Memandang Wajah Pendidikan di Indonesia


Memandang Wajah Pendidikan di Indonesia 
oleh Tony Antonio

Bagaimanakah rupa dan wajah pendidikan di Indonesia?. Pertanyaan ini diajukan oleh seorang orangtua murid kepada seorang guru. "Bingung" jawab sang guru.
"Kok Bapak bingung? Jika bapak sebagai pendidik saja bingung apalagi kami-kami ini", sahut orang tua murid tersebut. Dengan menghela nafas, sang guru berkata "Sejujurnya saya bingung karena kondisi pendidikan memang membingungkan, jika kita tidak bingung justru aneh".
Kebingungan tentang wajah, arah dan strategi pendidikan bagi kebanyakan orang di akar rumput memang sangat masuk akal. Pemberitaan tentang carut marut Ujian Nasional, simpang siur Sertifikasi Guru dan Dosen, dan silang pendapat tentang anggaran pendidikan hanyalah sekedar contoh bagaimana "serunya" kebingungan tersebut.
Berita berita yang sejuk bukannya tidak ada. Berhasilnya siswa-siswa Indonesia meraih medali emas Olimpiade Fisika, suksesnya mahasiswa PENS-ITS dalam kontes robot internasional, dan kemenangan orang Indonesia dalam kompetisi internasional software Microsoft di antara 200.000 kontestan memang membuat kita dapat membusungkan dada. Namun rupanya berita ini tidak cukup meredakan kebingungan akan pendidikan di Indonesia. Inti permasalahan pendidikan di Indonesia ternyata jauh lebih dalam dari sekedar medali dan juara.
Mendiskusikan pendidikan di Indonesia tidak lepas dari melihat berbagai wajah pendidikan. Wajah nasionalisme, wajah politik, wajah komersial, wajah formalisasi agama, wajah statistik, wajah para guru, dan wajah pemerataan. Walau tidak mungkin meneropong seluruh wajah pendidikan di Indoensia namun usaha untuk menengok beberapa wajah pendidikan merupakan suatu langkah kecil untuk mengurangi kegelisahan akan kebingungan memahami pendidikan di tanah air tercinta ini.

Wajah Nasionalisme
Tepat pada hari pendidikan nasional, 2 Mei 2009, Darmaningtyas, seorang tokoh pendidikan nasional dari Taman Siswa menuliskan kegelisahannya sebagai berikut:
Sistem pendidikan nasional telah kehilangan roh nasionalnya akibat kebijakannya yang bertumpu pada basis material dan formalisasi agama. Kuatnya basis material itu dipicu dorongan dari luar, sedangkan kuatnya formalisasi agama merupakan dorongan dari dalam pascareformasi politik 1998. (Kompas, 2 Mei 2009)
Hilangnya roh nasional dalam sistem pendidikan di Indonesia ditengarai karena dua hal:
Pertama, karena orientasi pendidikan yang cenderung padat modal. Perkembangan sistem pembelajaran yang menuntut biaya tinggi membentuk wajah pendidikan menjadi wajah korporasi, misalnya kecenderungan sekolah menjadi sekolah yang berbasis internasional, sertifikasi ISO, dll. Lebih jauh Darmaningtyas menilai bahwa "standardisasi proses pendidikan akan menumpulkan kreativitas guru, inovasi, serta menghilangkan model-model pendekatan nonmanajerial (humanis, budaya, nilai, dan lainnya) karena semua harus berjalan sesuai dengan standar baku yang sudah ditentukan asesor." Akibatnya akses untuk orang yang tak mampu berkurang banyak. Formula beasiswa bagi mereka yang pandai tapi tak mampu, rupanya tidak cukup mewadahi. Fungsi pendidikan sebagai proses integrasi bangsa terabaikan.
Kedua, kuatnya keinginan sebagian kelompok untuk membentuk sistem pendidikan yang lebih agamis. Faktor internal ini mendorong pelaksanaan pendidikan yang didasarkan pada pandangan agama, misalnya pengaturan tempat duduk, cara berpakaian, dll. Perkembangan sekolah seperti ini mendorong orangtua untuk mengirim anaknya ke sekolah yang sesuai dengan agamanya. Kebijakan pendidikan akhirnya berakibat terbentuknya segregasi masyarakat berdasarkan kelas ekonomi dan agama. Tentu saja hal ini tidak menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Darmaningtyas menyimpulkan bahwa pendidikan harus dikembalikan sebagai proses kebudayaan, bukan korporasi yang diukur dengan sertifikasi ISO. Juga kembalikan sekolah negeri menjadi milik publik agar dapat diakses semua warga (apa pun agama dan kemampuan ekonominya)

Wajah Statistik
Wajah pendidikan juga dapat dilihat dari beberapa angka statistik. Sebagai contoh pertama adalah persentase anak usia sekolah yang tidak bersekolah:
Sekitar 5,0 persen anak usia SD, 45 persen usia SMP, dan 60 persen usia SMA tidak bersekolah. Total angka ini mencapai puluhan juta anak.
(Kompas, 2 Mei 2009, Ki Supriyoko, sekretaris komisi Nasional pendidikan)
Statistik berikutnya berasal dari Dinas Pendidikan, Kebudayaan dan Pariwisata provinsi Papua Barat pada tahun 2007. Hampir 80 % siswa SD dan SMP di daerah itu terancam putus sekolah. Nominal angkanya adalah 97.000 siswa SD dan 27.000 siswa SMP. Penyebabnya karena anak anak terebut dibutuhkan oleh orangtuanya untuk berkebun dan berburu sehingga mereka tidak diijinkan untuk sekolah.
Statistik ketiga merupakan jajak pendapat harian Kompas tentang alasan calon mahasiswa Indonesia yang belajar keluar negri. Antara lain:
41 % karena kualitas spendidikan lebih baik
16,3 % karena gengsi keluarga
16 % karena lebih mudah mendapat kerja
26,6 % karena alasan lain-lain
Dari 3 data tersebut minimal ada beberapa hal yang dapat kita pelajari. Jumlah anak yang tidak dapat bersekolah dapat mencapai puluhan juta. Hal ini sangat mengejutkan. Nampaknya pemerintah tidak akan sanggup menampung jika tidak dibantu oleh swadaya masyarakat. Peran yayasan-yayasan pendidikan masih diharapkan. Data kedua tentang kemungkinan jumlah siswa yang berpotensi drop out menyiratkan bahwa kesadaran pentingnya pendidikan belum secara merata ditangkap oleh penduduk Indonesia. Selain itu ada masalah laten kemampuan keuangan para orang tua. Statistik ketiga mengundang keprihatinan yang besar akan kualitas pendidikan di Indonesia. Setidaknya itulah persepsi para orangtua yang mengirin anaknya sekolah di luar negri. Hal lain adalah kekuatiran akan terjadinya brain drain dari putra putra terbaik ibu pertiwi. Selain ketiga data tersebut, masih banyak angka angka yang akan membuat kita merenung. Wajah pendidikan di Indonesia memang sarat dengan angka angka yang membuat miris.

Wajah Alkitab
Bagaimana Alkitab melihat pendidikan? Perhatian terhadap pendidikan di dalam Alkitab ternyata mempunyai sejarah yang panjang. Setidaknya diawali oleh Musa. Walaupun Musa tidak membuat kurikulum pendidikan tertulis terhadap Yosua, namun jelas terlihat bahwa metode "nyentrik" yang diterapkan Musa memberikan hasil yang baik.

Pribadi pendidik lain adalah Nabi Ezra. Pendidikan dan kurikulum yang diterapkan nabi Ezra untuk orang Yahudi mempelihatkan betapa ketatnya sistem pendidikan Yahudi tersebut. Kitab Mazmur dianggap sebagai materi kurikulum utama bagi orang Yahudi. Konon orang Yahudi beranggapan sekalipun ke-38 kitab hilang dan hanya tersisa Mazmur saja, mereka masih mampu mendidik anak anaknya menjadi orang beriman. Selain itu telaah yang teliti pada Amsal pasal 1 sampai pasal 9 akan menjelaskan banyak hal tentang prinsip belajar mengajar (lihat Daniel J. Estes " Hear, My Son , Teaching and Learning in Proverb 1-9, IVP 2003).

Perjanjian Baru pun sarat dengan pengajaran dan pendidikan, baik oleh Paulus terlebih oleh Tuhan Yesus. Konteks dan bentuk pendidikan dalam Alkitab memang berbeda dengan yang kita alami saat ini namun tidak dapat dipungkiri bahwa Alkitab sangat serius membahas pengajaran dan pendidikan.

Konsep pendidikan dalam Alkitab telah menginspirasi gereja maupun kelompok bahkan perorangan untuk mendirikan sekolah Kristen. Pendidikan dan sekolah memang tidak dapat dipisahkan dari misi gereja. Konsultasi Nasional Pendidikan yang dilakukan Perkantas bulan Mei 2009 mencatat beberapa hal tentang sekolah sekolah Kristen saat ini. Beberapa sekolah Kristen terutama yang berada di Yoyya mengalami penurunan drastis, baik dari jumlah sekolah yang ditutup maupun jumlah siswa yang mendaftar. Jumlah sekolah yang mengalami kesulitan dana lebih besar daripada sekolah yang mampu mendiri. Hampir seluruh sekolah mengalami tantangan yang sama dalam hal SDM (guru dan kepala sekolah), persaingan (baik dengan sesama sekolah Kristen maupun dengan sekolah negeri), kualitas (menjaga dan meningkatkan kualitas). Secara garis besar sekolah-sekolah Kristen tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3, pertama sekolah sekolah yang berkembang baik setidaknya masih survive. Kelompok kedua sekolah yang berada pada border line(ambang batas untuk bertahan hidup) dan kelompok ketiga sekolah yang butuh pertolongan. Ternyata jumlah sekolah yang masuk kategori ketiga lebih banyak dari jumlah sekolah pada kategori 1 dan 2.

Wajah yang Merenung
Ketiga wajah di atas memang tidak lengkap untuk menelaah pendidikan di Indonesia, terlebih bila kita tidak melihat wajah guru dalam pendidikan, wajah guru yang penuh kegetiran. Namun ketiga wajah cukup untuk kita merenung sejenak. Akan ke manakah pendidikan kita. Akan dibawa ke manakah anak anak kita. Di tengah pendidikan padat modal dan sarat nuansa agamis, di tengah angka-angka yang luar biasa, di tengah tengah kesulitan sekolah sekolah Kristen, apakah yang dapat kita perbuat?
Pemikir-pemikir Kristen seyogyanyalah terpanggil untuk memikirkan perubahan perubahan besar yang dapat dilakukan dalam pendidikan. Pengurus-pengurus yayasan pendidikan Kristen terpanggil untuk terus memperhatikan pelayanan pendidikannya. Para pendidik Kristen terpanggil untuk terus mengembangkan dirinya agar lebih dipakai oleh Tuhan dan oleh masyarakat. Selain skenario-skenario besar dalam pendidikan, setiap dari kita terpanggil untuk melaksanakan pendidikan sesuai dengan kapasitas yang kita miliki. Tidak semua orang harus menjadi guru atau dosen, tetapi setiap orang dapat mengambil bagian. Baik dia karyawan, pegawai negeri maupun hamba Tuhan. Sesuai dengan kapasitasnya dalam keluarga, sesuai dengan talenta yang telah Tuhan berikan dan sesuai dengan kapasitasnya dalam pelayanan yang dipercayakan kepada dia. Charles Malik berkata tugas dari setiap orang Kristen yang terdidik ada dua, menyelamatkan jiwa dan menyelamatkan pikiran (to save the soul and to save the mind -the two tasks of Christian Scholar). Akhir kata marilah kita ambil bagian dalam pelayanan pendidikan karena "melayani mahasiswa dapat menjangkau sebuah generasi, melayani dalam bidang pendidikan dapat menjangkau beberapa generasi."Amin


Komentar