Manusia
Liar
oleh
Sendjaya
Manusia
di dunia dapat dibagi menjadi dua golongan: Manusia yang memiliki visi dan
manusia liar. Silakan baca terus kalau tidak percaya.
Suatu kali si Alice tersesat dalam petualangannya di Wonderland. Dan dalam kebingungannya, ia bertanya dengan lugu kepada si kucing:
"Would you tell me, please, which way I ought to go from here?"
"That depends a good deal on where you want to get to," said the Cat.
"I don't much care where. . ." said Alice.
"Then it doesn't matter which way you go," said the Cat.
". . .so long as I get somewhere," Alice added as an explanation.
"Oh, you're sure to do that," said the Cat, "if you only walk long enough."
Hari ini dunia kita mirip seperti Wonderland. We live in a wonderful, wonderful world! Banyak hal di dunia ini yang indah. Setiap lorong kehidupan menawarkan sesuatu yang indah yang menarik perhatian, energi, waktu, dan bahkan, orientasi hidup kita. Ada banyak jalan yang kita bisa tempuh, dan jika kita tidak berhati-hati, kita akan sama dengan si Alice: Bingung dan tersesat.
Yang celaka, kalau kita yang mengaku diri sebagai pemimpin pun tidak memiliki arah yang jelas. Sepintas terlihat maju dan progresif, namun sebenarnya hanya berputar-putar seperti orang Israel dipadang gurun. Dan yang lebih celaka, kalau orang yang dipimpinnya tidak sadar bahwa mereka sedang berputar-putar.
Menurut Pengamsal, orang yang tidak memiliki arah yang jelas dalam hidupnya masuk dalam kategori orang hidup liar (Ams 29:18). Hidup kita diombang-ambingkan oleh berbagai hal yang tidak menentu. Oleh rutinitas hidup ("Ya, beginilah setiap hari…mau bilang apa lagi"). Atau oleh ekspektasi sosial ("Lulus kuliah, mesti kerja, lalu menikah, dst…"). Mungkin juga oleh trend yang paling kini ("saya menekuni bidang IT karena itu sedang banyak dibutuhkan"). Atau bahkan oleh ambisi pribadi ("saya mesti jadi pengusaha bisnis sukses; sebagai professional, saya akan pensiun di usia muda dan menikmati hidup; saya harus jadi pendeta dengan jemaat 5 ribu orang; dst...).
O, tentu tidak sedikit orang yang dengan spontan mengatakan, "tujuan hidupku adalah memuliakan Tuhan" Ini pernyataan yang cliché dan retorik. Kedengarannya sangat rohani. Padahal seringkali itu hanya lip service, semacam kosmetik untuk menutupi-nutupi ketidakpahaman kita tentang arah hidup kita sendiri. Singkatnya, untuk menutupi fakta bahwa kita adalah orang yang liar! (paling tidak, itu menurut pendapat Pengamsal)
Apakah anda orang yang hidup liar?
Bahwa kita hidup untuk memuliakan Allah. Itu sudah ditulis Alkitab dengan gamblang. Dalam frase IT, kita sudah 'by default' mesti begitu. Pertanyaannya lalu adalah: Bagaimana konkritnya memuliakan Allah bagi individu masing-masing? Dalam bidang apa? Melalui profesi apa? Ini pertanyaan yang jawabannya membutuhkan waktu, tenaga, keseriusan, konfiksi, dan doa.
We are saved not only FROM sin, kata Chuck Colson. We are saved TO something. Dan something itu adalah Allah. Yaitu Allah yang memanggil dan menetapkan kita untuk melakukan sebuah pekerjaan baik, demikian tulis Efesus 2:10. Jadi visi hidup kita perlu jelas, konkrit dan praktis.
George Barna dalam bukunya Leaders on Leadership memberi definisi yang baik tentang visi, yaitu: "A clear mental portrait of a preferable future communicated by God to His chosen servant-leaders, based upon an accurate understanding of God, self, and circumstances."
Dari definisi diatas, visi adalah sebuah fusi dari 3 hal yang saling interdependen, yaitu:
1. Allah (kehendak dan passion yang Allah tanamkan)
2. Diri kita (talenta, kapasitas dan resources yg Allah berikan)
3. Lingkungan (kebutuhan jaman yang Allah tunjukkan)
Ketiganya perlu menjadi materi pergumulan kita menemukan visi.
Kalau hanya 1 dan 2, kita akan membabi buta (tidak dibutuhkan)
Kalau hanya 1 dan 3, kita akan frustrasi (tidak mampu)
Kalau hanya 2 dan 3, kita akan jenuh (tidak bersemangat)
Visi bagi umat Allah bersifat eksklusif. Eksklusif bukan dalam artian lebih 'wah'dan superior. Tapi itu eksklusif karena itu melibatkan Allah didalamnya. Visi bagi umat Allah identik dengan panggilan hidup, dengan vokasi hidup.
Panggilan hidup itu kita miliki karena ada Allah yang memanggil. "To speak of a calling invites the question "By whom?", tulis analis budaya dan apologet Kristen Os Guinness. Jadi tanpa ada 'caller', tidak mungkin ada 'calling'. Jadi pertanyaannya bagi Anda dan saya, sebagai bagian dari umat Allah, bukanlah "Where do I want to go?", tetapi "Where does He want to take me?"
Guinness mendefinisikan 'calling' sebagai berikut dalam bukunya yang berjudul The Calling sbg berikut: "God calls us so decisively in Christ that everything we are, everything we have, and everything we do is invested with a direction and a dynamism
because it is done in response to His summons and His call."
Jadi calling itu tidak melulu berarti menjadi ordained minister atau pendeta. Jika Allah memanggil saya sebagai musikus atau akuntan atau IT scientist, itu juga dalam rangka memenuhi calling saya. Dan itu sama rohaninya dengan menjadi pendeta.
Kedua, calling jangan direduksi menjadi profesi. Calling lebih besar dari profesi. Profesi adalah cara untuk memenuhi panggilan tersebut. Dan setiap orang memiliki jalan yang berbeda-beda.
Yang berbahagia adalah yang menemukan jalan tersebut. Yang berbahagia adalah yang mendengar dan merespon panggilan Tuhan, sehingga memiliki visi hidup yang jelas. Dengan itu, bukan saja hidup menjadi efektif, namun stamina dan motivasi tetapi tinggi.
Yaitu stamina untuk memenuhi panggilan tersebut, berlari dengan gigih mencapai garis finish. Rasul Paulus di akhir hidupnya mengatakan, "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik."
Yang 'baik' disini bukan cara dia bertanding, namun pertandingan itu sendiri yang baik. Percuma bertanding dengan sangat baik jika kita memasuki pertandingan yang salah. Percuma berlari kencang jika kita salah arah.
Jika kita sudah menemukan jalan yang tepat, maka kita beroleh alasan mengapa kita hidup, dan mati. No person ever really lives until he has found something worth dying for, kata Charles Allen.
Anda termasuk kategori yang mana: Orang bervisi atau orang liar? Memang hari ini kita hidup di Wonderland, namun tentu kita tidak harus memiliki pengalaman yang sama seperti si Alice.
Sendjaya
Melbourne, 06 November 2002
Suatu kali si Alice tersesat dalam petualangannya di Wonderland. Dan dalam kebingungannya, ia bertanya dengan lugu kepada si kucing:
"Would you tell me, please, which way I ought to go from here?"
"That depends a good deal on where you want to get to," said the Cat.
"I don't much care where. . ." said Alice.
"Then it doesn't matter which way you go," said the Cat.
". . .so long as I get somewhere," Alice added as an explanation.
"Oh, you're sure to do that," said the Cat, "if you only walk long enough."
Hari ini dunia kita mirip seperti Wonderland. We live in a wonderful, wonderful world! Banyak hal di dunia ini yang indah. Setiap lorong kehidupan menawarkan sesuatu yang indah yang menarik perhatian, energi, waktu, dan bahkan, orientasi hidup kita. Ada banyak jalan yang kita bisa tempuh, dan jika kita tidak berhati-hati, kita akan sama dengan si Alice: Bingung dan tersesat.
Yang celaka, kalau kita yang mengaku diri sebagai pemimpin pun tidak memiliki arah yang jelas. Sepintas terlihat maju dan progresif, namun sebenarnya hanya berputar-putar seperti orang Israel dipadang gurun. Dan yang lebih celaka, kalau orang yang dipimpinnya tidak sadar bahwa mereka sedang berputar-putar.
Menurut Pengamsal, orang yang tidak memiliki arah yang jelas dalam hidupnya masuk dalam kategori orang hidup liar (Ams 29:18). Hidup kita diombang-ambingkan oleh berbagai hal yang tidak menentu. Oleh rutinitas hidup ("Ya, beginilah setiap hari…mau bilang apa lagi"). Atau oleh ekspektasi sosial ("Lulus kuliah, mesti kerja, lalu menikah, dst…"). Mungkin juga oleh trend yang paling kini ("saya menekuni bidang IT karena itu sedang banyak dibutuhkan"). Atau bahkan oleh ambisi pribadi ("saya mesti jadi pengusaha bisnis sukses; sebagai professional, saya akan pensiun di usia muda dan menikmati hidup; saya harus jadi pendeta dengan jemaat 5 ribu orang; dst...).
O, tentu tidak sedikit orang yang dengan spontan mengatakan, "tujuan hidupku adalah memuliakan Tuhan" Ini pernyataan yang cliché dan retorik. Kedengarannya sangat rohani. Padahal seringkali itu hanya lip service, semacam kosmetik untuk menutupi-nutupi ketidakpahaman kita tentang arah hidup kita sendiri. Singkatnya, untuk menutupi fakta bahwa kita adalah orang yang liar! (paling tidak, itu menurut pendapat Pengamsal)
Apakah anda orang yang hidup liar?
Bahwa kita hidup untuk memuliakan Allah. Itu sudah ditulis Alkitab dengan gamblang. Dalam frase IT, kita sudah 'by default' mesti begitu. Pertanyaannya lalu adalah: Bagaimana konkritnya memuliakan Allah bagi individu masing-masing? Dalam bidang apa? Melalui profesi apa? Ini pertanyaan yang jawabannya membutuhkan waktu, tenaga, keseriusan, konfiksi, dan doa.
We are saved not only FROM sin, kata Chuck Colson. We are saved TO something. Dan something itu adalah Allah. Yaitu Allah yang memanggil dan menetapkan kita untuk melakukan sebuah pekerjaan baik, demikian tulis Efesus 2:10. Jadi visi hidup kita perlu jelas, konkrit dan praktis.
George Barna dalam bukunya Leaders on Leadership memberi definisi yang baik tentang visi, yaitu: "A clear mental portrait of a preferable future communicated by God to His chosen servant-leaders, based upon an accurate understanding of God, self, and circumstances."
Dari definisi diatas, visi adalah sebuah fusi dari 3 hal yang saling interdependen, yaitu:
1. Allah (kehendak dan passion yang Allah tanamkan)
2. Diri kita (talenta, kapasitas dan resources yg Allah berikan)
3. Lingkungan (kebutuhan jaman yang Allah tunjukkan)
Ketiganya perlu menjadi materi pergumulan kita menemukan visi.
Kalau hanya 1 dan 2, kita akan membabi buta (tidak dibutuhkan)
Kalau hanya 1 dan 3, kita akan frustrasi (tidak mampu)
Kalau hanya 2 dan 3, kita akan jenuh (tidak bersemangat)
Visi bagi umat Allah bersifat eksklusif. Eksklusif bukan dalam artian lebih 'wah'dan superior. Tapi itu eksklusif karena itu melibatkan Allah didalamnya. Visi bagi umat Allah identik dengan panggilan hidup, dengan vokasi hidup.
Panggilan hidup itu kita miliki karena ada Allah yang memanggil. "To speak of a calling invites the question "By whom?", tulis analis budaya dan apologet Kristen Os Guinness. Jadi tanpa ada 'caller', tidak mungkin ada 'calling'. Jadi pertanyaannya bagi Anda dan saya, sebagai bagian dari umat Allah, bukanlah "Where do I want to go?", tetapi "Where does He want to take me?"
Guinness mendefinisikan 'calling' sebagai berikut dalam bukunya yang berjudul The Calling sbg berikut: "God calls us so decisively in Christ that everything we are, everything we have, and everything we do is invested with a direction and a dynamism
because it is done in response to His summons and His call."
Jadi calling itu tidak melulu berarti menjadi ordained minister atau pendeta. Jika Allah memanggil saya sebagai musikus atau akuntan atau IT scientist, itu juga dalam rangka memenuhi calling saya. Dan itu sama rohaninya dengan menjadi pendeta.
Kedua, calling jangan direduksi menjadi profesi. Calling lebih besar dari profesi. Profesi adalah cara untuk memenuhi panggilan tersebut. Dan setiap orang memiliki jalan yang berbeda-beda.
Yang berbahagia adalah yang menemukan jalan tersebut. Yang berbahagia adalah yang mendengar dan merespon panggilan Tuhan, sehingga memiliki visi hidup yang jelas. Dengan itu, bukan saja hidup menjadi efektif, namun stamina dan motivasi tetapi tinggi.
Yaitu stamina untuk memenuhi panggilan tersebut, berlari dengan gigih mencapai garis finish. Rasul Paulus di akhir hidupnya mengatakan, "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik."
Yang 'baik' disini bukan cara dia bertanding, namun pertandingan itu sendiri yang baik. Percuma bertanding dengan sangat baik jika kita memasuki pertandingan yang salah. Percuma berlari kencang jika kita salah arah.
Jika kita sudah menemukan jalan yang tepat, maka kita beroleh alasan mengapa kita hidup, dan mati. No person ever really lives until he has found something worth dying for, kata Charles Allen.
Anda termasuk kategori yang mana: Orang bervisi atau orang liar? Memang hari ini kita hidup di Wonderland, namun tentu kita tidak harus memiliki pengalaman yang sama seperti si Alice.
Sendjaya
Melbourne, 06 November 2002
Komentar
Posting Komentar