Pelayanan Siswa dan Mahasiswa Bagi Kerajaan Allah: Menyatakan pengharapan Kerajaan Allah melalui Pelayanan Siswa dan Mahasiswa


Pelayanan Siswa dan Mahasiswa Bagi Kerajaan Allah: Menyatakan pengharapan Kerajaan Allah melalui Pelayanan Siswa dan Mahasiswa 
oleh Ferawati Insyabela

Pendahuluan
          Pada dasarnya semua orang Kristen menyetujui bahwa memberitakan Injil dan mengajak orang untuk mengenal dan mempunyai hubungan pribadi dengan Allah melalui Kristus adalah inti dari pelayanan Kristen. Demikian juga di dalam pelayanan siswa dan mahasiswa. Di sini kita sangat meyakini pentingnya menjangkau mereka dengan berita Injil dan menolong mereka untuk menjadi murid Kristus yang sejati. Untuk mencapai hal ini, kita membuat berbagai program kegiatan seperti KTB, PA, retreat dan lain-lain dengan harapan bahwa melalui kegiatan-kegiatan ini berita Injil dapat sampai dan masuk dalam hidup mereka. Kita sangat merindukan siswa dan mahasiswa ini menyerahkan hidupnya kepada Kristus dan bertumbuh dewasa dalam iman mereka. Kita merindukan bahwa mereka sungguh-sungguh membuka hati mereka dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi mereka dan hidup sebagai murid-muridNya. Oleh karena alasan inilah maka kita menempatkan penginjilan dan pemuridan sebagai pilar utama dalam pelayanan kita di tengah-tengah mereka.
          Komitmen kita untuk mengerjakan penginjilan dan pemuridan adalah harga mati. Namun demikian, seiring dengan kerinduan kita untuk mengerjakan kedua hal ini, kita perlu untuk berpikir dan merenungkan sejenak apa yang sesungguhnya kita pahami tentang berita Injil itu sendiri. Hal ini sangat penting karena apa yang kita pahami tentang Injil akan menentukan fokus pemberitaan kita dan bagaimana kita memberitakannya. Pada umumnya Injil semata-mata dipahami sebagai berita keselamatan di mana melaluinya Allah menyatakan berita pengampunan dosa di dalam Yesus dan mereka yang percaya kepada Yesus akan menerima hidup yang kekal di sorga. Dalam hal ini, berita Injil semata-mata dilihat sebagai alat untuk membereskan dosa terutama dalam kaitan membebaskan seseorang dari hukuman kekal di neraka.[1]
Dalam bahasa Inggris, kata Injil adalah ”gospel” sebenarnya berasal dari bahasa Anglo Saxon yang berarti ”cerita tentang Allah.”[2] Dalam bahasa Yunani, Injil adalah euaggelion yang artinya adalah “kabar baik.” Di sepanjang kitab-kitab PB, kata injil sangat sering dipakai di tiga Injil Sinoptik (Matius, Markus dan Lukas), Kisah Para Rasul dan hampir keseluruhan surat-surat Paulus. Menariknya, di antara semua bagian itu, sesungguhnya hanya surat-surat Paulus yang secara eksplisit memakai kata ”injil” dalam hubungannya dengan keselamatan kekal di sorga. Sementara dalam ketiga Injil Sinoptik itu, gagasan tersebut tidak begitu eksplisit. Dalam ketiga kitab Injil ini, kata injil banyak digunakan dalam kaitannya dengan pesan tentang kerajaan Allah.[3]  Dalam Matius 4:23; 9:35 dan Lukas 8:1 dikatakan bahwa Yesus pergi ke berbagai tempat untuk memberitakan injil kerajaan Allah. Yesus sendiri juga menegaskan bahwa Dia datang untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah (Lukas 4:43). Gagasan ini sangat kuat didukung oleh fakta bahwa ternyata frasa “Kerajaan Allah” dipakai sebanyak 50 kali di seluruh kitab Injil Sinoptik.[4]
          Dengan memperhatikan hal-hal ini, maka tidak salah jika kita menyimpulkan bahwa berita Injil itu sesungguhnya adalah berita tentang kerajaan Allah. Dan karena itu, memberitakan Injil berarti memberitakan kabar baik tentang kerajaan Allah. Jika kita membawa hal ini dalam konteks pelayanan siswa dan mahasiswa, maka panggilan untuk memberitakan Injil dan melakukan pemuridan itu berarti panggilan untuk memberitakan kabar baik tentang kerajaan Allah di tengah-tengah mereka dan menolong mereka untuk hidup di dalam realitas kerajaan Allah itu. Jika demikian, maka pertanyaannya sekarang adalah bagaimana pelayanan siswa dan mahasiswa dapat melakukan hal tersebut secara efektif. Ini adalah tantangan yang harus kita gumuli dan tanggapi.
Namun sebelum kita lebih jauh menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita perlu berdiam sejenak dan meneliti apa yang kita pahami tentang kerajaan Allah. Di sini kita perlu melihat dengan jeli apa yang sesungguhnya Alkitab katakan tentang kerajaan Allah.
Pertama-tama hal menyolok yang bisa kita cermati tentang Injil kerajaan Allah yang diberitakan Yesus adalah kedatangannya yang semakin dekat. Dalam beberapa bagian kita mendapati bahwa Yesus dengan jelas menyatakan bahwa kerajaan Allah akan segera datang  (Mark. 1:15; Luke 10:9, 11; 21:31). Bahkan dalam Matius 12:28 dan Lukas 11:20 Yesus dengan tegas mengatakan bahwa kerajaan Allah sudah datang di antara mereka dibuktikan lewat pekerjaanNya mengusir setan dari orang-orang yang kerasukan. Dengan kata lain di sini Yesus sepertinya dengan kuat mengidentikkan pelayanan dan pengajaranNya dengan penyataan kehadiran kerajaan Allah di tengah orang-orang saat itu. Dengan kata lain, Yesus menyatakan bahwa keberadaanNya dan pelayananNya adalah cerminan hadirnya kerajaan Allah di tengah-tengah dunia. Lalu, bagaimana hal ini berhubungan dengan pelayanan kita?
Jelas sekali komitmen kita untuk setia dengan panggilan memberitakan Injil Kerajaan Allah tidak bisa dilepaskan dari sejauh mana kita memahami dan menghayati hidup dan pelayanan Yesus. Untuk memahami dengan benar makna dan esensi dari berita Injil Kerajaan Allah mau tidak mau kita harus belajar dan berkaca pada hidup dan pelayanan Yesus sendiri. Untuk tujuan ini, maka belajar dari teks-teks Injil Sinoptik menjadi hal yang tidak bisa dikompromikan. Dalam artikel ini kita akan mencoba melihat beberapa aspek tentang kerajaan Allah yang tercermin dalam hidup dan pelayanan Yesus dan implikasinya bagi pelayanan siswa dan mahasiswa yang kita lakukan. Di sini penulis akan memfokuskan pada tiga hal yaitu pelayanan yang holistik, inklusivitas dan pelayanan yang transformatif. Bagian pertama dari artikel ini akan membahas ketiga hal tersebut dan bagian yang ke dua akan secara khusus membahas bagaimana aspek-aspek tersebut dapat diterapkan dalam pelayanan siswa dan mahasiswa yang kita lakukan saat ini. Dengan merenungkan dan menggumulkan tentang hal-hal ini diharapkan kita makin rindu bukan hanya untuk memimpin siswa dan mahasiswa mengenal Yesus dan memiliki hubungan pribadi denganNya, tetapi lebih daripada itu kita juga makin terdorong untuk bekerja sama dengan Allah tritunggal untuk menggenapkan visi kerajaan Allah di dunia ini. Dengan memandang kepada hidup dan pelayanan Yesus kiranya kita makin terinspirasi dan terdorong untuk menyaksikan dan mengalami bagaimana kerajaan Allah dapat dinyatakan di dalam dan melalui pelayanan siswa dan mahasiswa.
 Kerajaan Allah adalah hidup yang holistik
          Selama mengerjakan pelayananNya, Yesus dikenal sebagai seorang guru atau rabbi. Yesus menghabiskan banyak waktu pergi ke berbagai tempat untuk mengajar baik di tempat-tempat umum atau dalam kesempatan pribadi bersama dengan murid-muridNya atau orang-orang tertentu. Di katakan bahwa Yesus masuk ke rumah-rumah ibadat dan mengajar di sana, dan orang-orang banyak takjub dan kagum dengan pengajaranNya. Tidak diragukan lagi Yesus adalah guru yang sangat terkenal dan Dia mendedikasikan hidupNya untuk melakukan hal ini. Namun demikian, jika kita melihat seluruh catatan ketiga Injil Sinoptik, kita melihat bahwa Yesus tidak hanya mengajar. Dia juga menyembuhkan orang sakit, mengusir setan dari orang yang kerasukan, menghibur mereka yang berduka cita dan bahkan Yesus pun juga berkumpul dengan anak-anak yang meminta ucapan berkat dariNya (Mat.19:13-14).
          Dalam Mat.15:29-39; Markus 6:30-44; dan Lukas 9:10-17 kita membaca bagaimana Yesus memberi makan lebih dari 5000 orang yang lapar ketika Tuhan sedang mengajar mereka. Di sini jelas sekali kita melihat bahwa Yesus sangat peka dan peduli dengan kebutuhan fisik dari orang-orang tersebut. Dalam Matius 9:36 dikatakan bahwa Yesus tergerak oleh belas kasihan melihat orang banyak karena mereka itu ”lelah dan terlantar seperti domba tanpa gembala.” Dalam bahasa Yunani kata ”lelah dan terlantar” ini lebih menunjukkan kondisi mereka yang dalam kesulitan, pergumulan dan patah semagat oleh karena situasi mereka yang sulit.[5] Gambaran bahwa mereka ini seperti domba tanpa gembala menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun yang peduli dan memperhatikan kondisi mereka yang memprihatinkan itu. Jelas di sini Yesus tidak hanya menunjuk pada kondisi mereka secara rohani, tetapi juga kondisi fisik dan riil mereka.
Dalam Mat. 21:12-17, Markus 11:12-17 and Lukas 19:45 kita melihat sosok Yesus yang dengan garang mengusir para penjual dan penukar uang yang berbisnis di pelataran Bait Allah. Pada dasarnya kemarahan Yesus bukan semata-mata karena mereka berdagang di sana. Tetapi lebih dari itu. Yesus sangat marah dengan akibat dari apa yang mereka lakukan. Para imam dan para penjual ini telah menciptakan suatu sistem di mana orang-orang yang mau datang beribadah dan memberikan korban harus membeli binatang dan bahan-bahan itu dari mereka. Dan tentu saja dengan harga yang lebih mahal. Para imam tidak menerima binatang korban atau bahan-bahan yang dibeli dari tempat lain. Tentu saja hal ini membuat orang-orang yang akan beribadah menjadi ”tercekik.” Ibadah kemudian dijadikan ajang bisnis untuk menguntungkan diri sendiri, dan yang lebih parah ini membuat mereka yang kurang mampu tidak bisa leluasa untuk beribadah oleh besarnya biaya yang harus mereka keluarkan. Belum lagi para penjual ini mengambil tempat di pelataran di mana biasanya orang-orang miskin dan orang-orang asing datang dan berdoa kepada Tuhan. Dengan kata lain mereka menutup kesempatan bagi orang-orang kecil ini untuk bisa datang kepada Allah. Karena alasan-alasan inilah tidak mengherankan Yesus menyebut mereka ”perampok” dan inilah yang membuat Yesus sangat marah.
Dari contoh peristiwa-peristiwa ini sangat jelas bahwa Yesus bukan hanya memperhatikan masalah atau kebutuhan rohani orang-orang, tetapi Dia juga sangat peduli dengan segala bentuk keterpurukan yang menurunkan nilai kemanusiaan seseorang. Dalam hal ini, keterpurukan itu bisa berupa kemiskinan mereka, kesakitan mereka, kebutaan mereka, kenajisan mereka, keterasingan mereka atau ketertindasan mereka oleh karena ketidakadilan. Bagi Yesus rupa-rupanya masalah dosa tidak hanya dilihat sebagai masalah pribadi dan internal saja, tetapi juga meliputi aspek fisik, emosi, psikologis dan juga kehidupan sosial manusia. Dalam catatan Injil kita menemukan ada banyak cerita tentang penyembuhan dan pemulihan yang dilakukan Yesus sebagai bagian dari pemberitaan Injil yang Dia lakukan. Singkat kata, Yesus sangat peduli dengan seluruh aspek kehidupan manusia dan dalam pelayananNya Dia menjawab dengan konkrit segala kebutuhan dalam aspek-aspek itu.
Demikianlah pemberitaan Injil yang Yesus lakukan bukan hanya secara verbal. Yesus juga memperagakan kebenaran kabar baik kerajaan Allah dengan memperhatikan kondisi dan situasi konrkit dari orang-orang di jamanNya. Dengan kata lain, Yesus memberitakan Injil kerajaan Allah dalam kaitannya dengan bagaimana Allah memandang dan bertindak terhadap kondisi dan kebutuhan mereka. Ini membuat berita Injil yang disampaikanNya sangat relevan dan meyakinkan. Dari pelayanan Yesus kita melihat bahwa lingkup berita Injil ini tidak hanya terbatas pada masalah keselamatan pribadi setelah mati, tetapi juga mencakup semua area hidup kita bahkan kondisi kita saat ini. Di sinilah kita melihat bahwa kabar baik kerajaan Allah itu bersifat holistik dan utuh.  
 Kerajaan Allah adalah inklusivitas
          Aspek kedua tentang kerajaan Allah yang kita lihat dalam hidup dan pelayanan Yesus adalah inklusivitas. Dari semua perumpamaan Yesus dalam kitab-kitab Injil, mungkin Perumpamaan tentang Orang Samaria yang baik hati dalam Lukas 10:25-37 adalah salah satu yang paling dikenal dan kontroversial. Dikatakan pada suatu hari seorang ahli Taurat datang kepada Yesus untuk bertanya tentang bagaimana syarat untuk masuk kerajaan sorga. Menyadari bahwa diriNya sedang dicobai, Yesus membalik pertanyaan itu dan membuat ahli Taurat itu mengutip Imamat 19:18 dan Ulangan 6:5 tentang dua hukum yang terutama. Merasa tidak puas dengan respon Yesus yang terlalu sederhana, sang ahli Taurat kemudian menanyakan siapa yang dapat dia anggap sebagai sesamanya. Untuk menjawab pertanyaan inilah Yesus kemudian menceritakan perumpamaan ini.
          Apa yang kontroversial dari perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati? Dalam perumpamaan ini sangat jelas Yesus menunggangbalikkan konsep umum yang berlaku saat itu tentang superiotas rohani dari orang-orang Yahudi. Sejak lama orang-orang Yahudi, terutama orang Farisi dan ahli-ahli Taurat meyakini bahwa mereka adalah orang-orang kesayangan Allah karena mereka adalah keturunan Abraham. Sebenarnya konsep mereka ini bukannya tanpa dasar. Dalam kitab PL kita menemukan banyak sekali firman Tuhan yang menyatakan bahwa orang-orang Yahudi adalah bangsa pilihan dan lebih luar biasa lagi Allah telah berkenan menyatakan kemuliaanNya kepada mereka di gunung Sinai dan memberikan Sepuluh Hukum Allah di sana (Kel. 19-20:21). Ini tentu saja membuat mereka menjadi kelompok bangsa yang istimewa dibandingkan bangsa-bangsa lain saat itu. Karena alasan inilah orang-orang Yahudi memandang mereka lebih superior dari bangsa lain, dan bukan hanya itu mereka juga menganggap bahwa janji pengharapan kerajaan Allah itu diberikan semata-mata hanya kepada mereka.
          Tanpa diragukan lagi, pemikiran semacam ini menjadi lahan yang subur bagi munculnya sikap-sikap diskriminatif kepada mereka yang dianggap tidak masuk dalam golongan. Pada masa Yesus, kehidupan sosial dipenuhi dengan isu seputar ”siapa yang masuk golonganku, siapa yang bukan” – who’s the insider, who’s the outsider – Bagi orang-orang Yahudi, orang-orang Samaria adalah the outsider – tidak masuk golongan. Bukan hanya itu mereka dianggap sebagai orang yang najis, karena mereka tidak beribadah seperti agama Yudaisme pada umumnya, dan mereka cenderung dikucilkan. Karena itulah orang Yahudi tidak mau bergaul dengan orang-orang Samaria (Yoh. 4:9). Dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, Yesus mengejutkan sang ahli Taurat dengan menjadikan tokoh orang Samaria sebagai ”lakon” atau ”pahlawan” dalam cerita ini, bukannya si imam atau si orang Lewi. Jelas satu hal yang tidak pernah diduga oleh sang ahli Taurat. Di sini kita melihat Yesus rela untuk tidak meninggikan kaumNya sendiri demi memperjelas pesan yang akan disampaikanNya. Yesus menantang pemahaman orang-orang sebangsaNya dalam mengidentifikasi siapa yang dapat mereka kategorikan sebagai sesama mereka dan siapa yang bukan. Di sini Yesus menunjukkan bahwa solidaritas mereka sebagai sesama manusia harus melampaui batasan-batasan kesamaan status, ras dan bahkan keyakinan. Ini berarti mereka tidak seharusnya  membatasi kasih dan kemurahan mereka hanya kepada kelompok orang-orang tertentu saja.
Dalam hal ini, maka memberitakan Injil kerajaan Allah berarti memproklamasikan bahwa kasih Allah itu dinyatakan dan disediakan bagi semua orang tanpa memandang latar belakang status, ras dan agama mereka. Pesan ini juga sangat kuat tercermin dalam cerita perumpamaan tentang perjamuan kawin dalam Mat. 22:1-10 ketika sang raja pada akhirnya membuka perjamuan itu bagi siapa saja. Singkat kata di sini kita melihat bahwa visi kerajaan Allah itu bersifat inklusif. Visi ini merobohkan batas-batas pemisah antar manusia dan merangkul semua golongan. 

Kerajaan Allah adalah transformasi
          Di sepanjang catatan Injil Sinoptik kita melihat banyak kisah tentang mujizat yang dibuat oleh Yesus dan bagaimana mujizat-mujizat itu membawa perubahan yang signifikan dalam diri orang-orang yang mengalaminya. Orang buta dicelikkan, orang cacat dan lumpuh bisa berjalan, orang yang kerasukan roh jahat dilepaskan, orang yang terkucil karena kenajisannya ditahirkan sehingga bisa kembali ke komunitas mereka, dan masih banyak yang lain. Lewat semua peristiwa itu Yesus memberikan gambaran yang jelas bagaimana pemberitaan Injil kerajaan Allah yang dilakukannya mengubahkan hidup orang-orang yang dilayaniNya.
          Meskipun contoh-contoh di atas banyak terkait dengan mujizat yang fenomenal secara kasad mata, bukan berarti bahwa gambaran transformasi yang Yesus berikan dalam pelayananNya hanya bersifat fisik dan superfisial. Dalam cerita tentang Zakeus si pemungut cukai (Lukas 19:1-10), kita melihat satu bentuk mujizat yang langsung mengubah aspek internal dari seseorang. Di sini kita tidak melihat satu mujizat fenomenal yang diperagakan Yesus seperti peristiwa-peristiwa di atas, namun di ayat 8 kita melihat bagaimana Zakeus berubah menjadi pribadi yang baru. Dari seorang pemungut cukai yang tega memeras bangsanya sendiri untuk mendapat kekayaan menjadi seorang yang rela memberikan separuh dari hartanya kepada orang miskin. Bukan hanya itu, dia juga berjanji untuk mengembalikan uang orang-orang yang dicuranginya bahkan sampai empat kali lipat. Jelas sekali perjumpaan Zakeus dengan Yesus membawa transformasi yang radikal dalam diri Zakeus. Ini tercermin dalam sikap dan tindakannya yang berubah 180 derajat.
          Dalam Lukas 8:1-3 kita juga menemukan catatan lain tentang orang-orang yang hidupnya diubahkan melalui pelayanan Yesus. Para perempuan yang disebutkan dalam bagian ini jelas sekali tidak datang dari latar belakang yang membanggakan atau menyenangkan, setidaknya dalam pandangan orang-orang Yahudi saat itu. Mereka adalah orang-orang yang tersisih dan marginal, dan kalaupun mereka kaya, mereka tidak dipandang sebagai sosok yang berarti karena kekayaan mereka itu identik dengan keberpihakan mereka terhadap kaum penjajah. Namun, di sini kita melihat bagaimana perempuan-perempuan ini telah dipulihkan. Mereka kini menjadi pengikut Yesus dan mendukung pelayanan Yesus dengan harta mereka. Bukan hanya Zakeus dan para perempuan ini, para murid pun juga diubahkan hidupNya lewat kebersamaan mereka dengan Yesus selama hampir tiga tahun. Semua gambaran ini menunjukkan kepada kita aspek transformatif dari Injil kerajaan Allah yang diberitakan oleh Yesus.
Di sini kita melihat bahwa kabar baik dari kerajaan Allah itu adalah Allah melakukan perubahan. Ini berarti bahwa Allah tidak membuang yang telah rusak untuk memulai lagi dengan yang baru, melainkan Allah memilih untuk mempertahankan yang telah rusak dan mengubahnya menjadi baru. Ini adalah transformasi. Inilah yang kuat tercermin dalam pelayanan Yesus memberitakan Injil kerajaan Allah.
Dengan demikian, sebagai pelayan yang dipanggil untuk memberitakan Injil yang sama, kita pun harus memberitakan dan memperagakan berita Injil yang penuh dengan pengharapan akan perubahan dan pemulihan kepada mereka yang ada dalam situasi yang sepertinya sdah tidak ada harapan lagi. Ini berarti tidak seharusnya kita menutup mata atau menghindari realitas hidup yang sulit dan memprihatinkan di sekitar kita. Sebaliknya kita harus menghadapinya dengan keyakinan karena Allah mau mengubahkan realitas itu. Bukannya membawa berita Injil kepada orang-orang atau ke tempat-tempat di mana kita merasa nyaman, sebaliknya kita harus membawa berita Injil kerajaan Allah ini ke tempat-tempat di mana kegelapan dan keterpurukan merajalela atau orang-orang merasa hilang harapan. Justru kepada merekalah dan di tempat-tempat itulah pemulihan dan transformasi paling dibutuhkan. Dengan cara demikian, kita sendiri pun akan menyaksikan dan mengalami bahwa kuasa Injil yang mengubahkan itu sungguh-sungguh nyata.


[1] Justo L. Gonzalez and Zaida M. Perez, An Introduction to Christian Theology (Nashville: Abingdon Press, 2002), p. 90.
[2] David H. Bauslin, Gospel, The International Standard Bible Encyclopedia, 1939
[3] Rick Richardson, Reimagining Evangelism: Merombak Citra Penginjilan (Surabaya: Literatur Perkantas Jatim, 2006), p.31.
[4] Blue Letter Bible. "Dictionary and Word Search for 'kingdom of God' in the NASB". Blue Letter Bible. 1996-2011. 12 Feb 2011. < http:// www.blueletterbible.org/search/translationResults.cfm?
Criteria=kingdom+of+God&t=NASB&page=2 >
.
[5] Blue Letter Bible. "Dictionary and Word Search for skyllō (Strong's 4660)". Blue Letter Bible. 1996-2011. 12 Feb 2011. < http:// www.blueletterbible.org/lang/lexicon/lexicon.cfm?
Strongs=G4660&t=NASB >


Komentar