Krisis,
Kritik, dan Diskursus: Menimbang Peran Pemuda dalam Mengentas Krisis
oleh
Gadi K. Makitan
Enam
puluh empat tahun sudah Indonesia merdeka, namun tetap saja belum mentas dari
krisis. Sudah banyak harapan ditumpukan, beragam wacana dilontarkan, dan
berbagai pergerakan dilakukan. Apa yang salah?
Kesalahan
dalam memecahkan sebuah masalah terletak pada ketidakmampuan melihat akar
masalah yang sebenarnya. Mungkin kita perlu melihat sedikit sumbangsih
pemikiran Jurgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog Jerman, dalam mencari
akar dari krisis yang terjadi dan kemudian mencari jalan keluarnya.
Krisis
dan Kritik
Menarik
untuk melihat apa yang dipahami Jurgen Habermas sebagai krisis. Seperti
pemikir lainnya, dia juga berpendapat bahwa krisis adalah keadaan di mana
identitas sosial dan keberlangsungan hidup manusia terancam. Namun uniknya, dia
mengatakan bahwa krisis itu tidak hanya datang dari luar. Krisis juga
disebabkan kontradiksi-internal dalam sistem masyarakat. Dengan kata
lain, krisis dipandang sebagai “kontradiksi-kontradiksi yang melekat
dalam sistem itu (masyarakat),”[1]
Maka,
krisis justru muncul dari usaha untuk membebaskan manusia dari krisis. Ya,
solusi yang ditawarkan malah membuat krisis baru.
Misalnya,
program-program pengentasan kemiskinan justru menjadi celah bagi kolega-kolega
pejabat untuk mendapatkan bantuan yang sebenarnya tidak berhak mereka dapatkan.
Gembar-gembor peningkatan kualitas pendidikan ternyata juga jatuh pada bisnis
sekolah yang malah makin mempersempit akses anak bangsa untuk memperoleh pendidikan.
Nilai pluralisme agama yang didengungkan untuk menciptakan persatuan juga
akhirnya jatuh pada pluralisme indeferen, yang justru menghilangkan
keunikan agama dan membuatnya menjadi tidak penting untuk dipercayai. Belum
lagi kelompok yang memperjuangkan peningkatan moralitas akhirnya juga jatuh
pada penindasan dan penyingkiran nilai-nilai lain yang dianggap bertentangan.
Kegagalan-kegagalan
di atas mendapat pararelnya dalam sejarah kritik, yaitu usaha manusia
sepanjang jaman untuk lepas dari penindasan. Kekristenan, yang mentas dari
penindasannya sejak jaman Konstantin, akhirnya justru menjadi kekuatan yang
merepresi kaum lain, hingga saat-saat itu terkenal dengan Jaman
Kegelapan. Lalu, manusia berusaha lepas dari Jaman Kegelapan dengan semangat Pencerahan.
Tapi, Pencerahan yang berkembang menjadi Positivisme juga akhirnya menindas
manusia dengan modernisasi-nya, di mana manusia dimesinkan dan diasingkan dari
hakikat sosialnya.
Dominasi
dan Diskursus
Dari
pararel di atas, kita bisa menemukan benang merahnya. Benang merah itu adalah
dominasi, atau kecenderungan manusia untuk mengamankan posisinya, mendapat
akses yang lancar kepada sumber daya, baik itu materi maupun kekuasaan, dengan
merepresi pihak lain.
Kepentingan
dominasi bisa muncul dalam bermacam manifestasi. Itu bisa saja berupa
pengistimewaan nilai tertentu yang lalu menyingkirkan nilai-nilai lainnya
secara paksa. Orang lain dipaksa mengikuti nilai itu tanpa ada kesempatan untuk
berdeliberasi dan berargumentasi. Bisa juga berupa pembekuan ideologi tertentu
sehingga penafsiran lain terhadapnya diharamkan. Pembekuan ini dilakukan untuk
mendukung sistem kekuasaan yang sedang berlangsung.[2]
Tentunya,
semua kepentingan dominasi ini muncul dengan dalih ingin membebaskan manusia
dari krisis sebelumnya. Mungkin muncul dari keinginan untuk membebaskan manusia
dari krisis moral. Mungkin juga muncul dari keinginan untuk membebaskan manusia
dari ideologi sebelumnya yang dianggap menindas dan memiskinkan.
Apa
pun bentuknya, sepanjang kritik yang dihadirkan masih dimuati
kepentingan dominasi, kita tidak akan pernah bisa mentas dari krisis. Pihak
lain akan tetap tertindas. Dengan kata lain, krisis itu tetap melekat
bagaimanapun kita mau lepas darinya.
Solusi
dari semua itu adalah menciptakan “sebuah masyarakat yang reflektif (cerdas)
yang berhasil melakukan komunikasi yang memuaskan.”[3] Komunikasi
yang memuaskan kemudian akan mencapai konsensus bebas dominasi. Konsensus
yang bebas dominasi bisa tercapai melalui diskursus-diskursus rasional.[4]
Dengan
kata lain, kita bisa mengatasi kepentingan dominasi dengan menciptakan
masyarakat yang komunikatif. Diskursus dilakukan bukan untuk menyingkirkan
pihak lain, melainkan untuk mencari apa yang baik bagi kehidupan bersama
(praksis bersama). Manusia akan mempunyai posisi yang sejajar dan keputusan
yang diambil mengenai praksis bersama akan mempunyai legitimasi yang
kuat karena itu semua adalah hasil dari konsensus yang rasional (bebas
penindasan).
Public
Sphere dan Pemuda
Diskursus
rasional di dalam masyarakat komunikatif mengandaikan adanya suatu public
sphere, ruang di mana tiap elemen masyarakat bisa masuk dan membicarakan
praksis bersama. Ini adalah wilayah yang bebas sensor dan dominasi, yang
memungkinkan kita untuk membentuk opini publik.
Pemuda,
khususnya yang sedang dididik dalam lingkungan intelektual kampus, mempunyai
peranan penting. Mereka adalah kaum idealis yang sedang bersemangat mencari
kebenaran dan mempunyai semangat untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat. Public
sphere pemuda atau mahasiswa sangat berpotensi sebagai kawah Candradimuka bagi
nilai-nilai dan wawasan-dunia yang sedang berkembang. Wawasan-dunia yang sudah
teruji kemudian akan menjadi praksis bersama. Di sinilah gerakan pemuda yang
relevan bagi krisis dimulai dan dikoordinasikan.
Dengan
ini, kita dimungkinkan untuk mengembalikan kenangan masa lalu, di mana muda-mudi
intelektual dari berbagai latar belakang, bahkan apriori yang berbeda, bersatu
untuk sebuah praksis bersama: kemerdekaan rakyat Indonesia dari penindasan
penjajah.
Kita
bisa berharap pada pemuda untuk bisa melakukan kritik emansipatoris
terhadap krisis di Indonesia dan membawa negara kita yang tercinta
ini untuk mentas dari krisis tanpa menimbulkan krisis yang baru.
Immanent Public
Sphere: Sebuah Tawaran
Secara
realistis kita melihat ada dua tantangan yang besar. Pertama, tantangan datang
dari kaum fanatik yang ingin mendominasi kehidupan bersama dengan secara paksa
menyingkirkan nilai-nilai bahkan pihak-pihak lain yang dianggap bertentangan.
Lebih parah lagi jika mereka sangat tertutup dan samasekali tidak ingin nilai
yang mereka anut diperbedebatkan atau diuji dalam public sphere.
Kedua,
tantangan datang dari dominasi kaum kapitalis yang ingin kemapanan posisinya di
masyarakat terus bertahan. Melalui iklan-iklan, film, dan sinetron, mereka
terus-menerus membujuk muda-mudi untuk ‘membutuhkan apa yang sebenarnya tidak
dibutuhkan’. Konsep the good life yang mereka tawarkan bukanlah soal
hidup untuk berkarya, melainkan untuk tampil mewah, cantik, dan disukai semua
orang. Berapa pun harga yang harus dibayar. Hasilnya? Mahasiswa hedonis yang
jarang mau berpraksis.
Mengatasi
tantangan yang pertama bukanlah hal yang mudah, karena itu berkaitan dengan
ranah privat keyakinan mereka. Yang paling mungkin dilakukan adalah dengan
terus membuka diri untuk berdiskusi dengan mereka dan tidak pernah lelah untuk
mencoba mendekati mereka dengan tulus.
Sebuah public
sphere yang imanen perlu ada untuk menjangkau mahasiswa-mahasiswa
yang takut atau antipati terhadap suasana diskursif untuk mencapai praksis.
Ruang publik itu harus dibuat semudah mungkin untuk didekati dan dimasuki.
Tidak berkesan terlalu intelektual sehingga hanya dapat dimasuki oleh
segelintir orang. Dengan begitu, mahasiswa yang hedonis pun punya kemungkinan
untuk masuk dan menguji filosofi hedonismenya. Mereka bisa disadarkan untuk
kemudian berubah.
Ada
banyak sarana untuk menciptakan public sphere yang imanen. Salah
satunya adalah teknologi informasi yang sudah sedemikian berkembang. Perlu
kecerdasan dan niat yang tulus untuk memanfaatkan semua sarana yang ada untuk
bisa menciptakan public sphere sehingga suasana diskursif pun bisa
ada.
Setiap
pemuda yang punya niat untuk bersuara di tengah krisis sedikitnya perlu
melakukan beberapa hal. Pertama, mereka harus rajin-rajin melakukan kritik dengan
melihat fenomena sosial yang ada, lalu mengajukan pertanyaan: adakah yang
tertindas? Kedua, mereka tentu harus berefleksi, adakah kritik yang
saya lakukan mempunyai kepentingan dominasi? Ketiga, mereka harus mulai
melibatkan diri dalam public sphere, atau menciptakan budaya diskursus
praksis, berani berbaur dengan ‘kaum lain’ dan terlibat diskursus dengan
mereka, lalu sama-sama merencanakan sebuah praksis.
Inilah
kesempatan untuk menggarami dunia dengan wawasan-dunia yang sudah kita percayai
teruji sepanjang jaman dan ikut mengerjakan mandat budaya untuk memperbaiki
tatanan sosial, membebaskan imago dei yang tertindas.
[1] Hardiman,
F. B. (2009). Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan
Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 163.
[2] Contoh
yang paling baik adalah masa pemerintahan Stalin, Hitler, dan Mussolini.
[3] Op.
cit. Hal. 18.
[4] Habermas
menggunakan kata rasional/rasio tidak dalam pengertian yang ada dalam budaya
positivis/empiris saat ini di mana istilah ‘rasio’ direduksi menjadi kontrol
alam dan teknis masyarakat, hanya sebagai kesadaran subjektif untuk menguji
hipotesis-hipotesis ilmiah secara empiris. Bagi Habermas, pengertian ini
mengkhianati pengertian ‘rasional’ yang muncul dari semangat Pencerahan, di
mana rasional berarti kepentingan, kecenderungan, spontanitas, harapan,
tanggapan terhadap penderitaan dan penindasan, kehendak untuk emansipasi dan
kebahagiaan. Maka, yang disebut ‘irasional’ adalah segala bentuk penindasan dan
ketidakdewasaan manusia (masyarakat yang tidak sejajar antar satu dengan yang
lain, yang tidak deliberatif dan argumentatif).
Lebih
lanjut lagi, menurut Habermas, konsensus bebas dominasi yang dihasilkan dari
diskursus rasional akan menghasilkan tiga klaim. Pertama, klaim kebenaran,
yaitu konsensus tentang dunia alamiah dan objektif. Kedua, klaim ketepatan,
yaitu konsensus tentang pelaksanaan norma-norma dalam dunia sosial. Ketiga,
klaim kejujuran, yaitu konsensus tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan
ekspresi seseorang.
Komentar
Posting Komentar