MENEGOSIASI
KETIDAKADILAN: ATAU, INJIL MATIUS SEBAGAI SENJATA KAUM LEMAH MELAWAN KEKUASAAN
oleh
Nindyo Sasongko
Pendahuluan
Kata
pameo, “pembeli itu raja.” Sebagai raja, pembeli berhak menawar harga
serendah-rendahnya. Ia berhak melanjutkan transaksi ataupun membatalkannya. Ia
dapat berpindah ke penjual lainnya. Di sini, penjual lebih membutuhkan pembeli.
Demikianlah logika pasar yang wajar. Tetapi bagaimana bila kondisinya
berbalik—“penjual itu raja”? Dalam kasus ini, pembeli tidak tidak dapat
menawar. Tidak ada pilihan lain kecuali membeli dari sang penjual. Penjual
memonopoli perdagangan; tidak ada saingan yang seimbang. Dalam kasus ini,
pembelilah yang bergantung kepada penjual. Inilah logika ekonomi imperialis.
Kondisi
kedua ini akan menciptakan ketidakadilan. Massa sebagai pembeli dengan
persentase jauh lebih besar daripada penjual, menggantungkan penghidupan kepada
segelintir kaum berada dengan kekuasaan besar, yang memiliki dukungan dari
kekuasaan absolut. Kondisi timpang ini tergambar dengan jelas dalam Perjanjian
Baru. Yesus hidup dalam konteks ketidakadilan. Gereja perdana berada di bawah
tekanan kekaisaran Roma yang absolut. Gereja-gereja rumah yang tersebar di
seantero imperium pun mengalami eksploitasi ekonomi, politik serta religius
dari Roma. Dalam keadaan ini, bagaimanakah reaksi gereja?
Makalah
ini mengajak pembaca untuk menyelami Injil Matius sebagai “senjata kaum lemah.”
Penerbitan injil ini merupakan bentuk perlawanan dari kaum marjinal yang lemah
dalam segala hal seperti ekonomi, politik, militer bahkan religius. Mengadopsi
teori pakar politik James C. Scott tentang “salinan tersembunyi” (hidden
transcript),[1] maka
Matius merupakan alat perlawanan kaum lemah (gereja) terhadap kaum berkuasa.
Injil ini menjadi gagas-gugus untuk menawar ketidakadilan—apa yang mereka
pikirkan tentang kaum elit minoritas serta kritik mereka terhadap kekuasaan,
yang terlalu sensitif serta berisiko tinggi untuk diungkapkan secara terbuka.
Maka,
saya akan menjabarkan tulisan ini sebagai berikut. Pertama-tama akan
diketengahkan bentuk-bentuk perlawanan kaum tertindas yang meliputi: penjelasan
singkat teori James C. Scott tentang “salinan tersembunyi,” dan bagaimana
Matius dipakai sebagai senjata kaum lemah melawan kekuasaan. Kemudian akan
dibahas gagasan pokok Matius mengenai “keadilan” melalui potret Yesus di
dalamnya. Terakhir, saya akan kembali lagi ke gagasan komunitas alternatif
versi Matius berdasarkan teori “salinan tersembunyi.”
Senjata-senjata
Kaum Lemah
Salinan
Publik vs. Salinan Tersembunyi
Kaum
kuat akan berusaha menjaga interaksi dengan kaum lemah. Sarana yang dipakai
adalah komunikasi yang menguasai massa. Mereka akan mendominasi media, dan
media ini dikontrol penuh oleh pihak penguasa. James Scott menyebut sarana ini
“salinan publik” (public transcript). Salinan publik dicirikan mendukung penuh
kekuasaan, dan karena itu akan tampil mengesankan, membenarkan dan
menaturalisasi kuasa kaum elit, membungkus atau menghaluskan kekotoran rezim
mereka.[2] Salinan
publik ini dengan sendirinya akan membenarkan segala ketimpangan yang tercipta
sebagai konsekuensi, namun di muka publik, kaum kuat akan menampilkan diri
solider terhadap kaum lemah dan tampak mendukung kaum tersisih. Cara pandang
dunia dan religi penguasa akan menjadi alat ampuh retorika kaum kuat. Contoh
salinan publik ini adalah: inskripsi publik, koin-koin, dan dokumen-dokumen
yang tersimpan.
Di
pihak lain, kaum lemah memiliki cara lain dalam berinteraksi dengan kaum kuat.
Tinggal di bawah kuasa represif, dikontrol secara rutin oleh pihak berkuasa,
kaum lemah belajar untuk memakai topeng kepatuhan, supaya tetap hidup. Mereka
tidak dapat mengungkapkan apa yang mereka pikirkan atau bertindak sesuai apa
yang mereka rasakan, di muka publik mereka lebih banyak menurut untuk
melakonkan peran yang didiktekan oleh pihak penguasa. Namun ketika mereka “di balik
pentas” (offstage), demikian istilah yang dipakai Scott, kaum lemah ini akan
bertukar pikiran dan berbagi perasaan mereka satu sama lain. Praktik-praktik
dominasi dan eksploitasi biasanya melahirkan perendahan martabat dan pada
gilirannya akan memicu munculnya “salinan tersembunyi” (hidden transcript).[3]
Salinan
tersembunyi menjadi wacana yang marak di balik pentas, tanpa pengawasan
pemegang kekuasaan. Kendati tidak dapat mengungkapkan di muka publik, kaum
lemah mencitrakan kaum elit dengan gambaran-gambaran tertentu. Satu sama lain
akan saling bertukar pikiran mengenai citra penguasa menurut pandangan mereka.
Tukar pikir ini kemudian menciptakan suatu wacana yang memusatkan perhatian
terhadap martabat dan keadilan. Dengan perkataan lain, salinan tersembunyi
ini menegasi (membalik) salinan publik.[4] Jadi,
salinan tersembunyi ini melawan ideologi[5] utama
yang membenarkan ketimpangan. Maka, dibutuhkanlah sebuah ideologi tandingan
yang membalik ideologi utama, yang menyediakan sebuah formula normatif bagi
kaum lemah.[6]
Salinan
Tersembunyi sebagai Analisis Perjanjian Baru[7]
Pemikiran
Scott membuka wacana baru mengenai makna “resistansi.” Dalam membahas latar
belakang politik, banyak ahli yang masih memahaminya dalam kutub-kutub
alternatif—rakyat menerima dan menurut pada tataan yang telah mapan, atau
mereka bangkit memprotes serta menyulut pemberontakan. Resistansi berarti
peperangan demi pembebasan. Scott menyadarkan kita bahwa kaum lemah
mengembangkan berbagai bentuk resistansi yang perlu dicermati sebagai satu
paket dan bagian utuh dari proses-proses politik yang rumit.
Implikasinya
bagi studi PB, sekalipun Yesus tidak memimpin angkatan perang untuk menyerbu
Bait Suci dan benteng Romawi di Yerusalem, bukan berarti ia tidak menggerakkan
perjuangan revolusioner demi sebuah perubahan. Sekalipun Paulus tidak mengatur
strategi untuk menyerang para petinggi Romawi atau menjungkirbalikkan sistem
perbudakan Romawi, bukan berarti ia adalah seseorang yang berpandangan politik
konservatif vis a vis tataan Romawi. Demikian pula kitab-kitab PB,
terutama injil-injil. Sekalipun injil bukanlah manifesto revolusi atau kitab
strategi perang ala Sun Tzu, bukan berarti injil tidak lantang
dalam mengungkap ideologi tandingan sebagai formula normatif bagi kaum lemah.
Dalam kaitan inilah, kita akan menelusuri Matius sebagai salinan tersembunyi.
Matius
sebagai Salinan Tersembunyi
Kendati
Matius tidak menyebut alamat tujuan injil ini ditulis, mengikuti pandangan
Warren Carter, kita memiliki cukup alasan bahwa injil ini ditulis bagi
komunitas-komunitas Kristen di Antiokhia.[8] Antiokhia
menduduki posisi prestisius di sekitar abad pertama sebagai kota terbesar
setelah Roma dan Aleksandria di Mesir. Kota ini juga merupakan ibu kota
provinsi Siria. Roma menetapkan seorang gubernur dan tiga atau empat legiun
pasukan di kota ini. Kaum burjuis yang makmur dan berkuasa di kota ini hidup
dalam persekutuan dengan pihak Roma; hidup mereka ditopang oleh pajak dan upeti
dari daerah-daerah di sekitarnya.
Antiokhia bukan saja kota kaya, tetapi juga kota penting. Menjelang tahun 70 M,
jenderal Vespasianus memimpin pasukannya melewati kota ini, menuju ke selatan
untuk memadamkan pemberontakan di Yudea (Yosefus, War 3.8, 29).
Koin Judea Capta bergambar kaum Yudea yang ditaklukkan beredar di
Anthiokia setelah pembumi-hangusan Yerusalem (ingat, penguasa menggunakan
“salinan publik” sebagai propaganda). Sekitar tahun 66-70, kaum Yahudi sendiri
saling berselisih. Seorang Yahudi bernama Antiokhus menuduh kelompok Yahudi
lain menyusun rencana membakar kota Antiokhia. Didukung oleh bala tentara Roma,
ia juga memaksa beberapa orang Yahudi untuk bersamanya mempersembahkan kurban
(bagi kota atau dewa Roma?). Ia menghapuskan peraturan Sabat, dan
memeja-hijaukan orang-orang Yahudi yang menolak patuh.
Dalam kondisi anti-Yahudi seperti ini, para pengikut Yesus sebagai kaum
tersisih[9]yang
kebanyakan adalah Yahudi (sejumlah non-Yahudi juga bergabung di dalamnya) tetap
menyatakan komitmen mereka kepada narapidana yang tersalib atas perintah prefek
Roma. Yesus—karena penyaliban adalah bentuk eksekusi Romawi bagi para
pemberontak, penjahat politik atau budak yang melarikan diri—dipandang sebagai
seorang penjahat yang melawan kuasa imperium Roma.
Pada konteks tersebut, tulisan Matius hadir sebagai “salinan tersembunyi.”
Selain melukiskan garis besar formula normatif bagi kehidupan
komunitas-komunitas Kristen di Antiokhia, injil ini juga mengetengahkan negasi
ideologi Romawi yang digagas oleh kaum lemah. Di dalamnya tergambar cara
pandang terhadap dunia yang berlawanan dengan tataan Romawi, tetapi juga
menggagas bagaimana komunitas-komunitas tersebut dapat melindungi dirinya dari
bahaya laten yang dimunculkan melalui tindakan-tindakan represif penguasa.
Dengan mencermati Matius sebagai salinan tersembunyi, injil ini merupakan cara
kaum lemah untuk menawar ketidakadilan kaum kuat. Tulisan ini menjadi senjata
di tangan kaum tertindas untuk melawan dominasi penguasa sementara tetap berada
di bawah kuasa kaum kuat.[10]
Obrolan
Kaum Lemah tentang Keadilan—Gaya Matius
Konteks
Dalam
tempo cukup singkat setelah wafat dan kebangkitan Yesus, daya tarik sang
pengkhotbah, pengajar, dan penyembuh (Mat. 4:23-24; 9:35) dari Nazaret ini kian
meluas. Jika sebelumnya berita Yesus banyak menarik kaum miskin dan pinggiran,
beberapa dekade sesudahnya, juga menarik kelas atas. Dari pedusunan dan kultur
rural di tanah Palestina, sekarang merambahi kultur urban Yunani-Romawi; dari
masyarakat berbahasa Aramaik menuju berbahasa Yunani, dari konteks yang
cenderung homogen yang relatif miskin, dari status bawah telah menyusup ke kelompok
heterogen yang meliputi golongan berpendidikan dan cukup mapan secara
finansial.[11] Tinggal
di kota metropolitan Antiokhia, dapat kita simpulkan, pembaca Injil Matius
adalah kaum urban. Kendati urban, komunitas ini tetap marjinal di dalam
masyarakat.
Kejeniusan imperium Roma dalam mengontrol massa taklukkannya ialah melalui
“penguasa-penguasa boneka” (client-rulers) yang terdiri dari para pemimipin rohani
(imam besar dan keluarga-keluarga imam sebagai kaum aristokrat). Sudah barang
tentu, para pemimpin ini mendominasi massa lewat penafsiran yang mutlak atas
Hukum Taurat. Dengan jatuhnya Yerusalem pada tahun 70-an, hukum kekudusan yang
dianut kaum Farisi semakin dominan. Seseorang dikatakan kudus jika ia
dinyatakan tanpa cacat (pure). Keadaan tanpa cacat sama artinya dengan tahir.
Menjadi tahir berarti terbebas dari mereka “yang tidak tahir,” yang cacat, dan
dengan demikian tidak kudus.[12] Sarjana
studi Yesus, Marcus Borg, menulis, “Purity was political because it
structured society into a purity system. . . . The ethos of purity produces a
politics of purity—that is, a society structured around a purity system.”[13]
Potret
Yesus
Bagaimana Matius memotret Yesus di tengah konteks masyarakat yang seperti ini?
Injil ini menampilkan Yesus sebagai seorang yang adil, yang menghidupi
kerahiman dan bela rasa yang berasaskan keadilan. Ketika mendesak untuk
dibaptis oleh Yohanes, Yesus berkata, “Biarlah hal itu terjadi, karena
demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah” (3:15).
Pada masa lampau, terkungkung oleh dogmatika klasik, saya memahami “seluruh
kehendak Allah” sebagai “segala tuntutan keadilan-kekudusan Allah”—Allah
terimajinasi sebagai pribadi yang penuh amarah melihat manusia berdosa, dan
menuntutkan keadilan-kekudusan-Nya atas orang berdosa. Seturut perkembangan
ilmu tafsir yang berkembang, maka istilah all righteousness (lih.
NRSV) lebih tepat dipahami sebagai “seluruh keadilan.” Dengan begitu,
pembaptisan Yesus mengukuhkan tugas Yesus sebagai Mesias untuk mewujudkan
seluruh keadilan.
Apa visi Yesus dalam mewujudkan seluruh keadilan? Michael Crosby menyimpulkan
selisiknya, “Jesus . . . envisioned a new kind of household under the paternity
(not the patriarchy) or reign of God hat would serve an alternative to the
prevailing model.”[14] Yesus
bercita-cita untuk mewujudkan sebuah keluarga baru, sebuah masyarakat
alternatif dalam kuasa pemerintahan Allah sebagai Bapa, sebuah tataan yang
benar dalam kuasa kendali Allah. Bagaimana Yesus meretas misi untuk mewujudkan
visi tersebut? Yesus menolak pola-pola relasi sosial a la imperialis
(relasi patron-klien) yang dilegitimasi dengan sanksi religius oleh garda-garda
Taurat, yaitu para pemimpin rohani. Yesus memberi tahu para muridnya jika
keadilan mereka “tidak lebih benar daripada [keadilan] ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam kerajaan Surga”
(5:20).
Dengan demikian, Yesus dalam Injil Matius digambarkan sebagai sosok yang
merekonstruksi kode tradisional sebagai pendukung relasi sosial imperialistik,
yang mengucilkan orang berdasarkan ketahiran dan ketidakcacatan, dengan pola
relasi baru yang didasarkan atas keadilan, kemurahan dan bela rasa.
Pilar-pilar
Visi Keadilan Yesus[15]
1.
Melampaui Batas Teritorial
Sejak
dini, Matius telah membedah sekat-sekat pemisah. Perihal yang semula dipandang
sebagai wilayah asing, bahkan musuh, dipeluk oleh Yesus. Kita dapat mengambil
beberapa contoh. Cermati silsilah Yesus dalam 1:1-17. Meski masih ditulis dalam
struktur patriakhal, Matius melakukan pemelintiran. Ia memasukkan empat nama
perempuan yang aneh kisah hidup mereka (Rahab, Rut, istri Uria dan Maria).
Demikian juga kisah kaum majusi (2:1-12). Kemudian, dalam pelayanan Yesus, kita
temukan lingkaran yang lebih luas, “Maka orang banyak berbondong-bondong
mengikuti Dia. Mereka datang dari Galilea dan dari Dekapolis, dari Yerusalem
dan dari Yudea dan dari seberang Yordan” (4:25). Ingat juga kisah perempuan
Kanaan yang percaya (15:21-28). Yesus dalam Injil Matius mendefinisi ulang kode
kekudusan yang dicirikan oleh pengucilan, dan menyingkirkan batas-batas
teritorial.
2.
Melampaui Batas Bait Suci
Keikutsertaan
dan tempat rakyat di Bait Suci bergantung pada strata sosial mereka. Pada waktu
Matius ditulis, Bait Suci telah roboh dan digantikan sinagoga, dalam pada itu
sistem klasifikasi baru dibutuhkan untuk menentukan siapa yang termasuk dalam
“Keanggotaan Israel.” Yesus dalam Matius menghadapi para pemimpin agama, “Di
sini ada yang melebihi Bait Allah” (12:6). Kemurahan hati ditempatkan di atas
peraturan agama, Sabat dan ritual-ritual. Tergambar dengan jelas pula ketika
Yesus memasuki Yerusalem, ia tengah memasuki pusat pemerintahan Roma yang ditahbiskan
dengan legitimasi kursi keagamaan sebagai pemimpin rohani, politik dan ekonomi.
Yesus “mengusir” dan “membalikkan” praktik-praktik serta kuasa-kuasa yang
merendahkan integritas Bait Suci, dengan tujuan mempersembahkannya ulang dengan
kekudusan yang otentik. Teolog feminis Letty M. Russell menulis, “Like
Jesus in the temple, those who are ‘house revolutionaries’ do not wish to
destroy the house of authority. Quite contrary, they wish to build up again a
new house in which the authority of God’s love and care for outsiders is
clearly seen.”[16] Ketika
pemerintahan Allah yang dicirikan kemurahan itu hadir, keadilan akan memenuhi
keluarga baru yang dicita-citakan Yesus—yang “di luar” dipeluk dan diterima
sebagai anggota “di dalam”!
3.Menafsir
Ulang Taurat
Tujuan
Taurat adalah terciptanya jalinan yang adil bagi semua manusia. Keruntuhan Bait
Suci menyebabkan golongan Sanhedrin musnah, dan untuk menjaga identitas ini,
maka sejumlah Farisi menahbiskan persidangan di kota Jamnia dengan penekanan
baru dan makin ketat atas hukum Taurat. Yesus datang bukan saja untuk mematuhi
dan memenuhi Taurat (5:17-19), tetapi ia menggemakan berita para nabi—melalui
keadilan yang berpelukan dengan kemurahan sebagai wujud bertakhtanya kekudusan
pemerintahan Allah. Khotbah di Bukit (pasal 5-7) merupakan sentral visi berita
pendefinisian ulang Taurat. Anggota keluarga baru ini harus berdamai dengan
lawan-lawan. Mereka harus meneguhkan kesetiaan hidup dalam pernikahan. Mereka
tidak mengambil sumpah. Mereka diundang untuk berpantang kekerasan. Mereka
harus berdoa untuk musuh-musuh dan para penganiaya. Dengan jalan ini, mereka
adalah anak-anak Bapa yang di surga.
4.
Undangan Meja Egaliter
Bagi
kaum Yahudi anggota konsili Jamnia, perjamuan meja merupakan bentuk mini dari
komunitas ideal yang dicita-citakan, yang mencerminkan tataan sosial atau
struktur keadilan bagi bangsa Israel. Sedangkan di injil Matius, Yesus—walau
menerima ide dasar dari visi perjamuan meja di atas—melangkah lebih jauh.
Perjamuan meja bagi Yesus berpusat pada martabat kemanusiaan dan tata hidup
yang dilambari kemurahan. Sebab itu, Yesus bersedia duduk semeja dengan
“pemungut cukai dan orang berdosa” (9:10). Yesus melawan tataan sosial. Ia
membalikkan jamuan yang mengindikasikan prestise sosial dan membuka meja bagi
semua. Berbagi santapan di satu meja menyimbolkan kesetaraan dengan mereka;
maka dengan mengundang kaum marjinal ke meja perjamuan, telah membuat mereka
setara.[17] Jika
kaum Farisi dan ahli Taurat sebagai “orang dalam” membatasi siapa yang boleh
datang ke meja, Yesus menantang mereka bahwa mereka pun pada akhirnya akan
dicampakkan dalam perjamuan Kerajaan Allah (8:11-12).
5.
Menjamah Kaum Tebuang[18]
Tubuh
yang sehat atau sakit dapat membuat seseorang diterima atau ditolak dalam
interaksi sosial yang lebih besar pada zaman Yesus. Seorang imam berkuasa untuk
mendefinisikan seseorang sehat atau sakit—dan karena itu, tahir atau tidak
tahir. Penyembuhan Yesus yang pertama dalam Matius adalah kepada seorang kusta
(8:1-4). Kusta merupakan penyakit yang paling ditakuti pada masa itu. Dengan
menempatkan penyembuhan seorang kusta sebagai mukjizat pertama Yesus, Matius
bermaksud memotret Yesus, sebagai pribadi yang dengan jamahan tangannya yang
penuh kasih, meruntuhkan batas-batas kasta masyarakat dan menjadikan kaum yang
paling terasing di mata massa menjadi pulih dan dapat diterima kembali. Di mata
Matius, di dalam tindakan penyembuhan dan pemulihan yang dilakukan Yesus
termaktub kekudusan serta pemerintahan Allah, dan dengan jalan ini era mesianik
yang ditandai oleh kemurahan telah hadir.
Kembali
ke Salinan Tersembunyi
Jika
kita cermati, gaya tulis Matius tentang kiprah Yesus tak jarang mengadopsi gaya
bahasa imperial. Sebagai contoh, lihatlah poin (1) tentang batas teritorial.
Roma menyombongkan diri sebagai kuasa global yang menguasai dunia pada era itu,
kekuasaan global. Yesus memberitakan Kerajaan Allah yang juga tidak mengenal
batas teritorial, pemerintahan Allah yang mendunia juga. Kemudian bahasa
keadilan. Bagi kekaisaran Romawi, keadilan dan perdamaian hanya didapatkan
melalui kekuasaan Roma, yang dijalankan dengan: agama (pagan Roma), peperangan,
kemenangan dan damai sejahtera.[19] Tindakan
kemurahan Romawi lewat pendistribusian sejumlah harta kepada golongan rendahan,
dilambari oleh “cinta akan kehormatan” (philotimia) dan “cinta akan pangkat” (philodoxia).
Kemurahan seperti ini hanya membuat golongan lemah bergantung kepada si kuat.[20] Apa
maksud Matius?
Pertama,
Matius mengalamatkan tulisannya kepada kaum lemah dan bukan kepada pihak kuat
yang menindas. Penulisan injil ini merupakan cara untuk bertukar pikiran “di
balik pentas” (offstage) di kalangan kaum lemah untuk mengangkat derajat dan
perasaan independen di tengah-tengah tekanan kekuasaan. Sebagai pihak marjinal,
mereka tidak mempunyai senjata dan pasukan yang kuat untuk memberontak. Namun
martabat kemanusiaan mereka dapatkan kembali lewat berita Allah yang memerintah
dan Yesus yang menjadi wujud konkret keadilan pemerintahan Allah.
Kedua,
tulisan Matius merupakan ideologi tandingan. Mewaspadai bahwa gaya hidup
imperial merupakan sistem kehidupan bunuh diri, maka injil ini menawarkan
alternatif ideologi yang berbeda. Ada cara pandang yang lain mengenai
kehidupan. Meskipun berada di bawah tataan imperial, namun demikian
pemerintahan Allah sedang bekerja, memanggil para pengikut Yesus untuk memiliki
cara pandang dunia alternatif, serta meretas langkah-langkah baru demi
terciptanya relasi sosial-ekonomi yang mengejawantahkan politik pemerintahan
Allah.
Ketiga,
tulisan Matius merupakan agenda bagi terciptanya komunitas alternatif. Kendati
masih berada di bawah tekanan Roma, kaum lemah yang menjadi pengikut-pengikut
Kristus dilarang untuk mengangkat senjata dan melakukan kekerasan. Mereka harus
“tunduk” dan mengakomodir bahasa imperial, sementara itu mereka diajak untuk
mengupayakan terwujudnya praktik-praktik sosial alternatif hingga imperium
Allah menunggangbalikkan imperium Roma—sebuah komunitas yang dijiwai oleh
kasih, keadilan, kemurahan dan kekudusan.
KESIMPULAN
Akhir-akhir
ini, makin disadari bahwa Yesus dari Nazaret bukan saja Mesias dan Juruselamat
dunia, bukan sekadar guru hikmat serta pengajar pengetahuan agama yang andal,
tetapi juga sosok yang berperan aktif dalam politik dan sosial di eranya. Dalam
makalah ini, saya mengajak pembaca untuk memandang potret Yesus dari Injil
Matius, dan lebih jauh daripada itu, mencermati tulisan Matius ini sebagai alat
perjuangan kaum lemah dalam melawan kekuasaan.
Berdasarkan
teori “salinan tersembunyi” dari pakar ilmu politik James C. Scott, maka
disimpulkan bahwa injil ini merupakan cara penulis bertukar pikir di balik
pentas dengan sesama kaum tertindas, suatu obrolan kaum marjinal mengenai apa
yang mereka pikirkan tentang para penguasa, untuk memaknai kembali kekuasaan dan
menegasi ideologi imperium Roma yang dipropagandakan lewat “salinan publik”
dalam kontrol dan sensor penguasa. Matius mengetengahkan sebuah alternatif
pandangan, suatu tata pemerintahan yang adil yang dipimpin oleh Allah dan
mewujud konkret dalam pribadi dan karya Yesus dari Nazaret. Injil Matius
merupakan senjata kaum lemah dalam menawar ketidakadilan kaum kuat.
Implikasinya,
sungguh ampuhlah daya literatur dalam mempengaruhi massa. Literatur dapat
menjungkirbalikkan realitas, dan menawarkan realitas yang baru. Benarlah kata
ahli PL Walter Brueggemann, poets are subversive. Nabi-nabi di PL
merupakan sastrawan/sastrawati yang menggunakan media literatur (oral maupun
literal) untuk melawan kekuasaan di zaman mereka. Sebagai para pengikut Yesus,
kiranya kita tidak makin gagap dengan media komunikasi massa modern. Nyanyian
globalisasi dan pasar bebas yang dilantunkan dengan nada dasar neoliberal
kapitalis sudah pasti mendominasi media massa sebagai alat propaganda. Biarlah
itu menjadi “salinan publik” mereka. Kita harus mempunyai senjata untuk melawan
dominasi ini. Kita perlu memikirkan dengan serius “salinan tersembunyi” milik
kita. Yang terlebih penting, “salinan tersembunyi” itu harus dapat
mengumandangkan berita yang lain: kemurahan dan kerahiman Allah, demi
terwujudnya keadilan dan kesetaraan bagi setiap umat manusia, menerima dan
memeluk kaum terbuang, dan menyongsong merekahnya fajar pemerintahan Allah—di
sini, di atas muka bumi! Terpujilah Allah!
Pdm.
Nindyo Sasongko, adalah alumnus Seminari Alkitab Asia Tenggara dengan
gelar S.Th. (2003) dan melayani sebagai pembina Komisi Remaja di Gereja Kristen
Muria Indonesia Kudus (2005 – sekarang). Sedang menjalani pelayanan satu tahun
di Mari Birhan Meserete Kristos Church, Addis Ababa, Ethiopia dalam program Young
Anabaptist-Mennonite Exchange Network (YAMEN!), yaitu program yang dijalankan
bersama oleh Mennonite World Conference (MWC) dan Mennonite Central Committee
(MCC) hingga Juli 2010. Menaruh minat dalam studi biblika, historika,
liturgika, spiritualitas. Facebook: Nindyo Sasongko; email:
nindyosasongko@gmail.com / minister_verbum_dei@yahoo.com; Skype:
nindyo.sasongko
[1]James
C. Scott, Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts (New
Haven: Yale University Press, 1990); perlu pula disimak karya Scott
lainnya, Weapon of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance (New
Haven: Yale University Press, 1985). Scott bukan pakar Alkitab. Namun, riset
yang dikerjakannya dengan intensif di kalangan buruh tani Malaysia pada tahun
1950 s.d. 1960-an membuahkan pemikiran yang penting untuk menjadi rekan dialog
bagi kesarjanaan Alkitab, khususnya penyelidikan Yesus Sejarah, sebab Yesus
juga hidup dalam masyarakat agraris, dan kaum tani gurem merupakan latar
kehidupannya.
[2]“It
is designed to be impressive, to affirm and naturalize the power of dominant
elites, and to cancel or euphemize the dirty linen of their rule” (Scott, Domination 18).
[3]“The
practices of domination and exploitation typically generate the insults and
slights to human dignity that in turn forster a hidden transcript of
indignation” (ibid. 9).
[4]“[S]ubject
to the same terms of subordination, have a shared interest in jointly creating
a discourse of dignity, of negation, and of justice” (ibid. 114).
[5]Sesuai
KBBI, “ideologi” di sini masuk dalam ranah ideologi politik dengan definisi
“sistem kepercayaan yg menerangkan dan membenarkan suatu tataan politik yg ada
atau yg dicita-citakan dan memberikan strategi berupa prosedur, rancangan,
instruksi, serta program untuk mencapainya.”
[6]“[R]esistance
to ideological domination requires a counter ideology—a negation—that will
effectively provide a general normative form to the host of resistant practices
invented in self-defense by any subordinate group” (ibid. 118).
[7]Sejumlah
sarjana PB menerapkan teori Scott dalam Hidden Transcipt and the Arts of
Resistance: Applying the Work of James C. Scott to Jesus and Paul, ed. Richard
A. Horsley (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2004).
[8]Warren
Carter, “Matthew Negotiates the Roman Empire,” dalam In the Shadow of
Empire: Reclaiming the Bible as a History of Faithful Resistance, ed. Richard
A. Horsley (Louisville: Westminster John Knox, 2008) 117.
[9]Michael
H. Crosby menulis, “An analysis of the text and its language suggest that
Matthew’s audience of house hurches was a socially marginalized community of
Greek-speaking people living in the late first century” (“Matthew’s Gospel: The
Disciple’s Call to Justice,” dalam The New Testament—Introducing the Way
of Discipleship, ed. W. Howard-Brook dan S. H. Ringe [Maryknoll: Orbis, 2006]
16).
[10]Uraian
Carter yang lebih lengkap dapat disimak di Warren Carter, Matthew and
Empire: Initial Explorations (Harrisburg: Trinity Press International,
2001).
[11]Crosby,
“Matthew’s Gospel” 18.
[12]Ibid.
22.
[13]Marcus
J. Borg, Meeting Jesus Again for the First Time: The Historical Jesus and
the Heart of Contemporary FaithJesus A New Vision: Spirit, Culture, and the
Life of Discipleship (San Francisco: HarperCollins, 1991) 86-87. (San
Francisco: HarperSanFrancisco, 1994) 50; idem,
[14]“Matthew’s
Gospel” 19. Uraian lebih lengkap dari tesis Crosby lihat M. H. Crosby, House
of Disciples: Church, Economics and Justice in Matthew (Maryknoll: Orbis, 1988).
[15]Saya
berutang ide kepada Crosby yang melukis dalam lima poin “T”: the
Territory, the Temple, the Torah, the Table, and the Touch (“Matthew’s
Gospel” 26-35).
[16]Letty
M. Russell, Household of Freedom: Authority in Feminist Theology (Philadelphia:
Westminster, 1987) 63, dikutip oleh Crosby, “Matthew’s Gospel” 30.
[17]Menurut
Borg, “Given that sharing a meal in first century Palestine signified his
acceptance of [‘sinners’—that is, outcasts], Jesus’ behavior signified his
acceptance of them. It must have been an extraordinary experience for an
outcast to be invited to share a meal with a man who was rumoured to be a
prophet” (Borg, Jesus 101).
[18]Borg
menulis, “The outcasts were virtually untouchables, very different from the
lowest caste of Hindu system, though the status of outcasts was not hereditary
in Judaism” (Jesus 92).
[19]Lihat
J. D. Crossan, “Roman Imperial Theology,” dalam In the Shadow of Empire 59-73.
[20]Carter,
“Matthew Negotiates the Roman Empire” 134.
Komentar
Posting Komentar