Krisis
Pendidikan: Peluang Pendidikan Kristen Bermisi bagi Transformasi Bangsa
oleh
Ferawati
Pendahuluan
Krisis
adalah kata yang tidak asing bagi kita, khususnya di zaman sekarang ini. Bahkan
banyak orang mengatakan bahwa zaman ini adalah zaman krisis, di mana semuanya
serba sulit. Krisis ekonomi yang melanda negara kita sejak tahun 1998, ditambah
dengan krisis ekonomi global yang baru saja terjadi, mau tidak mau berdampak
pada semua bidang kehidupan. Naiknya harga barang dan jasa secara drastis
ditambah dengan banyaknya PHK akibat dari goncangnya investasi dan sektor
industri di negara kita mengakibatkan daya beli masyarakat atas barang dan jasa
pun merosot tajam, yang berdampak pada merosotnya tingkat kesejahteraan
masyarakat. Krisis ini menghantam semua golongan dan semua sektor perekonomian,
dan tidak bisa dihindari, krisis ini pun berimbas pada masalah pendidikan di
Indonesia.
Berbicara
tentang pendidikan di Indonesia, kita perlu memikirkan apakah krisis pendidikan
di negara kita sebenarnya terjadi karena krisis ekonomi yang terjadi belakangan
ini atau sudah berlangsung sebelumnya? Apakah masalah anak putus sekolah atau
tidak bisa menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi karena biaya baru bertambah
setelah munculnya krisis ekonomi? Demikian juga masalah keterbatasan
fasilitas pendidikan, kualitas dan kesejahteraan guru atau tenaga pendidik dan
masalah-masalah lain? Apakah masalah rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia
baru menjadi sorotan belakangan ini ? Dengan kata lain adakah masa di mana
kondisi pendidikan di Indonesia bisa dikatakan memuaskan atau minimal bisa
dikatakan cukup baik ? Jika kita mau jujur, sesungguhnya masalah-masalah di
atas bukan barang baru di negara kita. Kasus-kasus di atas dan masalah lain
seputar pendidikan kebanyakan sudah menjadi sorotan sejak lama. Ini menunjukkan
bahwa krisis pendidikan yang terjadi di negara kita bukan disebabkan karena
kondisi ekonomi yang goncang tetapi merupakan pergumulan panjang bangsa ini
yang membutuhkan perhatian yang serius.
Menyadari
hal ini, bagaimanakah respon kita sebagai orang-orang percaya-yang menjadi
bagian dari bangsa ini-terhadap krisis pendidikan yang terjadi? Sebagai bagian
dari komunitas bangsa Indonesia, tentu kita tidak bisa menutup mata dan
bersikap cuek dengan kondisi ini. Setidaknya ada dua alasan kuat yang mendasari
mengapa gereja-dalam hal ini bukan hanya sebagai institusi tetapi juga
komunitas-harus berespon dan terlibat dalam menghadapi krisis pendidikan yang
ada di Indonesia. Pertama, Tuhan memanggil gereja untuk mengerjakan mandat
Injil dan budaya di mana dia berada. Dengan kata lain, keterlibatan gereja
dalam mengatasi krisis pendidikan di negara ini menjadi salah satu bentuk
ketaatan gereja dalam mengerjakan misi yang Tuhan percayakan di tengah
komunitas bangsa Indonesia. Kedua, komunitas Kristen adalah bagian dari
komunitas bangsa. Apa yang dialami oleh bangsa ini mau tidak mau pasti juga
akan berimbas pada komunitas kekristenan yang ada. Secara sederhana, tentu kita
sadar bahwa krisis pendidikan bukan hanya dialami oleh orang-orang non-Kristen,
tetapi juga dialami oleh orang-orang Kristen. Faktanya, bukan orang-orang
non-Kristen saja yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan pendidikan,
melainkan juga orang-orang Kristen. Tidak sedikit orang-orang Kristen di
Indonesia yang karena faktor ekonomi tidak bisa mengenyam pendidikan dengan
layak. Dengan kata lain, terlibat dalam misi pendidikan, dalam hal ini
pendidikan secara holistik, seharusnya juga dilihat sebagai salah satu bentuk
pelayanan gereja yang penting kepada anggota jemaat.
Atas
dasar pertimbangan ini, gereja seharusnya melihat bahwa krisis pendidikan yang
terjadi di Indonesia sebagai kesempatan bagi gereja untuk secara aktif
mengerjakan misi pendidikan di tengah bangsa ini. Kesadaran ini memang mau
tidak mau membawa kita pada tantangan yang sangat besar yang harus dihadapi
oleh kekristenan. Sebagai kelompok minoritas di tengah bangsa yang begitu
majemuk dan pada saat yang sama berada di tengah komunitas bangsa yang
didominasi oleh kelompok mayoritas tertentu, kita ditantang untuk berani dan
mampu mengerjakan misi ini dengan identitas dan misi yang jelas sebagai
komunitas Kristen, tetapi pada saat yang sama harus mampu memberikan pengaruh
dan kontribusi bagi masyarakat luas.
Memahami
Krisis Pendidikan di Indonesia
Untuk
dapat berperan dan memberikan kontribusi yang efektif dalam mengatasi krisis
pendidikan, kita perlu mengerti dengan jelas kondisi krisis yang terjadi. Ada
dua hal penting yang dapat kita cermati berkaitan dengan krisis pendidikan di
negara kita yaitu krisis dalam hal materi dan krisis dalam hal kualitas. Krisis
materi berkaitan dengan sejauh mana pendidikan tersedia dan dapat dinikmati
oleh masyarakat luas. Ini juga terkait dengan apakah pendidikan yang ada mampu
mengakomodisi kelompok tertentu yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus dalam
pendidikan. Misalnya anak-anak atau orang-orang yang memiliki disabilities atau
ketidakmampuan tertentu dalam belajar. Intinya, ini berkaitan dengan seberapa
besar masyarakat memiliki peluang untuk mengenyam dan menikmati pendidikan.
Dalam hal ini krisis ditandai dengan fenomena pendidikan yang menjadi sulit
dijangkau oleh masyarakat luas baik karena masalah biaya, terbatasnya fasilitas
pendidikan, kebutuhan khusus mereka dalam hal pendidikan yang tidak dapat
diakomodasi atau faktor-faktor lain yang menjadi menghambat masyarakat luas
untuk memperoleh pendidikan. Semua masalah ini berpotensi memperkecil atau
menutup kesempatan pendidikan bagi masyarakat. Melihat kondisi bangsa kita
saat ini, jelas dalam pengertian ini pendidikan kita mengalami krisis. Biaya
pendidikan yang makin melambung tinggi memperkecil peluang masyarakat untuk
dapat mengenyam bangku pendidikan baik tingkat dasar maupun ke jenjang
pendidikan tinggi. Kompas, Rabu 11 Maret 2009 mencatat sekitar 1,2 juta siswa
di Jawa Barat putus sekolah karena masalah biaya dan terbatasnya sarana
pendidikan.i Sementara itu di NTT tercatat
ada sekitar 40 ribu siswa tidak bisa melanjutkan sekolah karena masalah biaya.ii Berdasarkan data statistik
Depdiknas tahun 2006-2007 selisih antara jumlah siswa lulusan SMA/SMK negeri
dan swasta dan mahasiswa baru di PT negeri dan swasta sekitar 56,9 %. Dengan
kata lain hanya 43,1 % saja lulusan SMA dan SMK yang melanjutkan ke PT.iii Walaupun ada beberapa faktor
yang memungkinkan hal ini terjadi, bagaimanapun data yang ada menunjukkan bahwa
jumlah lulusan SMA dan sederajat yang mengenyam pendidikan tinggi masih cukup
kecil. Dengan kondisi yang ada, tidak berlebihan jika faktor terbesar yang
mungkin menyebabkan hal ini adalah masalah biaya pendidikan tinggi yang sulit
dijangkau. Selain masalah tingginya biaya, fasilitas pendidikan yang kurang memadai
juga menjadi masalah yang banyak terjadi di negara kita, mulai dari bangunan
sekolah yang sudah tidak layak pakai sampai kurangnya fasilitas buku dan
alat-alat pendukung kegiatan belajar mengajar.
Krisis
kedua dalam dunia pendidikan berkaitan dengan kualitas. Ini terkait sejauh mana
pendidikan di negara kita berhasil mengerjakan fungsinya dalam mendidik
generasi muda dan menghasilkan lulusan-lulusan yang mampu memberikan kontribusi
positif dalam masyarakat. Tentu saja ini sangat berhubungan dengan beberapa hal
seperti kualitas tenaga pengajar/pengelola pendidikan, kurikulum dan pendekatan
metodologi yang dipakai baik dalam proses belajar mengajar maupun proses dan
bentuk evaluasi yang dilakukan. Sejauh ini kita melihat upaya yang dilakukan
oleh pemerintah terkait dengan faktor-faktor di atas. Beberapa kebijakan telah
dibuat oleh pemerintah untuk peningkatan kualitas tenaga pengajar. Tetapi
lagi-lagi masalah ekonomi dan kesejahteraan guru masih menjadi masalah. Dalam
beberapa tahun terakhir kita juga melihat pemerintah membuat berbagai kebijakan
berkaitan dengan kurikulum dan metode belajar mengajar yang dipakai di sekolah.
Perubahan yang dilakukan tampaknya tidak memberikan kontribusi signifikan bagi
peningkatan kualitas pendidikan, tetapi menimbulkan kebingungan di antara guru
berkaitan dengan implementasinya. Dalam hal evaluasi hasil pendidikan,
pemerintah menetapkan standar nilai ujian akhir nasional untuk menilai
keberhasilan proses belajar mengajar di sekolah. Sampai saat ini banyak pihak
yang masih mempertanyakan kevalidannya sebagai tolok ukur kualitas pendidikan.
Ini terbukti seperti yang dicatat Kompas bahwa PTN pada akhirnya membatalkan
rencana untuk menggunakan nilai ujian nasional sebagai syarat pendaftaran
mahasiswa baru karena meragukan kualitas pengawasaan ujian.iv Kekuatiran ini cukup beralasan
karena tekanan untuk meluluskan siswa terbukti telah memicu berbagai kecurangan
dalam pengawasan ujian di beberapa sekolah. Tekanan untuk memenuhi target nilai
ujian nasional juga menyebabkan siswa belajar dan dididik untuk mampu
mengerjakan soal ujian nasional, tidak dilatih untuk berpikir kritis, kreatif
dan berwawasan luas. Pola evaluasi yang menekankan nilai akademik menyebabkan
proses belajar mengajar tidak mempersiapkan siswa atau mahasiswa untuk
bertumbuh menjadi pribadi yang utuh, yang mampu menjadi problem
solver di tengah masyarakat sesuai dengan kapasitas dan karunianya. Karena
itu tidak heran jika kualitas pendidikan di Indonesia secara umum masih
dianggap rendah.v
Melihat
Akar Masalah
Pada
dasarnya, kebanyakan orang setuju bahwa pendidikan adalah hal yang sangat
penting. Firman Tuhan mengajarkan kepada kita betapa pentingnya pendidikan itu.
Kitab Amsal berisi banyak nasihat, perintah dan dorongan agar manusia mencintai
hikmat dan didikan. Amsal 16 : 16 mencatat, “Memperoleh hikmat sungguh jauh
melebihi memperoleh emas, dan mendapat pengertian jauh lebih berharga dari pada
mendapat perak”. Maka dengan jelas kita melihat, Tuhan mengajarkan kepada kita
bahwa pendidikan adalah sesuatu yang sangat bernilai sehingga patut mendapatkan
perhatian yang serius. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan karena
hidup sesungguhnya adalah proses belajar. N. P. Wolterstorff dalam essainya
menuliskan bahwa proses belajar tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia
karena dalam kehidupan ini manusia pasti selalu diperhadapkan dengan perubahan
yang terjadi dan dengan demikian manusia berada dalam tekanan untuk mampu
bertahan dan mencapai kepenuhan hidup di tengah perubahan tersebut.vi Pendidikan sangat terkait
dengan peningkatan kualitas hidup seseorang, baik secara lahiriah maupun
batiniah. Dan karena manusia sebagai makhluk sosial menjadi bagian dari
komunitas, maka keberadaannya pasti akan berpengaruh bagi komunitas itu. Lebih
jauh N.P Walterstoof juga mengatakan,“We all realize that those who control
education have a decisive influence on the youth of our society and that those
who decisively influence the youth of our society thereby shape our society’s
future”.vii
Dengan
kata lain, pendidikan memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan dan
membentuk peradaban hidup suatu masyarakat.viii Dengan demikian maka tidak
mengherankan jika Alkitab mengajarkan kepada kita betapa pentingnya pendidikan
itu, jauh melebihi emas dan perak, jauh lebih besar nilainya dari kekayaan
materi.
Mencermati
krisis pendidikan yang terjadi di Indonesia, kita menemukan sebuah ironi. Jika
kita mengamati lebih dalam, kita mendapati yang terjadi bukannya penghayatan
atas pendidikan sebagai sesuatu yang berharga melebihi emas dan perak, tetapi
justru kecenderungan orang melihat dan menggunakan pendidikan sebagai alat
untuk mencari dan mengumpulkan emas dan perak alias kepuasan materi. Tidak
heran jika banyak institusi pendidikan yang makin komersial dan menjadikannya
sebagai sarana bisnis. Masyarakat luas pun tidak ketinggalan. Perhatian atau
kepedulian yang ditunjukkan terhadap pendidikan bukan lahir dari pemahaman yang
benar tentang esensi pendidikan itu sendiri tetapi lebih banyak dikaitkan
dengan kesejahteraan ekonomi dan kepuasan materi. Banyak orang rela membayar
mahal untuk masuk sekolah yang dianggap favorit karena mereka percaya bahwa itu
akan menentukan nasib mereka dalam meniti karir. Akibatnya, mereka pun masuk
dalam permainan bisnis pendidikan yang ada. Bukan hanya pemahaman pribadi,
negara pun lebih sering mengkaitkan upaya peningkatan kualitas pendidikan
dengan tujuan supaya negara kita bisa mengejar ketinggalan dan meniru negara
maju, yang mana penilaian maju itu lagi-lagi berkaitan dengan masalah ekonomi
dan teknologi, penekanannya selalu diukur secara materi. Dengan kata lain di
sini kita melihat pengaruh materialisme yang sangat kuat dalam dunia
pendidikan.
Pendidikan
harus dihayati bukan sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan secara materi.
Konsep materialisme dalam dunia pendidikan di Indonesia telah sangat kuat
mempengaruhi sistem pendidikan yang dikerjakan sehingga pendidikan menyimpang
dari fungsi yang sesungguhnya. Konsep materialisme mempengaruhi cara pandang
kita terhadap anak didik, proses belajar mengajar, apa yang seharusnya dipelajari
dan bagaimana mengukur keberhasilan proses belajar mengajar. Contoh yang paling
jelas adalah terjadinya komersialisasi pendidikan di tengah bangsa kita. Salah
satu bentuknya adalah banyaknya perguruan tinggi negeri yang berbondong-bondong
membuka jalur-jalur khusus bagi mahasiswa dengan biaya yang lebih tinggi.
Mereka yang tidak dapat masuk melalui jalur tes masih bisa masuk dengan
membayar biaya yang lebih tinggi. Beberapa jurusan di perguruan tinggi negeri
bahkan mematok nilai uang pangkal yang sangat tinggi sehingga bagi mereka yang
bukan termasuk orang kaya sangat tidak mungkin untuk masuk di jurusan itu
dengan kemampuan mereka sendiri. Institusi pendidikan dengan mudah menggunakan
alasan peningkatan kualitas untuk menaikkan biaya. Tetapi apakah kenaikan biaya
pendidikan yang dikenakan memberikan pengaruh signifikan bagi peningkatan
kualitasnya ? Sayangnya tidak ada evaluasi yang jelas atau hasil penelitian
yang pasti untuk itu.ix Maraknya lembaga bimbingan
belajar yang menawarkan jaminan keberhasilan lulus ujian nasional dan masuk
perguruan tinggi menimbulkan tekanan tersendiri bagi siswa untuk ikut bimbingan
belajar di luar sekolah walaupun harus membayar biaya yang cukup tinggi. Lantas
bagaimana dengan siswa yang keluarganya kurang mampu ? Kondisi semacam ini
tentu sangat menjatuhkan mental bagi mereka yang lemah secara ekonomi. Yang
terjadi saat ini adalah bukannya berupaya untuk memperbesar akses bagi masyarakat
luas untuk dapat mengenyam pendidikan, institusi pendidikan yang ada justru
membuat penghalang-penghalang bagi masyarakat luas untuk dapat belajar.
Pendidikan terasa seperti ajang kompetisi, siapa kuat dia yang menang, the
survival of the fittest.
Bukan
hanya dalam masalah biaya pendidikan, pola pikir materialisme juga tercermin
dari kecenderungan orang untuk memberikan lebih banyak perhatian pada siswa
yang berprestasi karena potensi alami mereka. Siswa-siswa yang berpotensi lebih
dan berprestasi lebih banyak mendapat fasilitas dan kesempatan supaya mereka
makin berkembang dan memberikan manfaat atau “hasil” yang lebih lagi.
Sebaliknya siswa-siswa yang mengalami kesulitan atau keterbatasan belajar
justru diabaikan. Padahal secara logis mereka inilah yang justru membutuhkan
perhatian lebih banyak dan ditolong untuk maju. Ini seperti pengalaman yang
ditulis di harian Kompas oleh Ahmad R. Darojat, salah seorang peraih medali
emas dalam olimpiade sains nasional 2007 bidang ekonomi.x Dengan kata lain, anak didik
dinilai berdasarkan sejauh mana dia mampu memberikan “manfaat” dan bukan karena
keberadaannya sebagai pribadi. Akibatnya, fungsi pendidikan yang tujuannya
untuk menolong siswa-siswa untuk bertumbuh dan mengembangkan dirinya menjadi
pribadi yang utuh diabaikan. Dengan kata lain, konsep materialisme
menjadikan sistem pendidikan yang ada dikerjakan demi kepentingan atau
tujuan-tujuan yang bersifat materialistis sehingga menyimpang jauh dari fungsi
dan tujuan yang seharusnya.
Dari
fenomena yang ada, jelas sekali perlunya perubahan pola pikir atau mindset dalam
pendidikan di Indonesia. Di sini kita melihat pentingnya filosofi pendidikan
yang kuat di mana pendidikan di Indonesia itu harus dibangun. Gereja atau
kekristenan mempunyai kesempatan untuk berperan dalam misi pendidikan di
Indonesia dengan menawarkan filosofi pendidikan dan sekaligus menjadi model
bagaimana menjalankan filosofi itu di tengah konteks bangsa kita. Pentingnya
filosofi pendidikan ini bukan hanya berkaitan dengan krisis pendidikan yang
ada, tetapi juga bagaimana menghadapi perubahan jaman dan tantangannya, yang
mau tidak mau pasti akan selalu terjadi. Dengan kata lain, filosofi pendidikan
ini akan memberikan jawaban bagaimana pendidikan tetap mengikuti perkembangan
jaman yang terjadi dan tantangannya tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar
yang memang harus dipertahankan.xi.
Apa
yang Dapat Ditawarkan Oleh Gereja Atau Kekristenan ?
Selama
perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kita mengenal beberapa tokoh yang dikenal
sangat peduli dengan pendidikan. Sebut saja salah satunya adalah Ki Hajar
Dewantara. Beliau sangat dikenal dari perjuangannya di bidang pendidikan dengan
membentuk sekolah Taman Siswa bagi rakyat Indonesia di tengah penjajahan
Belanda. Semboyan pendidikan beliau yang menggambarkan peranan guru bagi
siswa-siswanya sangat dikenal luas, Ing ngarso sung tuladha, Ing madya
mangun karso, Tut wuri handayani (guru berperan untuk memberi teladan,
membangun motivasi dan mendorong siswanya untuk maju). Kita juga mengenal R.A
Kartini yang peduli dengan pendidikan kaum wanita. Melalui perjuangan yang
tidak mudah beliau memulai pendidikan bagi kaum wanita ketika perempuan
dianggap sebagai kelompok kelas dua dan tidak mendapat hak untuk mengenyam
pendidikan seperti kaum pria. Kita juga mengenal tokoh-tokoh lain seperti Sutan
Syahrir dan juga Romo Mangunwijaya yang memperhatikan masalah pendidikan bagi
bangsa ini. Mereka adalah orang-orang yang pernah dipakai Tuhan (terlepas
apakah mereka orang percaya atau tidak) untuk mempengaruhi dunia pendidikan di
Indonesia melalui pemikiran dan perjuangan mereka.
Lantas
bagaimana dengan gereja atau pendidikan Kristen di Indonesia ? Pemikiran apakah
yang seharusnya ditawarkan dan dicontohkan oleh gereja kepada pendidikan di
Indonesia ? Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Paulus menuliskan , “Kami
mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh
keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala
pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus...” (2Kor. 10 : 5). Jika kita
mencermati beberapa ayat sebelumnya, jelas sekali pernyataan Paulus ini
berbicara tentang pola pikir atau mindset. 1 – 4 Paulus menasihati,
atau lebih tepat memohon dengan sangat, supaya jemaat Korintus tidak berpikir
menurut perspektif atau cara pandang dunia. Dengan demikian ayat ini
menunjukkan kepada kita peperangan dalam tataran ide atau pemikiran. Dalam ayat
5 ini dengan jelas Paulus menekankan bahwa segala pemikiran dan argumentasi
manusia harus tunduk di bawah otoritas Kristus. Dengan kata lain, gereja harus
menghayati bahwa konsekuensi logis dari pengakuan atas ketuhanan Kristus adalah
pola pikir yang tunduk pada kebenaran Kristus dan pada saat yang sama gereja
harus secara aktif mematahkan segala pemikiran yang lahir dari sikap yang
menolak atau menentang ketuhanan Kristus. Paulus mengatakan pemikiran semacam
itu sebagai “kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang
pengenalan akan Allah”.
Alkitab
mengajarkan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah dan karena itu semuanya
adalah milik Allah dan harus tunduk dalam otoritas Allah. Seluruh aspek
kehidupan harus dilihat dalam perspektif kerajaan Allah seperti yang dinyatakan
dalam Alkitab. Hal ini juga berlaku dengan pendidikan. Karena itu gereja atau
kekristenan di Indonesia memiliki peranan yang sangat penting, atau lebih tepat
dipanggil untuk membawa pendidikan Indonesia kepada pola pikir atau perspektif
kerajaan Allah. Dengan kata lain, pendidikan di Indonesia juga harus
tunduk kepada ketuhanan Kristus. Di tengah kuatnya pengaruh materialisme yang
berkembang saat ini, gereja dipanggil untuk berani menyatakan kebenaran bahwa
landasan atau fondasi hidup yang sejati adalah pengenalan yang benar akan Allah
bukan materi. Mengerjakan pendidikan dengan perspektif kerajaan Allah berarti
menyadari bahwa pendidikan harus dikerjakan untuk kepentingan dan tujuan Allah
bukan untuk kepentingan manusia. Ini berarti pendidikan harus dihayati sebagai
salah satu alat Tuhan untuk menggenapkan rencana-Nya menegakkan pemerintahan di
muka bumi ini. Tuhan harus menjadi fokus atau inti dalam pendidikan. Berdasarkan
perspektif ini, pendidikan harus dikerjakan berdasarkan kerangka kerja
atau framework yang dibangun dari pemahaman atas doktrin-doktrin
dasar sebagaimana yang diajarkan dalam Alkitab. Prinsip-prinsip ini harus
menyentuh seluruh aspek yang ada dalam pendidikan itu sendiri, mulai dari
sistem yang dijalankan, materi atau kurikulum yang diajarkan dan juga
pendekatan atau metodologi yang dipakai dalam proses belajar mengajar.
Mengerjakan
misi pendidikan di Indonesia dengan perspektif kerajaan Allah berarti
mengerjakan pendidikan dengan semangat stewardship atau pelayanan.
Inilah tantangan bagi pendidikan Kristen di Indonesia. Mengerjakan pendidikan
dengan semangat stewardship atau pelayanan berarti mengerjakan
pendidikan bukan untuk mencari keuntungan atau kesejahteraan materi, tetapi
sebaliknya mengerjakan pendidikan dengan tujuan untuk mewujudkan kehadiran
Allah di tengah komunitas. Pendidikan sebagai salah satu alat untuk
menghadirkan shalom atau damai sejahtera di tengah masyarakat, di
mana keadilan dan kebenaran ditegakkan. Lantas secara spesifik apakah artinya
pendidikan yang dilandasi dengan filosofi kerajaan Allah dan dikerjakan dengan
semangat stewardship atau pelayanan, khususnya di tengah krisis yang
sedang terjadi ?
Pertama,
pendidikan Kristen harus memperhatikan dan memperjuangkan rakyat kecil dan kaum
yang lemah agar mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan dengan baik.
Gereja dan komunitas Kristen di Indonesia harus peka dan peduli dengan
ketidakadilan yang terjadi, khususnya dalam hal pendidikan bagi rakyat kecil.
Charles Ringma dalam salah satu artikelnya menuliskan bahwa Alkitab sangat kuat
berbicara tentang perhatian dan belas kasihan Tuhan terhadap orang-orang yang
miskin, lemah dan tertindas. Memberikan keadilan dan mengangkat derajat mereka
yang miskin dan tertindas adalah pesan penting dalam teologi kerajaan Allah.xii Dengan kata lain, gereja dan
kekristenan di Indonesia tidak boleh menutup mata dengan realita kehidupan yang
tidak berpihak pada orang miskin, termasuk dalam hal pendidikan. Kita tidak
seharusnya bersikap apatis dan pasif dengan sistem pendidikan yang makin
menyulitkan mereka yang miskin dan lemah.
Jika
kita cermati sebenarnya kekristenan di Indonesia selama ini sudah mengerjakan
misi pendidikan, terbukti dengan adanya sekolah-sekolah dan kampus-kampus
Kristen yang berdiri di negara ini. Ini berarti kekristenan sendiri telah
terlibat untuk menyediakan, atau memberikan alternatif, wadah pendidikan di
negara ini. Tetapi pertanyaannya adalah sejauh mana institusi pendidikan Kristen
ini memberikan peluang yang cukup bagi mereka yang kurang mampu secara ekonomi
untuk dapat belajar di sana. Secara praktis, kita perlu mengevaluasi sejauh
mana pendidikan Kristen yang ada di Indonesia selama ini berpihak kepada
orang-orang miskin. Bagi institusi pendidikan Kristen di Indonesia, ini memang
menjadi masalah yang kompleks karena secara pendanaan mereka tidak dapat
bergantung pada pemerintah.xiii Karena itu mereka harus
menggalang dana secara mandiri untuk biaya operasional sekolah dan pasti salah
satunya adalah dana yang ditarik dari siswa atau mahasiswa. Itulah sebabnya
institusi pendidikan Kristen baik sekolah maupun perguruan tinggi harus memungut
biaya yang cukup tinggi dari siswa atau mahasiswanya. Akibatnya, lagi-lagi yang
dapat menikmati pendidikan adalah mereka yang mampu secara ekonomi. Di sisi
lain kita juga mendapati tidak sedikit institusi pendidikan Kristen, baik
sekolah maupun perguruan tinggi yang kondisinya memprihatinkan. Jangankan untuk
meningkatkan mutu atau kualitas, untuk dapat bertahan hidup di tengah kebutuhan
biaya operasional sehari-hari saja sudah sangat berat. Ironisnya, kebanyakan
justru sekolah Kristen yang demikian inilah yang menerima murid-murid dari
kalangan menengah ke bawah. Dengan kata lain, mereka harus berjuang dengan
keras dalam pendanaan untuk dapat bertahan hidup. Akibatnya, mereka tidak
memiliki peluang untuk melakukan peningkatan kualitas. Tidak sedikit sekolah
Kristen yang akhirnya harus tutup karena tidak mampu lagi menanggung biaya
operasional sekolah.
Fenomena
seperti ini seharusnya menjadi keprihatinan gereja dan komunitas Kristen yang
ada. Bagaimana seharusnya respon gereja atau komunitas Kristen dengan kondisi
ini, khususnya terhadap institusi pendidikan Kristen yang lemah ? Dalam banyak
kasus sekolah atau perguruan tinggi Kristen yang lemah ini benar-benar harus
berjuang sendiri dan karena alasan kualitas mereka diabaikan bahkan oleh
komunitas Kristen itu sendiri. Di tengah krisis yang ada, gereja atau komunitas
Kristen harus bersehati untuk memperhatikan dan peduli dengan institusi
pendidikan Kristen yang ada di Indonesia karena merekalah sarana yang efektif
untuk mengerjakan misi pendidikan di tengah bangsa ini. Insitusi pendidikan
Kristen yang lemah sangat membutuhkan dukungan atau back-up dari
gereja dan komunitas Kristen yang ada untuk bangkit dan mengerjakan pendidikan
dengan semangat pelayanan atau stewardship. Mereka adalah perpanjangan
tangan gereja untuk memberikan peluang pendidikan bagi mereka yang kurang
mampu. Di sisi lain, gereja dan institusi-institusi pendidikan Kristen yang
kuat harus terus mengevaluasi diri supaya tidak jatuh dalam arus materialisme
sehingga menjadi institusi pendidikan yang sifatnya komersial. Sebaliknya, kita
harus terus mengupayakan cara-cara yang mungkin untuk memberikan peluang
pendidikan bagi mereka yang kurang mampu dengan kondisi dan kapasitas yang ada.
Kedua,
pendidikan Kristen harus memusatkan perhatian pada pembentukan karakter dan
moral anak didik bagi transformasi sosial. Mendidik moral dan karakter siswa
atau mahasiswa sangat penting karena dengan cara ini pendidikan Kristen
berperan dalam membentuk nilai-nilai dalam masyarakat. N.P Wolterstorff dalam
tulisannya mengatakan bahwa ideologi, keyakinan, dan struktur sosial yang
berlaku dalam suatu komunitas memang dapat mempengaruhi sistem pendidikan yang
berlaku dalam komunitas itu. Tetapi hubungan ini tidak mutlak. xiv Dengan kata lain, pendidikan
mempunyai potensi untuk membangun nilai-nilainya sendiri dan tidak seharusnya
membiarkan dirinya dikuasai atau dikendalikan oleh nilai-nilai sosial yang
tidak membangun. Ini berarti pendidikan Kristen harus berani menanamkan
prinsip-prinsip kebenaran firman Tuhan dalam membentuk moral dan karakter anak
didiknya. Prinsip-prinsip ini harus terakomodasi dalam keseluruhan dinamika
kehidupan sekolah, baik dalam materi atau kurikulum yang diajarkan maupun pola
relasi dalam komunitas institusi pendidikan tersebut.
Seperti
disebutkan di atas, pendidikan yang dikuasai oleh semangat materialisme telah
menggeser fungsi dan tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan tidak
dihayati sebagai media untuk membangun kehidupan ke arah yang lebih baik tetapi
sebagai alat untuk memenuhi ambisi dan kepuasan pribadi. Di sinilah pendidikan
Kristen ditantang untuk menanamkan nilai dan prinsip hidup yang berbeda pada
anak didiknya. Bukannya ikut menyuburkan semangat individualisme dan kompetisi
yang lahir dari sikap self-centeredness, sebaliknya anak didik didorong
untuk melakukan yang terbaik dengan tujuan memberikan kontribusi atau pelayanan
bagi orang-orang di sekitarnya sesuai dengan karunia dan potensi yang
dimilikinya. Membangun nilai-nilai pelayanan dalam pendidikan berarti membangun
sikap saling menghargai keunikan tiap-tiap pribadi, dan melihat bahwa tiap
pribadi memiliki potensi dan karunia yang penting untuk dikembangkan dengan
optimal. Anak didik tidak boleh dilihat berdasarkan azas “manfaat” melainkan
sebagai pribadi yang utuh. Demikian juga sekolah Kristen tidak seharusnya
menyuburkan paham favoritisme, di mana perhatian yang berlebihan terhadap
siswa-siswa yang secara alami lebih berpotensi tidak boleh terjadi di sekolah
tersebut. Sebaliknya, perhatian yang lebih harus diberikan kepada siswa-siswa
yang mengalami kesulitan dan kelemahan dalam belajar. Lebih jauh pendidikan
yang dilakukan dengan perspektif kerajaan Allah dan semangat pelayanan bukan
hanya mentransfer pengetahuan dan pemahaman, tetapi benar-benar menyediakan pendidikan
yang bermakna bagi anak didiknya. Pendidikan Kristen harus menolong anak
didiknya untuk dapat melihat kaitan dari apa yang mereka pelajari di sekolah
dengan ketuhanan Kristus dan kepentingan kerajaan Allah di muka bumi ini serta
relevansinya dengan realitas hidup mereka. Ini berarti pendidikan Kristen
menolong anak didik untuk peduli dengan lingkungannya dan memahami seluruh
hidupnya sebagai persembahan untuk kepentingan kerajaan Allah di muka bumi ini,
sehingga dalam diri mereka akan terbangun jiwa misi yang holistik.
Dalam
mengerjakan misinya, pendidikan Kristen di Indonesia tidak boleh mengabaikan
perannya untuk menumbuhkan kesadaran nasionalisme dalam diri anak-anak
didiknya. Walaupun kekristenan di Indonesia tergolong kelompok minoritas, kita
harus menolong anak-anak didik untuk menyadari dirinya sebagai bagian dari
komunitas bangsa ini-bukan sekedar numpang atau kos, sehingga mereka memiliki
kebanggaan sebagai warga negara Indonesia dan mereka menyadari bahwa mereka
punya tanggung jawab yang harus mereka lakukan sehubungan dengan peran
tersebut. Ini sangat terkait dengan membangun kesadaran misi yang holistik
dalam diri mereka karena di tengah bangsa inilah mereka akan mengerjakan misi
itu. Jika mereka tidak memiliki kesadaran untuk memiliki bangsa ini maka
kesadaran misi akan menjadi kurang relevan atau tidak menyentuh realitas hidup
yang dekat dengan mereka. Anak didik kita harus disadarkan bahwa Kristus adalah
Tuhan atas bangsa ini. Terlepas dari fakta bahwa kekristenan tergolong kelompok
minoritas di tengah pluralitas agama yang ada dan adanya praktik-praktik
ketidakadilan yang dilakukan terhadap kekristenan di negara ini, mereka
dipanggil untuk menyaksikan transformasi hidup di dalam Kristus di tengah
bangsa Indonesia. Mereka harus menyadari bahwa Kristus ingin kerajaan-Nya
ditegakkan di tengah bangsa ini dan itu dapat terwujud ketika mereka mengasihi
bangsa ini dan mengerjakan panggilan mereka. Dengan demikian, pendidikan
Kristen harus menolong anak didik untuk mengenal dan memahami sejarah, akar
budaya, nilai-nilai dan idealisme yang dianut oleh bangsa ini, sekaligus
memfasilitasi anak didik untuk dapat melihat realitas kondisi bangsa dan
selanjutnya mengarahkan mereka untuk menilai itu semua dalam perspektif
kerajaan Allah.xv Sebagai institusi pendidikan
berbasis agama, sekolah atau perguruan tinggi Kristen seharusnya tidak
mengabaikan tanggung jawabnya untuk mendorong anak didiknya peduli dengan pergumulan
bangsa dan terlibat aktif di dalamnya. Dengan demikian pendidikan Kristen yang
ada tidak bersifat “eksklusif”, tetapi sungguh-sungguh dapat menghasilkan
orang-orang yang dipakai Tuhan untuk memberkati bangsa ini.
Kesimpulan
Krisis
pendidikan di Indonesia sesungguhnya adalah pergumulan panjang yang harus terus
diperhatikan secara serius. Walaupun krisis ekonomi sangat berdampak pada
kondisi pendidikan di tanah air, krisis pendidikan yang terjadi sesungguhnya
bukan karena krisis ekonomi itu sendiri, tetapi lebih disebabkan karena paham
materialisme yang sangat kuat di tengah masyarakat yang juga mempengaruhi dunia
pendidikan. Karena pengaruh materialisme, pendidikan bukan lagi dihayati
sebagaimana mestinya tetapi justru berubah menjadi ajang bisnis dan sarana
untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini mengakibatkan banyak orang tergoda untuk
menjadikan pendidikan sebagai ajang bisnis dan ini berakibat makin sulitnya
pendidikan untuk dijangkau oleh masyarakat luas karena biaya yang makin tinggi.
Paham materialisme sendiri mempengaruhi bagaimana orang memandang fungsi dan
tujuan pendidikan, yang mau tidak mau mempengaruhi seluruh aspek bagaimana
pendidikan itu dilakukan, mulai dari sistemnya, kurikulumnya dan bagaimana
memandang anak didik.Di tengah krisis yang ada, peran gereja dan pendidikan
Kristen menjadi semakin penting. Walaupun tantangan yang dihadapi sangat berat,
gereja atau kekristenan di Indonesia tidak boleh menutup mata dengan kondisi
yang ada apalagi membiarkan dirinya masuk dalam arus materialisme yang ada.
Sebaliknya, kondisi krisis yang ada harus dilihat sebagai kesempatan bagi
kekristenan di Indonesia untuk menyatakan pendidikan yang dibangun atas dasar
filosofi kerajaan Allah dan semangat pelayanan atau stewardship. Sebagai
institusi pendidikan yang mengerjakan misinya berdasarkan filosofi kerajaan
Allah dan semangat pelayanan, pendidikan Kristen harus mengupayakan bagaimana
pendidikan Kristen yang ada dapat menjangkau mereka yang miskin dan lemah.
Gereja dan komunitas Kristen harus ikut berupaya supaya pendidikan makin
bersahabat dan berpihak kepada orang-orang miskin dan lemah sehingga mereka
memperoleh kesempatan untuk belajar dan mengembangkan dirinya. Selain itu
pendidikan Kristen harus memfokuskan dirinya untuk membentuk moral dan karakter
anak didik dalam seluruh dinamika hidupnya dengan visi transformasi sosial.
Secara khusus, pendidikan Kristen harus membangun jiwa misi yang holistik dalam
diri anak didik dan pada saat yang sama membangun kesadaran mereka sebagai
bagian dari komunitas bangsa ini. Dengan demikian, pendidikan Kristen walaupun
merupakan pendidikan yang berbasis agama dapat mengerjakan misinya dengan
efektif di tengah bangsa yang majemuk ini. Semua ini tentunya hanya akan dapat
tercapai, jika gereja dan komunitas Kristen yang ada di Indonesia
sungguh-sungguh menyadari pentingnya misi pendidikan Kristen di tengah bangsa
ini dan bersedia untuk bahu-membahu terlibat mengerjakan misi ini.
http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/03/10/1/200017, (diakses
pada tanggal 28 Maret 2009)
iii Depdiknas, “Statistik
Pendidikan Nasional ” http://www.depdiknas.go.id/statistik/0607/sma_0607/tbl_23.pdf, http://www.depdiknas.go.id/statistik/0607/smk_0607/tbl_27.pdf, http://www.depdiknas.go.id/statistik/0607/pt_0607/tbl_3.pdf,
(diakses pada tanggal 24-27 Maret 2009).
v Goesprih, Himne “Requiem” Guru, http://debritto.net/kategori/pendidikan_0 (diakses
pada tanggal 28 Maret 2009)
vi Nicholas P. Walterstoff, Educating
for Life: Reflection on Christian Teaching and Learning (Grand Rapids:
Baker Academic, 2002) 18.
viii H. A. Ozmon and S.M.
Craver, Philosophical Foundation of Education 8th edition (New
Jersey: Pearson Education, 2008) 2.
xiiCharles Ringma, “Liberation
Theologians Speak to Evangelicals : A Theology and Praxis of Serving the
Poor,” The Church and Poverty in Asia (Manila: OMF, 2008) 13.
xiiiWalaupun secara ideal seharusnya
pemerintah juga harus memperhatikan semua insititusi pendidikan berbasis agama
di Indonesia secara adil, tampaknya kondisi itu masih jauh dari harapan. Jika
kita mengamati dengan jujur perhatian pemerintah dalam pendanaan pendidikan
berbasis agama kebanyakan diberikan kepada pendidikan yang berbasis agama
mayoritas. Selain itu di sisi lain, kemandirian pendanaan bagi institusi
pendidikan Kristen juga bertujuan untuk mencegah intervensi pemerintah lebih
jauh terhadap hal-hal yang bersifat prinsip.
Komentar
Posting Komentar