PERAN SEKOLAH KRISTEN DI TENGAH KEHIDUPAN BANGSA


PERAN SEKOLAH KRISTEN DI TENGAH KEHIDUPAN BANGSA
oleh Takim Andriono

Antara Krisis Identitas dan Isu Komersialisasi Pendidikan

Sekilas tentang Kondisi Pendidikan di Indonesia
Terlepas dari berbagai upaya yang tengah dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk membenahi kualitas pendidikan di Indonesia, kondisi yang ada masih memprihatinkan sebagaimana dipaparkan berikut ini.
Setiap tahun United Nations Development Program (UNDP) menerbitkan laporan tentang pembangunan manusia (human development) negara-negara di dunia. Indeks yang digunakan sebagai tolok ukur diperoleh dari hasil kombinasi tiga faktor, yaitu tingkat harapan hidup (life expectancy), tingkat pengetahuan dan pendidikan (knowledge and education), dan GDP (Gross Domestic Product) per kapita di negara yang bersangkutan. Tingkat pengetahuan dan pendidikan merupakan hasil kombinasi dari indeks pendidikan, tingkat melek huruf, dan angka partisipasi kasar (APK) masyarakat terhadap pendidikan formal yang diselenggarakan.
Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) ini Indonesia menempati ranking ke-107 dari 177 negara yang disurvei. Tabel 1 menunjukkan posisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia terhadap IPM beberapa negara.

Tabel 1. Posisi Indonesia Berdasarkan Ranking
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)1

Ranking
Nama Negara
21
Hong Kong
25
Singapore
30
Brunei Darussalam
63
Malaysia
78
Thailand
81
China
98
Filipina
105
Vietnam
106
Palestina
107
Indonesia
131
Cambodia
132
Myanmar

Berada pada posisi ke-107, Indonesia berarti dua peringkat di bawah Vietnam dan hanya satu peringkat di bawah Palestina yang hingga saat ini masih belum sepenuhnya bebas dari perang dan pergolakan. Apabila dibandingkan dengan Hong Kong, Singapore, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan bahkan China dengan wilayah negara yang sangat luas dan jumlah penduduk yang sangat besar, jelaslah Indonesia tertinggal, juga terhadap Filipina. Di antara negara-negara Asean, hanya Cambodia dan Myanmar yang peringkatnya masih berada di bawah Indonesia.
Gambaran tentang kondisi pendidikan di Indonesia dapat dilihat pula dari tingkat pendidikan angkatan kerjanya (usia 15 tahun ke atas) sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 1 berikut ini.



Gambar 1. Tingkat Pendidikan Angkatan Kerja Indonesia (Agustus 2008)2

Lebih dari 50% angkatan kerja Indonesia hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) dan tidak tamat SD, 19% lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP), 14% lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), 7% lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sedangkan angkatan kerja lulusan program Diploma I/II/III dan setara universitas masing-masing mencapai 3% dan 4%.
Di era global, di mana persaingan bebas terjadi demikian intens, angkatan kerja Indonesia akan sulit untuk dapat keluar sebagai pemenang, bahkan di negeri sendiri. Cepatnya arus perubahan pun akan sulit diantispasi mengingat tingkat pendidikan angkatan kerja Indonesia yang relatif rendah. Terbatasnya jumlah angkatan kerja yang lulusan SMK (7%) apabila dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja lulusan SMA (14%) perlu menjadi keprihatinan bersama. Upaya pemerintah menggalakkan pendidikan kejuruan akhir-akhir ini perlu didukung bersama.
Kurang relevannya pendidikan formal di Indonesia dalam menjawab kebutuhan nyata terlihat pula dari relatif tingginya tingkat pengangguran terdidik. Berdasarkan data statistik yang disajikan Buletin Resmi BPS edisi Agustus 2008, jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 112 juta orang. Dari jumlah tersebut 8,39% di antaranya tercatat sebagai penganggur terbuka. Di antara para penganggur terbuka ini tercatat 12,6% adalah lulusan universitas, 11,2% lulusan program diploma, 17,3% lulusan SMK, 14,3% lulusan SMA, 9,39% lulusan SMP, dan 4,6% lulusan SD dan tidak tamat SD2.
Buramnya potret pendidikan yang dipaparkan di atas akan tampak semakin memprihatinkan ketika ditambah dengan kondisi lapangan yang ada, seperti tawuran antarkelompok mahasiswa dan juga siswa, praktik-praktik kecurangan saat berlangsungnya Ujian Nasional, dan lain sebagainya.


Krisis Identitas dan Isu Komersialisasi Pendidikan
Bagaimana dengan peran lembaga-lembaga pendidikan Kristen di tanah air? Pendidikan Kristen di Indonesia sebenarnya mempunyai sejarah yang cukup panjang. Eksistensinya bahkan telah hadir jauh sebelum NKRI lahir.
Terlepas dari banyaknya kontribusi sekolah-sekolah Kristen (Protestan maupun Katolik) di masa lampau yang telah diberikan kepada bangsa dan negara bersama-sama dengan sekolah-sekolah swasta yang lain, seperti sekolah-sekolah Taman Siswa, Muhamadiyah, Ma’arif, dan sebagainya, sumbangsih sekolah-sekolah Kristen masa kini dan masa depan perlu terus dipertanyakan.
Berdasarkan pengamatan penulis, dewasa ini terdapat tiga kategori sekolah Kristen di Indonesia, yakni:

Kategori A:
Sekolah-sekolah Kristen yang termasuk kategori ini umumnya adalah sekolah-sekolah yang relatif baru dan menamakan diri mereka sebagai sekolah nasional plus. Hampir semua sekolah-sekolah ini berlokasi di kota-kota besar dan melayani masyarakat berstatus sosial ekonomi atas. Sekolah dilengkapi dengan berbagai sarana prasarana yang lengkap dan modern. Bahasa pengantar yang digunakan biasanya lebih dari satu bahasa (bilingual bahkan trilingual school). Isu komersialisasi pendidikan sering dilekatkan pada sekolah-sekolah kategori ini. Namun tentu semuanya berpulang pada integritas dan rasa tanggung jawab penyelenggara sekolah. Jika memang ada kebutuhan akan sekolah-sekolah Kategori A, maka apa salahnya disediakan. Yang penting kepedulian penyelenggara sekolah Kategori A terhadap anak-anak keluarga kurang mampu tetap ada. Tanggung jawab sosial sekolah perlu diwujud nyatakan dengan penyediaan beasiswa dalam jumlah yang cukup maupun penyediaan bantuan dana dan bantuan teknis kepada sekolah-sekolah Kategori C.
Kategori B:
Sekolah-sekolah Kristen yang telah cukup lama didirikan, menggunakan kurikulum nasional dan hingga kini masih cukup favorit di mata masyarakat. Oleh karenanya sekolah-sekolah ini masih memiliki jumlah murid yang cukup banyak dan sebagian besar berasal dari keluarga-keluarga berstatus sosial ekonomi menengah atas. Penyelenggara sekolah Kategori B perlu terus mengantispasi berbagai perubahan yang terjadi supaya sekolah-sekolah yang diselenggarakannya tetap mampu bertahan bahkan berkembang. Jika kondisi keuangan memungkinkan, tak ada salahnya para penyelenggara sekolah Kategori B melakukan penjajagan untuk juga menyelenggarakan beberapa unit sekolah Kategori A. Seperti halnya sekolah-sekolah Kategori A, sekolah-sekolah kategori ini juga perlu melaksanakan tanggung jawab sosialnya.
Kategori C:
Sekolah-sekolah Kristen ini umumnya melayani masyarakat menengah bawah, sebagian besar berlokasi di pedesaan dan telah berdiri sejak lama, namun saat ini sedang menghadapi berbagai kesulitan untuk bertahan dan apalagi berkembang.

Zaman memang telah berubah. Sekolah-sekolah negeri semakin banyak didirikan oleh pemerintah. Kehadiran sekolah-sekolah negeri maupun swasta baru pun semakin marak bermunculan akhir-akhir ini. Sementara itu cukup banyak unit-unit sekolah Kristen Kategori C yang terpaksa ditutup. Hal ini disebabkan karena sekolah-sekolah ini terlambat mengantisipasi berbagai perubahan, sehingga kemudian “kalah bersaing” dengan sekolah-sekolah lain di sekitarnya dan tidak mampu mendapatkan murid dalam jumlah yang cukup sehingga akhirnya mengalami kesulitan finansial.
Sebagian besar sekolah-sekolah Kategori C didirikan oleh gereja. Namun dalam perjalanannya, warga gereja tidak lagi merasa memiliki. Anak-anak pemimpin dan warga gereja lebih banyak dikirim ke sekolah-sekolah yang menawarkan biaya murah bahkan gratis. Anak-anak sendiri juga enggan bersekolah di sekolah-sekolah Kristen yang tertinggal dalam kemampuan menyediakan sarana dan prasarana belajar. Warga jemaat yang berprofesi sebagai pendidikpun lebih memilih menjadi guru di sekolah negeri dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) daripada harus berkorban mengajar di sekolah-sekolah Kristen yang hanya mampu memberi gaji ala kadarnya, sebagian bahkan di bawah ketentuan Upah Minimum Regional (UMR).
Apapun kategorinya, sekolah-sekolah Kristen masa kini perlu melakukan refleksi tentang identitas dan misi panggilan mereka. Apakah keberadaan mereka cukup unik dan mampu memberi warna serta kontribusi nyata pada dunia pendidikan di Indonesia? Ataukah sekolah-sekolah Kristen yang kini ada justru tak memiliki daya pembeda terhadap sekolah-sekolah sekuler lainnya? Tanpa memiliki ciri khas, apa yang bisa ditawarkan kepada masyarakat?
Peran Sekolah Kristen
Seyogyanya setiap penyelenggara sekolah Kristen menyadari perlunya mendefinisikan kembali peran sekolahnya di Era Global dan Informasi ini dalam rangka memberikan sumbangsih bagi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Gambar 2 memperlihatkan peran sekolah Kristen seperti yang dimodifikasi penulis dari paparan Louis Berkhof.3
Dalam hal ini sekolah-sekolah Kristen perlu menempatkan diri sebagai mitra andalan para orangtua yang mempercayakan anak-anak mereka untuk bersekolah di situ. Kerjasama yang baik antara sekolah dengan orangtua haruslah menjadi salah satu ciri khas sekolah Kristen, mengingat mandat pendidikan diberikan Allah kepada orangtua bukan kepada sekolah.
Sekolah Kristen dalam hal ini berperan membantu para orangtua untuk mengembangkan diri anak secara utuh (holistik) yang diciptakan Allah dengan gambar dan rupaNya. Anak perlu dibimbing untuk menemukan identitas dan makna hidupnya sesuai dengan rencana Allah. Para murid sekolah Kristen perlu dituntun agar mereka mampu mengalami kehidupan Kristus mewujud nyata di dalam diri mereka sehingga mereka mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan Kristus untuk mendatangkan kemajuan dan kesejahteraan bagi bangsa dan negara.



Gambar 2. Peran Pendidikan Kristen dalam Merespon Tindakan Allah
terhadap Anak Didik.


Penutup
Tulisan ini dimaksudkan sebagai bahan refleksi bagi semua pemangku kepentingan (stake holders) pendidikan Kristen dalam rangka ikut serta mewujudkan peran sekolah Kristen secara optimal bagi kemajuan bangsa dan kemuliaan Tuhan. Kemitraan antara sekolah dengan orangtua, sekolah dengan gereja, sekolah yang satu dengan sekolah yang lain (lintas kategori) perlu terus digalang dan dikembangkan. Sudah saatnya kita memenuhi panggilan Tuhan untuk bertolong-tolongan menanggung beban kita agar dengan dengan demikian kita memenuhi hukum Kristus (Gal. 6:2).
 Ketua Majelis Pendidikan Kristen Wilayah Jawa Timur & Ketua Yayasan Pendidikan Visi & Misi.
1 UNDP Report on Human Development Index for 2007-2008.
2 Diolah dari data yang disajikan dalam Buletin Resmi Statistik BPS – Januari 2009
2
3 Louis Berkhof, Kovenan: Kovenan Anugerah dan Signifikansinya untuk Pendidikan Kristen dalam Berkhof & Van Til (2004) , Foundation of Christian Education, Momentum.


Komentar