Pemimpin
atau Penipu?
oleh
Sendjaya
Apa
yang kita lakukan pada saat kita merasa bahwa perbuatan kita tidak akan
diketahui orang lain menunjukkan level integritas kita. Integritas adalah apa
yang kita pikirkan, katakan, dan lakukan pada saat kita benar-benar sendirian.
Yusuf selama berhari-hari digoda oleh istri Potifar, bosnya, untuk bersetubuh dengan dia. Probabilitas perselingkuhan mereka diketahui orang sangat kecil. Potifar tidak di rumah, dan para pengawal dan dayang-dayang si nyonya rumah bisa diatur untuk 'menghilang'. Yusuf dapat melakukan affair itu tanpa kuatir ketahuan. Namun jawaban yang dia yang begitu tegas menunjukkan level integritasnya, "Bagaimana mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini (terhadap Potifar) dan berbuat dosa terhadap Allah?" Itulah integrity in action.
Seringkali level integritas kita ditentukan oleh probabilitas tindakan tersebut diketahui orang lain. Padahal seharusnya kita gentar terhadap Allah karena Dia adalah Allah yang menyingkapkan dosa. Tegasnya, sebuah bau busuk tidak akan dapat ditutup-tutupi selamanya. Pada saat mencoba menutupinya, Allah dalam kedaulatanNya dapat menyatakannya kepada publik.
Pola ini dapat kita cermati dalam berbagai kasus baik dalam PL maupun PB. Paralel yang paling dekat adalah perselingkuhan Daud dengan Betsyeba. Sungguh sebuah kontras jika kita membandingkan drama Yusuf dan Daud dalam masalah extra-marital affair ini.
Secanggih apapun Daud ingin menutupi affair-nya dengan Betsyeba, termasuk dengan menggunakan rekayasa politik yang kotor dan murahan untuk membunuh Uria, suami Betsyeba, dosanya tetap terbongkar. Allah mengutus Natan untuk menyatakan secara blak-blakan dosa Daud. "You are the man!", tuding Natan tanpa tedeng aling-aling.
Pengamsal mengingatkan kita, "The man of integrity walks securely, but he who takes crooked paths will be found out" (10:9). Jika kita bersikeras menutupi dosa dan kesalahan kita, Allah yang akan membukanya dengan cara dan konteks yang berbeda. Dan kalau itu yang terjadi, biasanya berakibat dahsyat.
Orang yang memiliki integritas tidak memiliki sesuatu yang perlu disembunyikan atau sesuatu yang ditakuti. Hidup mereka transparan bagai surat yang terbuka. Baik Yesus maupun Daniel mendemonstrasikan prinsip ini dengan konkrit. Saat orang-orang yang tidak mengenal Allah berusaha untuk mencari-cari alasan untuk mendakwa Yesus dan Daniel, mereka tidak dapat menemukan kesalahan apa-apa dalam hidup mereka (Dan 6:5-6; Luk 23:14-15). Mereka menjalani kehidupan yang sama sekali tak bercacat. Luar biasa!
Nabi Samuel dalam pidato perpisahannya kepada bangsa Israel di akhir masa pelayanannya sebagai nabi dari sejak muda sampai tua memberi contoh konkrit tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas (1 Sam 12:1-4). Di hadapan seluruh bangsa Israel, dengan jujur dan berani, dia berkata bahwa sebagai pemimpin, dia akan mengembalikan segala sesuatu yang mereka rasa telah dia ambil atau nikmati secara tidak adil. Suatu statement tantangan yang luar biasa!
Namun yang lebih luar biasa adalah: Tidak ada seorang pun dari jutaan orang yang merasa telah dicurangi oleh Samuel. Tidak ada seorang pun yang merasa memiliki keberatan terhadap integritas Samuel.
Semakin luas pengaruh seseorang, semakin besar pula akuntabilitas yang harus ia tunjukkan. Dalam drama diatas, Samuel akuntabel terhadap seluruh bangsa Israel. Pertanyaannya, masih adakah pemimpin seperti Yusuf, Samuel, Daniel, dan Yesus?
Ataukah yang tersisa hanyalah pemimpin model Daud, yang mencoba untuk menipu diri sendiri, orang lain dan bahkan Allah sendiri?
Warren Wiersbe dalam bukunya Integrity Crisis menulis bahwa orang yang tidak berintegritas adalah orang yang sedang mengalami dekadensi moral dan spiritual. Kegelapan meliputi dirinya. Namun ia tidak mengetahuinya. Karena ia merasa bahwa kegelapan dalam dirinya adalah terang.
Ada 3 tahap dalam proses ini, sebagaimana dijelaskan oleh Rasul Yohanes:
Tahap pertama: "Jika kita katakan, bahwa kita beroleh persekutuan dengan Dia, namun kita hidup dalam kegepan, kita berdusta dan kita tidak melakukan kebenaran" (1 Yoh 1:6). Inilah tahap pertama menuju kegelapan, yaitu menipu orang lain (munafik).
Richard Foster mengawali bukunya Celebration of Disciplines dengan sebuah kalimat yang sangat menyentak saya: Superficiality is the curse of our age. Kita hidup di era yang superfisial, era kosmetik, era plastik. Kita mengenakan berbagai topeng untuk menutupi diri kita sebenarnya, yaitu the real me. Kita pura-pura berdoa, pura-pura produktif bekerja, pura-pura aktif melayani, pura-pura peduli dengan orang lain, pura-pura cinta Tuhan. Terus-menerus berpura-pura, akhirnya menjadi kura-kura.
Namun tahap kedua lebih parah. Yohanes berkata lagi, "Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita" (1:8). Kita bukan hanya menipu orang lain, tapi juga menipu diri sendiri dan menganggap diri sendiri benar. Kita bukan hanya munafik, kita mengalami duplisitas.
Pada saat kita jatuh dalam self-deception, kita telah terperangkap dalam sebuah manifestasi dosa yang begitu kompleks dan fundamental, yaitu kita tidak menyadari bahwa kita sedang berdosa. Kita tidak sadar bahwa kita sedang berdosa. Inilah yang disebut Martin Luther sebagai "the ultimate proof of sinner."
Orang sedemikian perlahan menjadi paranoid, selalu kuatir karena takut ketahuan. Dan lama kelamaan tidak akan berbeda dengan orang gila karena mereka tidak tahu lagi apakah ia hidup dalam delusi atau realita. Image-image palsu yang ia proyeksikan dengan berbagai topeng menjadi realita kesehariannya.
Konsekuensi dari dua tahap diatas adalah tahap ketiga: Menipu Allah dan membuat Allah sebagai penipu. "Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta, dan firmanNya tidak ada di dalam kita" (1:10). Ini klimaks. Kita bukan hanya menipu orang lain dan menipu diri kita, tetapi juga menipu Allah (apostasy).
Kita membaca firman Tuhan namun tidak akan merasa ada konfiksi akan dosa yang kita perbuat. Kita mendengar uraian firman Tuhan, namun tidak pernah merasa tertegur. Mengapa? Karena kebobrokan moral itu telah mengubah terang menjadi gelap, kita tidak dapat lagi membedakan mana yang benar dan salah.Yang paling mengerikan, semua ini dapat terjadi pada diri seseorang saat ia aktif melayani Tuhan, saat ia seakan intim bersekutu dengan Tuhan.
Jalan menuju integritas begitu sulit dan berliku-liku. Begitu banyak pemimpin Kristen yang jatuh dalam area integritas, berkompromi dalam area kuasa, uang, dan seks. Namun jangan merasa diri lebih superior ketimbang para pemimpin Kristen seperti raja Daud, Jim Baker, Jesse Jackson yang pernah menjual integritas mereka. Jangan berlaku seperti orang Farisi yang merasa diri lebih baik dari pemungut cukai, karena sikap tersebut dikutuk oleh Yesus.
Namun skandal ini seharusnya membuat kita semakin rendah hati dan gentar di hadapan Tuhan. Semakin ketat menjaga hati kita dan mengujinya dihadapan Allah. Tanpa itu, tidak mungkin seorang pemimpin dapat memberikan teladan hidup. Dunia tetap menanti para role models yang berani menyatakan, "Ikutlah aku, sama seperti aku mengikut Kristus?"
Andakah salah satunya?
Sendjaya
Melbourne, 20 November 2002
Yusuf selama berhari-hari digoda oleh istri Potifar, bosnya, untuk bersetubuh dengan dia. Probabilitas perselingkuhan mereka diketahui orang sangat kecil. Potifar tidak di rumah, dan para pengawal dan dayang-dayang si nyonya rumah bisa diatur untuk 'menghilang'. Yusuf dapat melakukan affair itu tanpa kuatir ketahuan. Namun jawaban yang dia yang begitu tegas menunjukkan level integritasnya, "Bagaimana mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini (terhadap Potifar) dan berbuat dosa terhadap Allah?" Itulah integrity in action.
Seringkali level integritas kita ditentukan oleh probabilitas tindakan tersebut diketahui orang lain. Padahal seharusnya kita gentar terhadap Allah karena Dia adalah Allah yang menyingkapkan dosa. Tegasnya, sebuah bau busuk tidak akan dapat ditutup-tutupi selamanya. Pada saat mencoba menutupinya, Allah dalam kedaulatanNya dapat menyatakannya kepada publik.
Pola ini dapat kita cermati dalam berbagai kasus baik dalam PL maupun PB. Paralel yang paling dekat adalah perselingkuhan Daud dengan Betsyeba. Sungguh sebuah kontras jika kita membandingkan drama Yusuf dan Daud dalam masalah extra-marital affair ini.
Secanggih apapun Daud ingin menutupi affair-nya dengan Betsyeba, termasuk dengan menggunakan rekayasa politik yang kotor dan murahan untuk membunuh Uria, suami Betsyeba, dosanya tetap terbongkar. Allah mengutus Natan untuk menyatakan secara blak-blakan dosa Daud. "You are the man!", tuding Natan tanpa tedeng aling-aling.
Pengamsal mengingatkan kita, "The man of integrity walks securely, but he who takes crooked paths will be found out" (10:9). Jika kita bersikeras menutupi dosa dan kesalahan kita, Allah yang akan membukanya dengan cara dan konteks yang berbeda. Dan kalau itu yang terjadi, biasanya berakibat dahsyat.
Orang yang memiliki integritas tidak memiliki sesuatu yang perlu disembunyikan atau sesuatu yang ditakuti. Hidup mereka transparan bagai surat yang terbuka. Baik Yesus maupun Daniel mendemonstrasikan prinsip ini dengan konkrit. Saat orang-orang yang tidak mengenal Allah berusaha untuk mencari-cari alasan untuk mendakwa Yesus dan Daniel, mereka tidak dapat menemukan kesalahan apa-apa dalam hidup mereka (Dan 6:5-6; Luk 23:14-15). Mereka menjalani kehidupan yang sama sekali tak bercacat. Luar biasa!
Nabi Samuel dalam pidato perpisahannya kepada bangsa Israel di akhir masa pelayanannya sebagai nabi dari sejak muda sampai tua memberi contoh konkrit tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas (1 Sam 12:1-4). Di hadapan seluruh bangsa Israel, dengan jujur dan berani, dia berkata bahwa sebagai pemimpin, dia akan mengembalikan segala sesuatu yang mereka rasa telah dia ambil atau nikmati secara tidak adil. Suatu statement tantangan yang luar biasa!
Namun yang lebih luar biasa adalah: Tidak ada seorang pun dari jutaan orang yang merasa telah dicurangi oleh Samuel. Tidak ada seorang pun yang merasa memiliki keberatan terhadap integritas Samuel.
Semakin luas pengaruh seseorang, semakin besar pula akuntabilitas yang harus ia tunjukkan. Dalam drama diatas, Samuel akuntabel terhadap seluruh bangsa Israel. Pertanyaannya, masih adakah pemimpin seperti Yusuf, Samuel, Daniel, dan Yesus?
Ataukah yang tersisa hanyalah pemimpin model Daud, yang mencoba untuk menipu diri sendiri, orang lain dan bahkan Allah sendiri?
Warren Wiersbe dalam bukunya Integrity Crisis menulis bahwa orang yang tidak berintegritas adalah orang yang sedang mengalami dekadensi moral dan spiritual. Kegelapan meliputi dirinya. Namun ia tidak mengetahuinya. Karena ia merasa bahwa kegelapan dalam dirinya adalah terang.
Ada 3 tahap dalam proses ini, sebagaimana dijelaskan oleh Rasul Yohanes:
Tahap pertama: "Jika kita katakan, bahwa kita beroleh persekutuan dengan Dia, namun kita hidup dalam kegepan, kita berdusta dan kita tidak melakukan kebenaran" (1 Yoh 1:6). Inilah tahap pertama menuju kegelapan, yaitu menipu orang lain (munafik).
Richard Foster mengawali bukunya Celebration of Disciplines dengan sebuah kalimat yang sangat menyentak saya: Superficiality is the curse of our age. Kita hidup di era yang superfisial, era kosmetik, era plastik. Kita mengenakan berbagai topeng untuk menutupi diri kita sebenarnya, yaitu the real me. Kita pura-pura berdoa, pura-pura produktif bekerja, pura-pura aktif melayani, pura-pura peduli dengan orang lain, pura-pura cinta Tuhan. Terus-menerus berpura-pura, akhirnya menjadi kura-kura.
Namun tahap kedua lebih parah. Yohanes berkata lagi, "Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita" (1:8). Kita bukan hanya menipu orang lain, tapi juga menipu diri sendiri dan menganggap diri sendiri benar. Kita bukan hanya munafik, kita mengalami duplisitas.
Pada saat kita jatuh dalam self-deception, kita telah terperangkap dalam sebuah manifestasi dosa yang begitu kompleks dan fundamental, yaitu kita tidak menyadari bahwa kita sedang berdosa. Kita tidak sadar bahwa kita sedang berdosa. Inilah yang disebut Martin Luther sebagai "the ultimate proof of sinner."
Orang sedemikian perlahan menjadi paranoid, selalu kuatir karena takut ketahuan. Dan lama kelamaan tidak akan berbeda dengan orang gila karena mereka tidak tahu lagi apakah ia hidup dalam delusi atau realita. Image-image palsu yang ia proyeksikan dengan berbagai topeng menjadi realita kesehariannya.
Konsekuensi dari dua tahap diatas adalah tahap ketiga: Menipu Allah dan membuat Allah sebagai penipu. "Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta, dan firmanNya tidak ada di dalam kita" (1:10). Ini klimaks. Kita bukan hanya menipu orang lain dan menipu diri kita, tetapi juga menipu Allah (apostasy).
Kita membaca firman Tuhan namun tidak akan merasa ada konfiksi akan dosa yang kita perbuat. Kita mendengar uraian firman Tuhan, namun tidak pernah merasa tertegur. Mengapa? Karena kebobrokan moral itu telah mengubah terang menjadi gelap, kita tidak dapat lagi membedakan mana yang benar dan salah.Yang paling mengerikan, semua ini dapat terjadi pada diri seseorang saat ia aktif melayani Tuhan, saat ia seakan intim bersekutu dengan Tuhan.
Jalan menuju integritas begitu sulit dan berliku-liku. Begitu banyak pemimpin Kristen yang jatuh dalam area integritas, berkompromi dalam area kuasa, uang, dan seks. Namun jangan merasa diri lebih superior ketimbang para pemimpin Kristen seperti raja Daud, Jim Baker, Jesse Jackson yang pernah menjual integritas mereka. Jangan berlaku seperti orang Farisi yang merasa diri lebih baik dari pemungut cukai, karena sikap tersebut dikutuk oleh Yesus.
Namun skandal ini seharusnya membuat kita semakin rendah hati dan gentar di hadapan Tuhan. Semakin ketat menjaga hati kita dan mengujinya dihadapan Allah. Tanpa itu, tidak mungkin seorang pemimpin dapat memberikan teladan hidup. Dunia tetap menanti para role models yang berani menyatakan, "Ikutlah aku, sama seperti aku mengikut Kristus?"
Andakah salah satunya?
Sendjaya
Melbourne, 20 November 2002
Komentar
Posting Komentar