Menuju Kampus Sebagai Basis Masyarakat Membaca


Menuju Kampus Sebagai Basis Masyarakat Membaca 
oleh Jonatan A. Lassa

Menuju Kampus Sebagai Basis Masyarakat Membaca1

Setiap pribadi selalu punya defisit. Pendidikan adalah suatu proses kompensatoris, yang membantu anak didik untuk sedapat-dapatnya menutupi defisit tersebut. Michael Rutz2
PENGANTAR
“Orang Yunani Kuno biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ihwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui. Mereka menyebut kegiatan itu dengan kata atau istilah skhole, scola, scolae atau schola. Keempatnya punya arti yang sama: “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar” (leisure devoted to learning).” 3

Pengertian sekolah yang asali memang bermula dari keluarga sebagai scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu), yang telah dibabtis sebagai lembaga sosial tertua di dunia, di mana peran dominan dimainkan oleh Ayah dan atau Ibu. Kini, Sekolah sudah bergeser menjadi schola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah sebagai pengganti Ayah & Ibu) atau sering disebut sebagai alma mater atau ibu asuh.

Pengantar di atas sengaja membawa kita membayangkan saat orang-orang Yunani kuno memahami sekolah pada awalnya, di mana sekolah belum dilembagakan dan ini mengajarkan kita bahwa aspek pembelajaran (learing) dan aktivitas baca dan belajar bukan monopoli istitusi sekolah atau di dalam bahasa gaul sekarang disebut bukan monopoli civitas akademika. Sekolah menjadi sebuah lembaga (isntitusi) merupakan hasil perkembangan sejarah. Hakekatnya, sekolah menjadi sebuah dunia buatan4 untuk membantu masyarakat manusia dalam memecahkan persoalan-persoalan kehidupan yang dihadapinya.
Antara Mitos & Realitas: Civitas Akademika di NTT Pionir menuju terciptanya Reading Society.
Sebagian masyarakat Indonesia khususnya NTT masih berada dalam Primary Orality5- maksudnya adalah ada sebagian masyarakat yang masih memiliki budaya lisan yang tak tersentuh oleh budaya tulis. Dari perjalanan penulis ke desa-desa yang ada di NTT sejak tahun 1999 hingga tahun 2003, hal ini masih dapat terlihat dengan jelas, terutama kaum perempuan. Fenomena yang kedua adalah, seperti yang dikatakan oleh Sampson sebagai The Secondary Orality6 yang adalah produk langsung dari industri media seperti radio dan televisi di mana orang-orang semakin terjebak lagi ke dalam budaya tutur dan dengar, sedangkan mereka belum sepenuhnya keluar dari “Primary Orality”.

Di kampus-kampus di NTT penulis mengamati gejala yang disebut listening society atau yang sering disebut orally culture. Artinya, orientasi pembelajar yang hanya bersumber dan berpusat sumber-sumber lisan serta kentalnya budaya tutur. Orientasi belajar dengan kultur lisan ini, memiliki saudara dekatnya yang disebut budaya paternalis yakni orientasi belajar yang bersumber pada apa kata dosen (baca: diktat-diktaror),7 apa kata kepala desa, apa kata camat, apa kata Bupati, walikota, Gubernur, apakata Pendeta, apa apa kata Senior, apa kata ketua adat, apa kata yang punya duit alias si kaya, apa kata donatur terbanyak, serta pejabat-pejabat (yang corrupted?), alim-ulama yang miskin ilmu tapi pandai bicara, apa kata katuas.
Kampus atau institusi pendidikan tinggi sebagai masyarakat membaca adalah memiliki status atau predikat yang sudah selayaknya secara otomatis melekat. Ada dua istilah yang perlu diperkenalkan di sini yakni Literaly Culture dan Reading Society. Kedua istilah ini, memiliki arti yang saling menjelaskan kalau tidak mau dibilang sama yakni harapan menuju terciptanya komunitas yang bukan sekedar sudah mengenal tulisan, tapi lebih kepada terbentuk reading society – masyarakat yang memiliki budaya baca dan menulis dan terus membaca secara kritis yang oleh Michael Rutz adalah sebagai upaya regenasi untuk menutupi defisit manusiawi. Tentu saja, menutupi defisit bukanlah tujuan utama tetapi lebih dari itu, sebagaimana tujuan pendidikan yang universal adalah agar tiap orang dapat memahami dirinya serta semesta serta dapat menentukan secara cermat peran apa yang harus dilakukan serta bagaimana melakukannya dengan konsekuensi-konsekuensi, serta terjadinya multiplikasi pengetahuan yang berkontribusi bagi kemanusiaan.
Mitos ataukah realitas: Kampus Sebagai Basis Masyarakat Membaca? Jawaban yang malu-malu mengatakan bahwa itu mitos ….mitos…. dan mitos.
Apakah harus dilakukan lagi prosedur ilmiah ala universitas untuk mengatakan bahwa pernyataan ini salah atau benar? Apakah harus divoting, ataukah harus menggunakan quesioner? Ataukah harus digunakan model Participatory Student & Lecturer Appraisals (PSLA?)8 untuk menyanggah pendapat ini? Ataukah kita perlu melakukan refleksi yang total, baik sebagai mahasiswa maupun dosen? Dan setelah refleksi lalu apa?

Harapan atau cita-cita menuju Masyarakat Membaca (Reading Society) tidak mutlak harus dibasiskan pada masyarakat akademika atau kampus. Sebagaimana cita-cita besar kemerdekaan kita “….mencerdaskan kehidupan bangsa….” – yang mana itu berarti seluruh lapisan masyarakat, perempuan dan laki-laki tanpa diskriminasi. Dan menuju cita-cita tersebut, insan akademika pada level pendidikan tinggi layaknya menularkan suatu budaya9 atau dengan lain kata, mandat pembudayaan membaca harus dipikul oleh masyarakat akademika pada perguruan tinggi di NTT, tak peduli dituntut atau tidak.

Reading10: The power for Freedom – Membaca: Kekuatan demi kebebasan
“Special Double Issue” Newsweek, edisi 16-23 Sept 2002, pada cover depannya tertulis “The World in 2012”. Dan saya terkesima dengan statement Fred Guterl11 “Innovation is part of our lives in a way it hasn’t been for previous generation. Guterl menggambarkan kemajuan sejarah manusia dalam 4 rentang waktu yakni masa sebelum 400,000 bc, jaman Kristus, Revolusi Idustri dan Abad 20. Singkatnya abad 20, penemuan manusia tentang semesta menunjukan gravik tajam yang naik secara ekstrim. Hampir 90 % teknologi yang ada di jagat kita kini, ditemukan pada abad 20. Gambaran Newsweek hanya menunjukan satu kesimpulan bahwa abad 20 adalah abad yang cerdas, di mana dalam pandangan penulis, hasil menakjubkan di abad 20 tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan proses budaya pendidikan yang dipelopori oleh dunia abad 17-19, masa-masa revolusi industri di Eropa karena ada penemuan-penemuan yang berarti dan menjadi dasar bagi perkembangan abad ke 20.

Membaca adalah sesuatu yang memerdekakan, membebaskan, dan memungkinkan kita terbang dalam imajinasi kita ketempat-tempat yang mungkin tak bisa kita kunjungi seumur hidup kita, dan memungkinkan kita berkenalan dengan manusia biasa dan luar biasa dari semua generasi tanpa secara langsung harus berjabatan tangan. Kita disambungkan dengan realitas-realitas masa lampau dengan membaca, tetapi juga kita dimampukan untuk mengarungi lautan kemungkinan menuju masa depan. Membaca, memungkinkan yang muda bisa tiba pada tepian-tepian misteri semesta untuk memahami cosmos, lebih dari pada yang tua – yang lebih tua tidak selalu lebih tahu bila tak pernah membaca, artinya dosen tidak lebih tahu mahasiswa yang sering membaca.12 Membaca membuat orang yang bersekolah tidak ada artinya bagi masyarakat tanpa sekolah namun rajin membaca. Bukankah lebih baik tanpa sekolah namun terus membaca dari pada sekolah tapi miskin membaca? Seperti pernyataan Margaret Mead: “Nenek ingin aku memperoleh pendidikan, karenanya ia melarangku sekolah”? Karena toh, membaca bukan monopoli sekolah. Pingin belajar sistimatis? Beli saja buku cara belajar sistimatis? Pingin belajar metode penelitian? Beli saja buku-buku tentang itu – terlalu banyak di Toko Buku? Bukankah dari banyak pengalaman di daerah dan negara lainnya, ada keberhasilan dalam metode PAR – Participatory Action Research, di mana petani sanggup melakukan penelitian sendiri?
Membaca adalah akar dari perubahan seorang diri manusia. Bahkan perjuangan-perjuangan pergerakan rakyat atas penindasan negara dan kaum kapitalis membutuhkan inspirasi dan semangat baru sebagai bahan bakar jiwa yang memungkinkan kita berjuang Fighting to death - seperti rintihan Paulo Freire mengenai kondisi para intelektual: “….kita para intelektual bahkan tidak membaca satu buku pertahun, dalam pengertian membacanya dengan benar. Bila kita melakukannya, akan membahayakan status quo.”13

Kisah mengenai seorang budak perempuan cilik yang pandai membaca yang akhirnya dapat membebaskan dirinya serta para teman-teman budak lainnya hanya karena sanggup mengajari tuan putrinya (pemilik budak) membaca The Bible of The New Testament dan mengalami perubahan hidup dan menciptakan sejarah baru: sejarah pembebasan budak di Pulau Malagasy tahun 1882. Sejarah pembebasan budak di Malagasi ini adalah sejarah membaca seorang pemilik budak, yang mengalami perubahan hidup yang membebaskan dirinya dan sesamanya.14 Lihat juga websitesnya Feed The Minds,15 salah satu NGO yang bekerja di negara-negara berkembang dan Eastern Europe yang bekerja untuk pengentasan buta huruf.
Membaca adalah prasyarat menuju inovasi. Artinya tanpa membaca, mustahil ada inovasi. Tidak heran Gede Prama menuliskan bukunya dengan judul Inovasi Atau Mati. Dalam kaitannya dengan itu, maka sistim pendidikan di NTT sudah seharusnya secara serius berbeban untuk melahirkan sarjana-sarjana yang membaca. Realitas-realitas yang buruk dan memalukan seperti minat baca rendahan para mahasiswa dan para sarjana, harusnya memukul para pendidik dan mahasiswa agar sejak dini, merefleksi dan berbenah memperbaiki diri dan sistim yang membantu masyarakat dalam membebaskan diri mereka dengan membaca.

Membaca Demi Masa Depan: Menghadapi Persaingan Pasar Kerja
Don Kash, ahli teknologi dari Don Mason University in Washington D.C menceritakan paradigma ayahnya dan anaknya – dua generasi yang berbeda dalam memandangi realitas: katanya: My Father thought the world would be the same, but my children wake up every day thinking the world will be different.16 Paradigma yang pertama, terlambat membaca zaman sedangkan yang kedua, ada optimisme dan keyakinan mengenai perubahan karena mengerti zaman. Mengingat kembali, tatkala penulis pertama kali masuk ke Fakultas Teknik Jurusan Sipil di tahun 1993, banyak komentar yang didengar langsung dari masyarakat di NTT bahwa “Sarjana Teknik Sipil sungguh langkah, sehingga sebelum tamat sudah akan dapat banyak tawaran kerja baik di Pemerintah maupun Swasta”. Kini, semua paradigma tua itu sudah lapuk dan menjadi mitos. Dua tahun terakhir, penulis melihat bahwa jumlah pencari kerja untuk PNS dengan predikat Sarjana Teknik Sipil sudah menembus angka dua ratusan orang di NTT dengan daya serap hanya 10% saja.
Masa telah berubah. Banyak Sarjana Teknik tak peduli produk NTT ataupun Jawa, tidak adaptif terhadap perkembangan jaman. Globalisasi yang diasumsikan telah menerpa sebagian besar bumi sudah dimulai sejak tahun 1970. Khususnya teknologi Internet baru dimanfaatkan di NTT pertama kali sekitar tahun 1996, dan hingga kini, banyak dosen dan mahasiswa NTT belum memanfaatkan fasilitas internet. Mungkin benar seperti yang dikatakan oleh John Kotter: “There may be a billion people who are currently integrated in the Global Economic System, but that still leaves another 4.7 billion that aren’t.”17 Implikasinya, para sarjana gagap teknologi masih jauh dari Globalisasi, sehingga, mustahil untuk bisa berkompetisi dalam tataran Global. Bersaing dalam tataran “Test PNS saja, masih pakai gaya kampung: kong-kali-kong dengan sistim test yang tidak berkualitas”. Telaklah komentar Paul Krugman dalam mengomentari masa jaya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pernah tembus dua digit bahwa “pertumbuhan ekonomi Asia (baca: Indonesia) berkembang lebih karena faktor keringat ketimbang faktor skill (baca: Kualitas SDMnya)”18

Muncul pertanyaan yang harus dijawab, mengapa sistim pendidikan kita tidak mampu melahirkan sarjana-sarjana yang benar-benar berkualitas? Apakah yang salah? Dan dimanakah letak kesalahannya? Penulis menahan diri untuk tidak memperluas kaitan antara output lembaga pendidikan, sistim pendidikan dan kaitannya dengan ekonomi-politik demi untuk menghemat dan membatasi pembahasan. Namun, satu hal yang perlu untuk diingat bahwa ketiga atau keempat hal di atas sangat kait mengait memiliki hubungan dialektis.
Waktu terlalu banyak dibuang tatkala para pakar dan pemerhati sosial membicarakan mengenai upaya meningkatkan kesadaran dikalangan pegawai negeri dan swasta untuk memiliki etos kerja yang tinggi, dan di satu sisi, melupakan bahwa etos kerja itu bertalian erat dengan etos belajar sejak seseorang menjadi mahasiswa. Urutan berlogikanya adalah bahwa dengan etos belajar yang tinggi, maka kita sangat mungkin menghasilkan manusia-manusia dengan etos kerja yang tinggi pula. Etos belajar yang buruk akan menyebabkan kegiatan pelatihan, penataran dan workshops menjadi aktivitas membuang uang. Yang pasti terjadi adalah pembelajaraan semu.
Omong kosong besar dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 19 jikalau tidak ada budaya membaca atau etos belajar yang baik dari mahasiswa atau sebaliknya etos kerja dan etos belajar dari seorang dosen. Salah satu kegagalan KBK adalah pada posisi pasif pembelajar (mahasiswa dan dosen), karena dalam KBK yang ditekankan adalah terciptanya komunikasi yang menciptakan ekplorasi diri pembelajar, penyelidikan sendiri, sikap selalu bertanya, menguji dan kritis serta merelatifkan pendapat yang berlaku umum. Artinya, budaya Paternalistik harus dibuang jauh-jauh, karena, kebenaran tidak terletak hanya pada pengajar semata. Di lain pihak, tujuan KBK adalah terciptanya minat baca dan kemampuan untuk mengerti apa yang dibaca, serta kemampuan untuk mempelajari secara sistimatis apa yang dilakukan dan akhirnya mampu mengemukan pendapat sendiri.
Singkatnya, diperlukan suatu Gerakan Pembudayaan Membaca: Perlukah sebuah revolusi budaya di kampus-kampus NTT? Prof. Har Tilaar mengatakan bahwa: “Secara historis, universitas merupakan pusat atau tempat terakumulasinya kebudayaan manusia. Oleh sebab itu, universitas selain sebagai pusat pembangan ilmu pengetahuan, merupakan pula suatu lembaga publik tempat masyarakat dapat memperoleh atau mengetahui khasanah kebudayaannya. Universitas selain merupakan suatu community of scholars juga merupakan pusat kebudayaan yang dapat diakses oleh publik.”20 Oleh karena ide mengenai perlunya Gerakan Pembudayaan Membaca di kampus-kampus dan reformasi diri civitas akademika sangat diperlukan.
Melihat ancaman Globalisasi dan Perdagangan Bebas, dan di satu sisi, kita melihat dengan jelas kerentanan para sarjana dan calon sarjana kita, penulis hanya melihat satu realitas: Bencana. Unemployment adalah sebuah bencana karena langsung menusuk keseimbangan ekonomi makro kita. Globalisasi sebagai potensi ancaman berada diluar jangkauan kita. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah menaikan kapasitas kita untuk mengurangi tingkat kerentanan kita. Bila tidak, hanya satu hal yang harus kita ingat: Membaca atau Mati. “Membaca” yang penulis maksudkan adalah segenap persiapan yang total harus dilakukan sejak dini.
Lassarerre & Schutte mengatakan: “The West cannot expect to compete successfully with Asia (baca: Indonesia) as long as Asians know more about the West than the West knows about Asia”21. Dalam sejarahnya, Asia pernah mengungguli Barat dalam berbagai teknologi sebelum abad 19, tapi hari ini, kejayaan Asia hanya tinggal cerita.22 Maksudnya jelas bahwa mahasiswa di Kupang (NTT) tidak mungkin bertahan menghadapi kompetisi akan terus menjadi terkebelakang (termarginalkan) bila kita tidak memiliki etos belajar yang lebih baik dari Barat. Etos belajar yang sehat merupakan prakondisi dari etos kerja yang tinggi – sesuatu yang sangat jauh dari kehidupan mayoritas mahasiswa di NTT.

Simpulan: Membaca atau Mati
Ada dilema dalam mengakhiri tulisan ini, karena, membicarakan Reading Society, tak pernah bisa dilepaskan kaitannya dengan faktor sistim pendidikan dan politik pendidikan. Dan rasanya, tidak tersisa waktu dan ruang untuk memperkaya diskusi ini, tetapi, yang mungkin harus diingat adalah, lembaga pendidikan turut berkontribusi dalam apa yang disebut oleh Paulo Freire sebagai “kebudayaan bisu”. Kebudayaan bisu merupakan kontribusi sekolah (baca: Perguruan Tinggi) dalam melakukan penindasan yang melembaga: maksudnya, dengan adanya sistim pendidikan yang paternalistik, dengan menonjolkan kontradiksi antara subjek (dosen) dan objek (mahasiswa), kaum penindas dan tertindas, dan pedidikan yang antidialog.23
Pendidikan atau Education berasal dari kata educare (ex ducere), yang berarti menggali keluar; bahwasanya, pendidikan tinggi harus menggali potensi dari para anak didik (baca: mahasiswa). Tujuan pendidikan, yang sederhana seperti juga yang dikemukakan Rutz sebagai upaya menutupi defisit. Pendidikan harus memampukan anak didik sanggup membaca; terlalu naif jika membaca hanya diartikan sempit pada makna literal. Karena pendidikan tinggi harus sanggup melahirkan sarjana-sarjana yang sanggup membaca dan memahami realitas-realitas kemanusiaan, sosial, ekonomi, politik, realitas pribadi dan masyarakat, realitas fisik dan metafisik. Lebih dari itu, output pendidikan tinggi harus menjadi orang-orang yang mampu mengubah diri sendiri dan masyarakat menuju pada arah yang lebih baik.
Artinya? Penulis mempersingkat, meringkaskan dan mereduksi simpulan ini hanya pada dua kata: MEMBACA atau MATI.
1 Disampaikan oleh Jonatan A. Lassa dalam Seminar Mahasiswa yang diselenggarakan oleh BEM UPT Teknik UNDANA pada tanggal 31 May 2003, dengan tema Menuju Kampus Sebagai Basis Masyarakat Membaca. Topik ini adalah sebuah cita-cita besar yang mau diletakan pada pundak universitas sebagai pionir dalam menciptakan Reading Society secara khusus di NTT. Cita-cita ini didasarkan pada kenyataan bahwa terlalu banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu 4-7 tahun untuk studi tanpa memiliki suatu kebiasaan membaca sebagai pola hidup.
2 Dikutip oleh Sindhunata (2001), dari Michael Rutz, “Erziehung 2000: Der Schuler als Endproduck “ dalam Rhenischer Merkur 2000. Defisit yang terjadi pada manusia di sini dimaksudkan secara sengaja pada aspek koqnitif dan memori kita yang selalu berbanding terbalik dengan tingkat umur manusia. Penulis memaknai, sesuai dengan konteks seminar ini, bahwa Pendidikan, sebagaimana sebuah proses sadar dan sengaja untuk menutupi defisit manusia, dan salah satu proses tersebut adalah membaca.
3 Dikutip oleh Roem Topatimasang dari - The Heritage Illustrated Dictionary of the English Language, Vol II Houghton Mifflin, Boston, Mass., 1979 - ke dalam Sekolah Itu Candu, terbitan Pustaka Pelajar dan Insist, 1998.
4 Ignas Kleden berbicara mengenai peranan sekolah dalam menjalankan fungsi Linking & Delinking membantu kita memahami masa studi kita di kampus. Fungsi yang pertama, adalah sekolah mengambil jarak dari kompleksitas masyarakat, menyederhanakan masyarakatnya dalam suatu lingkungan yang artifisial agar dalam lingkungan buatan (baca: sekolah) ini, peserta didik dapat dipersiapkan dengan lebih metodis untuk kembali menghadapi kompleksitas masyarakatnya. Fungsinya yang kedua, sekolah mengambil jarak dan untuk sementara waktu, memutuskan hubungan dengan segi-segi negatif dan destruktif dari masyarakatnya, agar peserta didik dapat disiapkan justru untuk menghadapi segi-segi negatif tersebut dengan persiapan yang lebih matang dengan sikap yang lebih kritis. Dalam fungsinya yang ketiga, sekolah mengambil jarak terhadap perbedaan-perbedaan kelas sosial dalam masyarakat, menciptakan kemungkinan untuk akses baru bagi peserta didik agar dia kembali dapat menerobos batas-batas kelas sosial yang pantas bagi dirinya.
Implikasinya bagi mahasiswa adalah: masa studi antara 4-7 tahun di kampus (sebagai dunia atau komunitas buatan) adalah sebuah proses de-linked dengan masyarakat (baca: juga keluarga?) dengan tujuan mempersiapkan diri dengan belajar lebih sistimatis dalam rangka menghadapi persoalan yang kompleks di masyarakat. Belajar: membaca, menulis, refleksi, mengkritisi, dan terus menerus bertanya dengan lebih sistimatis demi mempersiapkan diri menghadapi hidup selaku makluk sosial, ekonomi, politik dan budaya. Sebagai misal, sebagai seorang mahasiswa Teknik Sipil, harus mempersiapkan diri menghadapi persoalan teknis yang bakal timbul dalam pekerjaan-pekerjaan Sipil; Struktur Bangunan, Material Konstruksi, Pekerjaan Konstruksi, Jembatan, Jalan Raya, Darmaga, dll. Dalam proses studi itu, kita harus selalu mengandaikan seolah kalau kita berada di lapangan, apa yang bakal dilakukan. Tapi tidak hanya berhenti di sana. Proses itu juga harus mengandaikan, hal-hal yang perlu dilakukan demi efisiensi dan efektifitas serta kaitannya dengan nilai-nilai hidup yang tidak bisa dilepas dari kepribadian kita – ini yang disebut oleh Ignas Kleden sebagai proses delinked and linked. Lihat: Artikel Basis No. 3-4 Mei-Juni 1996 dengan judul “Linking” & “Delinking” Dalam Pendidikan & Kebudayaan oleh Ignas Kleden.
5 The primary Orality merupakan ciri khas masyarakat pra-agraris mau pun agraris, yang mana, pada era ini, masyarakat dunia belum membudaya budaya tulisan, dan pengetahuan manusia masih bersumber kepada pola tutur. Sebagian masyarakat NTT masih berada pada tahap ini. Isitilah The Primari Orality dikutip oleh Walter J. Ong dari Sampson. Lihat “Orality and Literacy : The Technologizing of the Word (New Accents) by Walter J. Ong” (P. 6)
6 Lihat Walter J. Ong, “Orality and Literacy : The Technologizing of the Word (New Accents)”
7 Sinisme yang sering dilontarkan pada dosen-dosen yang menggunakan diktat berisi ilmu lapuk tanpa revisi atau revisi demi angka kredit dan dosen-dosen yang terpaksa, memaksakan diri jadi dosen dengan gaya mendikte dan diktator untuk menutupi sisi kebodohannya.
8 PSLA bisa disebut sebagai plesetan terhadap model penelitian partisipatif PRA (Participatory Rural Appraisals) yang sering digunakan oleh NGOs dan Peneliti-Peneliti Sosial.
9 Bronislaw Malinowski, “culture is essentially a response to human need”. Mursito B.M. mengelaborasi statement Malinowski dengan mengatakan: “Singkatnya, kebudayaan bisa dan selalu berubah untuk keperluan memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat. Fungsi kebudayaan tidak hanya sebagai preservasi, tetapi juga inovasi, yakni menjawab kebutuhan-kebutuhan obyektif masyarakat yang selalu berubah, di masa kini dan masa mendatang. Membicarakan fungsi inovatif kebudayaan mengalirkan pemikiran pada perubahan sosok kebudayaan. Lihat jurnal dalam http://202.159.18.43/jsi/81 oleh Mursito B M dengan judul “Budaya Televisi dan Determinisme Simbolik.”
10 Reading atau Membaca di sini menganut arti yang dalam dan luas. Penulis sengaja memaknai membaca sebagai suatu praktek yand bukan hanya sekedar ada aspek read tetapi sebagai proses learning. Termasuk didalamnya, diperluas menjadi sifat kritis, refleksi, dan praktek menulis. Termasuk juga dimaksudkan bahwa Menulis bukan sekadar mengerti huruf tetapi ada praktek pengungkapan pikiran sendiri lewat simbol dan media tulis.
11 Lihat tulisan Fred Guterl dengan judul FUTUROLOGY dalam “Special Double Issue” Newsweek, edisi 16-23 Sept 2002, hal 36-39.
12 Dari pengamatan penulis, banyak dosen di NTT yang bahkan tidak tau bagaimana menggunakan komputer apalagi memanfaatkan internet. Kalau mau jujur, seorang mahasiswa yang adaptif dengan perkembangan teknologi, terlalu banyak pengetahuan gratis yang bisa diakses, demi memperkaya pengalaman seorang mahasiswa, dan bila demikian, tidak perlu heran kalau mendapati mahasiswa lebih cerdas dari pada dosen-dosen kuno yang hanya bermodal diktat berisi ilmu lapuk.
13 Lihat Dialog Bareng Paulo Freire dalam Sekolah Kapitalisme yang Licik, editor M. Escobar dkk, Diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta 1998. Hal: 126.
14 Lihat e-JEMMi edisi No. 28 Vol. 4/2001 (17-7-2001) Grace W. McGavran dengan judul asli "Stories of the Book of Books,
16 Fred Guterl, FUTUROLOGY dalam “Special Double Issue” Newsweek, edisi 16-23 Sept 2002, hal 36-39
17 Lihat Tulisan Jhon Kutter, “Culture and Coalition”, Edited by Rowan Gibson, Re-thinking the future, Nicholas Brealey Publishing, 1997. P. 135.
18 Krugman juga pernah mempertanyakan: “if the growth in output of Asia’s developing was mainly based on the increase in input of labor and capital, will these economies not experience diminishing returns and than lower growth rates?”. Lihat “Strategy for Asia Pacific” written by Philippe Lassarerre & Hellmut Schutte, Macmillan Press ltd., 1995 – kutipan dari Paul Krugman, The myth of Asia’s, Foreign Affair, Nov/Dec 1994.
19 Haryatmoko mengutip Louis Topin mengenai 4 tujuan idealisme pendidikan yakni 1. Kompetensi model objectif. 2. Kompetensi Strategis (orientasi humanistik), 3. Adalah Kompetensi Subjektif dan Aksiologis yang bertujuan untuk menjawab tantangan sosial, ekonomi dan keadilan. 4. Adalah Kemajuan Ilmu-Ilmu itu sendiri, yakni yang terkait langsung dengan pendidikan tinggi dan disposisi khusus. Tujuan keempat ini yakni untuk mengajak peserta didik untuk mempelajari atau meneliti sesuatu menuju penemuan-penemuan baru yang berguna bagai kemanusiaan kita. (Lihat Haryatmoko, Menggapai Kompetensi, Menuai Kesadaran Kritis – Mencari Orientasi Pendidikan di Indonesia - Basis No 07-08 Tahun ke 51, Edisi Juli Agustus 2002 halaman 38-45).
20 Lihat tulisannya Prof. Dr. HAR Tilaar, M.Sc.Ed: “Arah Pengembangan Pendidikan Tinggi di Indonesia dalam Konteks Indonesia Baru” dalam Buku “Jonatan Parapak, Pembelajar & Pelayan”, terbitan Mahardika July 2002, dengan Editor Markus Rani & Apul D. Maharadja.
21 Philippe Lassarerre & Hellmut Schutte, Strategy for Asia Pacific, Macmillan Press ltd., 1995. p. xv.
22 Vandana Shiva dalam bukunya Water Wars: Privatisasi, Profit dan Polusi, yang ditebitkan oleh INSIST Press, mengemukakan mengenai para Sarjana India yang sudah mengenal lebih dari 25 sistim teknologi Irigasi berabad-abad sebelumnya dan para sarjana Inggris justru baru mempelajarinya pada awal abad 19. Bahkan Arthur Cotton, pendiri sistim irigasi modern mengakui keunggulan tersebut. (page 141).
23 Lihat: William A. Smith, “CONSCIENTIZACAO, Tujuan Pendidikan Paulo Freire, Pustaka Pelajar 2001.


Komentar