Menggembalakan Kampus Dengan Kerohanian EPIC


Menggembalakan Kampus Dengan Kerohanian EPIC
oleh Anthon Katobba Mapandin

“.....mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala” (Matius 9:36)

Apa yang dilihat Yesus terhadap kondisi orang-orang saat itu, mungkin juga tepat untuk melihat kondisi kampus dan gereja Tuhan saat ini. Di tengah-tengah aktivitas kerohanian kampus yang wah, kegiatan retret dan kamp yang padat, namun “mahasiswa lelah dan terlantar”. Sangat ironi memang ditengah konteks pemimpin yang mengklaim diri rohani dengan praktek doa dan puasa yang wah, tetapi tidak menyentuh umat. Jauh dari umat. Apa yang salah kalau begitu? yang rohani malah yang tampak jauh, yang rohani malah yang tak berdampak. Apa yang salah jika demikian? Kerohanian seperti apa yang dibutuhkan untuk menjangkau kampus bagi Kristus? Kerohanian yang otentik, kerohanian yang didalam dan diluar itu sama. Tidak mendua dan tidak bercabang. Kerohanian kental dengan pengenalan akan Yesus yang solid dan terdemonstrasi secara utuh dalam ranah praktis. Itulah yang penulis sebut “Kerohanian EPIC” (Engaging, Passionate, Incarnate, Christ-Like)
Engaging : Melibatkan diri secara terus menerus dalam kehidupan Mahasiswa. Dengan cara demikian para penatalayan kampus, akan tahu apa yang menjadi  kebutuhan mahasiswa. Pergumulan-pergumulan mereka dan ketakutan-ketakutan mereka yang paling dalam akan terbaca keluar. Dalam Lukas 24, dalam sebuah kisah perjalanan ke Emaus. Dua murid yang sangat kebingungan, akhirnya berjumpa dengan Yesus. Dalam perjalanan itu Yesus secara terus menerus melibatkan diri dalam percakapan mereka.  Awalnya mereka tidak tahu siapa Yesus yang sedang menemani mereka bercakap-cakap. Keterlibatan, perhatian dan keramah tamahan yang didemonstrasikan Yesus, akhirnya mencelikkan mereka.  Siapa yang menemani mereka sekarang ini nyata dan merubah suasana hati mereka. Dari takut dan kebingungan, diganti keberanian dan penuh sukacita.  Kehidupan mahasiswa dipenuhi dengan ketakutan-ketakutan yang mungkin tak terkatakan dan tak disadari. Semua ketakutan itu akhirnya membutakan mereka tentang Yesus. Apa yang perlu dilakukan untuk menjangkau mereka?. Hadir dalam percakapan-percakapan mereka untuk mengenali bacaan yang mereka senangi, film yang mereka sedang tonton, filososfi-filosofi yang mereka yakini. Kemudian kita mengkoneksikan dengan kebenaran Firman Tuhan dan menantang mereka untuk melihat Yesus dalam semua ini. Artinya, membayar kebenaran kedalam konteks pergumulan mereka, sehingga kebenaran itu mencelikkan mata mereka tentang Yesus yang berdaulat atas hidup dan semesta. Semua itu hanya mungkin jika pengurus PMK dan pemimpin KTB terus menerus terhubung dengan hidup mahasiswa. Dan inilah  realita yang ada, sehingga kebutuhan akan pemuridan dalam kelompok-kelompok kecil menjadi sebuah keharusan.
Passionate.  Dengan semangat dan antusias yang  sangat  tinggi. Itulah sikap yang paling pantas untuk didedikasikan kepada Tuhan. Kenapa? Pelayanan kepada mahasiswa adalah bentuk kasih kepada Allah. Dan kasih kepada Allah adalah sebagai respon terhadap kasih yang sudah menjangkau kita terlebih dahulu. Sebagai  orang yang sudah mengalami apa artinya dikasihi, maka sekarang semua bentuk penjangkauan mahasiswa di kampus harus dilakukan dengan gairah yang besar. Mengapa? Pelayanan ini membawa mahasiswa berjumpa dengan sesuatu yang tak ternilai yaitu kekekalan di dalam Kristus.  Tidak ada hal yang terlampau besar dan mahal untuk didedikasikan bagi Kristus. Passion disini tidak saja tentang semangat atau gairah. Tetapi juga didalamnya sebuah totalitas, ide dan kemampuan. Karena toh semua itu asalnya dari Tuhan dan pantasnya dikembalikan Dia. Melayani mahasiswa yang penuh dinamika, membutuhkan kreativitas dan kemauan untuk terus memikirkan bagaimana kebenaran bisa tersampaikan secara efektif.
Incarnate. Penyangkalan diri adalah bagian yang esensial dan sekaligus menjadi  sulit dalam pelayanan. Namun jika kiita ingin melayani maka bagian ini tak terhindarkan. Jika dihindari maka bukan lagi pelayanan tetapi kenyamanan. Melayani pasti tidak nyaman, karena melayani “kebutuhan-kebutuhan” orang,  “pergumulan-pergumulan” orang. Bukan “ku” tetapi “dia”. Sehingga yang mau dan rela melayani siap-siaplah untuk tidak nyaman. Relalah untuk kehilangan rasa nyaman Anda.  Itulah inkarnasi. Maka Paulus pernah menulis  “...bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup dibawah hukum Taurat  aku menjadi seperti orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat” (1 Kor 9:20). Tujuannya kata Paulus, supaya kita bisa memenangkan mereka bagi Kristus. Dalam menggembalakan mahasiswa kita sedang ada dalam peperangan rohani yang luar biasa. Kampus menjadi tempat dimana ideologi dan semua filososfi sedang diajarkan dan di tawarkan. Bukan saja didalam ruang kelas, namun dalam keseharian mereka, mereka berjumpa dan bersentuhan dengan dengan berbagai filosofi, yang terjelma dalam berbagai bentuk gaya hidup. Semua itu ada dihadapan siapapun yang menyebut diri sebagai mahasiswa. Jadi dalam hal apa kita sebagai pelayanan kampus berinkarnasi melayani rekan-rekan mahasiswa? Dalam hal penyangkalan diri kita. Kita memiliki waktu yang sama, kebutuhan yang sama, tanggung jawab yang sama. Jika harus memenangkan mereka maka bukan saja mengorbankan waktu untuk menyelesaikan tanggung jawab studi, kebutuhan untuk bersama keluarga, kebutuhan untuk rekreasi dan juga menyalurkan hobbi. Supaya penggembalaan kita menyentuh kebutuhan mereka, dibutuhkan waktu lebih banyak untuk “menjadikan pelayanan kita sesuai dengan yang dia butuhkan”. Dan itu berarti perlu waktu lebih banyak mendengar dan bersama dengan dia. Wouw tetapi saya bukan staf, bukan pekerja penuh waktu, saya adalah mahasiswa yang butuh waktu untuk kebutuhan-kebutuhan saya. Itu benar. Tetapi ada kebenaran-kebenaran lain yang jauh lebih ultima, yaitu bahwa inkarnasi itu berani melepaskan hak-hak kita, penyangkalan diri.  Penyangkalan diri yang bukan saja meliputi waktu tetapi kadang-kadang uang dan materi kita, karena penggembalan itu bersifat utuh.
Christ-Like. Paulus pernah menulis, “....mereka yang ditentukannya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran  AnakNya...” (Roma 9:38). Untuk itulah kita diselamatkan untuk mejadi serupa dengan Kristus. Dan itu berarti dalam semua hal. Tidak ada ruang, tidak ada tempat untuk “diri kita”. Karena menjadi serupa dengan Kristus cakupannya sangat luas  maka dalam hal ini poin ini saya sempitkan untuk berbicara satu point, yang menurut saya menjadi sentral kedatangan Kristus yaitu mati. Kristus datang untuk mati. Bukan untuk cari popularitas dan kesuksesan. Dalam hal inilah penatalayan kampus dipanggil untuk merupa itu. Bukan yang lain dan tidak untuk yang lain. John Stott menulis dalam buku Murid yang Radikal, “... jika kita mengikut Yesus, hanya ada satu tempat yang kita akan tuju yaitu tempat kematian”. Hal yang sama juga ditulis Dietrich Bonhoeffer dalam buku The Cost of Discipleship, “Ketika Kristus memanggil seseorang, Ia memintanya untuk datang dan mati”.  Jikalau kita ingin melahirkan  orang-orang yang mau mati bagi Kristus untuk bangsa ini, inilah satu-satunya jalan bagi para pelayan kampus. Jika kita masih berpikir untuk mencari dan memikirkan cara lain, jangan pernah bermimpi akan lahir mahasiswa-mahasiswa yang yang radikal. Apa artinya merupa Yesus dalam kematian? Mati terhadap diri, artinya tidak lagi mengakui dan melayani keinginan dosa yang ada didalam diri kita dengan berbagai keinginannya. Tetapi melayani dan hidup untuk Kristus. Hal inilah yang dimaksudkan Paulus ketika dia menulis Galatia 2: 20, “aku telah disalibkan bersama Kristus”.Diri dan berbagai keinginan untuk diaktulisasikan telah dimatikan.

*Penulis adalah Staf Mahasiswa Surabaya


Komentar