PELAYANAN
SEKOLAH MINGGU: Penting, Tapi Seringkali Terabaikan!
oleh
Wahyu Dwijayanti
Kenangan
masa lalu
Ketika
mengenang kembali awal mula saya dikenalkan dengan Sekolah Minggu (SM) saat
kelas 1 SD , saya merasa sangat bersyukur. Betapa menyenangkannya masa-masa itu
karena banyak hal baru yang saya tidak dapatkan di sekolah. Saat itulah pertama
kalinya saya mengenal Alkitab dan Tuhan Yesus. Kalau boleh jujur, yang
mendorong saya untuk setia datang ke SM waktu itu karena SM sangat
menyenangkan. Saya jadi tahu lagu-lagu Kristen, ada gambar-gambar yang bisa
saya bawa pulang, ada hadiah yang didapat kalau saya rajin datang ke SM. Di
benak saya waktu itu, “I love you full, SM.”
Kalau
saya mengenang kehidupan masa kecil saya, saat-saat di SM merupakan sebuah
rangkaian proses yang akhirnya mengantar saya untuk mengenal Kristus. Karena
itu betapa pentingnya anak-anak dilayani sejak dini. Meski mereka tidak paham
dengan tujuan dan filosofi di balik kegiatan Sekolah Minggu, namun dengan
anugerah Allah melalui penyampaian Firman Tuhan yang fun di SM,
akhirnya anak-anak bisa dibawa kepada Allah.
Pembinaan
Anak Sebelum Sekolah Minggu ada
Dalam
jaman Perjanjian Lama, pembinaan rohani anak mendapat perhatian yang sangat
serius. Pada waktu itu keluarga menjadi tempat pembinaan rohani anak. Orang tua
bertanggung jawab untuk mendidik anak-anak mengenal Taurat Tuhan. Bukan hanya
satu minggu sekali tapi tiap-tiap hari Taurat itu diajarkan dalam berbagai
kesempatan kepada anak-anak (Ul.6:4-7).
Pada
masa pembuangan di Babilonia (500 SM), ketika Tuhan menggerakkan Ezra dan para
ahli kitab untuk membangkitkan kembali kecintaan bangsa Israel kepada Taurat
Tuhan, maka dibukalah tempat ibadah sinagoge sehingga mereka dapat belajar
Firman Tuhan kembali, termasuk di antaranya adalah anak-anak kecil. Orangtua
wajib mengirimkan anak-anaknya yang berusia di bawah 5 tahun untuk sekolah di
sinagoge. Di sana mereka dididik oleh guru-guru sukarelawan yang mahir dalam
kitab Taurat. Anak-anak dikelompokkan dengan jumlah maksimum 25 orang dan
dibimbing untuk aktif berpikir dan bertanya, sedangkan guru adalah fasilitator
yang selalu siap sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.[i] Rabi
Green berkata, "Tidak ada bangsa yang lebih mementingkan pengajaran agama
terhadap anak‐anak daripada bangsa Yahudi." Hal ini juga ditegaskan oleh
Josephus, "Semua prinsip yang kami pentingkan ialah pengajaran terhadap
anak‐anak." Dari hal ini kita tahu bahwa pengajaran orang Yahudi terhadap
anak‐anak demikian dipentingkan, sehingga di kota Yerusalem saja ada 700 rumah
sembahyang. Hal ini menyebabkan kepercayaan orang Yahudi menjadi suatu benteng
yang tidak dapat dirobohkan.[ii]
Awal
mula pelayanan Sekolah Minggu
Pelayanan
anak oleh gereja atau yang biasa disebut dengan SEKOLAH MINGGU, tidak terlepas
dari peran Robert Raikes, ia kemudian dikenal sebagai Bapak Sekolah Minggu.
Robert Raikes lahir tanggal 14 September 1735 di Glovcester Inggris, sebuat
kota kecil di tepi sungai Severn, kira-kira 150 Km Barat Laut kota London.[iii]
Pada
masa akhir abad 18, Inggris sedang dilanda suatu krisis ekonomi yang sangat
parah. Setiap orang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan
anak-anak dipaksa bekerja untuk bisa mendapatkan penghidupan yang layak. Pada
saat itu Robert Raikes yang juga seorang wartawan, mendapat tugas untuk meliput
berita tentang anak-anak gelandangan di Gloucester bagi sebuah koran milik
ayahnya. Apa yang dilihat Robert sangat memprihatinkan, sebab anak-anak
gelandangan itu harus bekerja dari hari Senin sampai Sabtu. Apa yang dilakukan
anak-anak pada hari Minggu itu? Hari Minggu adalah satu-satunya hari libur
mereka sehingga mereka habiskan untuk bersenang-senang. Dengan tidak adanya
pendidikan membuat anak-anak itu menjadi sangat liar, minum-minuman keras,
berkelahi dan melakukan berbagai macam kenakalan juga kejahatan. Mereka tidak
pernah diajak orangtuanya untuk mengikuti kebaktian di gereja.
Semua
perilaku buruk anak-anak tersebut menjadi perhatian serius dari Robert Raikers.
Ia mencari solusi bagaimana mengatasi hal itu. Robert Raikers melihat bahwa
dalam diri anak-anak itu ada banyak potensi yang disia-siakan oleh masyarakat
dan gereja. Kreativitas anak-anak itu bisa berakibat buruk bagi masa depan
mereka jika mereka tidak dididik sejak muda.
Pada
tahun 1780, ia melakukan tindakan nyata. Melihat keadaan itu Robert Raikes
bertekad untuk mengubah keadaan. Ia dengan beberapa teman mencoba melakukan
pendekatan kepada anak-anak tersebut dengan mengundang mereka berkumpul di
sebuah dapur milik Ibu Meredith di kota Scooty Alley. Di sana selain anak-anak
mendapat makanan, mereka juga diajarkan sopan santun, membaca dan menulis. Tapi
hal paling indah yang diterima anak-anak di situ adalah mereka mendapat
kesempatan mendengar cerita-cerita Alkitab.
Pada
mulanya pelayanan ini sangat tidak mudah. Banyak anak-anak itu datang dengan
keadaan yang sangat bau dan kotor. Ia juga menerapkan metode pendidikan yang
disiplin, yang terkadang dengan pukulan rotan, tapi semuanya itu dilakukan
dengan penuh cinta kasih, akhirnya anak-anak itu belajar untuk mau dididik
dengan baik, sehingga semakin lama semakin banyak anak datang ke dapur Ibu
Meredith. Semakin banyak juga yang guru disewa untuk mengajar mereka, bukan
hanya untuk belajar membaca dan menulis tapi juga Firman Tuhan. Perjuangan yang
sangat sulit tapi melegakan. Dan dalam waktu 4 tahun sekolah minggu itu semakin
berkembang bahkan ke kota-kota lain di Inggris, dan jumlah anak-anak yang
datang ke sekolah hari minggu terhitung mencapai 250.000 anak di seluruh
Inggris.
Mula-mula
gereja tidak mengakui kehadiran gerakan Sekolah Minggu yang dimulai oleh Robert
Raikes ini. Tetapi karena kegigihannya menulis ke berbagai media dan membagikan
visi pelayanan anak ke masyarakat Kristen di Inggris, juga atas bantuan John
Wesley (pendiri gereja Methodis), akhirnya kehadiran Sekolah Minggu diterima
oleh gereja. Mula-mula oleh gereja Methodis, akhirnya gereja-gereja protestan lain.
Ketika Robert Raikes meninggal dunia tahun 1811, jumlah anak yang hadir di
Sekolah Minggu di seluruh Inggris mencapai lebih dari 400.000 anak. Dari
pelayanan anak ini, Inggris tidak hanya diselamatkan dari revolusi sosial, tapi
juga diselamatkan dari generasi yang tidak mengenal Tuhan. Gerakan Sekolah
Minggu yang dimulai di Inggris ini akhirnya menjalar ke berbagai tempat di
dunia, termasuk negara-negara Eropa lainnya dan ke Amerika.
Anak-anak
spesial di mata Yesus
Yesus menganggap anak-anak juga penting. Ia memperlakukan anak-anak sebagai
seorang pribadi yang berharga. Yesus meletakkan pelayanan anak-anak dalam
prioritas pelayanan-Nya (Mrk.9:36-37). Ketika para murid Yesus bertengkar siapa
yang terbesar, Yesus justru mengambil kesempatan untuk memperkenalkan pandangan
tentang rendah hati & pelayanan kepada mereka (Mrk. 9:35). Yesus berdiskusi
tentang pentingnya menjalin relasi dengan anak-anak.
Maka
Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka,
kemudian Ia memeluk anak itu dan berkata kepada mereka, "Barangsiapa
menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan
barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus
Aku." (Mrk. 9:36-37).
Yesus
begitu memihak anak-anak sehingga Ia berkata bahwa orang yang memperhatikan
anak-anak sebenarnya mengindahkan-Nya.
Dalam
bagian teks yang lain, Yesus menanggapi usaha para murid-Nya untuk
menyingkirkan anak-anak dari-Nya.
Lalu
orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; akan
tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Ketika Yesus melihat hal itu,
Ia marah dan berkata kepada mereka: "Biarkan anak-anak itu datang
kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti
itulah yang empunya Kerajaan Allah. (Mrk 10:13-14)
Orang
Yahudi punya kebiasaan membawa anak-anak mereka kepada imam atau guru agama
supaya bisa diberkati. Kemungkinan saat itu, beberapa orang tua memohon Yesus
memberkati, menumpangkan tangan dan mendoakan anak-anak (Mat. 19:13).[iv]
Anehnya, justru para murid tidak senang Gurunya diganggu oleh anak-anak.
Mungkin mereka ingin melindungi Gurunya supaya waktunya tidak terganggu atau
kuatir jika Yesus terganggu istirahatnya ataupun tidak konsentrasi dengan
pelayanan-Nya. Para murid mungkin menganggap pelayanan penyembuhan dan
pengajaran lebih penting daripada memberkati anak-anak. Dari kejadian ini,
sangat mungkin para murid menganggap anak-anak bukan sesuatu yang penting untuk
diperhatikan.
Akibatnya Yesus sangat marah dengan sikap para murid. Kata Yunaninya adalah
kata yang sangat kuat. Kata ini menunjukkan emosi Yesus begitu rupa terhadap
para murid. Ia marah karena para murid-Nya salah paham tentang siapa Dia dan
tindakan-Nya.
Jika Yesus menganggap anak-anak begitu spesial dan menganggap pelayanan
terhadap anak-anak juga sama pentingnya dengan pelayanan-pelayanan yang lain,
apakah gereja juga sudah menganggap pelayanan anak ini juga penting? Atau
gereja sama dengan sikap para murid yang cenderung mengabaikan anak-anak karena
menganggap ada pelayanan yang lebih penting dan butuh diperhatikan ketimbang
mengurus anak-anak yang dampaknya belum bisa dilihat secara langsung?
Gereja
dan pelayanan anak
Saat
ini terdapat fenomena yang menyedihkan sekali, bahwa pembinaan rohani anak-anak
cenderung bukan ditangani oleh keluarga-keluarga Kristen. Kesibukan orang tua
dan kurangnya pemahaman mereka akan Firman Tuhan sering menjadi alasan.
Akibatnya pembinaan rohani anak seringkali dibebankan kepada gereja. Namun apakah
gereja juga menganggap pelayanan anak adalah sebuah pelayanan yang penting?
Apakah pembinaan sekolah minggu juga menjadi concern dari hamba-hamba
Tuhan?
Saya
sering mendengar kesaksian bahwa melalui pelayanan sekolah minggu pemberitaan
Injil itu disebarluaskan. Banyak anak dari keluarga yang belum percaya justru
menjadi alat untuk membawa keluarganya mengenal Kristus. Betapa pentingnya
pelayanan ini menjangkau anak-anak sejak dini. Jika kita menganggap penting
anak-anak maka pengelolaan Sekolah Minggu akan menjadi perhatian utama juga
dalam pelayanan gereja.
a.
Siapa yang melayani anak-anak di gereja?
Pelayanan
di gereja merupakan pelayanan yang sangat kompleks. Jemaat terdiri dari
berbagai variasi umur yang kesemuanya membutuhkan perhatian dan konsentrasi
para hamba Tuhannya. Karena itu, idealnya ada seorang hamba Tuhan yang khusus
menangani setiap jenjang usia jemaat. Bagi gereja-gereja besar, hal ini sudah
dilakukan dan tidak menjadi persoalan. Namun bagaimana dengan gereja-gereja
yang hamba Tuhannya hanya terdiri dari 1-2 orang saja, dan harus membagi
perhatian kepada banyak jemaat termasuk anak-anak?
Karena
itu, kaum awam sangat perlu terlibat dalam pelayanan sekolah Minggu. Keberadaan
kaum awam yang mungkin terdiri dari remaja, pemuda atau orang tua anak akan
sangat meringankan beban hamba Tuhan. Namun kehadiran mereka tidak bisa
asal comot, alih-alih untuk membantu tugas pendeta. Orang-orang yang
diberi kesempatan perlu diseleksi, diwawancarai, dilatih dan dimagangkan di
kelas-kelas sekolah Minggu terlebih dahulu. Minimal mereka yang menjadi guru
sekolah Minggu adalah jemaat yang sudah menerima Kristus sebagai Tuhan dan
Juruselamat, sudah melewati kelas katekisasi dan tentunya memiliki hati untuk
melayani anak-anak.
Berapa
banyak guru-guru sekolah Minggu yang mengajar di gereja justru tidak memiliki
relasi dengan Tuhan Yesus? Akibatnya, tidak ada kuasa dalam pengajaran yang
diajarkan kepada anak-anak. Tidak ada kesaksian hidup yang dapat dilihat oleh
anak-anak. Bagaimana anak-anak bisa diajak mengenal Tuhan dan Juruselamat-Nya,
jika gurunya sendiri tidak mengalami karya keselamatan di dalam Kristus.
Anak-anak yang dipercayakan orang tua kepada gereja, justru berada di tangan
yang salah jika guru-guru Sekolah Minggu-nya seperti ini modelnya.
b. Bagaimana
melengkapi guru-guru Sekolah Minggu?
Mengajar
anak-anak bukanlah pekerjaan mudah. Tujuan sekolah Minggu bukan hanya mengajak
anak-anak bernyanyi kemudian mendengar cerita lalu selesai. Tapi bagaimana
anak-anak ini akhirnya mengenal Tuhan dan Juruselamat-Nya serta hidupnya
diubahkan oleh Firman. Sementara anak-anak juga punya beban masing-masing dari
rumah seperti, beban keluarga yang tidak harmonis, tuntutan orang tua atas
studinya, tuntutan teman-temannya, dan sebagainya. Sehingga guru-guru Sekolah
Minggu perlu diperlengkapi untuk melayani anak-anak baik secara pastoral maupun
dalam skill mengajar.
Hamba
Tuhan atau Majelis perlu melakukan pengontrolan, pemotivasian dan pembinaan
para pelayan anak melalui kelas-kelas persiapan rutin tiap minggu. Juga
memperlengkapi mereka dengan buku-buku yang berkaitan dengan pelayanan anak
juga sangat membantu. Sesekali perlu guru-guru ini diupgrade dengan cara
mengikuti pelatihan Sekolah Minggu atau Kamp Guru Sekolah Minggu yang sering
diadakan oleh Sekolah-sekolah Teologia.
Namun
ada yang lebih penting selain memperlengkapi guru dengan kelas persiapan yaitu
mereka perlu bertumbuh melalui kelompok-kelompok PA guru sekolah minggu. Guru
sekolah Minggu perlu dibawa kepada kecintaan akan Firman, yang akan mengubah
pemahaman mereka yang kurang tepat, yang terus menerus akan mengoreksi motivasi
pelayanan mereka, dan mendorong mereka untuk berkorban bagi anak-anak yang
mereka layani. Intinya, para pelayan anak perlu berinteraksi dengan Firman dan
mengaplikasikan Firman. Di sinilah peran hamba Tuhan sangat diperlukan. Meski
tidak ikut terjun ke anak-anak secara langsung (bagi gereja yang tidak memiliki
hamba Tuhan khusus untuk Membina Sekolah Minggu), namun hamba Tuhan tetap bisa
mengontrol dan membina kerohanian para guru Sekolah Minggu. Jika tidak,
guru-guru sekolah minggu ini hanya dituntut melayani tapi tidak ditolong dalam
pertumbuhan rohaninya. Maka jangan heran, guru-guru sekolah Minggu yang tidak
terbina justru bisa menjadi penghalang anak-anak datang kepada Allah. Anak-anak
yang polos dan lugu tersebut menjadi sulit meneladani Kristus karena tidak
melihat teladan dalam hidup guru-guru sekolah Minggu mereka sendiri.
Potensial
tapi sering terabaikan
Mengapa
pelayanan anak sering terabaikan? Jangan-jangan karena guru-guru SM berpikir,
“Anak-anak masih kecil, bisa dibohongin. Atau mereka nggak tahu
apa-apa kalau Guru SM tidak persiapan.” Anak-anak meskipun kecil, tapi mereka
merasakan bagaimana guru yang sungguh-sungguh mempersiapkan diri baik dalam doa
maupun dalam persiapan mengajar. Mereka bisa peka, mana guru yang
sungguh-sungguh mengasihi mereka atau guru yang sekedar mengerjakan tanggung
jawab.
Dalam
kitab Amsal 22:6 dikatakan, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut
baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan
itu.” Masa anak-anak adalah masa potensial. Mendidik anak sejak dini untuk
diperkenalkan pada kebenaran akan memberi dampak buat hidup mereka di masa yang
akan datang. Meski mendidik anak-anak termasuk di Sekolah Minggu adalah
pekerjaan yang tidak mudah. Perlu persiapan ekstra, selain persiapan Firman,
penyederhanaan bahasa yang mudah dipahami oleh anak-anak, mempersiapkan
lagu-lagu yang sesuai dengan usia mereka, dan menyiapkan kreatifitas yang bisa
mengingatkan Firman yang disampaikan. Penggunaan waktu pun perlu berhikmat,
mengingat daya konsentrasi anak terbatas. Namun karena mereka potensial, maka
tanggung jawab pelayanan anak ini harus dikerjakan dengan kesungguhan.
Mungkin
hasil pelayanan yang dikerjakan tidak bisa langsung dilihat oleh guru-guru
Sekolah Minggu. Terkadang hal ini membuat guru merasa lelah dan bosan. Namun
Amsal 22:6 seharusnya menjadi penyemangat bagi guru-guru sekolah Minggu, bahwa
yang dituai adalah hidup yang diubahkan dan hidup yang mentaati Firman. Firman
yang pernah ditaburkan di masa kanak-kanak pun tidak akan pernah kembali dengan
sia-sia. Siapa tahu anak-anak yang sedang dilayani adalah tokoh-tokoh penting
di kemudian hari. Jadi ingat ketika Anda sebagai pelayan anak mulai lelah,
dalam sejarah gereja banyak tokoh-tokoh besar bertobat pada masa kanak-kanak,
misalnya:
1.
Merry Slessor (7 tahun) : Pengajar Injil di Afrika.
2.
Issac Watts (9 tahun) : Penulis lagu‐lagu.
3.
Polycarpus (9 tahun) : Tokoh Gereja yang
mati syahid
4.
Jonathan Edwards (7 tahun): seorang cendikiawan, pengkotbah besar, ahli
teologia, filsafat dan Gembala gereja.
5.
Mathew Henry (10 tahun): Penulis Tafsir Alkitab
Orang
tua juga perlu kembali kepada pengajaran Alkitab, bahwa pembinaan rohani
anak-anak juga merupakan tanggung jawab orang tua. Meski di sekolah Minggu
anak-anak diajarkan kebenaran, tapi jika mereka kembali ke rumah tidak
ada follow up seperti teladan hidup dari orang tua dan penguatan dari
orang tua, maka apa yang diajarkan di Sekolah Minggu bisa mudah menguap begitu
saja. Ulangan 6:6-7 mengatakan:
“Apa
yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah
engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya
apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan,
apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.”
Jelas
sekali, perintah Tuhan ini diberikan kepada orang tua untuk menyampaikan
kebenaran Firman dalam setiap saat, setiap momen kepada anak-anak mereka. Orang
tua perlu aktif mengajarkan berulang-ulang, tidak boleh bosan, tidak mengenal
lelah. Nampak ada kebersamaan antara orang tua dengan anak, dan saat-saat
itulah saat yang tepat untuk Firman disampaikan.
Dengan demikian tanggung jawab pelayanan anak juga ada di tangan para orang
tua. Sesibuk apa pun orang tua, tanggung jawab ini tidak bisa hanya diserahkan
kepada gereja begitu saja. Jika kita berpikir bahwa hidup anak-anak kita adalah
penting maka kita tidak bisa mengabaikan pembinaan rohani mereka dalam
keluarga.
Komentar
Posting Komentar