PASKAH,
MISI, DAN KONTEKSTUALISASINYA
oleh
Krisna Yogi Pramono
Merefleksikan
paskah membuat penulis teringat pada satu ilutrasi yang sangat menyentuh hati,
bahkan sampai sekarangpun penulis masih terharu apabila menceritakan ilustrasi
itu kembali. Secara ringkas ilutrasi itu berkisah tentang seorang pemuda yang
dihukum mati karena kejahatannya yang sangat banyak. Di kota tempat pelaksanaan
eksekusi tersebut terdapat satu gereja yang memiliki menara dengan lonceng
besar di atasnya. Sesuai tradisi, apabila ada pelaksanaan hukuman mati maka
lonceng gereja tersebut dibunyikan terlebih dahulu. Apabila lonceng gereja
tersebut berbunyi maka hukuman mati sah untuk dilaksanakan, sebaliknya apabila
tidak berbunyi maka hukuman mati tidak boleh dilaksanakan dan sang terhukum
harus dibebaskan. Singkat cerita tibalah hari pelaksanaan hukuman itu. Segala
sesuatu telah disiapkan, namun ketika tali ditarik ternyata lonceng itu tidak
berbunyi, berulang-ulang tali ditarik pun lonceng tetap tidak berbunyi,
karenanya berdasarkan tradisi sang pemuda harus dibebaskan dari hukuman mati.
Beberapa saat kemudian lonceng diperiksa dan ternyata ada sesuatu yang melekat
pada lonceng itu sehingga membuatnya tidak bisa berbunyi. Ketika penghalang
tersebut diturunkan, ditemukan sesosok tubuh yang tak lain adalah tubuh ibu
dari pemuda terhukum itu. Semalam-malaman ibu itu mengikatkan dirinya pada anak
lonceng agar ketika keesokan harinya lonceng ditarik, tubuh renta itu meredam
benturan sehingga lonceng tidak berbunyi. Akhir cerita ibu itu mati karena
tubuh tuanya tidak mampu menahan benturan keras lonceng yang berulang-ulang.
Dari
ilustrasi ini dapat disimpulkan bahwa kasih ibu itu tentulah sangat besar
kepada anaknya, sebab sekalipun anaknya sangat pantas untuk dihukum mati namun
dia rela menggantikan dengan nyawanya sehingga anaknya dibebaskan dari hukuman.
UNDESCRIBEABLE
LOVE VS UNDESCRIBEABLE SIN
Pencipta
ilustrasi ini pastinya terinspirasi oleh tindakan Allah yang dengan
kebesaran kasih-Nya yang rela memberikan Anak-Nya yang tunggal sebagai ganti
manusia berdosa untuk menjalani hukuman atas dosa yaitu maut. Namun tetap saja
ilustrasi ini tidak mampu secara sempurna menggambarkan besarnya kasih Allah
itu. Adam Clark dalam komentarnya terhadap Yohanes 3:16 menuliskan, “Such a
love as that which induced God to give his only begotten son to die for the
world could not be described.”
Keseluruhan
kitab suci, dari kitab Kejadian sampai kitab Wahyu, terus menyatakan kasih
Allah secara konsisten kepada manusia yang berdosa. Paskah merupakan
puncak dari demonstrasi kasih Allah yang luar biasa (magnificent love) yang
Dia nyatakan dengan memberikan Anak-Nya menjadi manusia—manusia dengan status
yang rendah yaitu sebagai hamba—untuk kemudian mati, bahkan mati di atas kayu
salib menjadi tebusan bagi banyak orang (Fil. 2:5-8).
Di
sisi yang lain, Paskah juga merupakan refleksi dari betapa mengerikannya dosa
itu. Adam Clark menuliskan hal lain dari komentarnya terhadap Yohanes 3:16, “That
sin must be an indescribable evil, when it required no less a sacrifice, to
make atonement for it, than God manifested in the flesh.”
Kejahatan
sang anaklah yang membawa penderitaan dan kematian pada sang ibu, sehingga sang
anak bebas dari hukuman. Demikian halnya dosa manusialah yang menyeret Kristus
tergantung di atas kayu salib sebagai tebusan supaya manusia dibebaskan dari
hukuman atas dosanya yaitu maut (Rom. 6:23). Sekeci apapun dosa, dosa
itulah yang memakukan Kristus pada tiang gantungan itu, yang menggoreskan tiap
bilur-bilur luka pada punggung-Nya, yang memberi perih yang dalam pada kepala
yang tertusuk mahkota duri, dan yang menyanyat hati-Nya dalam kesendirian
menghadapi segala penderitaan itu. Karena dosa maka Yesus yang adalah Allah itu
harus berada pada titik terendah dari hidup seorang manusia. Suatu ironi jika
Allah yang seharusnya menerima segala hormat dan pengagungan itu harus
mengalami kehinaan dan derita yang begitu mengerikan, yang bahkan tidak sanggup
untuk dibayangkan dan dijelaskan. Semua karena undescribeable love dan undescribeable
sin.
PASKAH:
MISI DI HATI ALLAH
Kesadaran
akan betapa mengerikannya dosa kita dikontraskan dengan besarnya kasih Allah
itu seharusnya membawa kepada pengakuan bahwa paskahlah hal terbesar yang
pernah dilakukan Allah bagi kita. Allah telah mengerjakan misi-Nya dalam hidup
kita. Allah telah bergerak untuk menjangkau hidup kita dan untuk itu Dia telah
memberikan yang terbaik dan terbesar dari apa yang dimiliki-Nya, yaitu
Putra-Nya yang tunggal itu. Karena itu seharusnya tidak ada pemberian yang
terlalu besar untuk kita berikan kepada Allah sebagai respon kita atas
anugerah-Nya itu. Harta, cita-cita, harapan, waktu bahkan totalitas hidup kita
sekalipun tidaklah cukup untuk dapat membalas kasih-Nya yang besar itu.
Sekarang
apabila dalam amanat agung-Nya, Tuhan Yesus menghendaki agar setiap orang
percaya menjadikan semua bangsa murid-Nya dengan cara pergi, mengajar, dan
menantang setiap orang untuk percaya kepada Yesus sebagai satu-satunya Tuhan
dan Juruselamat pribadi (bermisi), apakah hal itu menjadi terlalu berat untuk
dilakukan? Bermisi artinya pergi keluar dari zona nyaman kita untuk melakukan
sesuatu hingga jiwa-jiwa ke mana Tuhan inginkan untuk kita tuju mendengar,
mengetahui, dan merasakan kasih Allah yang besar itu.
Allah
sangat serius dengan misi karena sesungguhnya misi adalah isi hati Allah
sendiri. Sesungguhnya, merupakan hak istimewa bagi setiap orang percaya untuk
terlibat dalam pekerjaan misi Allah bagi dunia ini. Tugas ini begitu istimewa
karena kita yang sebenarnya tidak layak telah dilayakkan-Nya untuk ambil bagian
di dalam pekerjaan mulia tersebut.
Keseriusan
perhatian Allah akan misi dapat kita lihat dari istilah "mengutus"
dan "mengirim" dalam Lukas 10:1, 2. Kata "mengutus"
yang pertama dipakai dalam Lukas 10:1, dalam bahasa aslinya (Yunani)
adalah ‘apostello’ yang berarti diutus baik-baik, dengan hormat
dan otoritas. Dengan cara ini Allah mau agar orang percaya membagikan kabar
keselamatan itu kepada dunia. Murid-murid diutus baik-baik, di-apostello oleh
Tuhan Yesus.
Sebaliknya,
kata kedua yang dipakai dalam Lukas 10:2 adalah "ekballo" yang berarti
dilempar, ditendang, diutus dengan paksa. Tuhan bisa memakai berbagai cara
untuk mengutus dengan paksa orang percaya pergi ke ladang misi. "Tuaian
memang banyak, tetapi pekerja sedikit" (Luk. 10:2), artinya antara ladang
misi dan tenaga pekerjanya tidak seimbang. Jika orang percaya tidak mau di-apostello,
diutus secara baik-baik untuk pergi, Tuhan bisa meng-ekballo orang
tersebut untuk pergi. Hal ini terjadi supaya bangsa-bangsa lain mendapat
kesempatan untuk mendengarkan Kabar Baik itu.
KONTEKSTUALISASI
MISI DALAM PELAYANAN SISWA
Dalam
konteks pelayanan siswa, pengertian “semua orang” mengarah
kepada semuasiswa SMP dan SMA yang menjadi fokus pelayanan ini. Namun
bukan berarti hal ini mereduksi tekanan perintah dalam amanat agung. Yang
dimaksudkan adalah bahwa dalam misi, harus ada sasaran yang jelas ke mana Tuhan
menghendaki utusannya untuk pergi. Seperti halnya dikisahkan dalam Kisah Para
Rasul, Petrus memberitakan Injil untuk orang Yahudi sementara Paulus
memberitakan Injil pada non-Yahudi. Demikian juga setiap orang percaya dipanggil
untuk ladangnya masing-masing. Bukan berarti pula bahwa seorang pelayan siswa
tidak boleh, tidak bersedia, dan tidak bisa bermisi dalam ladang yang berbeda,
atau kepada orang lain. Sekali lagi belajar dari kisah Paulus yang sekalipun
memfokuskan pelayanannya kepada non-Yahudi namun dalam misinya, dia juga selalu
memberitakan Injil kepada orang Yahudi. Hal ini lebih menekankan pada panggilan
seorang pelayanan siswa, di mana Tuhan mengarahkan hati dan hidupnya secara
khusus memang untuk melayani siswa.
Apabila
kita menghendaki terjadinya kegerakan besar dalam misi pelayanan siswa maka ada
dua unsur yang diperlukan. Pertama, harus ada pelayan siswa yang tepat
dengan kualitas rohani yang diperlukan untuk dapat menjadi alat yang nyata
dalam tangan Allah. Kedua, harus ada waktu yang matang (kesempatan) yang
dapat digunakan untuk pelayan tersebut bertindak.
PELAYAN
SISWA YANG TEPAT
Konsep
"God uses ordinary people" (Allah memakai orang sederhana dan biasa)
sering disalahartikan oleh beberapa orang Kristen dalam pekerjaan Tuhan.
Walaupun Tuhan memilih orang-orang sederhana dan biasa untuk menjadi pelayan
siswa, Tuhan tidak sembarangan memilih orang atau asal comot dari pinggir
jalan. Diperlukan seorang yang sungguh-sungguh memiliki karakteristik rohani
dan skill yang tepat untuk dapat mengerjakan misi dalam pelayanan
siswa.
Karakteristik-karakteristik
dasar seorang pelayan siswa yang memiliki hati misi antara lain:
Hati yang
Melimpah Dengan Kasih Setia
Seorang
pelayan siswa haruslah seorang yang memiliki kasih yang besar terhadap siswa.
Terkadang seorang siswa bisa sangat menjengkelkan dan begitu sulit untuk dibawa
kepada Kristus. Hanya kasih yang besar yang memampukan seorang pelayan siswa
untuk tetap setia menggembalakan siswa-siswa seperti itu hingga ada satu titik
di mana terjadi pertobatan dalam diri siswa itu. Siswa membutuhkan kasih
yang tulus, dimengerti, dan juga diterima apa adanya. Seorang pelayan siswa
yang datang dengan penampilan seorang polisi rohani akan sulit diterima dalam
hidup seorang siswa. Karena itu seorang pelayan siswa haruslah seorang yang
telah lebih dahulu mengalami kasih Allah secara nyata dalam hidupnya.
Kebergantungan Penuh
Kepada Allah
Kebergantungan
kepada Allah adalah syarat mutlak hidup seorang pelayan siswa yang bermisi.
Pertobatan dalam diri seorang siswa dapat terjadi bukan karena kehebatan atapun
kemampuan seorang pelayan siswa dalam membuat program-program, dalam skill PI,
ataupun penampilannya. Pertobatan demi pertobatan dari siswa-siswa yang
dilayani hanya dapat terjadi apabila Allah sendiri bekerja melalui diri seorang
pelayan siswa yang datang dengan Injil yang dia beritakan. Dan hal tersebut
hanya mungkin melalui hidup yang terus menerus intim dengan Tuhan.
Lebih
luas dari itu, kebergantungan kepada Allah juga harus melingkupi keseluruhan
cara hidup seorang pelayan siswa, yang nampak dalam kehidupan doa yang tekun
bagi siswa sampai kepada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-harinya, yang paling
kecil sekalipun. Seorang pelayan siswa yang tidak pernah mengalami Allah secara
nyata dalam hidupnya, tidak akan dapat menjadi seorang misioner yang baik.
Dapat Menjadi
Teladan
Faktor
utama yang mempengaruhi perubahan hidup seorang siswa bukanlah
pengajaran semata tetapi keteladanan nyata dalam diri seorang pelayan siswa, di
mana siswa melihat bagaimana kakak pembimbingnya mempraktekkan firman Tuhan
dalam keseharian hidupnya. Sekalipun pengajaran yang diterima bagus dan benar,
seorang siswa dapat dengan mudahnya mengabaikannya suatu pengajaran, apabila
dia melihat kakak pembimbingnya ternyata tidak menghidupi kebenaran itu.
Rela Menjadi
Segala-Segalanya untuk Siswa
Paulus
rela menjadi Yahudi supaya seorang Yahudi dimenangkan demi Kristus, dan menjadi
Yunani supaya seorang Yunani dimenangkan demi Kristus. Seorang pelayan siswa
pun harus memiliki kerendahan hati yang seperti itu. Mengetahui hal-hal
yang sedang menjadi trend di kalangan siswa, mengerti topik-topik
pembicaraan yang menarik bagi siswa, bahkan mungkin mengikuti cara berpakaian
dan bersikap seperti siswa dalam batasan tertentu supaya seorang pelayan siswa
dapat diterima dengan mudah sehingga Injil mendapat kesempatan luas untuk
diberitakan.
Tekun dan
Berani Membayar Harga
Pelayanan
siswa mungkin adalah pelayanan yang dapat dikerjakan dengan prinsip-prinsip
yang sederhana, namun harga yang harus dibayar tidaklah murah. Waktu,
pikiran, uang, dan terutama hati haruslah dicurahkan sepenuhnya demi
pertobatan seorang siswa. Kuasa Allah tidak akan mengalir melalui orang-orang
yang setengah hati mengerjakan pelayanan siswa. Kuasa Allah yang mengubahkan
hidup siswa dan menggerakkan pelayanan siswa hanya akan hadir melalui totalitas
hidup pelayan-pelayannya.
Memiliki Kesungguhan
dalam Mengembangkan Diri dan Talentanya
Yang
dimaksud di sini bukan berarti seseorang harus sedemikian hebat
dalam skill, baru dapat bermisi ke ladang siswa. Harus ada satu
kesungguhan untuk menguasai satu skilltertentu yang dapat mengefektifkan
pelayanannya. Karena pelayanan siswa adalah pelayanan yang sangat dinamis dan
membutuhkan kreativitas terus menerus dalam mengerjakannya. Secara umum siswa
pasti melihat kemasan dahulu baru memperhatikan isinya. KTB-KTB dan
persekutuan-persekutuan harus terus menerus dikreasi sehingga siswa merasa
betah dan menikmati setiap pengajaran firman Tuhan melalui kegiatan-kegiatan
tersebut.
WAKTU
YANG MATANG
Kita
talah melihat karakteristik-karakteristik dasar seorang misioner dalam ladang
siswa. Namun seorang pelayan siswa yang baik tidak akan dapat mengerjakan
misinya kalau Allah tidak merancangkan waktu dan kesempatan yang tepat untuk
dia dapat melakukan tugasnya yaitu menjangkau siswa bagi Kristus. Dan memang
Allah sendirilah yang telah merancangkan waktunya, yaitu bahwa tidak ada waktu
yang lebih tepat daripada masa remaja (muda) untuk seseorang mendengarkan
Injil.
Jumlah
yang Besar
Statistik
menunjukkan bahwa 60% dari populasi global berusia di bawah 25 tahun. Dari
jumlah tersebut angkatan pelajar terbesar adalah siswa. Kemana saja kita pergi
kita dapat menjumpai siswa, di jalan-jalan, di mal, di warung, di gereja,
apalagi di sekolah. Jadi kenapa memberitakan Injil kepada siswa sangat sulit
dan jarang dilakukan oleh pelayan siswa, sementara mereka ada di mana-mana?
Misi di ladang siswa tidaklah harus ke tempat-tempat yang jauh dan terpencil,
justru di kota besarlah jumlah mereka yang paling besar. Pertanyaannya bukanlah
kemana namun siapa. Adakah pelayan siswa yang baik yang mau menuainya, dimanapu
mereka menjumpai siswa?
Pencarian
Jati Diri
Masa
remaja selalu dikenal sebagai masa pencarian jati diri/konsep diri. Banyak
aspek yang mempengaruhi seorang remaja dalam menemukan konsep dirinya. Dr. Paul
Gunadi menjelaskan aspek-aspek itu berdasarkan buku yang berjudul, Helping
The Struggling Adolescent karya Les Parrot III, dan uraiannya adalah
sebagai berikut:
Pertama,
diri subjektif, yaitu pandangan pribadi remaja tentang siapakah dirinya. Ada
remaja yang melihat dirinya supel, namun ada pula yang kuper (alias
kurang pergaulan).
Kedua,
diri objektif, yakni pandangan orang lain tentang diri si remaja. Pandangan
orang lain bersifat mandiri dan beragam, dalam arti pandangan ini merupakan
pandangan pribadi seseorang tentang si remaja dan pandangan tiap orang tidak
harus sama dengan yang lainnya.
Ketiga,
diri sosial, yaitu pandangan si remaja akan dirinya berdasarkan pemikirannya
tentang pandangan orang lain terhadap dirinya. Di sini si remaja melihat
dirinya dengan menggunakan kaca mata orang lain. Ia mereka-reka apa penilaian
orang lain terhadap dirinya dan sudah tentu rekaan ini dapat tepat tapi dapat
pula keliru.
Keempat,
diri ideal, yakni sosok dirinya yang paling ia dambakan atau ia cita- citakan.
Diri ideal adalah diri yang belum terjadi atau terbentuk sehingga si remaja
terus berusaha mencapainya.
Aspek
yang paling berpotensi menimbulkan masalah bagi remaja adalah diri sosial. Kita
semua pasti pernah bertanya-tanya, apa penilaian orang lain terhadap diri kita.
Pada diri remaja, pertanyaan semacam ini amatlah penting karena ia sangat
bergantung pada penilaian orang lain, terutama teman-temannya. Kita dapat
membayangkan apabila Injil diberitakan kepada remaja dan kemudian dia tahu
bahwa dirinya berharga di mata Allah dan Allah mengasihi mereka, remaja
tersebut pastilah akan bertobat. Hal ini menjadi semakin efektif apabila kemudian
siswa mampu melihat bahwa Kristuslah diri ideal yang seharusnya dia capai. Pada
akhirnya kita mendapati seorang dengan konsep diri yang benar di masa
dewasanya.
Kebutuhan yang
Besar akan Teman dan Komunitas
Banyak
survei dan penelitian menunjukkan bahwa pengaruh terbesar yang membentuk
kepribadian seorang remaja diperoleh dari teman, apapun bentuk pengaruhnya,
baik atau buruk. Dan memang remaja akan sangat terbuka kepada teman-temanya
dibanding kepada siapapun juga. Tidak ada strategi yang lebih baik untuk
membawa Injil ke dalam hidup seorang siswa selain menjadi teman mereka. Hidup
bersama mereka, ada dan hadir untuk mereka, dan terutama menjadi pengaruh atas
hidup mereka.
Keingintahuan yang
Besar
Ketika
seseorang masih anak-anak yang dia tahu dan terima sebagai kebenaran adalah apa
kata orang tua mereka. Ketika seorang dalam masa tuanya maka yang menjadi
kebenarannya adalah pengetahuan dan pengalaman hidupnya. Dan masa remaja,
adalah masa transisi dimana seorang siswa mulai mempertanyakan nilai-nilai yang
diajarkan oleh orang tuanya. Mereka mencoba semua hal, mencari dan bertanya
tentang apapun juga, sampai menemukan apa yang dia sebut sebagai jalan
hidupnya. Pada masa ini apabila seorang remaja mendengar Injil dan mengenal
Kristus, maka sepanjang hidupya dia akan menjadikan Kristus sebagai tujuan
hidupnya yang baru.
13/30 Windows
Para
misiologi membuat istilah 10/40 Window untuk mendeskripsikan
daerah geografis antara 10 dan 40 derajat garis lintang sebagai wilayah yang
paling jarang diinjili. The13/30 Window kemungkinan juga
merupakan hal yang penting. Yang dimaksud dengan The 13/30 Window adalah
orang-orang yang berusia antara 13-30 tahun. Kelompok umur itu berpotensi
menjadi ladang tuaian terbesar bagi Injil di masa sekarang. Kelompok tersebut
sangat terbuka terhadap Injil. Survei menunjukkan bahwa 90% dari semua orang
Kristen memutuskan untuk menerima Yesus sebagai Juruselamat sebelum mereka
berulang tahun ke-25 dan 75% melakukannya sebelum berusia 18 tahun (usia SMP dan
SMA). Ini juga menjadi kelompok yang paling penting, karena mereka adalah masa
depan dunia dan gereja.
Fase
Terakhir
Masa
SMA adalah kesempatan besar, sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya,
sekaligus kesempatan terakhir untuk memasuki lapisan masyarakat yang lebih luas
sebelum memasuki dunia pasca siswa (rumahtangga, STT, ABRI, kerja, dll) dimana
kesempatan untuk mereka mendengar Injil menjadi lebih jarang dan lebih sulit
karena komunitas yang semakin terbatas.
Keadaan-keadaan
yang memberikan kesempatan begitu luas bagi Injil untuk memasuki dunia seorang
siswa telah Tuhan sediakan dengan begitu rupa. Kesempatan ini tinggal menunggu
seorang pelayan siswa yang sungguh memiliki hati misi untuk digunakan. Kalau
tidak, jangan heran kalau kita semakin melihat banyak siswa hancur binasa
karena lawan Injil yaitu si Iblis tidak pernah lelah menggunakan setiap waktu
dan kesempatan untuk membawa satu siswa lagi dan lagi menemaninya dalam
kebinasaan.
PENUTUP
Hudson
Taylor menuliskan puisi yang indah sekaligus menguatkan siapa saja yang
membacanya untuk terus mengerjakan pelayanan ini dengan setia. Puisinya yang
dituliskan dalam misinya yang kedua di Tiongkok adalah sebagai berikut:
Siapa bicara tentang
istirahat?
Di Sorga ada
istirahat
Di dunia ini tiada
istirahat bagiku
Terus, terus
laksanakan urusan Bapaku
Dia mengutus aku ke
bumi ini
Menugaskan aku
menggunakan waktuku di bumi
Memerintahkan aku
melakukan semua perkerjaanku bagiNya
Ia akan memberikan
bagiku cukup rahmat
Waktu untuk bekerja,
untuk menderita
Bukan untuk istirahat
Di sorga ada
istirahat
Biarlah
hati kita semakin rindu untuk melihat satu siswa lagi dan lagi dimenangkan bagi
Kristus melalui spiritualitas dan totalitas hidup pelayan-pelayanNya di ladang
siswa ini. Dan Tuhan berjanji untuk menyertai kita sampai kepada akhir
zaman. Soli deo gloria.
Komentar
Posting Komentar