PENDAMPINGAN ORANG TUA DALAM PROSES BELAJAR ANAK : SUATU ANALISA KRITIS


PENDAMPINGAN ORANG TUA DALAM PROSES BELAJAR ANAK : SUATU ANALISA KRITIS 
oleh Agung Kurniawan, M.Psi.

Pendahuluan
                Pada jaman sebelum kemerdekaan, hal yang menjadi masalah dalam dunia pendidikan adalah masalah sarana-sarana untuk menunjang kemajuan pendidikan dan salah satunya adalah berkaitan dengan daya tangkap belajar anak-anak karena tingkat kecerdasan anak-anak jaman itu yang cenderung rata-rata dan dibawah-rata-rata. Para ahli menganalisa bahwa tingkat kecerdasan sangat dipengaruhi oleh kualitas gizi makanan. Jika makanan sehari-hari masyarakat saat itu adalah ketela pohon saja, maka tidak dapat dipungkiri jika tingkat kecerdasan  masyarakat kurang baik. Namun sebaliknya, pada era kemerdekaan kualitas gizi masyarakat semakin meningkat. Anak-anak sejak bayi sudah diberi susu terbaik, bubur terbaik dan makanan-makanan yang mendukung kecerdasan otak, seperti ikan, daging dan telur. Dengan demikian masalah kecerdasan bukan lagi menjadi salah satu masalah utama dalam dunia pendidikan. Seharusnya dengan lengkapnya sarana-saranan pendidikan dan semakin baiknya kecerdasan anak, diharapkan tidak muncul masalah-masalah dalam proses belajar anak. Namun kenyataannya, kecerdasan anak yang baik tidak menjamin anak tersebut sukses dalam proses belajarnya. Banyak sekali masalah-masalah belajar justru muncul pada anak-anak yang memiliki tingkat  kecerdasan yang baik (diatas rata-rata/superior). Masalah-masalah belajar tersebut bukan berkenaan dengan daya tangkap terhadap suatu pelajaran, namun lebih banyak pada proses belajarnya.
                Masalah dalam proses belajar dapat menjadi penghambat seorang anak untuk sukses dalam dunia akademiknya. Masalah-masalah tersebut seperti . hiperaktif, autis, gangguan konsentrasi, dislexia, suka melamun dsb. Masalah-masalah ini dapat diakibatkan oleh berbagai macam faktor, misalnya : polusi udara, zat adiktif, game, perhatian orang tua, sistem pendidikan/kurikulum dan sebagainya. Faktor-faktor lingkungan dan sistem adalah faktor diluar jangkaun kita, namun faktor perhatian orang tua adalah faktor yang berada di dalam jangkauan kita. Faktor yang berada dalam jangkauan kita inilah yang dapat diusahakan oleh siapa saja termasuk orang tua anak itu sendiri. Seseorang yang disebut sebagai anak adalah yang berada dalam rentang usia 6 – 12 tahun. Usia 0 – 5 tahun adalah usia balita (bayi umur lima tahun). Proses-proses yang terjadi selama rentang usia anak antara lain adalah :
Usia belajar menguasai berbagai macam keterampilan yang menunjang fungsi kehidupan seiring dengan meningkatnya kematangan fungsi-fungsi tubuh. Misalnya : memakai baju sendiri, pasang tali sepatu, sikat gigi sendiri, naik sepeda, main bola kaki dsb.
Usia identifikasi terhadap simbol-simbol yang mewakili kekuatan, seperti Superman, Batman, Power Rangers dsb.
Usia fantasi, sehingga seringkali anak berfantasi dengan menciptakan teman-teman bayangan, bermain drama seperti pasar-pasaran, dokter-dokteran dsb
Usia bermain
Usia belajar relasi yang bersifat sosial. Hal ini berlawanan dengan usia balita yang cenderung egosentris
Usia berpikir konkrit
Berdasarkan ciri-ciri perkembangan masa anak-anak tersebut di atas, seharusnya pendidikan mengacu pada hal-hal tersebut. Jika pendidikan tidak mengacu pada ciri-ciri tersebut, maka anak-anak akan gagal dalam menguasai tugas-tugas perkembangan usia yang kemudian dan bertumbuh tidak maksimal/utuh.

Dampak Sistem Pendidikan Formal
Masalah-masalah yang muncul dalam proses belajar anak salah satunya adalah karena sistem pendidikan yang tidak mengacu pada tugas-tugas perkembangan dan ciri-ciri masa kanak-kanak. Anak-anak sekarang tidak lagi menikmati kesempatan untuk bermain dan mengembangkan relasi sosial dengan anak-anak lain karena dituntut untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas sekolah, sehingga anak akan mengalami kebosanan. Hal ini membuat anak memberontak yang muncul dalam bentuk tidak memperhatikan guru, usil,  mogok sekolah dsb. Kesempatan bermain yang kurang mengakibatkan kesempatan anak untuk mengembangkan alat motorik kasar juga berkurang sehingga mengakibatkan anak terus bergerak ketika di kelas atau mengerjakan tugas sekolah yang hanya mengandalkan alat motorik halus. Akhirnya label hiperaktif melekat pada diri anak yang sebenarnya tidak memiliki kaitan dengan gangguan hiperaktif.  Tugas-tugas sekolah dan les-les sudah mengebiri kesempatan-kesempatan anak untuk berfantasi dan bermain drama sebagaimana fantasi yang dikembangkan oleh anak, sehingga hal ini mengakibatkan anak akhirnya mengembangkan kebiasaan melamun di sekolah. Kurangnya kesempatan anak untuk mengembangkan relasi sosial, dapat mengakibatkan anak cenderung banyak bicara dan bertanya banyak hal pada orang lain dan hal ini cukup merepotkan orang tua karena anak tidak lagi fokus untuk mengerjakan tugas sekolah. Attention Deficit Disorder (gangguan menurunnya daya konsentrasi) disingkat dengan ADD yang menurut para ahli bersumber karena adanya gangguan pada sistem otak, namun gangguan tersebut bisa juga berasal dari berkurangnya kesempatan-kesempatan anak untuk mengembangkan tugas-tugas perkembangannya yang pada umumnya menimbulkan beban psikologis pada si anak sehingga muncul ketidakpuasan psikologis yang ujung-ujungnya bermanifestasi dalam bentuk gangguan-gangguan belajar.  ADD bisa muncul karena si anak mengembangkan kebiasaan melamun, atau kebiasaan banyak bergerak karena bosan dengan belajar.
Kelemahan sistem pendidikan formal lainnya adalah sekolah sekarang lebih mengutamakan kuantitas murid, tanpa memperhatikan kebutuhan individu seorang anak. Pendampingan individu guru kelas bukan lagi menjadi perhatian utama sekolah-sekolah. Kurangnya perhatian dan pendampingan individu diakibatkan karena fokus sekolah bukan lagi mengacu pada pengembangan individu namun lebih  kepada keuntungan ekonomi. Masalah-masalah dalam proses belajar muncul dapat juga diakibatkan dari kurangnya pendampingan individu oleh guru kelas. Dengan jumlah murid yang besar dalam satu kelas tidak memungkinkan seorang guru untuk memberikan perhatian individu kepada murid-muridnya. Sistem pendidikan formal hanya berfokus pada transfer pengetahuan saja tanpa memperhatikan kelemahan-kelemahan setiap murid. Selain itu, sistem pendidikan yang tidak mengacu pada kebutuhan, akan menimbulkan kejenuhan dan kurangnya minat belajar anak. Mengacu kepada kebutuhan berarti mengacu pada tugas-tugas perkembangan yang seharusnya diperlukan oleh si anak sehingga dia berhasil menguasai hal-hal yang diperlukan selama masa kanak-kanak. Selain itu, sistem pendidikan saat ini kebanyakan hanya mengedepankan kemampuan intelektual belaka tanpa memperhatikan estetika, etika, moral dan lebih banyak berada di dalam kelas tanpa memperhatikan pengalaman-pengalaman di kehidupan sehari-hari.
Seperti tersebut di atas bahwa salah satu ciri masa kanak-kanak adalah usia belajar relasi sosial, maka pelajaran sekolah masa kanak-kanak perlu melibatkan pelajaran etika dan moral dimana mereka belajar untuk berbagi kasih dengan sesama yang menderita, misalnya dibawa ke panti asuhan anak dan lain sebagainya. Kemudian ciri masa kanak-kanak lainnya adalah usia mengembangkan fantasi, maka anak-anak perlu di bawa ke tempat-tempat misalnya galeri seni lukis, museum dsb. Hal berikutnya yang tidak banyak di lakukan oleh sekolah adalah membawa anak-anak kepada pengalaman nyata, karena salah satu ciri masa kanak-kanak adalah usia berpikir konkrit. Misalnya : jika mereka diajarkan tentang pesawat, maka mereka perlu mengalami mengenal pesawat sesungguhnya bahkan jikalau memungkinkan mengajak mereka terbang naik pesawat milik AU sehingga mereka akan mengalami bagaimana rasanya terbang dsb. Jika sistem pendidikan mengacu pada ciri-ciri masa kanak-kanak maka niscaya belajar di sekolah merupakan sesuatu yang menyenangkan dan secara psikologis dipuaskan.

Peran Orang Tua Dalam Proses Belajar Anak
                Proses belajar anak perlu melibatkan peran pendampingan orang tua, karena anak masih dalam area tanggung jawab dan pemeliharaan orang tua. Jika suatu masalah muncul pada si anak, maka kesalahan bukan terutama pada si anak saja tetapi orang tua turut terlibat di dalamnya. Anak bukanlah orang dewasa yang memiliki kebebasan penuh untuk menentukan pilihan. Jika di bagi dalam prosentasi berkaitan dengan hak memilih, maka bayi masih 100 % dibawah pengawasan orang tua, anak berada pada 75 % pengawasan, remaja 50 %, dewasa awal 75 % (usia mahasiswa) dan dewasa matang memiliki 100 % kebebasan memilih. Oleh karena orang tua perlu terlibat dalam proses belajar anak. Kesalahan yang sering ditemui pada orang tua adalah menyerahkan tanggung jawab penuh pendidikan pada guru di sekolah, sehingga jika anak mengalami hambatan seringkali yang dipersalahkan adalah guru sekolahnya. Guru hanya memiliki 25 % waktu bersama dengan anak, sedangkan 75 % sisanya adalah peran orang tua (keluarga). Selain itu, jika melihat sistem pendidikan saat ini seperti yang telah tersebut di atas, maka orang tua tidak bisa bergantung penuh pada pendidikan formal. Oleh karena itu perlu pendidikan pendampingan terhadap proses belajar. Di sinilah peran orang tua dalam pendampingan proses belajar anak.
                Fungsi pendampingan tersebut bukan bermaksud untuk meniadakan hal-hal yang telah diperoleh anak dalam pendidikan formal, namun mendukung dan memberikan nilai kepuasan psikologis pada si anak sehingga anak lebih senang belajar, tidak mengalami kejenuhan dan meminimalkan gangguan-gangguan belajar yang bisa muncul di kemudian hari. Suatu contoh pendampingan pendidikan, misalnya : jika anak telah belajar membaca, maka ajaklah si anak berbelanja kemudian beri kesempatan si anak untuk mencari nama sabun yang dimaksud sehingga si anak akan mengalami bahwa memiliki kemampuan membaca akan menguntungkan si anak untuk mencari barang yang dimaksud. Intinya adalah ajaklah si anak untuk menyadari bahwa hal-hal yang telah dipelajari tersebut bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang dimaksud belajar sambil bermain (baca : mengalami). Hal-hal seperti tersebut di atas, seperti melibatkan hal estetika, etika dan moral atau membawa anak-anak bermain di area museum juga merupakan bentuk pendampingan pendidikan yang dapat diterapkan oleh orang tua di mana anak-anak juga diajak untuk mengalami. Di harapkan dengan keterlibatan orang tua dalam proses belajar anak bukan hanya mendukung program pendidikan formal namun juga akan membawa kedekatan secara emosional antara orang tua dan si anak sehingga si anak akan merasa didukung dan diperhatikan dan hal ini akan menjadi suplemen psikologis yang membawa kepada kepuasan pada si anak.
Sumber Gambar : http://www.out2martincounty.com/images/Child%20-%20homework.jpg


Komentar