MENJALANKAN PERAN PEMIMPIN KTB: SEBAGAI ANTISIPASI MENGHADAPI TANTANGAN DUNIA SISWA?



MENJALANKAN PERAN PEMIMPIN KTB: SEBAGAI ANTISIPASI MENGHADAPI TANTANGAN DUNIA SISWA?
oleh Wahyu Dwijayati, M.Div.

Jika penulis ditanya, Tantangan apa yang paling banyak dihadapi oleh siswa selama tahun 2007?Jawaban saya adalah problem keluarga! Bukan berarti tantangan lainnya tidak signifikan dan berpengaruh bagi mereka. Namun ini yang kerap kali penulis jumpai ketika melayani para siswa.
Ada banyak siswa yang dilayani yang nampaknya baik-baik saja, namun di balik keceriaan mereka tersimpan kepahitan. Kisah-kisah sedih ini terkadang hanya bisa mereka sharingkan ketika mereka menemukan orang-orang yang mereka percayai, entah itu kakak KTB, pembimbing persekutuan atau staf/hamba Tuhan. Tapi tidak sedikit pula siswa-siswa yang mencoba untuk menghadapinya sendiri.
  Bagaimana peran para pelayan siswa (Tim Pembimbing Siswa/Staf/Pemimpin KTB) menghadapi tantangan ini? Adakah kita, yang terlibat dalam pelayanan siswa ini hanya sekedar mengerjakan program persekutuan, mengejar target PI dan KTB atau mengadakan kamp/retreat untuk mencapai visi yang Tuhan percayakan kepada kita? Apakah aktivitas rohani bisa secara otomatis menolong siswa menghadapi tantangan hidup mereka?
Pelayanan Siswa: Holistic Ministry
Pelayanan yang dikerjakan Yesus bersifat holistik (utuh dan menyeluruh ke berbagai segi kehidupan manusia). Ia tidak hanya berkotbah dan mengajar di Bait Allah, tapi juga memberi makan ribuan orang (Mat. 14:13-21, 15:32-39). Ia tidak sekedar menyembuhkan berbagai penyakit (Mat. 15:30) dan mengusir setan (Mat. 8:28-32), tapi juga memulihkan relasi sosial orang-orang yang dikucilkan karena dianggap najis (Mat. 8:4). Ia pun rela bergaul dengan orang-orang berdosa dan hidup bersama-sama di tengah mereka.
Para pelayan siswa pun harus belajar dari pelayanan Yesus yang holistik. Bukan hanya menekankan pengajaran saja, tetapi juga menolong dan terlibat dalam kehidupan orang-orang yang dilayani. Bukan hanya menolong mereka  bertumbuh dalam pengenalan akan Allah, karakter, skill dan relasi. Bahkan jika ada siswa binaan yang setia melayani namun punya kesulitan ekonomi sampai terancam drop out dari sekolahnya, maka kita perlu ambil bagian untuk menolong.
Pendampingan bagi siswa-siswa Kristen yang menghadapi problem dalam keluarga akan sangat menolong mereka untuk menjalankan fungsi hidup mereka dengan normal di tengah-tengah tantangan yang mereka hadapi.
Dari pengalaman pelayanan penulis, siswa yang mengalami problem dalam keluarga cenderung mengalami hambatan dalam pertumbuhan rohani, karakter atau relasi. Sehingga bila kita mengabaikan tantangan yang mereka hadapi berarti kita mengabaikan pertumbuhan mereka.
Besar-kecilnya hambatan tergantung kedewasaan rohani dan ketaatan dalam melakukan firman Tuhan. Misalnya seorang siswa yang aktif dalam persekutuan, sudah terlibat dalam KTB dan kepengurusan, namun karena ia benci dengan sikap papanya yang selingkuh, maka kebencian itu merusak relasi dengan papanya. Bahkan lebih jauh kebencian itu bisa mengaburkan konsep Allah sebagai Bapa. Jika bapa yang dilihat saja tidak dapat memberikan perlindungan dan kasih sayang kepadanya, dia berpikir bagaimana mungkin ia bisa merasakan kasih dari Bapa yang tidak dilihatnya.
Dari contoh tersebut menunjukkan betapa perlunya pelayanan yang holistik bagi siswa, yang menolong mereka punya keseimbangan untuk mengenal Allah secara benar dalam pengetahuan juga dalam praktik hidup.
Poblem Keluarga
Satu fenomena yang cukup mengkuatirkan saat ini adalah banyaknya orang tua yang selingkuh, papa punya WIL (wanita idaman lain) atau mama yang punya PIL (pria idaman lain). Hampir separuh dari siswa yang penulis layani mengalami masalah keluarga semacam ini.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kebanyakan disebabkan karena faktor ekonomi yang makin sulit, pengangguran, perselingkuhan, atau faktor-faktor lain. Ada KDRT berarti ada korban. Seringkali ibu dan anak-anak menjadi sasaran. Tetapi bukan hanya penganiayaan fisik yang bisa menimbulkan luka batin, penganiayaan dalam bentuk verbal pun bisa menghadirkan bibit-bibit kemarahan dan kebencian.
Perceraian orang tua juga banyak dihadapi siswa masa kini. Jumlah perceraian di Indonesia mencapai angka yang fantastis yaitu setiap tahun, 200.000 pasangan berpisah. Berdasarkan berita di sebuah surat kabar, selama enam bulan terakhir di tahun 2007 kasus perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama Kota Malang saja mencapai angka 672 kasus perceraian.[1] Ini baru fakta di satu kota, belum di kota-kota lainnya di Indonesia.
Bayangkan, berapa banyak anak-anak korban perceraian yang menderita secara batin karena disfungsi keluarga ini.Berapa banyak kemarahan dan kebencian yang terpendam yang jika tidak segera dipulihkan akan menjadi bom yang membahayakan masa depan mereka maupun bangsa ini.
Para pelayan siswa mungkin tidak bisa menjangkau semua siswa yang mengalami problem ini. Minimal siswa-siswa yang terlibat dalam pelayanan siswa perlu ditolong terlebih dahulu, agar kelak mereka juga bisa menolong teman-teman mereka.
Reaksi-reaksi yang Muncul 
Siswa-siswa yang mengalami problem di atas pasti mengalami perasaan yang bercampur aduk, antara marah, kecewa, benci, kuatir, sedih, malu bercampur jadi satu. Dari perasaan-perasaan tersebut muncul berbagai reaksi.
Ada siswa yang menjadi cuek dan bersikap tidak peduli. Mereka tidak mau tahu dan terkesan mengabaikan masalah mereka. Mereka bisa tetap aktif melayani dan prestasi mereka tetap baik. Sikap cuek ini bisa terbawa dalam semua aspek, misalnya cuek terhadap diri, orang lain, atau lingkungan sekitar.
Ada siswa yang studinya menjadi amburadul dan menarik diri dari persekutuan. Namun ada juga yang kemudian mencari berbagai bentuk pelarian, entah positif atau negatif. Positif, jika kemudian mereka menjadi aktif di persekutuan, entah sebagai tempat penghiburan karena banyak sahabat yang yang bisa menolong mereka atau hanya sekedar melupakan masalah. Negatif, jika akhirnya mereka menemukan kenyamanan justru pada pergaulan bebas, minuman keras, narkoba, dan hal-hal lain yang justru merusak hidup mereka.
Dampak lain yang ekstrim adalah munculnya sikap memberontak sebagai bentuk kemarahannya. Bukan hanya memberontak kepada orang tuanya, tapi juga sikap memberontak terhadap aturan-aturan dan nilai-nilai dalam masyarakat. Saat ini banyak muncul kekerasan di sekolah/kampus, perkelahian antargeng motor atau antarsekolah. Bisa jadi kemarahan itu sebenarnya terbawa dari rumah di mana terjadi ketidakharmonisan keluarga.

KTB Menjadi Solusi!
Dalam persekutuan besar, seringkali para pelayan siswa masih sulit mengetahui siswa mana yang mengalami problem dalam keluarganya, kecuali siswa tersebut  mensharingkan masalahnya. Siswa cewek cenderung lebih mudah terbuka ketimbang siswa cowok.  Karena cewek yang memiliki pergumulan akan merasa lebih lega jika ia bisa mengeluarkan seluruh uneg-uneg yang mengganjal hatinya. Sementara cowok cenderung masuk ke dalam gua atau mengatasi masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Rasa aman dan percaya menjadi alasan
Namun seringkali pelayan siswa tidak peka dengan siswa-siswa yang mengalami problem keluarga. Entah karena mereka sibuk mempersiapkan renungan, mengurus bagaimana program dan manajemen persekutuan bisa berjalan baik, atau karena waktu di persekutuan singkat sehingga tidak bisa berinteraksi lebih lama dengan banyak siswa.
Berbeda dengan KTB. KTB mencakup hanya 3-5 orang dengan pertemuan yang rutin. Pengenalan yang dalam dimungkinkan terjadi, sehingga siswa dapat mempercayai anggota KTB untuk mendengar masalah yang dihadapinya.
Pemimpin KTB dapat mengenali dan menemukan masalah melalui interaksi yang ada dalam KTB. Hal ini sangat mungkin jika pemimpin KTB peka dan punya relasi yang akrab dengan Tuhan. Sehingga ia mampu melihat adanya hambatan pertumbuhan yang dialami anggota-anggotanya. Mungkin saja penyebabnya adalah karena pergumulan yang mereka hadapi di keluarga, atau karena sebab-sebab lainnya.
Peran Pemimpin KTB
Jadi apa yang bisa dilakukan di KTB? Pertama-tama, pemimpin KTB dapat melakukan terapi kelompok untuk mengonseling siswa yang memiliki pergumulan. Siswa tersebut bisa menceritakan perasaan-perasaannya di hadapan anggota kelompok tanpa takut dipermalukan dan dihakimi. Sementara anggota yang lain dan pemimpin KTB bisa memberikan dukungan dan penguatan untuk menjalankan sikap-sikap baru berdasarkan firman Tuhan. 
Kedua, mendorong siswa tersebut untuk melakukan sikap baru yang sesuai firman Tuhan. Mengadopsi sikap baru tidak semudah membalik tangan, apalagi jika berkaitan dengan ketaatan dan kerendahan hati untuk menjalankan kebenaran. Apalagi jika kebencian dan kemarahan siswa tersebut begitu mendalam sehingga reaksi yang muncul menjadi kebiasaan bahkan telah menjadi karakternya.[2] Â Karena itu, latihan-latihan dalam bentuk proyek ketaatan akan sangat menolong dia melalui  follow up yang terus menerus.
Tentu saja tidak semua proyek ketaatan bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Perlu step by stepuntuk menolong mereka pulih. Misalnya jika seorang siswa mengalami kekecewaan karena perselingkuhan papanya, mungkin reaksi yang muncul adalah rasa benci, tidak bisa mengampuni, memberontak, dan tidak suka tinggal di rumah jika papa ada juga ada di rumah. Maka proyek ketaatan dibuat bertahap, contoh: belajar mendoakan papa dan memaafkannya, belajar berkomunikasi dengan papa, memberitakan Injil, dan sebagainya.
Pemimpin KTB perlu melibatkan semua anggota untuk mendukung siswa tersebut mengadopsi perilaku baru, baik melalui doa maupun penjelasan kebenaran firman Tuhan yang mendasari proyek ketaatan tersebut. Ini merupakan peperangan rohani yang sering tidak disadari. Iblis masih bisa santai ketika orang-orang percaya belajar firman Tuhan dan memiliki pengetahuan firman. Tapi pada saat orang percaya mau melangkah untuk menaati firman, iblis akan berusaha keras untuk menggagalkannya. Jadi doa juga menjadi unsur penting untuk menolong siswa yang bermasalah.
Ketiga, pemimpin KTB perlu mengembangkan perannya sebagai figur orang yang dibutuhkan oleh siswa tersebut. Misalnya jika seorang siswa kehilangan figur ibu, maka pemimpin KTB sedapat mungkin berperan dengan memberikan perhatian dan kasih seorang ibu. Paulus pun juga menerapkan peran ibu yang merawat dan mengasuh ini kepada jemaat Tesalonika (1Tes. 2:7). Sungguh tidak mudah menjadi pemimpin KTB, namun ia dapat dipakai Tuhan untuk menjadi pembuat-pembuat murid yang serupa Kristus.
Keempat, pemimpin KTB juga perlu memiliki keteladanan hidup (menjadi model) yang dapat dilihat dan dirasakan oleh siswa tersebut. Jika pemimpin KTB pernah memiliki pergumulan problem keluarga yang sama dan kemudian bisa menang dari pergumulan tersebut dan bisa menerapkan sikap-sikap baru, siswa akan melihat bahwa ada orang lain yang bisa keluar dari masalah hidupnya. Maka ia akan termotivasi untuk meneladaninya. Kasih Kristus dan perhatian yang nyata menjadi bau yang harum bagi anggota-anggota KTB untuk lebih mendekat dan mengidentifikasikan diri dengan pemimpin KTB. Siswa yang notabene sedang mencari identitas diri dapat tertolong karena melihat figur pemimpin KTB-nya.
Kelima, bagaimana jika masalah yang dihadapi siswa tersebut sampai mengganggu fungsi hidup, misalnya malas sekolah, nilai menurun, atau terdapat gangguan-gangguan lain yang tidak bisa ditangani dalam KTB? Dalam hal ini, pemimpin perlu merujuk kepada orang yang lebih ahli seperti hamba Tuhan, konselor atau psikolog.

Penutup
Bagaimana dengan KTB-KTB yang sudah ditangani para pelayan siswa? Sejauh mana KTB Saudara dapat menolong siswa-siswa yang mengalami pergumulan sehingga pertumbuhan rohani mereka seimbang dengan kedewasaan karakter? Jangan lewatkan kebersamaan dalam KTB hanya untuk sekedar menghabiskan materi.  
Dengan demikian pembinaan bagi pemimpin KTB menjadi sesuatu yang dibutuhkan di mana mereka dapat belajar tentang teknik konseling dasar, pelayanan pastoral, dan sebagainya. Yang tak kalah penting dan yang perlu dimiliki oleh pemimpin KTB adalah hati yang penuh belas kasihan, seperti Yesus yang selalu tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak yang bagai domba tanpa gembala (Mat. 9:36).
Para pelayan siswa, marilah kita mengantisipasi tantangan zaman yang dihadapi siswa dengan menjalankan peran sebagai pemimpin KTB dengan baik, sebagaimana Kristus telah memberi teladan sebagai Gembala yang baik.


[1]Harian Republika, 31 Oktober 2007.
[2]Karakter adalah kombinasi dari temperamen dan kebiasaan yang kita lakukan. Karakter adalah diri kita yang sebenarnya. Karakter yang baik adalah gabungan dari temperamen-temperamen yang sudah dikendalikan oleh Roh Kudus dengan kebiasaan baik yang kita miliki serta latihan-latihan yang kita lakukan (Get Fresh, Januari 2008)


Komentar