MYSTECO THEOLOGY: PENEBUSAN CIPTAAN DALAM YOHANES 1


MYSTECO THEOLOGY: PENEBUSAN CIPTAAN DALAM YOHANES 1 
oleh Nindyo Sasongko

TERCENUNG . . .
Belum lama ini kami mengundang seorang hamba Tuhan yang cukup terkenal di Jawa Tengah untuk berkhotbah di gereja kami. Dalam khotbahnya, ia menyentakkan kami dengan sebuah pertanyaan, “Siapa yang berdoa sebelum mandi?” Ah, berdoa sebelum makan, itu mah wajib hukumnya bagi orang Kristen. Bangun tidur dan sebelum tidur pun sudah menjadi kebiasaan yang otomatis. Tetapi berdoa sebelum mandi? Pengkhotbah ini melanjutkan, “Sejak kecil, papah saya mengajar saya untuk berdoa sebelum mandi. Mengapa? Bersyukur untuk air. Bayangkan bila tidak ada air!”

Menarik! Demikian hemat saya. Berdoa sebelum mandi bukan supaya Tuhan menjaga agar tidak terpeleset, jatuh dan patah tulang. Juga bukan seSaudarainya tiba-tiba kena serangan jantung ketika mandi, ataupun takut kalau-kalau air itu penuh kuman penyakit yang akan menempel di tubuh. Tetapi menaikkan syukur untuk anugerah air yang Allah sediakan lewat alam.

Seberapa banyak di antara kita yang kerap tercenung, dan tiba-tiba dari hati kita seolah-olah terdengan bunyi “Ting!” dan kita dicerahkan oleh pemberian-pemberian Allah yang sudah amat sangat biasa sekali(maaf, memakai rentetan kata yang redundant, sekadar untuk menyangatkan kalimat). Untuk air, udara, embusan angin, rumput, dsb.? Atau yang selalu ada di tubuh kita: air mata, sentuhan tangan, detak jantung, rasa gatal, dan bahkan daki?

Pada kesempatan ini, saya ingin sekali mengajak Saudara bermenung lebih jauh. Kita bersyukur, untuk alasan apa? Baiklah, secara praktis, kita bersyukur karena semua ini adalah pemberian Allah. Tetapi, mengapa Allah memberikan itu semua? Well, benar bila Saudara mengatakan untuk kebaikan kita. Namun demikian, apakah Allah memberikan segala yang ada di alam ini untuk kebaikan manusia semata-mata? Tentu tidak. Manusia diciptakan oleh Allah pada hari keenam sedikit-dikitnya memberikan dua indikasi: Pertama, manusia adalah bagian yang integral dari alam. Jika kita mawas diri, maka manusia bukan saja tak mungkin mampu menopang dirinya sendiri tanpa Allah, tetapi manusia pun membutuhkan topangan alam dan ciptaan lainnya. Perhatikanlah bayi manusia dan bayi sejumlah binatang lainnya. Begitu lahir, bayi binatang dapat segera berjalan dalam hitungan menit. Sedangkan bayi manusia masih menantikan masa sekurang-kurangnya 9 bulan untuk belajar berdiri! Manusia adalah makhluk yang paling lemah, dan ia bergantung kepada makhluk lain.

Kedua, manusia adalah penatalayan Allah. Menjadi penatalayan Allah itu layaknya menjadi manajer, bukan presiden direktur atau presiden komisaris atau pemilik. Manusia bertanggung jawab penuh kepada Allah yang empunya langit dan bumi. Allah menempatkan manusia ke dalam Taman Eden (Inga’, inga’! Taman ini di atas bumi!), untuk mengusahakan dan memelihara (Kej. 2:15). Dengan demikian, manusia mengemban tugas pengelolaan bumi milik Allah itu.

MENETASKAN MAKNA
Entahkah merupakan sebuah historical destiny, dalam dekade terakhir ini banyak sekali dirumuskan mengenai “teologi ekologi.” Apakah ini merupakan tindakan kalang kabut karena bumi keburu rusak, baru kita terhenyak; kita sungguh berharap tidak demikian. Semua ini ada baiknya. Belum terlambat. Dan untuk itu, saya mengajak Saudara merenungkan Yohanes 1 dalam terang yang lain, bukan sebagai pembuktian keilahian Kristus, tetapi dalam membangun apa yang saya sebut sebagai mysteco theology. Kata mystecomerupakan paduan dari dua kata mystical dan ecological. Kata mystical, hendaklah kita mengerti seperti yang diterangkan oleh 11th Merriam Webster Collegiate Dictionary (h. 822) sebagai:
having a spiritual meaning or reality that is neither apparent to the senses nor obvious to the intelligence.
Involving or having the nature of an individual’s direct subjective communion with God or ultimate reality.
Jadi mystical sama dengan spirituality. Mystical theology identik dengan spiritual theology. Tetapi mengapa saya memakai kata mystical dan bukan spiritual saja? Karena sebagai orang Injili, kita kadhung (Jawa “terlanjur”) memasukkan spiritual theology dalam matra practical theology. Di kebanyakan seminari Injili Amerika Serikat, guru besar yang mengajar spiritualitas masuk ke dalam studi praktika. Selidik punya selidik, kebiasaan ini diturunkan dari tradisi Gereja Barat, atau Katolik Roma. Dapat dipahami, karena Gereja Protestan terlahir dari tradisi Gereja Katolik Roma. Baru pada waktu Regent College, Vancouver, didirikan, James M. Houston dipercaya untuk menjabat presiden pertama sekaligus profesor spiritualitas di kolese tersebut.

Sedangkan mystical theology, sebagaimana dipakai oleh tradisi Gereja Ortodoks Timur (Bizantin-Konstantinopel), yaitu untuk keutuhan teologi. Stanley Harakas menyatakan demikian, “In the East [-ern Orthodox Church], however, it tended to be used in a way which closely related the moral life and the experience of God by Christians with doctrinal and theological teaching.”1 Hal ini pun ditegaskan oleh Vladimir Lossky, bahwa teologi mistika dalam Kekristenan Timur adalah “a spirituality which expresses a doctrinal attitude.”2

Maka, dengan memakai kata mystical theology, segera apa yang kita pikirkan adalah keutuhan tubuh teologi: biblika, historika, sistematika, etika dan spiritualitas. Itu berarti teologi harus berakarkan biblika, berbatangkan historika, berdaun sistematika, dan berbuahkan etika, dan disirami kesejukan air spiritualitas.3Kata ini kemudian berpadu dengan ecological theology, yaitu teologi tentang ekosistem, yang menjadi raison d’etre mengapa kita sebagai orang Kristen perlu menjaga alam semesta. Tetapi dalam tulisan ini kita akan melihatnya lebih jauh, yaitu kepada ciptaan yang ditebus oleh Allah, berdasarkan Yohanes 1.

DI BALIK LAYAR TERKEMBANG
Pada mulanya adalah Firman;
Firman itu bersama-sama dengan Allah
dan Firman itu adalah Allah.
Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah.
Segala sesuatu dijadikan oleh Dia
dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi
dari segala yang telah dijadikan.

(Yohanes 1:1-3)

Kita mengenal biologi, psikologi, atau apa pun studi yang lainnya. Kita bertindak dan bertutur kata mengenai segala sesuatu yang kita sebut logis. Kata “logi,” nampaknya mendapatkan tempat yang cukup utama di masyarakat kita, bahkan kadang-kadang kata ini dipertentangkan dengan segala sesuatu yang berbau-bau agama. Sebab kata ini menjabarkan materi, pernak-pernik hidup, diri manusia, sedangkan agama hampir-hampir hanya berkaitan dengan dugaan, abstrak, bahkan mungkin mitos, atau simbol-simbol.

Dengan begitu, tak dapat tidak kita harus memahami bahwa kata “logi” atau logos ini erat kaitannya dengan pencarian pemahaman, dan makna. Yohanes 1:1 dengan tegas memberikan tantangan kepada orang yang memutlakkan pengetahuan. Bahwa sesungguhnya, kunci menuju kepada semua pengetahuan, semua pemahaman, dan semua pemaknaan yang sejati, hidup di dalam Allah! Sang Logos itu!

Mengapa Yohanes memilih kata Logos? Mengapa bukan Anak Domba? Atau Mesias? Atau gelar-gelar Kristus yang lain? Kita tidak tahu pasti. Kita hanya dapat menarik kesimpulan tentatif bahwa Logos atau Sabda adalah kata yang paling inklusif untuk mewakili jati diri Allah dan karya-karya-Nya. Lihatlah dalam Perjanjian Lama, Allah menciptakan dunia ini dengan firman-Nya (Kej. 1:3). Allah berfirman ketika memanggil orang yang Ia mau pakai, mis. Musa (Kel. 3). Allah membebaskan kaum Israel dari perbudakan di Mesir dengan firman-Nya juga. Allah menjanjikan pemulihan bagi Israel yang dibuang, dengan menciptakan segala sesuatu baru, juga dengan firman-Nya (Yes. 55:11-13). Firman, dengan demikian, menunjukkan kesempurnaan Allah!

Dalam pada itu, sejak penciptaan, telah ada kuasa kegelapan, chaos, penghalang, yang hendak merintangi Sang Logos. “Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya” (Yoh. 1:5). Bahkan “Ia telah ada di dalam dunia dan dunia ini dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya” (ay. 10). Dari mana datangnya kuasa ini? Alkitab menutup celah pandangan yang mengatakan bahwa kuasa jahat ini diciptakan Allah. Masakan yang diciptakan Allah, hendak menghalangi Allah? Dan pada klimaksnya, kita mendengar keunikan berita Kristen, “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh anugerah dan kebenaran” (ay. 14). Dengan membaca kata-kata pertama “Pada mulanya adalah Firman,” Yohanes dengan cermat dan teliti melukis sebuah paralel antara kisah penciptaan di Kejadian dan penciptaan baru di dalam Kristus. Mari kita selidiki lebih lanjut.

Jika Saudara berasal dari gereja yang memberlakukan bacaan rutin gerejawi (leksionari), Saudara akan menjumpai bahwa Yohanes 1:1-9, 10-18 dibaca pada Minggu kedua setelah Natal. Di sini maknanya adalah masa Natal merupakan inkarnasi Sang Sabda. Sedangkan bila Saudara pernah beribadah di Gereja Ortodoks, prolog Yohanes ini dibacakan pada Malam Paskah (!) dan hal ini merupakan pintu kepada seluruh pembacaan Alkitab di sepanjang tahun liturgi. Apa implikasi dari penggunaan ayat ini dalam liturgi? Yaitu bahwa kebangkitan Kristus, kubur yang kosong, rahasia sukacita perjumpaan antara Tuhan yang bangkit dengan para murid-Nya, merupakan makna terdalam dari penciptaan.

Berarti, kisah di Kejadian tak dapat dimengerti tanpa pewahyuan yang Allah kerjakan di dalam Yesus Kristus: penciptaan baru, manusia baru, tata cipta semesta yang baru diwujudnyatakan di dalam kebangkitan Kristus. Itulah yang mula-mula dimaksudkan oleh Allah Bapa ketika menciptakan langit dan bumi. Ya, manusia telah menolak untuk bersekutu dengan Allah; sukacita untuk tinggal bersama di dalam komunitas besar tata semesta telah digantikan dengan kecongkakan diri, yang hanya menyebabkan murka Allah; tetapi prolog Yohanes ini menyatakan, ada suatu permulaan yang baru, satu sukacita yang belum pernah ada! Dan hal ini dimungkinkan dalam ciptaan yang telah diperbarui oleh Allah yang sama, yang mempunyai rencana agung ketika menciptakan langit dan bumi, dan direalisasikan oleh Sang Logos.

Maka, kita mendapatkan implikasi penting dari prolog Injil Yohanes: Kristus, yang adalah Sang Logos, bukan sekadar Juruselamat jiwa seseorang; atau pun pemberi kode moralitas, atau pengajar falsafah hidup yang unik, tetapi: Ia adalah Juruselamat dan makna terdalam dari seutuh ciptaan.

Pemahaman ini mengarahkan kita untuk memikirkan konsekuensi bagi pekerjaan misi Kristen. Gereja Kristen tidak hanya dipanggil oleh Allah untuk menyelamatkan individu-individu dari dunia, tetapi juga untuk menyelamatkan dunia. Sebab, jika orang Kristen mengenal Kristus, mereka juga diantar untuk mengenali makna segala sesuatu yang diciptakan. Mereka memiliki kunci ultimat bukan untuk memahami ilmu pengetahuan semata, tetapi untuk mengenal tujuan tata semesta seutuhnya.

LEMBARAN BARU
Dalam terang doktrin Logos ini, salah satu poin penting yang direnungkan dan dipegang oleh gereja perdana yaitu bahwa dunia ini, oleh sebab diciptakan oleh Allah, tidaklah ilahi dalam dirinya sendiri. Pemujaan kuasa-kuasa di udara, bintang-bintang, kilat dan halilintar, atau binatang, merupakan pemberhalaan di mata orang-orang Kristen perdana. Mereka tahu, memang ada realitas spiritual di balik anasir-anasir kosmis, tetapi semuanya ini diciptakan, dan tak jarang demonik, khususnya tatkala anasir-anasir tersebut menuntut penyembahan manusia.

Maka, hidup bebas dari jerat itu niscaya untuk manusia. “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia.”4 Dalam gereja perdana, Iblis disebut “tiran” atau penjajah, yang melawan kuasa sah dari Allah di dalam dunia. Kuasa Iblis tak hanya jahat serta mematikan, tetapi juga dengan terang-terangan menentang kuasa Allah. Dalam sebuah doa pada sakramen pembaptisan kuno, dituliskan demikian:

O Master of all, show this water to be the water of redemption, the water of sanctification, the purification of flesh and spirit, the loosing of bonds, the remission of sins, the illumination of the soul, the laver of regeneration, the renewal of the Spirit, the gift of adoption to sonship, the garment of incorruption, the fountain of life.5

Dengan demikian, kita melihat bahwa orang Kristen seharusnya tidak perlu ketakutan terhadap anasir-anasir dunia. Semua hal itu bukan ilahi ataupun memiliki daya magis di dalam dirinya sendiri, tetapi diciptakan oleh Allah melalui Sang Logos dan melalui kuasa Roh Kudus, sehingga pulihlah tujuan dan fungsinya yang mula-mula ketika diciptakan. Materi dikuduskan oleh tangan Allah dan dipakai untuk menyembah Dia. Kita dapat memahami “sakralitas” materi ketika dipakai dalam sakramen-sakramen gerejawi. Jadi, seluruh ciptaan dipanggil untuk kembali ke tujuannya yang “logis” di bawah kuasa Allah. Manusia, juga di bawah kuasa Allah, harus mengerjakan kekuasaan Allah itu atas seluruh ciptaan (Kej. 1:28).

Sekali lagi, misi Kristen adalah misi pembaruan ciptaan, tepatnya oleh sebab Sang Logos adalah Pencipta sejak pada mulanya, dan kini datang ke tengah-tengah dunia, sebagai Juruselamatnya. Secara konseptual misi Kristen dapat dijabarkan untuk menyatakan dan mengerjakan kembali kuasa Logos yang Esa itu, yang transenden, yang kekal, tak terciptakan, dan ilahi itu di dalam dunia. Paulus menyebut kita sebagai “kawan sekerja Allah” (1Kor. 3:9), dan hal ini mungkin terjadi oleh kita diciptakan untuk menjadi “kepunyaan Allah” (Yoh. 1:11), yang berarti kita mempunyai logos dalam diri kita, sehingga dimungkinkan untuk bersekutu dengan Sang Khalik.

Dan jika kita memahami bahwa Sang Logos itu telah menjadi manusia, dan telah dibangkitkan dari kematian serta kubur-Nya telah kosong maka kematian—sebagai akibat tertinggi dari dosa—telah ditaklukkan. Christus Victor! Kristus Jaya! Kemenangan Kristus merekahkan fajar penciptaan baru. Penebusan atas ciptaan lengkaplah sudah, karena Allah benar-benar mendandani kosmos sekali lagi melalui firman-Nya. Implikasi untuk kaum-Nya? Manusia kini diangkat derajatnya. Athanasius berkata, “Allah manjadi manusia, sehingga manusia dapat menjadi Allah.” Kata ini jangan dimengerti kita akan menjadi sama seperti Allah. Tetapi sebagaimana yang dalam 2 Petrus 1:4, “mengambil bagian dalam kodrat ilahi” dengan ditandai oleh luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia. Pemuliaan ini (dalam istilah Gereja Timur “deifikasi”) saya yakin juga berlaku untuk tata semesta ciptaan Allah (lih. Kol. 1:20).

PANGGILAN BARU
Pengertian ini kembali memberikan implikasi yang penting bagi gereja. Jikalau Sang Logos itu adalah Pencipta, Makna sekaligus Model seutuh ciptaan, maka tubuh-Nya, yakni gereja, harus mengambil tanggung jawab yang sama, kreativitas yang sama, di dalam tata semesta dan di atas bumi. Jadi, tugas dan tanggung jawab orang Kristen bukan semata-mata mengurusi “hal-hal rohani,” atau sibuk dengan “doktrin yang benar dan alkitabiah,” yaitu serentetan konsepsi-konsepsi yang hanya dapat ditangkap oleh intelegensia. Firman Allah tidak dikomunikasikan hanya melalui proposisi-proposisi. Firman Allah adalah komunikasi kehidupan. Ini punya dampak penting bagi gereja, yakni bahwa gereja harus berani mengomunikasikan kehidupan. Bagi orang Kristen, teretaslah sekat yang memisahkan wilayah sekular dan religius. Orang Kristen harus berani terjun dan masuk ke wilayah-wilayah kehidupan manusia, di dalam kuasa Allah yang menguduskan diri dan karya tangannya: baik melalui sastra, musik, gambar-gambar, bidang pembangunan masyarakat.

Teolog Gereja Timur yang bernama Maximus Sang Pengaku berkata bahwa “Logos Pengada” (logos of being) itu adalah suatu gerakan. Ada dinamika di dalam Logos tersebut. Berarti, misi Kristen pun memerlukan bentuk-bentuk baru, cara-cara baru yang dapat menjangkau seluruh ciptaan. Akan tetapi, hendaklah gereja waspada bahwa metode-metode ini jangan sampai diimpor mentah-mentah dari dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Cara baru yang ditetapkan untuk bermisi harus melalui tahap-tahap seleksi, pemilahan dan pemilihan, kewaspadaan tetapi juga keberanian untuk mencoba hal-hal yang baru.

Akhirnya, visi yang orang Kristen bawa adalah mewujudnyatakan keindahan, kebenaran serta kebaikan ciptaan baru ke dalam bumi. Misinya adalah melalui Titah Kebudayaan (Cultural Mandate) dalam Kejadian 1:26-28, dan Titah Pemuridan (Disciplesip Mandate) atau Amanat Agung (The Great Commission) dalam Matius 28:18-20. Di dalamnya, telah termaktub panggilan untuk melestarikan alam dan mempertahankan keutuhan ciptaan (integrity of creation),6 membangun kebudayaan yang memuliakan Allah dan memanusiakan manusia (diktum kaum Yesuit: Dei gloriam vivens homo), juga pewartaan Injil ke seluruh dunia.

John Meyendorff mengingatkan kita, “Christians never commit a greater spiritual crime than when they accept the dualism of grace and nature, the sacred and the secular, when they concede that there is an autonomous natural sphere that can possess its own beauty . . . its own harmony . . .” Ia menutup kalimat ini dengan sebuah ajakan, bahwa sekaranglah waktunya untuk mulai menegaskan dan mengabarkan bahwa Allah adalah khalik keindahan, dan tidak ada sesuatu pun yang diciptakan untuk menjadi sekuler, sama seperti kata Fyodor Dostoevsky, “Keindahan pada akhirnya akan menyelamatkan bumi.” Dan hal ini harus dikerjakan dengan perspektif baru yang dibukakan mengenai Kristus Sang Logos: bahwa Ia adalah Pencipta sekaligus Penebus.

KEMBALI TERCENUNG . . .
Kini marilah kita merenungkan bumi tempat tinggal kita. Ke-cuek-an hendaknya mulai kita tinggalkan, sebab ada bahaya yang besar sedang mendekati bumi kita ini. Sir John Houghton dari Universitas Cambridge, Inggris mengatakan bahwa sinyalemen perubahan iklim telah ditangkap secara serius oleh masyarakat dunia, baik para ilmuwan maupun politisi. Menurutnya, hal ini merupakan “masalah terbesar yang sedang dihadapi oleh dunia” dan merupakan “senjata penghancur massal” terhebat di sepanjang sejarah bumi. Bumi kita kian panas, oleh karena polusi global.7

Dari mana asal polusi global tersebut? Dari populasi manusia yang bertambah banyak, dibarengi dengan perkembangan industri yang sangat cepat. Dua hal ini yang menyebabkan degradasi lingkungan hidup dalam skala yang sangat besar. Houghton mendaftar isu-isu pokok di seputar ancaman terhadap keberlangsungan kehidupan dunia:

Pemanasan Global dan Perubahan Iklim: berkait erat dengan penggunaan energi, transportasi, kepunahan aneka ragam makhluk hidup, penebangan hutan.

Pergeseran penggunaan tanah: berkait erat dengan kepunahan aneka ragam makhluk hidup, penebangan hutan, perubahan iklim serta berkurangnya lahan subur serta defisit air.

Konsumsi besar-besaran: berkait erat dengan sampah, ikan, makanan, energi, transportasi, penebangan hutan dan air.

Sampah: berkait erat dengan konsumsi dan keberlangsungan kehidupan.

Sadarkah kita, tiap tahun luas hutan hujan tropis dunia digunduli dan dibakar kira-kira seluas hampir separo dari luas Pulau Jawa? Kayu dari hutan yang digunduli itu sebagian besar dipakai untuk pengadaan mebel dan perkakas dari kayu, dan untuk suplai negara-negara terkaya dunia. Pembalakan hutan di Indonesia, resmi dengan katebelece ataupun tidak, sudah mencapai titik yang sangat memprihatinkan. Indonesia memiliki cadangan 10% dari jumlah hutan hujan tropis, tetapi negara kita ini pun masuk dalam peringkat pemusnah hutan terbesar dunia. Sekitar 3,8 juta hektar pohon di Indonesia ditebangi. Ranking yang kemudian menyusul adalah Kamboja, Vietnam, Nepal, Malaysia serta Myanmar. Hutan di Sabah dan Malaysia Timur banyak ditebang untuk diubah menjadi mebel dan diekspor ke negara-negara kaya seperti Jepang, China, Hong Kong, Eropa serta Amerika Serikat. Penggundulan hutan besar-besaran inilah yang kemudian secara dramatis menaikkan gas-gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana, yang pada giliran kemudian menaikkan suhu udara.

Menurut laporan State of the World, CO2 di atmosfer kini mencapai titik tertinggi dibandingkan dengan 420.000 tahun, dan bahkan mungkin 20 juta tahun! Pemanasan ini telah mengakibatkan kematian tak kurang dari 150.000 orang pertahun di semua belahan dunia. Tahun 2003 tercatat merupakan tahun terpanas, dan akibatnya 20.000 di belahan Eropa meninggal dunia. Di Kanada Utara, dekat dengan Zona Antartika, es mulai meleleh dan hal ini menyebabkan tidak sekadar kematian dari sejumlah besar binatang kutub, tetapi juga menaikkan permukaan air laut. Negara-negara berdataran rendah seperti Madagaskar dan Bangladesh terancam tenggelam! Bagian selatan China dan pulau-pulau di lautan India serta lautan Pasifik dalam tahun-tahun mendatang tak mungkin dapat bertahan. Kelak mungkin akan tiba waktunya, jutaan orang akan diungsikan (berarti, termasuk kepulauan di Indonesia, dan Jawa tentu saja!).

Dibanding semua negara, Amerika Serikat merupakan negara penghasil CO2 tertinggi, yang asalnya dari kepulan asap mobil, sistem pemanas ruangan dan limbah pabrik-pabrik. Walaupun populasi negara ini hanyalah 4% dari totalitas populasi dunia, tetapi harus bertanggung jawab untuk hampir 25% semua gas rumah kaca yang telah menyebabkan pemanasan dunia. Negara yang terbilang termakmur sedunia ini bertanggung jawab untuk 20.000 kilo CO2, menyusul kemudian Eropa 6.400 kilo. Bandingkan dengan negara-negara di Afrika yang luas dan panas itu, mereka hanya membuang CO2 tak lebih dari 1.000 kilo.

Ini berarti, sejumlah kecil kelompok manusia telah mengeksploitasi kenyamanan hidup umat manusia. Gaya hidup negara-negara super maju, yang diwarnai oleh pemborosan juga konsumerisme merupakan ancaman terbesar bagi masa depan planet kita. Celakanya, gaya hidup ini begitu mudahnya diekspor ke negara-negara Dunia Ketiga di Asia Tenggara dan sejumlah kota di Afrika, yang memang sering kali berkiblat pada gaya hidup negara maju.

So what gitu loh? Kenyataan ini penulis paparkan sebagai tegangan antara mysteco theology yang telah kita pelajari di atas dengan kenyataan hidup di dunia. Apa yang dapat kita kerjakan, sesungguhnya banyak sekali, dan itu dapat dimulai dari hal yang sangat kecil. Sebagai pengemban amanat Allah dan abdi bagi ciptaan, bagaimana sikap kita dengan sampah? Bagaimana kita menggunakan produk plastik yang sangat sukar diurai oleh bumi itu? Bagaimana gaya hidup kita dan sikap kita terhadap lingkungan? Apakah kita ramah dengan lingkungan dan meminimalisir produk yang akan mencemarkan lingkungan?

Salah satu petuah bijak Jawa berbunyi seperti ini, “Bumi iki dudu warisane simbah buyut, ananging titipane anak lan putu” (“Bumi ini bukan warisan nenek moyang kita, tetapi titipan anak serta cucu”). Kelak ketika anak-cucu kita menagih kembali bumi ini, apakah kita akan mengulurkannya dengan bertanggung jawab? Kira-kira 200 tahun silam, seorang anggota parlemen Inggris, Sir Edmund Burke mengucapkan kalimat yang patut kita simak, “No one made a greater mistake than he who did nothing because he could do so little.” Yang penting di sini, bukanlah apa yang dapat kita kerjakan itu besar atau kecil. Akan tetapi, apa yang kita pahami, dan yang telah kita tangkap maknanya, mau kita kerjakan. Sekecil apa pun itu, mari kita belajar mengerjakannya dengan setia.

Terpujilah Allah!

1“Mystical Theology,” dalam A. Richardson dan J. Bowden, ed. The Westminster Dictionary od Christian Theology (Philadelphia: Westminster) 387.
2The Mystical Theology of the Eastern Church (Crestwood: St. Vladimir Seminary, 1957). Harus dicatat di sini, tradisi Timur waspada akan bahaya panteisme, dan teologi mistika yang dikembangkan tetap menjaga transendensi serta imanensi Allah.
3Saya meminjam moto teologi sistematika karya Rm. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika: Berakar Biblika, Berbatang Patristika (2 vol; Yogyakarta: Kanisius, 2004), dan meluaskannya.
4Secara tekstual, “sedang datang ke dalam dunia” bisa mengacu kepada “setiap orang,” sehingga ayat ini dapat ditulis, “Terang yang sesungguhnya menerangi setiap orang yang sedang datang ke dalam dunia.” Gereja Timur mengerti ayat ini demikian.
5Dikutip oleh John Meyendorff, “Christ as Word: Gospel and Culture,” International Review of Mission 294 (1985)
6Esai penulis yang lain mengenai “keutuhan ciptaan” telah terbit di majalah bulanan sinode GKMI, berjudul “Keutuhan Ciptaan: Keluarga, Keindahan dan Pengharapan,” Berita GKMI 487 (April 2008) 50-56. Artikel ini dapat diakses dalam blog pribadi (sama dengan ) bulan April 2008.
7Sir John Houghton, FRS, “Why Care for the Environment,” makalah yang dipresentasikan di Faraday Institute, St. Edmunds College, Cambridge.


Komentar