PERAN SERTA ORANG KRISTEN BAGI DUNIA INDONESIA: SUATU UTOPIA ATAU TANTANGAN??


PERAN SERTA ORANG KRISTEN BAGI DUNIA INDONESIA: SUATU UTOPIA ATAU TANTANGAN?? 
oleh Yohanes Warsoma

A. PENDAHULUAN
            Bagi orang Kristen sejati, tidak ada perpisahan antara kehidupan dalam dunia sakral dan dunia sekuler. Sejarah menyaksikan bahwa sejak orang kristen mengenal Tuhan dan menerima Yesus sebagai Juruselamat satu-satunya, dia juga dipanggil untuk menerima perannya sebagai garam dan terang bagi dunia di sekitar dirinya berada. Namun kenyataannya, masih banyak dijumpai suatu alienasi antara seorang kristen dengan dunianya sehingga seolah-olah dirinya merasa hidup dalam menara gading atau timbul kecondongan ekstrim lain yaitu meleburnya seseorang "tanpa bekas" hingga kehilangan jati dirinya ke dalam suatu lingkungan duniawi tanpa memberikan warna apapun.
            Orang kristen seharusnya tidak terjebak dalam paradigma hidup "katak dalam tempurung" ataupun paradigma ekstrim lain "jago kandang" sehingga keberadaan mereka tidak bisa berkiprah bagi dunia di sekitar kita berdiri. 
            Artikel ini secara sederhana ingin mengajak kita bersama memikirkan sampai seberapa jauh karakteristik peran diri kristiani terhadap dunia di sekitarnya dipandang dari sudut psikologi kristen, sebagai garam dan terang dunia, tanpa kehilangan jati dirinya sebagai seorang yang sehat secara psikologis sebagai wujud emban terhadap tanggung jawab dan panggilan yang Tuhan berikan kepada dirinya.
           
B. KARAKTERISTIK ORANG KRISTEN YANG SEHAT
            Bagaimana ciri-ciri seorang kristen yang dewasa? Seberapa pentingkah aspek ini di dalam kehidupan seseorang? Kalau diperhatikan Alkitab Perjanjian Baru, maka "the New Testament repeatedly uses the concept to describe the character of Christian experience ... Its basic meaning is mature, complete, or fully developed, and it refers to the potential of the person or thing to grow, develop, or become complete"[1]Ada beberapa ahli yang mengungkapkan suatu tolok ukur terhadap diri seseorang yang dikategorikan sebagai seorang pribadi yang sehat. John D. Carter menyatakan bahwa seorang yang memiliki kepribadian dewasa memiliki 5 ciri yaitu:[2]
1. Pandangan yang realistis tentang diri dan orang lain
    Seseorang memiliki dimensi yang melibatkan suatu objektifikasi diri (self-objectification). Gordon Allport[3] menyebut ciri ini sebagai capable of self- objectification and of insight in humor. [4]Pengetahuan ini diperoleh seseorang dengan mengajukan pertanyaan seperti “apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan pribadiku? Apakah orang lain juga menyetujui/melihat hal yang sama dalam kelebihan dan kelemahanku ini?” Biasanya kelebihan seseorang senantiasa berhubungan erat dengan minat karena keduanya saling mendukung. Gordon Allport menyatakan bahwa seseorang yang dewasa juga memiliki persepsi, keterampilan yang realistik[5]. Sedangkan orang yang kurang dewasa memiliki suatu kecenderungan kekeliruan dalam menilai apa yang menjadi kelebihan dan kelemahannya, bisa dalam bentuk penilaian yang melebihi kemampuan sebenarnya ataupun sebaliknya, memiliki penilaian yang berada di bawah kemampuan dirinya Agar  dapat menilai dirinya dengan tepat maka dibutuhkan suatu perspektif ilahi. Allah memandang setiap manusia sebagai seseorang yang membutuhkan keselamatan karena telah jatuh dalam dosa (Rom 3:23), sehingga ia menjadi ciptaan baru  dengan suatu pola hubungan yang baru dengan Allah, orang lain dan bahkan dirinya sendiri (2 Kor 5:17). Salah satu aspek dalam kemampuan seseorang mengenali dirinya dan orang lain adalah dengan mengenali apa yang menjadi trait dirinya, kualitas karunia rohani serta tempat serta perannya dalam suatu tubuh Kristus, yaitu jemaat-Nya (1 Kor 12:14-25) 
2. Mampu menerima diri dan orang lain
    J D Carter menyatakan bahwa:
   A second aspect of  Biblical maturity involves accepting oneself and other. Perhaps the clearest statement of this principle is given by Jesus ‘Love your neighbor as yourself’ (Mat 22:39). It is important to note that the love of neighbor depends in quality and amount on love of self in the sense of acceptance[6]
                Gordon Allport mengungkap bahwa kemampuan untuk dapat menerima orang lain ini disertai dengan sikap kehangatan hubungan yang terbentuk. Kehangatan ini terbentuk karena adanya 2 unsur penting yaitu intimacy dan kasih sayang[7]. Masih dalam aspek kemampuan menerima diri ini, Allport menunjukkan bahwa penerimaan diri ini disertai adanya suatu emotional security[8]. Seseorang menerima dirinya sebagai seseorang/pribadi; disertai kemampuan mengendalikan gejolak perasaan atau emosi yang sedang terjadi dalam dirinya. Sebagai contoh: apabila seseorang sedang memiliki kebutuhan seksual yang tinggi, maka dirinya tidak akan melakukan tindakan yang merugikan orang lain seperti memperkosa orang.
         Proses menerima diri dan orang lain harus memperhatikan suatu prinsip yaitu adanya pengaruh kejatuhan manusia dalam dosa dan keberdosaan seseorang yang mempengaruhi seluruh pengalamannya, baik sebelum maupun sesudah dirinya menjadi Kristen. Memang seseorang sudah dilahir-barukan kembali ketika dirinya ditebus oleh Kristus, namun secara fungsional tetapdirinya bergumul antara manusia lama dan manusia baru.
         Allah mengasihi manusia yang telah dicipta menurut peta dan teladan Allah itu, dalam arti setiap manusia itu bernilai. Oleh karena itu, setiap manusia harus diterima sebagai pribadi, walau bukan berarti kita menerima perbuatan dosa pribadi yang bersangkutan. Alkitab memanggil manusia untuk mengasihi sesamanya (1 Yoh 3:16) dengan pemahaman dan kepekaan yang mendalam akan adanya kelemahan pribadi itu sendiri (Ibr 12:12) dan menerimanya sebagai saudara seiman di dalam Kristus. Bahkan Alkitab memanggil manusia untuk masuk ke dalam suatu hubungan yang hangat demi menunjukkan kedewasaan dirinya.
3.  Hidup dalam ‘masa kini’ dari kehidupannya namun tetap memiliki tujuan ke depan jangka panjang.
      Alkitab menunjukkan bahwa seseorang dalam kehidupannya sebagai anak Tuhan memiliki tugas untuk hidup di masa sekarang (membentuk sikap dan tindakannya sehingga mampu menghasilkan buah Roh Kudus dalam kehidupannya) sebagai ciptaan baru dengan memandang ke depan dimana pribadi ini memiliki suatu tujuan jangka panjang yaitu serupa dengan Kristus melalui pertolongan Roh Kudus dalam proses pengudusan yang terus menerus. Jadi adanya suatu perubahan perilaku yang dapat dilihat pada saat sekarang, dimana pribadi itu hidup di dalam Tuhan. Seorang Kristen yang tidak dewasa, akan kurang menunjukkan perubahan ini dan seringkali tenggelam dalam kehidupan di masa lalu, dalam pergumulan dalam dosa yang tidak pernah masuk ke dalam tahap kemenangan kehidupan pribadinya. “’Abide’ and ‘grow up in Christ’ are repeatedly used to emphasize the current ongoing focus of the Christian... the Christian life is also described as a race with a prize(Phil 3:14)”[9]
4.   Nilai-nilai yang kuat
            Gordon Allport menyebut ciri kedewasaan kepribadian ini sebagai a unifying philosophy of life earmarks the healthy adult [10] Pribadi yang sehat dapat meletakkan dan mengintegrasikan seluruh nilai-nilai yang ada dalam dirinya secara jelas, konsisten dan sistermatis di dalam melihat dan memberikan reaksi terhadap kehidupan yang dijalaninya. Memang seseorang tidak harus menjadi seperti Aristoteles untuk bisa memiliki nilai-nilai yang integratif ini. Jadi seseorang yang dikategorikan dewasa  memiliki sistem nilai-nilai yang memungkinkan dirinya untuk menjalani kehidupan yang berarti dengan didasari tujuan, tema atau sasaran hidup yang jelas.
Nilai-nilai[11] ini muncul berdasarkan suatu keputusan atas pilihan pribadi yang dewasa bukan karena paksaan. Ada hal lain yang menunjukkan adanya proses dinamis dalam pembentukan dan evaluasi terhadap nilai-nilai yang dimiliki seseorang, seperti apa yang diungkapkan Rasul Paulus dalam Fil 3:13-14 dengan tujuan mencapai keserupaan dengan Kristus.
5.Mengembangkan  minat  dan kemampuan  diri  dalam  menyelesaikan  tugas-tugas kehidupan yang dituntut daripadanya.
            Adanya minat dan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dalam aktivitas hidup hari demi hari. Talenta dan karunia dalam diri seseorang perlu digunakan agar membantu proses pembentukan kedewasaan, baik di dalam pelayanan gerejawi maupun dalam kehidupan bermasyarakat lebih luas. Gordon Allport menyatakan bahwa “healthy people possess appropiate skills for solving objective problems. By being problem-oriented, they can lose themselves in their work, provisionally settinh aside personal desires and impulses while a task take precedence”[12] Bahkan Allport dalam tulisannya menyatakan bahwa “The only way to endure life is to have a task to complete”[13] Bahkan Larry A. Hjelle dan Daniel J. Ziegler menyatakan bahwa “Mature people ... possess sufficient skills to deal with reality, and they strive for personally important and realistic goals”.[14]
Bagaimana sesungguhnya pembentukan kedewasaan seseorang? Tentunya, kelima unsur di atas harus melalui 2 proses yaitu: kongruensi, konsistensi dan integritas dalam segala tindakan serta perkataannya; seluruh tindakannya diwarnai oleh kehangatan emosi dan pemikirannya yang mendalam yang senantriasa dikaitkan dengan imannya kepada Kristus, sehingga agama menjadi suatu keyakinan yang bersifat intrinsik bukan ekstrinsik (semu) karena setiap orang yang dewasa menyadari adanya Kristus dalam dirinya, sehingga tindakannya diusahakan agar tetap sesuai dan mengarah kepada tujuan serupa dengan Kristus.

C. DAMPAK TANTANGAN DUNIA BAGI JIWA SEORANG KRISTEN
            Dalam perjalanan dan interaksi seseorang terhadap dunia sekitar, maka semua tantangan itu akan menimbulkan reaksi dari dan terhadap dirinya. Orang Kristen di Indonesia memiliki suatu tantangan yang secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi pembentukan kepribadiannya ketika ia berada dalam lingkungannya
1. Tantangan eksternal
Ada beberapa gejala dalam dunia ini yang menjadi tantangan bagi kekristenan karena adanya perubahan yang demikian cepat dan dinamis dalam kehidupan masyarakat.  Kennedy menyatakan “...beberapa kesulitan yang perlu pula dicatat. Yang pertama ialah bahwa gelombang dalam penduduk dunia dan naiknya ketidakseimbangan demografis antara negara kaya dan miskin. Faktor kedua adalah ledakan penduduk juga menghasilkan tantangan lingkungan hidup yang secara kualitatif berbeda dengan 60 tahun lalu .. faktor ketiga adalah  tekanan penduduk di banyak negara berkembang menyebabkan penyusutan sumber daya pertanian lokal....Dalam bidang lain adanya indikasi bahwa beberapa dari teknologi baru ... jauh dari menyelamatkan penduduk dunia berkembang yang meledak, dapat merugikan negara-negara  yang lebih miskin ... sering menyebabkan masalah struktural ...teknologi maju mengancam untuk menggerogoti ekonomi masyarakat berkembang.”[15]
Dalam konteks Indonesia, ada  beberapa krisis yang mengemuka yang dimulai sejak krisis ekonomi 1998 yang masih memiliki dampak hingga saat ini. Yakub B. Susabda menyimpulkan adanya beberapa krisis yaitu (1) krisis ekonomi dengan jatuhnya nilai tukar Rupiah yang memunculkan krisis lain yaitu (2) suatu krisis kepercayaan dimana masyarakat tidak lagi mudah percaya kepada figur otoritas kepemimpinan, (3) masing-masing mengambil jalannya sendiri dalam usaha menyelesaikan masalah bangsa sehingga muncul krisis ketidakpastian hukum yang memunculkan reaksi demonstrasi dimana-mana dan semakin banyaknya perusahaan asing menarik investasinya dari tanah persada Indonesia.
Ada fenomena eksternal religius yang yang sangat khas nampak dalam masyarakat Indonesia yaitu masalah pluralisme[16] yang sama sekali bukan merupakan suatu tantangan yang baru. Masalah ini menjadi masalah yang sangat sulit untuk bisa dikompromikan karena memang berdasar kepada suatu pemahaman dan keyakinan yang mengakar. D A Carson menyatakan bahwa “diakui atau tidak, doktrin Allah merupakan inti dari perdebatan pluralisme kontemporer...dan bersumber pada pertanyaan mengenai wahyu”[17][18] tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Sebenarnya masalah yang muncul adalah syarat yang memberatkan proses pendirian rumah ibadat bagi umat kristiani. Hal ini nampak dalam beberapa fasal yaitu fasal 13[19], 14[20]  Bahkan lebih jauh dengan adanya tindakan makin hakim sendiri kelompok tertentu terhadap beberapa gereja - dengan terjadinya penggunaan kekerasan oleh pihak tertentu dalam kebebasan kehidupan beribadah di berbagai daerah - semakin memperparah kebebasan kehidupan umat beragama di tanah Pancasila ini. Hal ini juga mendorong pimpinan gereja-gereja di Indonesia melalui Majelis Pekerja Harian PGI memberikan reaksinya terhadap perusakan gedung-gedung  gereja di Surabaya tanggal 9 Juni 1996, sebagai salah satu contoh kasus.[21] Ketimpangan yang ditimbulkan dengan adanya pluralisme ini adalah adanya peraturan bersama mentri  yang memuncak pada diterbitkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negri no 9/no 8 tahun 2006

2. Tantangan bersifat internal
Keadaan krisis ini yang dialami bangsa Indonesia secara umum dan kekristenan secara khusus ‘menghasilkan’ timbulnya berbagai golongan masyarakat Kristen yang terbagi dua yaitu kelompok primordialistik[22] (yang memperjuangkan kepentingan agama itu sendiri) dan arus kelompok “nasionalisme”[23] Kelompok ini timbul karena adanya pembentukan karakter yang sejalan dengan pembentukan reaksi yang diungkapkan umat Kristiani terhadap berbagai konflik eksternal yang ada.
            Kelompok primordialistik ini terus mempertahankan dirinya melalui hak pendirian gereja dan cabang-cabang atau melakukan penginjilan melalui cara-cara yang dikehendakinya, sehingga terjadi ekslusivitas dan timbul tembok pemisah yang semakin tebal, kecurigaan serta saling tidak percaya antar umat beragama semakin terbentang lebar.[24] Masih dalam konteks yang sama, Yakub B. Susabda menyatakan “kelompok kristen nasionalisme religius sedikit lebih mudah menempatkan diri di tengah perjuangan berbangsa dan bernegara karena orientasinya pada pembangunan bangsa dan bernegara”[25] Namun demikian  apabila mereka berada dalam situasi yang merugikan kepentingan agama mereka, maka mereka akan cenderung menolak tanpa bisa lagi dikompromikan alasannya. Di sisi lain kelompok nasionalisme sekuler akan menjadi kelompok yang paling mudah menyesuaikan diri dan diterima lingkungan, dengan ciri-ciri ‘kepribadian’ kelompok ini. Namun masalah lain yang tidak kalah seriusnya adalah pertanyaan di sekitar keyakinan dan iman seperti apa yang dianut kelompok ini, karena terlalu mudahnya mereka berkompromi dengan lingkungannya meskipun lingkungan ini memiliki warna yang sangat berbeda. Bagaimana warna iman mereka sesungguhnya apabila mereka tidak berbeda dengan lingkungan yang jelas-jelas memiliki warna iman berbeda?
            Dilihat dari sisi paradigma pemikiran theologis psikologis, nampak ada dua kelompok berbeda  yang membedakan secara ekstrim-dualitas realita sebagai sekuler dan spiritual yang akan mempengaruhi pembedaan aktifitas, penilaian, perlakuan dan wilayah kehidupan. Hal ini membuat seseorang terjebak ke dalam dua ekstrim realitas, entah itu hanya sebagai spritual maupun realitas sekuler tanpa bisa melihat koneksitas antara kedua bidang realitas itu. Calvin menegaskan sebenarnya masalah tersebut bukan sebagai masalah yang bertentangan dan benar-benar terpisah. Dia menyatakan “they are not completely separable or antethical”[26] Paradigma pemikiran seperti ini tentunya didasarkan atas pembentukan serta pengajaran theologi yang tidak utuh di satu pihak dan kekurang dewasaan kepribadian seseorang sehingga mengkotak-kotak kan masalah kehidupan ini. Mereka cenderung tidak bisa melihat bahwa iman mereka seharusnya mewarnai seluruh kehidupan mereka, tidak dibatasi pada aspek kehidupan yang bersifat religius. Iman menjadi bagian hidup yang tidak bisa menjawab seluruh masalah yang mereka hadapi, bahkan terjadi ‘kemandulan’ fungsi iman dalam kehidupan seseorang. Jadi tidak ada suatu proses integrasi antara dunia spiritual yang bersumber pada aspek iman dengan dunia sekuler.
            Bagaimana seharusnya seorang kristen dewasa dalam memberikan respon terhadap tantangan ini? Di sisi lain,  layaklah apabila kita mengajukan pertanyaan “Apakah kehadiran gereja dan orang percaya di Indonesia ini sudah menjadi suatu garam yang kehilangan asinnya?” Yakub B Susabda mengkritisi posisi gereja dengan menyatakan “kehadiran gereja di bumi Pertiwi ini sebagai kehadiran ‘tanpa peran yang berarti’. Selama ini peran yang dimainkan adalah peran yang terlalu kecil untuk anugerah dan kesempatan yang besar ... gereja semakin kebingungan peran  ... krisis identitas ... karena kita meninggalkan jati diri kita sebagai orang yang ditebus. “[27]
Apabila kita simpulkan pengaruh tantangan di Indonesia terhadap pembentukan kepribadian seseorang. Kenyataan kehidupan agama di negara ini menyebabkan hal-hal yang kurang menguntungkan bagi pembentukan kepribadian yang sehat, seperti:
1. Kaum minoritas merasa diri tidak aman bahkan bisa saja mereka sulit untuk mengembangkan suatu sikap yang bisa berbaur dengan bangsa ini karena adanya perlakuan seperti itu. Namun di sisi lain, timbul pula tindakan ekstrim berupa tindakan anarkhis kelompok tertentu dalam usaha mereka menyelesaikan tekanan-tekanan yang ada.[28]
Kemungkinan negatif lainnya adalah seseorang kurang berani menunjukkan warna imannya sehingga iman menjadi suatu ‘hiasan’ bukan lagi bisa muncul dalam warna yang aslinya. Iman hanya sekedar suatu realitas semu yang tidak lagi bisa dilihat wujud aslinya. Seseorang akan menjadi demikian resah apabila diajak bicara tentang iman dalam praktika kehidupan sehari-hari
Terjadi pemisahan antara dunia sekuler dengan dunia rohani dimana iman dalam diri mereka menjadi suatu barang yang tidak lagi bisa dibawa ke dalam kehidupan realistis, karena keadaan lingkungan yang tidak memungkinkan terlaksananya penerapan iman dalam kehidupan. Kehidupan iman seseorang menjadi makin lama makin tidak lagi mengakar dan semakin menimbulkan jurang yang semakin jauh antara kehidupan iman sebagai penghayatan pribadinya di satu sisi dengan kehidupan iman sebagai petunjuk untuk bisa berkarya dalam kehidupan di masyarakat.
Semangat hidup yang berparadigma ‘jago kandang’ Dalam hal ini berbagai aliran kekristenan hanya akan terjebak ke dalam prinsip kehidupan yang tidak mampu memikirkan apa yang akan dilakukan terhadap tantangan di dunia luar. Mereka akan hanya cenderung dapat berkata-kata atau berkiprah dalam kalangan sendiri saja, tanpa bisa berbicara dalam konteks nasional bahkan internasional, dalam upaya menjawab tantangan masalah yang ada.
Semangat hidup lain yang berparadigma ‘katak dalam tempurung’. Paradigma berfikir ini sebenarnya memiliki semangat yang tidak mau peduli terhadap apa yang ada di luar sana. Manusia yang terjebak dalam keadaan ini hanya memikirkan masalah di dalam, tanpa merasa terbeban terhadap pergumulan-pergumulan di luar sana.

D. PANGGILAN GEREJA DAN ORANG KRISTEN        
            Sebenarnya gereja menyadari adanya panggilan untuk turut serta dalam pembangunan nasional. Gereja menyadari panggilannya dengan mengikuti teladan seorang pendiri atau Bapa Gereja pada zaman Reformasi yaitu John Calvin terhadap lima pemerintahan selama dari abad XVI sampai abad XVIII.[29] Kesadaran akan panggilan ini sudah mengemuka dalam bagian Pengantar Keputusan Sidang Raya X DGI tentang Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) tahun 1984-1989. Kesadaran ini dilatar belakangi beberapa alasan seperti:[30]
1. Tuhan  sendirilah  yang  telah menempatkan gereja-gereja di Indonesia dalam rangka pelaksanaan panggilan orang-orang percaya di segala tempat dan di sepanjang zaman, untuk menjadi saksiNya. 2. Gereja merasa terpanggil untuk bersekutu, bersaksi dan melayani bersama-sama di tengah kehidupan bangsa Indonesia
            Meskipun demikian, seluruh partisipasi gereja dan usaha melayani masyarakat dalam pembangunan nasional itu tetap berada dalam bingkai tujuan, sebagaimana yang tercakup dalam  Bab V Keputusan Sidang Raya X DGI tentang Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) tahun 1984-1989[31]:
57. (a) Kita berpartisipasi dan melayani dalam pembangunan nasional dengan  tujuan agar dalam kehidupan bermasyarakat, bangsa dan negara Pancasila yang sedang melaksanakan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dapat didirikan tanda-tanda mengenai kesejahteraan,keadilan, kebebasan, persaudaraan perdamaian dan kemanusiaan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia ini dengan kedatangan kerajaan-Nya.
(b) ... kita sekaligus membarui, membangun, dan mempersatukan gereja dan memupuk kemandirian di bidang teologi, daya dan dana
58. (a) ... kita bertujuan untuk membangun di Indonesia masyarakat industri modern yang adil, makmur, dan lestari berdasarkan Pancasila ...
59. .(b)... gereja-gereja kita bertekad untuk menghindari kemungkinan yang pertama[32]dan kedua[33] dan bertekad untuk melaksanakan kemungkinan ketiga[34]

            Bagaimana bentuk partisipasi gereja di dalam dunia Indonesia? Kembali hal ini dinyatakan dalam beberapa cara:
         60. ..telah menjalankan kegiatan-kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan juga di bidang pertanian, kadang-kadang juga di bidang pengangkutan
            64 ... (a) memberikan sumbangan pemikiran yang bersifat makro dalam usaha untuk menciptakan kerangka landasan bagi perkembangan dan pertumbuhan menuju masyarakat industri modrn yang adil, makmur dan lestari .. (b) berpartisipasi dalam pembangunan desa ... (c) berpartisipasi dalam pembangunan kota, ... (d). Berpartisipasi dan melayani di bidang ketenagakerjaan ... (e) berpartisipasi dan melayani dengan corak dan sikap tersendiri di bidang kesehatan, pendidikan, kependudukan, termasuk bidang transmigrasi, pelayanan kepada kelompok masyarakat yang terpencil dan terbelakang, ... (f) berpartisipasi dan melayani di bidang sosial baik yang bersifat tradisional maupun di bidang-bidang pelayanan sosial yang baru, ... (g) berpartisipasi dan melayani di bidang-bidang yang memelopori perkembangan di masa depan seperti bidang kecendekiawanan, kewiraswastaan, kesenian, ilmu dan teknologi dan seterusnya ... (h) berpartisipasi dan melayani dalam upaya memperingatkan, menanggulangi dan mengurangi berbagaiekses negatif dalam pembangunan[35]

Apabila dilihat dari keadaan di atas, nampak adanya suatu perumusan yang operasional terhadap peran dan panggilan gereja bagi bumi persada Indonesia. Namun yang menjadi masalah adalah sampai seberapa jauh setiap jemaat persiapkan? Beberapa penelitian menunjukkan keadaan yang menyedihkan, walaupun hal ini bukan dilakukan di Indonesia.
            Banyak penelitian yang dilakukan. Salah satu masalah yang diteliti adalah bagaimana hubungan antara agama dengan penyesuaian psikologis seseorang terhadap lingkungannya? Apakah seorang Kristen akan secara otomatis bisa mengkaitkan panggilan dirinya sebagai seorang Kristen dengan tanggung jawab terhadap dunia?  Beberapa penelitian terhadap keadaan beberapa orang kristen menunjukkan hal yang menarik untuk disimak. Penelitian Pugh[36] menunjukkan bahwa:
 Negro Baptist minsters, church members, and non-church members .... obtained high scores on the religious scale. On the other hand, the social scale ranked second with non-church members and fith among the ministers. The author concluded that ministers might well reexamine their values for adequacy to enable them to meet the problem which they, by the very nature of their work, are forced to face [37]
Di dalam masalah hubungan antara religiusitas dan  sikap terhadap masalah-masalah sosial, peneliti yang bernama Obenhaus mencoba menghubungkan church affiliationdengan sikap terhadap beberapa pertanyaan publik yang telah diseleksi dan menghasilkan suatu kesimpulan yang mengejutkan, sebagai berikut: “he found an almost complete failure, among his subject, to think theologically about social issues. According to Obenhaus, this raises serious doubts about whether the church leadership is fulfilling its function in social and ethical development”[38]. Nampak bahwa Obenhaus ingin menunjukkan dalam penelitiannya bahwa adanya suatu tantangan gereja untuk mendidik jemaatnya memperhatikan maslaah sosial sebagai suatu bentuk kepedulian dan implementasi nilai imannya terhadap panggilan gereja di masyarakat. Bahkan adanya suatu tantangan yang cukup mengejutkan dari hasil penelitian Salisbury[39] tentang karakteristik kaum ortodoks terhadap masalah yang terjadi di masyarakat dengan beberapa hasil penelitiannya sebagai berikut: :
            1) “The orthodoxy personality interacts within a religious system removed and remote from the problems of social millieu” 2) “Internalization of doctrine is not reflected in external behavior, i.e. more tolerant, more democaratic, etc”. 3) “Religion to the orthodox person is a personal dan private affair with little or no social implications”, 4) “Where the sacred ideologi is in conflict with the secular ideology, the orthodox personality finds it possible to retain or to reject individual values within the value system that characterizes his particuolar religious system[40]

E. LANGKAH STRATEGIS YANG PERLU DIPERSIAPKAN
            Dengan adanya tantangan dan keadaan Indonesia di satu pihak dan kepribadian seorang kristen di lain pihak, maka seseorang yang ingin memiliki posisi dan peran serta yang tepat bagi dunia sekitar tentunya harus mempersiapkan beberapa langkah strategis, baik yang bersifat pemikiran teoritis maupun persiapan aplikatif.
1. Fondasi kerohanian seseorang: theologis vs sekulerisme
            Dasar theologis yang benar dan kuat menjadi suatu hal yang mutlak dibutuhkan seseorang agar dirinya bisa bertahan terhadap tantangan yang ada dan bisa bereaksi secara tepat terhadap pergumulan hidupnya.[41] Nilai-nilai ini seharusnya menjadi suatu pemersatu dan penopang seseorang dalam menjalani kehidupannya.
Ada beberapa unsur keyakinan theologis yang penting diingat dan menjadi dasar bagi peran serta seseorang Kristen yang sehat, seperti diantaranya nampak di bawah ini:
    a.  Kedaulatan Allah.
            Konsep theologis ini menunjukkan bahwa Allah sebagai Pencipta berarti Dia adalah Tuan yang berdaulat atas segala sesuatu yang diciptakanNya.[42] Implikasi hal ini menunjukkan adanya suatu interdependensi dalam ciptaan ini, sebagaimana diungkap oleh Leith[43]
     b. Manusia sebagai peta teladan Allah.
               Manusia sebagai image of God diungkap Wayne Grudem menyatakannya sebagai “man is like God and represent God”[44] Karakteristik ini yang membedakan manusia dengan ciptaan lain, menjadikan manusia sebagai ciptaan yang paling mulia dan unik. Namun sayang, akibat pemberontakan manusia terhadap Allah maka manusia jatuh ke dalam dosa dan berakibat rusaknya peta dan teladan Allah ini. Hal ini akan mempengaruhi hubungannya dengan Allah, diri dan sesamanya serta alam semesta ini. Manusia tentunya memiliki ciri-ciri seperti Allah, yaitu kekal, rohani dan memiliki kemampuan untuk berkreasi.  Inilah yang menyebabkan manusia begitu bernilai, jauh dibandingkan binatang dan ciptaan lain.
Pembentukan nilai-nilai theologis ini menjadi panggilan gereja (dengan lembaga sejenis – termasuk parachurch dan sekolah kristen) untuk bisa memberikan suatu dasar kebenaran bagi setiap jemaatnya agar bisa memperoleh suatu pemahaman theologis yang kokoh, suatu worldview yang utuh dan sistematis yang membentuk jaringan kokoh sebagai modal untuk berhadapan dengan panggilannya sebagai seorang kristiani di tanah air ini.
2.Orientasi Religiusitas seseorang:  bersifat intrinsik[45] vs ekstrinsik.
Semua nilai dan tatanan rohani seseorang seharusnya memberikan pengaruh dalam dirinya demikian nyata, karena semua nilai rohani dan religius ini menyebabkan dirinya memiliki orientasi religius yang bersifat intrinsik, menjadi integral dengan kehidupannya, bukan hanya merupakan suatu hiasan hidup eksternal palsu semu belaka. Allport membagi dua pribadi dalam kaitannya dengan agama, yang pertama menggunakan agama bagi tujuan kehidupannya dan pribadi lain adalah yang menghidupi nilai-nilai yang ada dalam agamanya. Lebih jauh dia menyatakan “there are two types of religious person – those who use religion (the extrinsic) and those who live the religion (the intrinsic) [46] Allport dan Rose memandang motivasi dan menggunakan setiap tipe motivasi ini dalam pembentukan agama. Lebih jauh mereka menyatakan:
      Person with [extrinsic] orientation may find religion useful in a variety ways – to provide security and solace, sociability and distraction, status and self justification. The embraced creed is lightly held or else selectively shaped to fit more the primary needs... Person with [intrinsic] orientation find their master motive in religion. Other needs, strong as they may be, are regarded as of less ultimate significance, and they are, so far as possible, brought into harmony with the religious beliefs and prescriptions[47]

Hal ini (the intrinsic) merupakan salah satu ciri dari pribadi yang sehat yang memiliki ninlai-nilai yang mempersatukan seluruh hidupnya berdasarkan sistem nilai yang dianutnya sehingga nilai agama ini bukan hanya sekedar pengetahuan atau ritual atau seremoni atau baju bagi diri seseorang, namun menjadi kompas dalam kehidupannya ketika bahkan menghadapi permasalahan yang pelik sekalipun mengharuskan dirinya belajar banyak dari kegagalan kehidupannya.
3.Pendekatan antara iman kristiani dengan seluruh aspek kehidupan: integratif vs partial.
   Semua pengetahuan yang terkristal dalam iman seseorang seharusnya menjadi suatu bagian yang terintegratif dengan kehidupannya yang nyata sehingga kehidupan itu dijalani bukan dengan prinsip sekuler dan sacred oriented atau partial region . Seorang kristen yang dewasa seharusnya memandang kehidupan ini sebagai bagian utuh dan menjadi satu kesatuan yang terintegratif dengan imannya. Jadi ruang lingkup kesaksian hidup seseorang kristen yang d\sehat dan dewasa adalah mencakup keseluruhan area kehidupannya, bukan hanya sebagian atau partial.
4.Pradigma the life based on Theological values
   Kehidupan ini harus senantiasa diberi makna berdasarkan theological vules yang kita miliki. Hal ini menunjukkan suatu implikasi bahwa setiap aspek dalam kehidupan ini harus diberi konteks dan nilai berdasarkan suatu pertimbangan religius yang dimiliki, baik kehidupan ibadah formal di gereja maupun kehidupan sehari-hari di rumah dengan segala tantangannya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu ‘latihan’ bagi seseorang dalam menganalisis kasus dilihat dari perspektif theologis. Mungkin hal ini bisa dijadikan suatu modal bagi terbentuknya suatu kemampuan dalam dirinya agar mampu menjawab seluruh tantangan dunia melalui aplikasi pemahaman theologis yang benar. Mungkin pula hal ini membutuhkan suatu comparing studies antara nilai-nilai suatu orientasi theologis tertentu dengan orientasi theologis lainnya terhadap suatu masalah. Contoh: bagaimana seorang kristen harus memberikan makna terhadap kejadian gempa bumi dan Tsunami di daerah pantai selatan pulau Jawa dilihat dari theologi kristen, dibandingkan dengan pandangan theologi Islam. Mungkin perlu diadakan kajian-kajian sistematis dan kritis theologis terhadap berbagai gejala sosial kehidupan masyarakat, seperti prostitusi, korupsidan lain-lain. Tujuan akhir dari langkah persiapan ini adalah mempersiapkan seseorang agar dapat menilai segala fenomena kehidupan ini berdasarkan sudut pandang theologis yang merefleksikan kehidupan imannya.
5.Paradigma kesaksian hidup: Garam dan Terang Dunia vs Jago Kandang dan menara gading
   Paradigma kesaksian hidup garam dan terang dunia ini menjadi ciri khas bagi orang Kristen di sepanjang pengajaran Alkitab. Oleh karena itu, seorang Kristen yang baik bukan hanya dituntut untuk hidup bagi dirinya sendiri dalam lingkungan yang terbatas (paradigma jago kandang) atau pun sama sekali tidak mau peduli terhadap tuntutan lingkungannya (paradigma menara gading). Memang dibutuhkan suatu upaya yang terus-menerus agar setiap orang memahami makna dan prinsip terang dan garam dunia ini sehingga dirinya menjadi saksi yang tepat, bukan hanya suatu utopia ataupun mengkompromikan nilai-nilai imannya ketika ia berada dalam masyarakat. 
6.Paradigma penata layanan: Networking vs single person show
   Melihat tantangan yang ada, maka perlu kiranya kita membangun suatu jaringan di antara kekristenan, bukan lagi saatnya untuk hanya memikirkan untuk membangun kerajaannya sendiri. Meskipun demikian, ada aturan-aturan main yang harus dijaga bersama sehingga masing-masing pihak bisa saling menghargai dan melakukan sinergi untuk kemajuan pelayanan dan kesaksian bersama, khususnya dalam upaya untuk membangun. Hal ini memang membutuhkan suatu kebesaran hati dan keteguhan hati bagi setiap pihak untuk membangun jaringan yang sama-sama menunjang pelayanan bersama, sampai batas-batas tertentu sesuai dengan talentanya masing-masing.
7.Generasi Nehemia dan Yusuf vs generasi aku
Seringkali yang menjadi masalah adalah bukan tantangan yang ada di luar diri seseorang tetapi justru yang menjadi masalah adalah seseorang yang tidak bisa melihat dan bahkan terdorong untuk ambil bagian dalam masalah yang ada. Nehemia adalah salah satu contoh yang baik ketika ia mendengar kisah tentang runtuhnya tembok Yerusalem sehingga menimbulkan suatu kehinaan bagi bangsanya. Nehemia yang berada pada posisi terhormat dan ‘enak’ (sebagai Juru minuman raja) berani dan rela meninggalkan kedudukannya untuk berjuang memperhatikan dan membangun kembali tembok Yerusalem ini. Dengan bergantung kepada Tuhan, ia akhirnya bisa mebangun kembali Tembok Yerusalem itu hanya dalam waktu 52 hari. Ini merupakan mission impossible. Di sisi lain, Yusuf memberikan contoh dalam dimensi yang berwarna lain. Yusuf adalah pribadi yang banyak mengalami penderitaan dan ketidak-adilan karena perlakuan sekelilingnya terhadap dirinya, pada hal dirinya memiliki suatu kehidupan yang berintegritas dan berusaha untuk menyenangkan hati Tuhan. Dia memang bertahan di dalam penderitaan itu, karena ia menyadari adanya Tuhan yang berdaulat atas kehidupannya. Oleh karena itu, ketika ia diinjinkan Tuhan untuk memimpin bangsa Mesir pada saat itu juga ia senantiasa berusaha untuk menyelamatkan bangsa Israel dari bahaya kelaparan yang sedang melanda negrinya. Ia memiliki kebesaran jiwa dengan menerima kembali dengan penuh kasih saudara-saudaranya yang telah menyiksa dan menjual dirinya kepada saudagar Potifar. Ia berani berdiri di atas penderitaan dirinya dengan tetap menjalankan panggilannya untuk membangun suatu bangsa yang besar, yang mengasihi Tuhan.
         Memang untuk menjadi Yusuf dan Nehemia, dibutuhkan banyak hal bukan merupakan suatu yang sederhana. Dibutuhkan anak-anak Tuhan terbaik di bidangnya untuk berjuang di tengah-tengah bangsa kafir yang bukan hanya memikirkan untuk pengembangan dirinya tetapi memikirkan pengembangan dan restorasi bangsanya.

F. KESIMPULAN
            Marilah kita menyiapkan diri kita untuk peran serta kita dalam kehidupan bangsa ini, bukan lagi untuk menangis ... meratapi nasib kita tetapi mari kita bersatu .. menjadi saksi-Nya dan mercu suar bagi dunia sekitar. Ada baiknya kita menyimak kalimat yang diungkap Bung Karno, seperti yang dikutip Sarwono Kusumaatmadja:
         Kita sekarang tida berkesempatan lagi oentoek menangis, kita soedah kenjang menangis! Bagi kita sekarang ini boekan saatnja oentoek lembek-lembekan. Berabad-abad kita soedah lembek sebagai kapoek dan agar-agar. Ra’jat dan tanah toempah darah kita itoe membutuhkan otot-otot jang kerasnja sebagai badja, oerat-oerat jang koeatnja sebagai besi, kemaoean jang kerasnja sebagai batoe-item jang tegoeh dan sentausa oentoek menolak serangan-serangan dari moesoeh, dan djika perlu bagi mentjapai toedjoean berani terdjoen didasarnja samoedra ...”[48]

Selamat berjuang ... bukan sebagai seorang yang minder ... bukan sebagai seorang yang berjalan dengan menundukkan kepala ke bawah, tetapi dengan kepala tegak .. memandang kehidupan dan tantangan masa depan sebagai bagian untuk pembentukan diri dan dunia di sekitarnya sebagai suatu panggilan dalam dirinya yang terus muncul sebagai seorang kristen, sebagai seorang pribadi yang sehat dan sebagai seorang yang bertanggung jawab di hadapan Tuhan, diri dan sesamanya.

--------------0o0o0o0-------------



[1] J.D. Carter, Healthy Personality. dalam David G. Benner (ed) Baker Encyclopedia of Psychology.  Forth Printing. (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1993), h. 498-504
[2]  Ibid, h. 498.
[3] Gordon Allport merupakan psikolog kristen yang banyak meneliti tentang psikologi agama, khususnya perkembangan dan ciri religiusitas yang bersifat  instrinsik (sejati) dan ekstrinsik (palsu) dikaitkan dnegan kedewasaan seseorang dalam kehidupan kepribadiannya. .
[4]  Humor merupakan suatu aspek yuang penting karena hal itu akan mencegah terjadinya apa yang disebut sebagai pemuliaan diri yang palsu. Dengan dimilikinya humor berarti seseorang dapat melihat dan menghargai kejelekan dan ejekan terhadap kekurangan dlaam diri mereka atau orang lain tanpa merasa dirinya tersinggung. Jadi dengan adanya humor merupakan suatu kemampuan untuk memtertawakan beberapa hal yang merupakan kekurangan/kelucuan diri atau orang lain tanpa adanya suatu perasaan harga diri yang terganggu. [Lihat Larry A. Hjelle, Daniel J. Ziegler (editors), Personality Theories: Basic Assumption, Research, and Application Second Edition. Fourth printing (Singapore: McGraw-Hill Book Company,. 1986) h. 301]
[5]  Ibid, h. 301
[6] J.D. Carter, Healthy Personality. dalam David G. Benner (ed) Baker Encyclopedia of Psychology.  Forth Printing., h. 501
[7]   Intimacy ini merupakan kemampuan seseorang untuk menunjukkan/mengekspressikan  suatu kasih yang mendalam terhadap keluarga dan kerabat dekat tanpa disertai adanya perasaan cemburu atau sikap posesif. Sedangkan kasih sayang ditunjukkan dengan adanya kemampuan melakukan toleransi terhadap perbedaan di antara mereka sehingga memungkinkan mereka tetap menunjukkan apresiasi dan sikap menghormati orang lain serta membina hubungan yang baik dengan orang lain [Lihat Larry A. Hjelle, Daniel J. Ziegler (editors), Personality Theories: Basic Assumption, Research, and Application h. 301]
[8]  Orang yang sehat ini memiliki self image yang sehat sehingga dirinya bisa menunjukkan toleransi terhadap kejadian yang menimbulkan frustrasi atau gangguan pada dirinya tanpa menimbulkan kepahitan hidup dalam dirinya. [Ibid, h. 301]
[9] J.D. Carter, Healthy Personality. dalam David G. Benner (ed) Baker Encyclopedia of Psychology.  Forth Printing., h. 501
[10]   Larry A. Hjelle, Daniel J. Ziegler (editors), Personality Theories: Basic Assumption, Research, and Application h. 301
[11]  Nilai-nilai ini merupakan suatu ‘package plan’ karena nilai-nilai ini mengandung seperangkat motivasi dan tindakan yang terintegratif dalam kehidupan seseorang
[12] Larry A. Hjelle, Daniel J. Ziegler (editors), Personality Theories: Basic Assumption, Research, and Application h. 301
[13] Gordon Allport, Pattern and Growth in Personality (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1961), h. 290
[14] Larry A. Hjelle, Daniel J. Ziegler (editors), Personality Theories: Basic Assumption, Research, and Application h. 301
[15] Paul Kennedy, Menyiapkan Diri Menghadapi Abad ke-21 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hal. 17-18, 491-499
[16]  Pluralisme ini, diungkap DA Carson sebagai suatu keadaan yang juga dialami oleh Amerika dan negara Eropa pada umumnya, mengacu pada pengertian adanya (1) keragaman yang semakin meningkat dalam budaya, (2) toleransi masyarakat terhadap keragaman tersebut, (3) pendirian filosofis. Hal ini berarti toleransi adalah suatu mandat, karena tak ada gelombang di laut keragaman yang memiliki hak untuk mendahului semua gelombang lain. Di dalam dunia religius, tidak ada agama yang berhak untuk menyatakan bahwa hanya dia yang benar sementara yang lainnya salah. Satu-satunya kredo yang mutlak adalah kredo pluralisme itu sendiri, demikian Carson menyimpulkan. [Lihat DA Carson & John D. Woodbridge (editors), God and Culture: Allah dan Kebudayaan Terj. (Surabaya: Momentum, 1997), h. 35-39]
[17]   Ibid, h. 54, 58
[18]  Sebenarnya masalah ini sudah menjadi keresahan umat Kristiani sejak lama. Hal ini nampak dengan adanya reaksi Persekutuan Gereja Indonesia yang dituangkan dalam Pokok-pokok Pikiran Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) tentang pembangunan Rumah Ibadah (I) – 1993 serta Pokok-pokok pikiran dan Usul PGI terhadap Rancangan Peraturan Menteri Dalam Negri tahun 1994 tentang Pendirian Rumah Ibadah (II) - 1994          (Weinata Sairin, Pemilu, GBHN dan Viai Sosial Kemasyarakatan: Perspektif Gereja-gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), h. 330-349
[19]  Fasal 13 ini terdiri dari 3 ayat yaitu (1) Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa, (2) pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketentraman dan ketertibah umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan, (3) Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan.desa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten.kota atau provinsi (Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negri no 9 Tahun 2006/Nomor 8 tahun 2006: Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beraama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, fasal 13)
[20] Fasal 14 yang memberatkan umat kritiani adalah ayat 2 yang menyatakan “selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: (a) daftar nama dan Kartu tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3); (b) diukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; (c) rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan (d) rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota” (Lihat: Ibid. Fasal 14)
[21]  Weinata Sairin, Pemilu, GBHN dan Visi Sosial Kemasyarakatan: Perspektif Gereja-gereja di Indonesia , h. 364-366, bandingkan dengan pernyataan serupa terhadap kasus lain yaitu perusakan gedung ibadah di Jawa Timur tanggal 10 Oktober 1996.Ibid. , h. 373-375
[22] Kelompok ini sebenarnya tidak perduli atau terbeban untuk pembangunan bangsa dan negara. Pihak ini hanya ingin memperjuangkan hak dan kebebasan beragama, hanya berorientasi kepada kepentingan kelompok agamanya sendiri. [Lihat Hendra G. Mulia (Editor), Perjuangan Menantang Zaman: Kumpulan Esai Sebagai Penghargaan Kepada Pendeta Stephen Tong pada HUT ke-60 (Jakarta:Reformed Institut Press, 2000), h. 23-24]
[23] Kelompok ini terbagi menjadi dua kelompok lagi yaitu (1) nasionalisme religius, suatu kelompok yang ingin membangun nusa dan bangsa Indonesia ini demi kepentingan agamanya sendiri dan (2) nasionalisme sekuler, suatu kelompok yang rela mengorbankan kepentingan-kepentingan primodialistik kelompok agamanya sendiri demi kepentingan kehidupan bersama atau kehidupan berbangsa dan bernegara yang kadang-kadang memang merupakan kesatuan dari realitas yang pluralistik. [Ibid, h. 24-25]
[24]  Ibid, h. 24
[25]  Ibid, h. 25
[26] John  T. McNeill (ed),   Calvin: Institutes of the Christian Religion. Philadelphia: Westminster Press, .h 364
[27] Hendra G. Mulia (Editor), Perjuangan Menantang Zaman: Kumpulan Esai Sebagai Penghargaan Kepada Pendeta Stephen Tong pada HUT ke-60 (Jakarta:Reformed Institut Press, 2000), h. 27
[28] Franz Magniz-Suseno, Hentikan Pembantaian. Paul Tahalele, Frans Parera, Thomas Santoso (editors). Indonesia Di Persimpangan Kekuasaan: Dominasi Kekerasan Atas Dialog Publik . penerbit The Go-East Institute dan Forum Komunikasi Kristiani Indonesia (FKKI), Jakarta, 2000, h. 17
[29]  Uraian lebih lanjut tentang pengaruh John Calvin ini dapat dilihat dalam Douglas F. Kelly, The Emergence of Liberty in the Modern World (Phillipsburg, New Jersey: Presbyterian and Reformed Pub. Co, 1992)
[30] Uraian lengkap mengenai dasar pemikiran panggilan gereja untuk menjalankan tugasnya di Indonesia ini dapat dilihat Weinata Sairin, Pemilu, GBHN dan Visi Sosial Kemasyarakatan: Perspektif Gereja-gereja di Indonesia.  (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), h. 96-98
[31] Ibid, h. 115-117
[32] Dalam keadaan ini, gereja semakin tersingkir, semakin terdesak dan tidak mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia, masyarakat, bangsa dan negara, apabila gereja ketinggalan terhadap gerak pembangunan yang dinamis itu. Ibid , h. 115 
[33]Dalam keadaan ini, gereja ikut-ikutan saja dengan arus pembangunan, sehingga semakin kaburlah pemahaman mengenai misi gereja, karena hal itu berarti gereja sudah menjadi serupa dengan dunia ini (Rom 12:2), Ibid,  h. 117
[34] Gereja dalam keadaan ini akan menghikuti pekerjaan Roh Kudus yang membaharui, membangun, dan mempersatukan gereja agar gereja semakin mampu menghadapi tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan dalam masyarakat, bangsa dan negara yang sedang membangun dengan memberitakan Injili kepada segala makhluk, berpartisipasi dan melayani dalam pembangunan. Lihat Ibid h.117
[35] Ibid, h. 118-119
[36] Penelitian Pugh ini membandingkan nilai yang dimiliki oleh hamba Tuhan (Ministers) Negro baptis dengan dua kelompok lain yang terdiri dari orang awam (anggota gereja dan bukan anggota gererja) dengan menggunakan Allport-Vernon Scale of Values yang mencakup pengkuran terhadap enam nilai yaitu nilai-nilai (1) teoritik, (2) ekonomi, (3) estetika, (4) politik, (5) religius dan (6) sosial. [Lihat: T.J. Pugh, A Comparative Study of the Values of a Group of Ministers and Two Groups of Laymen, Journal of Social Psychology No. 33, 1951, h. 223-235
[37] Victor D. Sanua, Religion, Mental Health, and Personality: A Review of Empirical Studies dalam H. Newton Malony, Current Perspectives in the Psychology of Religion  (Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Pub. Co, 1979) h. 184
[38] V. Obenhaus. Church Affiliations and Attitudes Towards Selected Public Questions in a Typical Midwest Country, Rural Sociologi No. 28, 1963, h. 34-37
[39] Salisbury meneliti sejumlah besar mahasiswa di bagian Utara dan Selatan untuk menganalisis apakah ada perbedaan atau persamaan sikap dan tindakan kaum religius ortodoks dengan kaum religius liberal. [W.S. Salisbury. Religious Orthodoxy and Social Behavior, read at meeting of the Society for the Scientific Study of Religion, New Haven, Conn, October 1959]
[40] H. Newton Malony, Current Perspectives in the Psychology of Religion  (Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Pub. Co, 1979) h. 185.
[41] Uraian Etis Nehe berkaitan dengan perspektif theologi Reformed terhadap sosialitas Kristiani bisa dijadikan acuan dalam masalah ini [Lihat: Etis Nehe, Sosialitas Kristiani Dari Perspektif Teologi Reformed, Semi Jurnal Reformed Injili 3/1 (Maret 2005), h. 68-81]
[42] Donald K. Mc Kim, A Reformed Perspective on the Mission of the Church in Society(Grand rapids, Michigan: WMB Eerdmans, 1992), h. 362
[43] John H. Leith, Introduction to the Reformed Tradition (Atlanta: John Knox Press, 1977), h. 96
[44] Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction (Massachussets: Blackwell Publisher, 1996), h. 423
[45] Intrinsic dan ekstrinsic ini merupakan suatu ciri orientasi agama yang dimiliki seseorang. Allport merupakan tokoh pertama yang mengajukan teori tentang hal ini. Berdasarkan penggolongan ini, maka seseorang dapat dikategorikan sebagai seorang kristen sejati atau hanya menjadikan agamanya sebagai suatu alat bagi pemuasan kebutuhan seseorang semata tanpa tujuan lebih theologis, dikaitkan dengan hubungan dirinya dnegan Tuhan.
[46] H. Newton Malony (editor), Current Perspectives in the Psychology of Religion  h. 116
[47] G.W. Allport & J.M. Ross, Personal Religious Orientation and Prejudice. Journal of Personality and Social Psychology 1967 no. 5, h. 436  
[48] Aristides Katoppo (editor), 80 Tahun Bung Karno (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981), h. 255


Komentar