Murid yang Radikal: Bergaya Hidup Sederhana


Murid yang Radikal: Bergaya Hidup Sederhana 
oleh Daniel Adhi Surya

“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. . . Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Matius 5:13-16)
Introduksi
Ijinkan saya mengawali refleksi pribadi saya terhadap buku Murid yang Radikal[1] dengan mengutip sebuah laporan reportase seorang jurnalis Metro TV:
“Metrotvnews.com, Jakarta: Karsiah tak pernah membayangkan dirinya hidup sangat miskin di antara kepungan gedung pencakar langit Jakarta. Ia tak punya rumah. Ia hanya dapat berlindung di bawah pohon dan tidur beralaskan papan.
Empat belas tahun lamanya perempuan berusia 53 tahun itu hidup di bawah pohon di belakang rumah susun Bendungan Hilir Dua, Jakarta Pusat. Yang menyedihkan, ia tak dapat bergerak leluasa karena menderita tumor di sekitar anusnya.
Wanita malang itu hanya mengandalkan belas kasihan dari orang sekitar. Sebab ia tak mampu lagi berjalan apalagi mencari nafkah.
Menurut tetangganya, Karsiah pernah mempunyai rumah. Namun, kediamannya terbakar. Pemerintah pun memberi ganti berupa rumah susun. Beberapa tahun kemudian, suaminya meninggal. Karsiah lalu menjual rumah susun itu dan uang hasil penjualan rumah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. (***)” [2]
 Pemandangan miris seperti yang digambarkan di atas mungkin sudah sering kali menjadi pemandangan sehari-hari kita juga. Tetapi mungkin, karena sudah terlalu biasanya kita melihat pemandangan miris seperti kisah Ibu Karsiah di atas, maka perasaan kita lambat laun menjadi kebal atau mati rasa (numb).
Perasaan kebal atau mati rasa ini membuat kita tidak merasa “harus” terusik, “harus” tergerak, “harus” terenyuh, dan “harus-harus” lainnya yang seharusnya bisa mendorong kita untuk bergerak melalukan suatu tindakan tertentu!
“Ya, inilah wajah dunia kita, hadapilah dan urusilah dirimu sendiri!” demikian kurang-lebih kalimat yang tercetus keluar dari mulut bibir salah seorang yang sudah mati rasa akan realitas jurang kemiskinan dan kekayaan di Ibukota seperti Jakarta (dan kota-kota besar lainnya di berbagai belahan dunia).
 Bagi kita yang sungguh mengenal dan bergaul dengan Allah secara otentik dan genuine, mati rasa bukanlah bagian dari spiritualitas kita! Bahkan, semakin konstan dan dalamnya kita mengenal dan bergaul dengan Allah maka justru spiritualitas kita akan makin peka (aware) dengan apa yang terjadi di sekeliling kita!
Kita bukan hanya tergerak (di dalam), tetapi kita juga ingin bergerak (di luar) mewujudkan gerakan Roh Kudus di dalam hati kita ketika menyaksikan pemandangan miris seperti yang terjadi di pinggiran rumah susun Bendungan Hilir Dua, Jakarta Pusat tersebut.
Kita tidak boleh apatis dan kebal rasa melihat kondisi ini. Kita harus menjadi murid-Nya yang radikal dan peka akan kondisi-kondisi kemanusiaan seperti kasus Ibu Karsiah di atas!
 Murid yang Radikal
Di dalam buku terakhir John Stott, Murid yang Radikal, Pendeta Stott menjabarkan 8 (delapan) karakteristik seorang murid yang radikal bagi kemuliaan Kristus di tengah-tengah dunia ciptaan-Nya. Kedelapan karakteristik ini sangat menentukan siapakah dan seperti apakah orang Kristen yang sejati (baca: murid yang radikal) itu ketika mereka hadir di tengah dunia yang pluralistik dan sedang menuju kepada pembusukannya.
Membaca buku Pendeta Stott membuat saya semakin sadar betapa kehadiran kita – murid-murid yang radikal – sebagai “garam” dan “terang” itu sangat dibutuhkan (dan dinantikan) bagi dunia yang gelap dan sedang membusuk ini.
Khusus untuk refleksi ini saya akan memfokuskan pada karakteristik kesederhanaan.
 Gaya Hidup Sederhana
Seorang sahabat pernah bercerita kepada saya bagaimana ekses negatif dari kemajuan ekonomi China berdampak pada gaya hidup sebagian besar orang-orang China yang tadinya miskin lalu tiba-tiba menjadi kayak mendadak. Sahabat saya pernah menyaksikan di China bagaimana seorang yang baru kaya memesan makanan di sebuah rumah makan mahal di salah satu kota di China. Orang yang baru kaya ini memesan hampir semua menu termahal yang ada di rumah makan tersebut.
Padahal orang yang baru kaya ini hanya makan sendiri di meja makan yang besar itu. Setelah semua hidangan mahal itu tiba di mejanya maka mulailah si orang yang baru kaya ini mencicipi setiap makanan yang ada di mejanya. Tetapi yang menarik dan memilukan ialah orang yang baru kaya ini tidak menghabiskan makanan mahal yang sudah dipesannya tersebut!
Ia hanya mencicipi sedikit dari setiap makanan mahal yang ada di mejanya! Lalu setelah puas mencicipi makananan mahal tersebut, ia pun memanggil salah seorang pelayan dan meminta bon. Tidak berselang lama bon makanan pun tiba dan dengan wajah puas dan pongah, orang yang baru kaya ini membayar semua makanan mahal yang tidak habis dimakannya tadi dan ia menambahkan tips buat si pelayan seraya ia berkata: “Kamu pegang kembalinya!”
 Orang yang baru kaya ini seolah-olah ingin “membalas dendam” akan masa-masa susah dan miskin dirinya sebelum “letusan” ekonomi China membuatnya menjadi salah-satu dari sekian orang-orang kaya baru di China.
Apa yang dilakukan oleh orang yang baru kaya ini dengan uang dan hartanya tentu sah-sah saja. Akan tetapi lain halnya jika orang yang baru kaya ini adalah seorang anak Tuhan. Sebagai anak Tuhan, kita BUKANLAH pemilik dari uang dan harta-benda kita. Kita hanyalah penatalayan dari berkat-berkat materi tersebut. Bagaimana kita mengolah keuangan dan harta kita bagi keadilan dan kesejahteraan bersama itulah panggilan/karakteristik seorang Kristen sejati (baca: murid yang radikal).
Bagi kita yang diberkati lebih oleh Tuhan dengan kelimpahan uang dan harta-benda, maka seharusnya pemandangan miris seperti kisah Ibu Karsiah tadi memberikan kegelisahan rohani yang sehat di dalam jiwa kita, sehingga kita digerakkan untuk melakukan sesuatu bagi kesejahteraan dan keadilan mereka yang berada di bawah garis kemiskinan.
John Stott mengatakan kita tidak seharusnya hanya mendengar Allah melalui halaman-halaman di Alkitab, tetapi kita seharusnya juga “berusaha mendengarkan suara Allah... melalui tangisan kaum papa dan fakir, dan melalui interaksi di antara kami. Dan kami percaya Allah telah berbicara kepada kami.” (hal. 61)
Bahkan John Stott menegaskan bahwa dia dan teman-teman dalam Piagam Perjanjian Lausanee (1974) bukan hanya berusaha mendengar suara Allah melalui tangisan kaum papa dan fakir. Mereka bahkan “digelisahkan oleh ketidakadilan yang terjadi di dunia ini... [dan] menaruh perhatian terhadap para korban, dan tergerak untuk mengakui keterlibatan [mereka] di dalamnya. [Mereka] juga telah diarahkan kepada ketetapan hati yang baru, yang telah [mereka] ekspresikan dalam [sebuah] komitmen.” (hal. 61)
Peran Mimbar Gereja
Proyek pengentasan kemiskinan tidak mungkin bisa berjalan dengan maksimal jika mimbar Gereja tidak pernah mendorong dan menggugah jemaat untuk mempraktikkan kebajikan kristiani dengan bergaya hidup sederhana. Rick Warren pernah mengatakan, “preaching is persuasion, not information. The goal is always action, never mere knowledge.”(lihat: Yakobus 1:22).
Maka tidaklah mengherankan jika jemaat tidak pernah terdorong dan tergugah untuk mempraktikkan gaya hidup sederhana sebab mimbar hanya berisi informasi semata dan tak pernah memberikan persuasi positif bagi jemaat untuk berkarya bagi lingkungan di mana mereka tinggal dan bermasyarakat.
John Stott mengingatkan Gereja-gereja di seluruh dunia bahwa Gereja tidak bisa lagi berpangku tangan dan berdiam melihat ketidakadilan yang dialami oleh kaum miskin dan fakir, “Gereja harus berdiri bersama Allah dan orang-orang miskin melawan ketidakadilan, menderita bersama mereka, dan menyerukan kepada para penguasa agar mereka memenuhi peran yang sudah Allah gariskan bagi mereka.” (hal. 63)
John Stott juga memberikan kepada Gereja dan lembaga pendamping gereja (para-church) beberapa saran praktis. John Stott mengatakan, “kita harus mencari cara untuk mengelola segala urusan-urusan gerejawi secara bersama-sama dengan meminimalkan pengeluaran untuk biaya perjalanan, makanan, dan akomodasi.” Lebih lanjut John Stott juga “menyerukan kepada gereja-gereja dan lembaga-lembaga para-church dalam perencanaan mereka agar bersungguh-sungguh sadar akan pentingnya integritas dalam gaya hidup dan kesaksian bersama.” (hal. 65-66)
Kesimpulan
Jika kesadaran tiap individu anak-anak Tuhan digabungkan dengan kegigihan dan kesungguhan Gereja untuk mempersuasi jemaat – lewat mimbar dan gaya hidup para hamba Tuhan serta pengurus Gereja – untuk mempraktikkan kebajikan kristiani dengan bergaya hidup sederhana, maka saya masih percaya bahwa kisah-kisah tragis seperti orang yang baru kaya di China tidak akan terjadi di Indonesia. Dan saya juga masih percaya bahwa orang-orang seperti Ibu Karsiah masih bisa melihat kebaikan Tuhan itu riil dan dapat ia alami secara pribadi melalui tangan-tangan kita yang terulur menolongnya dan membelanya.
Sebagai penutup refleksi ini, saya ingin mengingatkan apa yang pernah diingatkan oleh penulis surat Ibrani di akhir suratnya kepada para orang-orang Kristen Yahudi yang terpencar di berbagai daerah: “Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat. Ingatlah akan orang-orang hukuman, karena kamu sendiri juga adalah orang-orang hukuman. Dan ingatlah akan orang-orang yang diperlakukan sewenang-wenang, karena kamu sendiri juga masih hidup di dunia ini.” (Ibrani 13:2-3)
Kiranya refleksi sederhana ini menggugah nurani kita dan mendorong kita do some actions today for His glory and honor!


[1] John Stott, Murid yang Radikal (Surabaya: Literatur Perkantas Jawa Timur, 2010)


Komentar