran dan Usul PGI
terhadap Rancangan Peraturan Menteri Dalam Negri tahun 1994 tentang Pendirian
Rumah Ibadah (II) - 1994
(Weinata Sairin, Pemilu, GBHN dan Viai Sosial Kemasyarakatan: Perspektif
Gereja-gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), h. 330-349
[19]
Fasal 13 ini terdiri dari 3 ayat yaitu (1) Pendirian rumah ibadat didasarkan
pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk
bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa, (2)
pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketentraman dan
ketertibah umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan, (3) Dalam hal
keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan.desa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi
jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten.kota atau
provinsi (Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negri no 9 Tahun
2006/Nomor 8 tahun 2006: Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beraama, Pemberdayaan Forum Kerukunan
Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, fasal 13)
[20] Fasal
14 yang memberatkan umat kritiani adalah ayat 2 yang menyatakan “selain
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat
harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: (a) daftar nama dan Kartu tanda Penduduk
pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan
oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud
dalam pasal 13 ayat (3); (b) diukungan masyarakat setempat paling sedikit 60
(enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; (c) rekomendasi
tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan (d) rekomendasi
tertulis FKUB kabupaten/kota” (Lihat: Ibid. Fasal 14)
[21]
Weinata Sairin, Pemilu, GBHN dan Visi Sosial Kemasyarakatan: Perspektif
Gereja-gereja di Indonesia , h. 364-366, bandingkan dengan pernyataan
serupa terhadap kasus lain yaitu perusakan gedung ibadah di Jawa Timur tanggal
10 Oktober 1996.Ibid. , h. 373-375
[22] Kelompok
ini sebenarnya tidak perduli atau terbeban untuk pembangunan bangsa dan negara.
Pihak ini hanya ingin memperjuangkan hak dan kebebasan beragama, hanya
berorientasi kepada kepentingan kelompok agamanya sendiri. [Lihat Hendra G.
Mulia (Editor), Perjuangan Menantang Zaman: Kumpulan Esai Sebagai
Penghargaan Kepada Pendeta Stephen Tong pada HUT ke-60 (Jakarta:Reformed
Institut Press, 2000), h. 23-24]
[23] Kelompok
ini terbagi menjadi dua kelompok lagi yaitu (1) nasionalisme religius, suatu
kelompok yang ingin membangun nusa dan bangsa Indonesia ini demi kepentingan
agamanya sendiri dan (2) nasionalisme sekuler, suatu kelompok yang rela
mengorbankan kepentingan-kepentingan primodialistik kelompok agamanya sendiri
demi kepentingan kehidupan bersama atau kehidupan berbangsa dan bernegara yang
kadang-kadang memang merupakan kesatuan dari realitas yang pluralistik. [Ibid,
h. 24-25]
[24]
Ibid, h. 24
[25]
Ibid, h. 25
[26] John
T. McNeill (ed), Calvin: Institutes of the Christian Religion.
Philadelphia: Westminster Press, .h 364
[27] Hendra
G. Mulia (Editor), Perjuangan Menantang Zaman: Kumpulan Esai Sebagai
Penghargaan Kepada Pendeta Stephen Tong pada HUT ke-60 (Jakarta:Reformed
Institut Press, 2000), h. 27
[28] Franz
Magniz-Suseno, Hentikan Pembantaian. Paul Tahalele, Frans Parera, Thomas
Santoso (editors). Indonesia Di Persimpangan Kekuasaan: Dominasi Kekerasan
Atas Dialog Publik . penerbit The Go-East Institute dan Forum Komunikasi
Kristiani Indonesia (FKKI), Jakarta, 2000, h. 17
[29]
Uraian lebih lanjut tentang pengaruh John Calvin ini dapat dilihat dalam
Douglas F. Kelly, The Emergence of Liberty in the Modern World (Phillipsburg,
New Jersey: Presbyterian and Reformed Pub. Co, 1992)
[30] Uraian
lengkap mengenai dasar pemikiran panggilan gereja untuk menjalankan tugasnya di
Indonesia ini dapat dilihat Weinata Sairin, Pemilu, GBHN dan Visi Sosial
Kemasyarakatan: Perspektif Gereja-gereja di Indonesia. (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1988), h. 96-98
[31] Ibid,
h. 115-117
[32] Dalam
keadaan ini, gereja semakin tersingkir, semakin terdesak dan tidak mempunyai
pengaruh terhadap kehidupan manusia, masyarakat, bangsa dan negara, apabila
gereja ketinggalan terhadap gerak pembangunan yang dinamis itu. Ibid ,
h. 115
[33]Dalam
keadaan ini, gereja ikut-ikutan saja dengan arus pembangunan, sehingga semakin
kaburlah pemahaman mengenai misi gereja, karena hal itu berarti gereja sudah
menjadi serupa dengan dunia ini (Rom 12:2), Ibid, h. 117
[34] Gereja
dalam keadaan ini akan menghikuti pekerjaan Roh Kudus yang membaharui,
membangun, dan mempersatukan gereja agar gereja semakin mampu menghadapi
tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan dalam masyarakat, bangsa dan
negara yang sedang membangun dengan memberitakan Injili kepada segala makhluk,
berpartisipasi dan melayani dalam pembangunan. Lihat Ibid h.117
[35] Ibid, h.
118-119
[36] Penelitian
Pugh ini membandingkan nilai yang dimiliki oleh hamba Tuhan (Ministers) Negro
baptis dengan dua kelompok lain yang terdiri dari orang awam (anggota gereja
dan bukan anggota gererja) dengan menggunakan Allport-Vernon Scale of Values
yang mencakup pengkuran terhadap enam nilai yaitu nilai-nilai (1) teoritik, (2)
ekonomi, (3) estetika, (4) politik, (5) religius dan (6) sosial. [Lihat: T.J.
Pugh, A Comparative Study of the Values of a Group of Ministers and Two Groups
of Laymen, Journal of Social Psychology No. 33, 1951, h. 223-235
[37] Victor
D. Sanua, Religion, Mental Health, and Personality: A Review of Empirical
Studies dalam H. Newton Malony, Current Perspectives in the Psychology of
Religion (Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Pub. Co, 1979) h. 184
[38] V.
Obenhaus. Church Affiliations and Attitudes Towards Selected Public Questions
in a Typical Midwest Country, Rural Sociologi No. 28, 1963, h. 34-37
[39] Salisbury
meneliti sejumlah besar mahasiswa di bagian Utara dan Selatan untuk
menganalisis apakah ada perbedaan atau persamaan sikap dan tindakan kaum
religius ortodoks dengan kaum religius liberal. [W.S. Salisbury. Religious
Orthodoxy and Social Behavior, read at meeting of the Society for the
Scientific Study of Religion, New Haven, Conn, October 1959]
[40] H.
Newton Malony, Current Perspectives in the Psychology of Religion
(Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Pub. Co, 1979) h. 185.
[41] Uraian
Etis Nehe berkaitan dengan perspektif theologi Reformed terhadap sosialitas
Kristiani bisa dijadikan acuan dalam masalah ini [Lihat: Etis Nehe, Sosialitas
Kristiani Dari Perspektif Teologi Reformed, Semi Jurnal Reformed Injili 3/1
(Maret 2005), h. 68-81]
[42] Donald
K. Mc Kim, A Reformed Perspective on the Mission of the Church in Society(Grand
rapids, Michigan: WMB Eerdmans, 1992), h. 362
[43] John
H. Leith, Introduction to the Reformed Tradition (Atlanta: John Knox
Press, 1977), h. 96
[44] Alister
E. McGrath, Christian Theology: An Introduction (Massachussets:
Blackwell Publisher, 1996), h. 423
[45] Intrinsic
dan ekstrinsic ini merupakan suatu ciri orientasi agama yang dimiliki
seseorang. Allport merupakan tokoh pertama yang mengajukan teori tentang hal
ini. Berdasarkan penggolongan ini, maka seseorang dapat dikategorikan sebagai
seorang kristen sejati atau hanya menjadikan agamanya sebagai suatu alat bagi
pemuasan kebutuhan seseorang semata tanpa tujuan lebih theologis, dikaitkan
dengan hubungan dirinya dnegan Tuhan.
[46] H.
Newton Malony (editor), Current Perspectives in the Psychology of
Religion h. 116
[47] G.W.
Allport & J.M. Ross, Personal Religious Orientation and Prejudice. Journal
of Personality and Social Psychology 1967 no. 5, h. 436
[48] Aristides
Katoppo (editor), 80 Tahun Bung Karno (Jakarta: Penerbit Sinar
Harapan, 1981), h. 255
Komentar
Posting Komentar