MERENUNG MAKNA KEBANGKITAN: MENGHADIRKAN ZAMAN BARU LEWAT KELEMAHAN, KEMISKINAN, KEHINAAN DAN KETERBATASAN


MERENUNG MAKNA KEBANGKITAN: MENGHADIRKAN ZAMAN BARU LEWAT KELEMAHAN, KEMISKINAN, KEHINAAN DAN KETERBATASAN 
oleh Perdian Tumanan

Perihal kebangkitan tidak dapat dilepaskan dari perihal kematian sebagai negasinya. Perjanjian Baru (PB) berulang-ulang menegaskan kematian adalah musuh utama umat manusia (Ro. 5:12, 14; 1Kor.15:26;). Namun yang dimaksud dengan kematian oleh Alkitab bukanlah sekadar soal kehilangan nafas hidup dan jantung berhenti berdetak; dalam makna fisikal belaka. Kematian utamanya bicara soal mati, hilang dan sirnanya fungsi kita sebagai manusia yang seutuhnya, manusia yang semestinya dicipta mulia dan bermartabat; manusia yang harusnya hidup dalam nurani dan akhlak; manusia yang sejatinya dipanggil untuk selaras dan harmonis dengan Allah, sesama dan alam (bdk. Kej. 2:17; 3:10-19; Ef. 2:1-3, 5; Kol. 2:13). Melihat realitas dunia dan bangsa yang carut-marut, rusak serta korup ini, tidak ada alasan lain yang tepat untuk menggambarkan akar masalah semua ini selain kematian umat manusia dan berujung pada kematian dunia. Matinya hati nurani, matinya moral dan etika serta matinya perikemanusiaan dan bela rasa. Dengan demikian kebangkitan, tidak seperti pandangan kebanyakan orang Kristen sekarang, bukanlah sekadar bicara soal "kepastian" dan jaminan keselamatan setelah kematian (fisik) di surga kelak.
Sebaliknya kebangkitan juga bukan sekadar kabar baik bagi kaum agamis. Ia bukan pula wangsit abstrak bagi kaum spiritualis. Kebangkitan adalah kabar baik yang konkret sekaligus suara kontroversial buat seluruh semesta dan seisi dunia hari ini dan kini! Bahwa di tengah suramnya dunia, maraknya kemunafikan, meningkatnya angka kriminalitas dan genocide, ramainya retorika dan pepesan kosong dari para penguasa politik-oportunis yang memperkosa slogan "demi rakyat", dunia punya harapan dan optimisme baru. Itulah sebabnya mengapa gereja mula-mula di tengah berbagai ancaman dan hambatan dari pemerintah politik kafir saat itu, tidak berdoa agar mereka dilepaskan dari semua bahaya itu dan segera pergi ke surga. Sebaliknya mereka berdoa agar mereka tetap di dalam dunia dan diberikan keberanian untuk memberitakan tentang Yesus yang bangkit (Kis. 4:24-31; bdk. 10:40-42; 17:3; 26:22-23; 2Tim. 2:8). Saya yakin itulah yang membuat Yesus tidak berdoa agar murid-murid-Nya tidak diambil dari dalam dunia tetapi supaya mereka tetap ada di dalam dunia (Yoh. 17:15), tentu agar mereka menjadi alat Allah di tengah-tengah dunia yang tanpa harapan ini. Tapi bagaimana hal itu dapat terjadi di dalam Yesus? Dan bagaimana orang yang percaya dan dibangkitkan bersama Yesus adalah orang-orang yang dapat menjadi agen pembaruan dunia ini?
Sebelum menjawab pertanyaan ini kita perlu melihat sebentar perihal Kerajaan Allah yang sangat dekat dengan ide kebangkitan.
Dalam PB Kerajaan Allah (atau pemerintahan Allah yang dinamis atas semesta ini) adalah sesuatu yang sangat misterius dan terdengar aneh bagi orang-orang pada masa Yesus. Mengapa misterius dan aneh? Sebab bertolak belakang dari konsep "kerajaan" menurut dunia, Kerajaan Allah tidaklah didirikan di atas dasar kekuatan politik, milliter, uang (ekonomi), dan pengaruh. Sebaliknya Kerajaan Allah didirikan di atas dasar kemiskinan, kehinaan, kelemahan, dan ketidakberdayaan! Berulang-ulang ayat-ayat dalam Injil menggemakan hal tersebut. "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga" (Mat. 5:3); " Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga" (Mat. 5:10); ". . . lalu berkata: 'Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga'" (Mat. 18:3-4). Kerajaan Allah Yesus sangat misterius dan aneh karena banyak orang yang menganggap ide Yesus tidak masuk akal dan konyol. Itulah sebabnya banyak orang pada akhirnya menolak, kecewa, dan meninggalkan Dia (Yoh. 6:66). Itulah sebabnya pula Yesus mengutarakan banyak perihal Kerajaan Allah dalam perumpamaan yang maknanya tersembunyi bagi banyak orang. Bukan karena mereka tidak mengerti tapi karena mereka "tidak mau dan tidak suka" untuk mengerti (Mat. 13:13-15). Kerajaan Allah seperti ini tidak mungkin diterima oleh mereka yang suka akan kemegahan dan kejayaan eksternal. Kerajaan Allah seperti ini hanya diterima oleh mereka yang diam-diam melihatnya dengan mata iman (Mat. 13:16-17).Saya yakin inilah yang menginsipirasi Paulus untuk mengatakan, "Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat" (2Kor. 12:9-10).
Tapi muncul satu pertanyaan penting yang perlu kita ajukan, "Mengapa Yesus menghadirkan Kerajaan Allah melalui kelemahan, kemiskinan, kehinaan, dan ketidakberdayaan; bukan lewat uang, kekuatan serta senjata?" Jawabannya sederhana. Lewat kerinduan akan kuasalah orang memanipulasi dan menghisap orang lain, uanglah yang menjadi biang dari semua kejahatan dan kekuatan militer "atas nama kebenaran"lah yang telah menghancurkan hidup dan masa depan umat manusia di sepanjang sejarah. Artinya, merupakan utopia dan mimpi di siang bolong untuk menghadirkan damai dan kesejahteraan lewat kuasa politik, uang dan kekuatan militer sebab justru karena semua itulah dunia ini kehilangan damai dan sejahtera. Itulah sebabnya Yesus mengatakan dalam Matius 20:25-27,"Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu." Dan ia menutup bagian ini dengan rahasia sejati untuk menghadirkan Kerajaan Allah di atas bumi ini, "sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mat. 20:28).
Kebenaran inilah yang diberitakan dan dihidupi oleh Yesus, Kerajaan Allah hanya akan hadir lewat kelemahan, ketidakberdayaan, kemiskinan dan kehinaan. Namun Yesus tidak sekadar mengatakan berita itu tapi di dalam tubuh-Nya, Ia mengaktualisasikan berita itu, tubuh yang akhirnya mengalami penindasan, kesesakan, kemiskinan, ketidakberdayaan dan kehinaan akibat dosa-dosa dunia. Boleh dikata, di dalam Yesus Kerajaan Allah menjelma menjadi daging seperti kata Marcion, "In evangelio est Dei regnum Christus ipse." Di dalam tubuh kemanusiaan-Nya, Ia turut merasakan getirnya akibat dosa yang dirasakan umat manusia oleh karena orang-orang yang haus dan takut kehilangan kekuasaan serta bertangan besi (seperti prajurit Romawi dan Pilatus), haus akan uang (Yudas dan orang-orang Herodian), mengejar pengaruh dan popularitas (para imam Bait Allah dan tua-tua). Artinya di dalam tubuh-Nya Yesus merasakan seluruh penderitaan yang diakibatkan oleh hal-hal pokok yang justru dianggap mampu memberikan jalan keluar atas berbagai problem yang dihadapi umat manusia (trias kekuatan sebuah bangsa: ekonomi, politik dan militer). Di dalam tubuh-Nya yang ditelanjangi, Yesus justru sedang menelanjangi secara bulat-bulat segala bentuk kemunafikan, kebohongan, sikap koruptif dan manipulasi busuk yang telah berabad-abad dipraktikkan para penguasa, tokoh agama, elite politik yang sebenarnya hanya mencari kepentingan pribadi dengan menawarkan janji-janji palsu dengan embel-embel "demi rakyat" dan "demi kebenaran." Di dalam tubuh-Nya, Yesus sedang memperhadapkan para pemimpin sekaligus pemimpi dunia terhadap optimisme dan utopia semu yang mereka tawarkan lewat jalan-jalan mereka sekaligus menyadarkan mereka akan kematian mereka di tengah berbagai prestasi dan prestise hidup yang mereka nikmati.
Inilah cara Allah, Sang Empunya langit dan bumi menyelesaikan masalah-masalah dunia dan mendirikan Kerajaan-Nya di atas bumi ini--Kerajaan yang penuh dengan damai dan keadilan (Yes. 11:6-9)--yakni lewat jalan penderitaan dan salib. Salib menjadi simbol dari matinya keakuan cinta diri, matinya arogansi, sumpah serapah, benci dan dendam, matinya hasrat untuk kuasa dan keinginan untuk membalas kejahatan dengan kejahatan, matinya hasrat untuk menjadi terkenal dan populer, simbol dari kerinduan untuk hidup bagi Allah dan mati bagi dunia. Bukankah ini cara yang misterius dan sulit diterima akal sehat oleh dunia?
Setelah Yesus mati, banyak orang berpikir bahwa itu merupakan kekalahan Yesus sekaligus gugurnya semua asumsi Yesus tentang Kerajaan Allah versi-Nya. Dia yang sudah mengajarkan dan menghidupi apa yang dikatakan-Nya sebagai kebenaran Allah, mentaati Allah sebulat-bulat hati dihabisi dan tak berdaya dihadapan orang-orang jahat. Dan banyak orang yang akhirnya menganggap toh pada akhirnya kebenaran pasti kalah oleh kejahatan. Namun fakta kebangkitan menyangkal semua tuduhan itu. Kurang lebih 500 orang saksi siap dikonfirmasi untuk kebenaran kejadian itu (1Kor. 15:6).
Orang-orang Yahudi sendiri umumnya percaya akan fakta kebangkitan. Bagi komunitas Yahudi kebangkitan tidak sekadar dikaitkan dengan "jaminan" keselamatan individual. Kebangkitan bicara soal harapan kebangkitan bagi Israel--bangsa yang dipilih Allah untuk keselamatan dunia, yang terpuruk dan mati karena dosa dan pelanggaran mereka--yang sekaligus sebagai pertanda bahwa dunia pun akan dipulihkan dengan sempurna melalui pemulihan umat Allah (bdk. Yeh. 37, Dan. 12). Inilah yang juga digemakan oleh penulis PB. Paulus melihat kebangkitan Yesus (yang adalah the new Israel) sebagai awal dari rencana pemulihan Allah bagi dunia baru yang akan Allah hadirkan. Jadi kebangkitan bukan sekadar pembaruan pribadi tapi erat dengan transformasi holistik dari semesta ini (Ro. 6; 1Kor. 15:24-28; Kol. 1:15-23; 3). Menarik sekali apa yang dikemukakan N. T. Wright, "For renewed bodies we need a renewed cosmos , including a renewed earth. That is what the New Testament promises."
Namun, sesuai Daniel 12:13, orang-orang Yahudi percaya bahwa kebangkitan tidak akan terjadi sekarang (here and now, in the middle of history). Itu akan terjadi pada masa akhir zaman (bdk. perkataan Maria dalam Yoh. 11:24). Namun dalam kasus Yesus itu berbeda. Yesus dibangkitkan "in the middle of history"! Apa artinya ini? Jelas, sebuah transformasi holistik Allah bagi dunia tidak perlu menunggu sampai akhir zaman. Allah secara mengejutkan berintervensi langsung dalam sejarah dan memulai suatu zaman yang baru! Zaman yang penuh harapan. Kerajaan Allah atau pemerintahan Allah yang akan menghadirkan damai dan sukacita kekal itu, sudah dan sedang terjadi saat ini! Dan itu hadir lewat karya Yesus yang melayani dunia dengan cinta dan dalam kemiskinan, kelemahan, kehinaan dan keterbatasan. Kebangkitan menjadi bukti sah bahwa seluruh karya Yesus diperkenan dan dimuliakan oleh Allah. Kebangkitan juga menegaskan bahwa jalan Yesuslah satu-satunya jalan yang konkret dan utuh menuju transformasi itu.
 Kini kita sedang hidup dalam zaman baru itu; zaman di mana kelak, "Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya.Lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput dan anaknya akan sama-sama berbaring, sedang singa akan makan jerami seperti lembu.Anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak" (Yes. 11:6-8). Hadirnya damai yang radikal, yang utuh dan penuh, sebab ". . . seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan TUHAN, seperti air laut yang menutupi dasarnya" (Yes. 11:9).
 Inilah panggilan buat kita yang rindu melihat hadirnya zaman baru yang Tuhan sedang hadirkan. Panggilan yang melintasi sekat-sekat agama dan asumsi teologi, pandangan politik, status sosial dan suku bangsa akan hadirnya zaman tanpa kemunafikan dan retorika politikus busuk, zaman tanpa air mata penindasan dan kesengsaraan akibat sengsara dan pemiskinan. Zaman di mana Allah akan menjadikan segalanya baru, di mana Ia yang jadi pemimpin kita. Namun Ia memanggil kita bukan hanya untuk menyaksikan dan menantikan masa itu. Ia juga memanggil kita untuk menjadi bagian dari rencana-Nya itu. Ia memanggil kita untuk menjadi agen-agen-Nya, demi menyaksikan kebesaran-Nya bukan lewat kekuatan ekonomi, kekuatan politik dan militer; melainkan lewat kehinaan, kemiskinan, kerendahan dan keterbatasan. Memang panggilan itu berat dan sulit, penuh dengan pengorbanan. Itulah sebabnya Yesus sudah mengingatkan sejak awal bahwa panggilan Kerajaan ini hanya bisa dipenuhi oleh mereka yang siap dan rela untuk menyangkal diri [menanggalkan agenda-agenda pribadi], memikul salib [lambang hina dan cela, rela dianggap aneh oleh dunia] dan mengikut Yesus [mengikut cara Yesus](Mrk.8:34). Panggilan itu memang membuat seseorang mati untuk dirinya, keakuannya, agenda-agendanya; namun seperti yang terjadi pada Yesus, kematian itulah awal dari kehidupan bagi dunia ini. Inilah yang dikatakan dalam Yohanes 12:24-25, "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal."
 Panggilan ini hanyalah bagi mereka yang mau bergumul secara serius, mempertimbangkan masak-masak, percaya dan akhirnya beriman secara diam-diam dalam hati bahwa memang hanya lewat dan melalui jalan salib Yesus yang hina dan miskinlah ada jalan dan pengharapan satu-satunya buat transformasi diri saya, sesama, alam ciptaan dan dunia ini. Maukah anda mempertimbangkan-Nya?



Komentar