MENEMUKAN MAKNA DI DALAM SIKLUS KEHIDUPAN - Refleksi Kejadian 5:1-32


MENEMUKAN MAKNA DI DALAM SIKLUS KEHIDUPAN
Refleksi Kejadian 5:1-32
Perdian K. M. Tumanan[1]

Pendahuluan
Dalam sebuah wawancara majalah Newsweek(edisi Desember 2004-Februari 2005) dengan tokoh religius Buddha asal Tibet, Dalai Lama, ada satu pertanyaan unik yang diajukan sang pewawancara: “You’ve been a monk since infancy; now you’ve been 69.  What have you missed out on in life?” (Para pemeluk Buddha di Tibet percaya bahwa Dalai Lama adalah titisan sang Buddha).  Dengan nada bercanda, Dalai Lama mengemukakan bahwa hal yang hilang itu adalah sex.  Dengan rileks dia mengemukakan alasannya yang sederhana: “As a human being, it is quite natural for sexual desire to arise. But overall, a monk’s life is more stable, much simpler.  In the family there is endless worry, too many ups and down. … May be this is not correct, but this is the view of a simple Buddhist monk.”  Alasan yang dikemukakan oleh Dalai Lama terkesan simplistis; namun alasan tersebut menyiratkan suatu tujuan utama (ultimate goal) yang mendorong dirinya untuk mendedikasikan hidup sebagai seorang “titisan Buddha” dan menanggalkan dorongan manusiawi dari dalam dirinya.
Secara filosofis, Thomas Aquinas pernah mengungkapkan pandangan yang sama tentang tujuan hidup.  Argumentasi yang dibangunnya bermula dari asumsi teologia umum bahwa manusia berbeda dari ciptaan lain.  Perbedaan itu ada karena tindakan manusia memiliki dasar atau alasan yang membuat ia dapat menguasai apa yang dapat dilakukannya.[2]  Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa dengan dasar ini maka alasan yang paling tepat untuk mendasari tindakan manusia adalah adanya sebuah tujuan (agoal).  Dengan prinsip silogisme sederhana ia mengatakan: “Human action originate from the will and the will starts from a goal, so human action is originated by its goal.”[3]  Jika kita amati dengan seksama maka kita dapat paham bahwa Aquinas hendak menyimpulkan doktrin manusianya dengan menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan benar-benar manusia jika ia punya tujuan yang jelas dalam hidupnya.  Ini menunjukkan bahwa terlepas dari jelas/tidaknya, baik/buruknya, mulia/jahatnya tujuan hidup seseorang; jikalau ia adalah seorang manusia, ia tentu memiliki sebuah tujuan hidup.
Tujuan hidup merupakan perihal klasik yang akan tetap hangat untuk dibicarakan sampai kapan pun, sebab tujuan hidup secara otomatis akan menentukan menjadi manusia apa kita dan bagaimana tingkah laku kita selama hidup.  Seperti yang dikemukakan Aquinas: “The goal of an action decides what kind of an action it is, worthy of praise or of blame.”[4]  Orang yang melihat hidup sebagai sebuah roller coaster (roda yang berputar) akan memiliki sikap hidup agak pesimis dan sedikit apatis.  Hidupnya penuh dengan “kepasrahan terpaksa.”  Sebaliknya mereka yang melihat hidup ini sebagai sebuah “arena balap” akan terus memacu diri untuk mendahului siapa pun dan menjadi yang terdepan dalam segala bidang.  Baginya tidak ada kata pesimis apalagi skeptis.  Ia dipenuhi dengan segudang ambisi.  Ia memandang jagad ini dapat digengam di dalam kepalan tangannya yang kecil itu.  Lagi-lagi, dengan sedikit mencuri kata-kata bijak Aquinas yang tidak menyalahkan orang-orang yang punya tujuan hidup demikian namun mengoreksinya dengan tajam, ia mengatakan:
“Natural wealth, like food and drink, clothing and transport, housing and like doesn’t suffice to make us happy. Such things are only means of supporting human life: man is wealth’s goal rather than wealth man’s.  And conventional valuables, like money are even less our ultimate goal, needed only to buy the natural valuables life needs.”[5]
Dan ia melanjutkan dengan mengutarakan saran akan tujuan hidup yang sepatutnya dimiliki oleh setiap orang: “So, no particular good can satisfy our will, but only God who realizes every goodness that creatures realize in their own particular ways.  Even the common good of the created universe of which man is  part , is not man’s ultimate goal, for it too has its ultimate goal GOD.”[6]
            Bagi kekristenan, tujuan hidup manusia tidak pernah terletak dan berasal dari dirinya sendiri. Allah merupakan puncak bagi tujuan hidup manusia sebab dari sanalah dia berasal.  Hanya di dalam Dia adalah kepastian hidup sebab Ia sendiri yang pasti dan tidak pernah berubah.  Ia-lah sumber segala sesuatu. Di dalam Dia saja kita dapat menemukan pengetahuan yang benar tentang segala sesuatu.  Bahkan, kita pun hanya dapat mengenali diri kita sendiri jikalau kita mengenal Dia. Karena itulah John Calvin pernah berkata: “Again, it is certain that man never achieves a clear knowledge of himself unless he has first looked upon God’s faceand then descends from contemplating him to scrutinize himself.”[7]  Perkataan Calvin hendaknya mencelikkan mata batin kita untuk memandang realitas hidup yang terus berputar dan tanpa arah ini dari “kaca mata“ Tuhan. 
            Berikut, kita akan berefleksi dari salah satu bagian Alkitab, Kej. 5:1-32, yang sedikit banyak dapat mengungkapkan pemahaman ini.

Kejadian 5:1-32: Hidup Kontra Hidup[8]
 Bagian ini merupakan salah satu silsilah yang terdapat di dalam kitab Kejadian. Terdapat kurang lebih sepuluh silsilah yang menunjukkan bahwa bentuk silsilah dalam kitab ini sangat penting.  Banyak pakar menyatakan bahwa kitab Kejadian dapat dibagi ke dalam sepuluh bagian oleh ke sepuluh silsilah ini. 
Struktur silsilah pada bagian ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan bentuk silsilah pada bagian yang lain. Terdapat sepuluh tokoh yang dibahas di sini. Penjelasan setiap tokoh mengikuti bentuk yang hampir sama:[9]
(a) A hidup x tahun, dan kemudian memperanakkan B.
(b) A hidup y tahun setelah dia memperanakkan B, dan ia memperanakkan anak-anak
      lelaki dan perempuan
(c) A mencapai umur x + y, lalu ia mati.
Struktur ini memang memiliki kemiripan dengan formula yang ada pada silsilah Sem dalam 11:10-26, namun tanpa formula (c) yang merupakan kesimpulan dari hidup para partriakh. Menariknya bagian yang khusus menceritakan Henokh (ay. 21-24) memiliki struktur yang sama sekali berbeda.  Perbedaan yang paling utama adalah ia tidak memiliki unsur (c) atau lebih tepatnya memiliki unsur (c) yang lain dari pola yang terbentuk. Selain itu pada bagian (b) terdapat addendum (tambahan): “Dan Henokh hidup bergaul dengan Allah…”
Secara sekilas kita mungkin tidak akan melihat problem yang muncul berkenaan dengan masalah kehidupan dalam silsilah ini.  Namun jika kita telaah lebih dalam maka struktur ini sepertinya hendak memberikan kontras yang besar antara hidup manusia yang memiliki tujuan yang jelas dengan yang tidak.  Struktur yang berulang-ulang dari beberapa tokoh pada bagian ini dapat dikaitkan dengan suatu siklus yang dapat diringkas sebagai berikut:
Hidup -> memperanakkan -> mati
“Hidup” yang dimaksudkan dalam siklus ini dapat diterjemahkan sebagai eksistensi fisik atau keberadaan manusia tersebut di dalam dunia.  “Hidup” seperti ini dapat diasumsikan sebagai hidup yang “sekadar” berada dan berupaya mempertahankan keberadaannya itu di dalam dunia, seperti: makan, minum, istirahat, bekerja, kawin dan lain-lain.  Yang terpenting dari “Hidup” bukanlah makna tapi usia.  “Usia” di sini dikaitkan dengan panjangnya waktu berada di dalam dunia.  Maka tidak heran jika usia-usia mereka yang hidup dalam “Hidup” model ini berusia panjang-panjang.  Aktivitas “Hidup” adalah kegiatan-kegiatan lahiriah yang umumnya dialami oleh setiap manusia yang berujung kepada kematian dan tidak berdampak apa-apa terhadap spiritualitas.  Dalam perenungan pribadi, saya membayangkan betapa menyedihkannya seseorang yang hanya sekedar hidup demi Hidup eksistensi fisik.  Meskipun dia orang yang punya banyak duit, punya status sosio-ekonomi yang terpandang; tapi bukankah hidupnya tidak berbeda dengan (maaf) binatang yang ada hanya untuk Hidup à punya anak à dan mati!  Ketakutan saya ini beranjak pada satu asumsi puncak bahwa selama ini kita telah tertipu dengan mengidentikkan cita-cita karir dan profesi sebagai tujuan hidup!!  Menjadi dokter, insinyur, pengusaha, bahkan hamba Tuhan bukanlah tujuan hidup.  Semua itu hanyalah aktivitas hidup yang melibatkan eksistensi kita secara aktif.  Aktivitas-aktivitas itu akan menjadi berarti dan bermakna jika kita meletakkannya tidak pada aktivitas itu secara mandiri.  Dengan kata lain, tujuan hidup jangan pernah dikaitkan dengan segala sesuatu yang tampak dan ada di dalam dunia ini. Our ultimate goal is not here, but beyond there!  Saya mengajak kita merubah slogan kita dari: think globally, act locally, menjadi: think heavenly, act eternally!
Siklus ini terus berulang dan terputus saat penulis Kejadian sampai kepada Henokh.  Siklus Henokh adalah:
  Hidup ->  memperanakkan -> hidup bergaul dengan Allah -> diangkat oleh Allah
 Perbedaan mencolok yang ditunjukkan siklus ini dengan siklus yang pertama adalah akhir dari “Hidup” dalam eksistensi fisik bukanlah kematian tetapi “Hidup” dalam eksistensi rohani.  Seperti yang dikatakan Gaebelein: “The sense of the author is clear.  Enoch is an example of one who found life amid the curse of death.”[10]  Bagi saya, makna “…diangkat oleh Allah” bukan sekedar fenomena supranatural yang dialami oleh segelintir tokoh-tokoh Alkitab (termasuk Elia dan Tuhan Yesus), tetapi lebih jauh menegaskan bahwa hidup mereka tidak berakhir dalam kefanaan hidup yang memang sudah menjadi bagian dalam eksistensi fisik mereka.  Hidup mereka berakhir di dalam kebahagiaan eskatologis yang kekal sebab mereka pun telah menginvestasikan waktunya untuk hal-hal yang kekal. 
            Dibandingkan kedelapan tokoh yang lain, kehidupan Henokh sangat sangat singkat.  Usianya hanya 365 tahun, lebih sedikit dari usia Lamekh tokoh yang usianya paling pendek dari kedelapan tokoh yang lain (777), bahkan jika dikalikan dua.  Namun yang menarik adalah dia tahu benar untuk apa dia hadir di dunia ini, dan itulah yang menentukan makna hidupnya: hidup bergaul dengan Allah.
Hidup bergaul dengan Allah lebih tepat jika diterjemahkan: “hidup berjalan dengan Allah (NIV: “walked with God”).  Frase ini muncul beberapa kali di dalam kitab Kejadian.  Apa makna dari frase ini sendiri?  Pemakaian kata kerja dalam frase ini seolah-olah menandaskan adanya tuntutan-tuntutan moral dalam diri seseorang agar dia dapat memperoleh Hidup; benarkah demikian? Bukankah pengertian ini akan berkontradiksi dengan doktrin saved by grace?
Dalam Kej. 6:9, identitas Nuh sebagai sebagai seorang yang “berjalan dengan Allah”, diuraikan lebih luas oleh frase: “seorang yang benar dan tidak bercela.”  Identitas ini menegaskan bahwa benar dan salehnya Nuh tidak pernah bergantung kepada suatu kualitas pribadi dalam diri Nuh melainkan bersumber dari kebenaran sejati yaitu Allah yang sudah terlebih dahulu membenarkan Nuh (perhatikan frase dalam 6:8: “tetapi Nuh mendapat kasih karunia [Ibr: hesed] di mata Allah”).  Frase “berjalan dengan Allah” juga dipakai di dalam 17:1 (Abraham); 24:40 (Abraham); 48:15 (Yakub) untuk menegaskan esensi kovenan (perjanjian ilahi) antara Allah yang memanggil dan membenarkan dengan umat yang dipanggil dan dibenarkan.  Kovenan sendiri merupakan ikatan kekal antara Allah dan umat-Nya yang menempatkan Allah sebagai oknum yang berinisiatif dan manusia sebagai oknum yang hanya dapat menerima secara mutlak inisiatif Allah itu tanpa peran apa-apa di dalamnya.  Demikian pula dengan himbauan Musa kepada orang Israel untuk melakukan Taurat dengan setia sebagai satu-satunya jalan untuk hidup (Ul. 30:15-16).  Himbauan ini tidaklah ditujukan untuk sekadar menghimbau umat Israel memiliki sikap taat hukum tanpa dasar yang jelas.  Dasar itu adalah kovenan: adanya kesadaran umat saat melakukan Taurat bahwa Allah-lah yang memulai perjanjian kekal dengan umat-Nya dan di dalam perjanjian itulah terdapat kebahagiaan hidup (30:5-6).  Respon untuk mengasihi Allah melalui kepatuhan kepada hukum-hukum-Nya merupakan imbas balik dan reaksi logis dari orang-orang yang paham arti hesed.  Melakukan rutinitas keagamaan tanpa alasan dan dasar yang benar akan menjerumuskan kita kepada kesia-siaan baru dari kegiatan-kegiatan yang tidak lebih sebagai eksistensi fisik belaka . Saya kok cenderung percaya bahwa kedelapan tokoh-tokoh, selain Henokh dan Nuh, juga melakukan ritual-ritual keagamaan.  Sebagai contoh Lamekh yang menggunakan kata Tuhan dalam ayat 29.  Satu perbedaan yang saya yakin hendak dilukiskan penulis Kejadian antara Henokh dengan kedelapan tokoh yang lain adalah Henokh memandang kehidupan keagamaannya sebagai anugerah dari Allah sedangkan kedelapan tokoh yang lain memandang kehidupan beragama sebagai sekumpulan syariat-syariat!
Kristus Tuhan kita adalah jawaban yang terindah buat setiap problem siklus yang tidak pernah ada akhirnya ini.  Sebab di dalam Dia kita menemukan arti anugerah.  Dia membawa kelepasan dari sengsara siklus Hidup yang diakibatkan oleh dosa (Mat. 1:21; Luk. 4:18-19).
Saya percaya bahwa para pembaca yang budiman sebagian besar adalah orang-orang yang sudah beragama Kristen.  Tapi ijinkan saya bertanya apakah semua itu didasari dengan kesadaran akan makna anugerah (hesed)?  Bagaimana kehidupan spiritualitas kita selama ini; apakah didasarkan pada kemurahan Allah atau hanya sekedar sekumpulan syariat-syariat kosong belaka?
  
Penutup
Hidup kita akan terus berlanjut.  Tapi kita perlu ingat bahwa Hidup kita tidak tergantung pada usia tapi makna.  Waktu Hidup terbatas dan dapat berakhir kapan saja; sudahkah saya mempersiapkan Hidup yang benar dan kekal?  Semoga!



[1]Penulis adalah Pimpinan Cabang Perkantas Jawa Timur. Tulisan ini di tulis ketika sedang studi teologi di SAAT, Malang.
[2]Summa Theologiae:  A Concise Translation (ed. Timothy McDermott; Allen, Texas: Christian Classics, 1989) 171.
[3]Ibid. 173.
[4]Ibid. 172.
[5]Ibid. 175.
[6]Ibid. 176.
[7]Institutes of the Christian Religion (2Vols; ed. John McNeill; Louisville: WJK, 1960) 37.
[8]Saya membedakan “Hidup” dalam makna eksistensi fisik dengan “H” dan “Hidup” dalam makna eksistensi rohani dengan “H”.
[9]Pola yang dirumuskan oleh Gordon Wenham dalam Genesis 1-15 (WBC; Texas: Word, 1987) 121.
[10]Genesis (Expositor’s; Grand Rapids: Eerdmans, 1990) 74.



Komentar