KRISIS
IDENTITAS KAUM MUDA DAN MASA DEPAN INDONESIA
oleh
Perdian Tumanan
Tidak
berlebihan rasanya kalau dikatakan bahwa setiap pembaruan sosial, politik dan
keagamaan yang terjadi dalam masyarakat biasanya dimulai oleh kaum muda. Itulah
identitas atau ciri asli mereka. Reformasi keagamaan di Eropa pada abad XVI,
Revolusi Perancis yang mencerahkan pada abad XVIII, penggulingan rezim
Apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1990-an, kesadaran kebangsaan Indonesia
pada tahun 1908-1945, adalah buah dari natur dan identitas kaum muda yang
selalu gelisah tatkala berhadapan dengan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan
zamannya. Bahkan Sri Sultan Hamengkubuwono X mengatakan, “Abad 20, dalam
perspektif bangsa kita, sesungguhnya adalah sejarah anak-anak muda.” Tidak
heran kalau dalam sepanjang sejarah pemerintah tiran, kaum fasis, dan penguasa
otoriter tidak suka dengan mereka. Mereka selalu ingin menghambat, menindas dan
meniadakan gerakan-gerakan kaum muda yang dianggap mengganggu tujuan-tujuan
mereka.
Namun
sekarang ini ada tantangan yang jauh lebih mengerikan yang sedang mengancam
eksistensi generasi muda yang secara tidak langsung juga mengancam kelangsungan
masa depan bangsa kita. Tantangan itu bernama tantangan identitas. Pragmatisme,
konsumerisme, hedonisme dan materialisme saat ini, harus diakui membuat kaum muda
makin jauh dan makin tidak tertarik dengan persoalan-persoalan kebangsaan atau
kemasyarakatan. Tidak perlu heran, sebab semua ini berujung pada individualisme
dan pemuasan hasrat diri. Pada akhirnya identitas kaum muda yang kritis,
solutif, energik, imajinatif, peka terhadap problem sosial, modal dasar
sebagai the agent of change di masa depan tergerus dan luntur, dan
diganti dengan sebuah identitas baru. Identitas baru tersebut terletak
pada gadget yang ia gunakan, mode busana yang ia kenakan, tipe kendaraan
yang ia tumpangi dan gelar kesarjanaan yang ia miliki. Bukannya kritis dengan
zaman, kaum muda justru makin serupa dengan zaman.
Heather
Lewis-Charp, Hanh Cao Yu, dan Sengsouvanh Soukamneuth dengan sangat baik
melihat kaitan antara identitas personal/individual dengan perubahan sosial, “.
. . social justice is embedded in the choices of individuals to resist
dominant discourses and prejudices in the course of their day-to-day lives,
just as it is embedded in overt action to transform the policies and institutions
around them.”[1] Lewat
pandangan ini kita bisa berkesimpulan bahwa sebuah transformasi komunitas ke
arah yang lebih baik tidak akan pernah terjadi sebelum seseorang, secara
individual, mengalami transformasi yang mendorongnya untuk lebih jauh bertindak
ke luar dan memberikan pengaruh kepada komunitas tersebut. Itulah sebabnya
mengapa mereka kemudian mengemukakan, “We would argue that critical
self-awareness not only helps an individual identify the seeds of her own
problems, but also sheds light on dominant discourses that contribute to her
marginalization and oppression of others.” Tidak akan pernah ada perubahan
sosial kemasyarakatan yang genuine tanpa perubahan secara natural
dalam diri individual; dari dalam keluar (inside-out). Dengan demikian
cara-cara yang semestinya ditempuh untuk mendorong para pemuda sadar terhadap
lingkungan dan masyarakatnya agar dapat berperan menjadi pembaru zaman ke depan
adalah dengan pertama-tama menyadarkan identitas pribadinya, menolongnya
menemukan secara sadar dan mandiri kaitan antara identitas pribadinya tersebut
dengan komunitas bersama dengan segala kompleksitas masalahnya serta perilaku
yang tepat di dalamnya.
Sedihnya,
berbagai upaya pendidikan sosial-kemasyarakatan bagi kaum muda (atau pun
mahasiswa), termasuk yang bernafaskan kristiani, lebih banyak bertitik tolak
pada aspek penyadaran, “luar ke dalam” (outside in). Gerakan-gerakan anti seks
bebas, anti korupsi, anti narkoba, anti pornografi saat ini lebih cocok
dikatakan sebagai gerakan “cuci otak” daripada gerakan penyadaran. Memanfaatkan
iklan di media massa dan media elektronik, poster, stiker, kampanye-kampanye
yang menyedot massa dan mengundang selebritis, gerakan-gerakan seperti ini
tentu akan sangat mudah mendapat simpati kalangan muda yang memang tercengkram
oleh pragmatisme dan budaya idol. Cara-cara seperti ini hanya memberikan
solusi cepat namun singkat. Ronald J. Sider, seorang sosiolog Amerika Serikat
saat mencermati survei yang diadakan oleh Columbia University terhadap
program True Love Waits, sebuah gerakan yang bertujuan mengurangi premarital
sex lewat kampanye-kampanye massal, dengan sedih mengatakan, “. . . they
found that 88 percent of these pledgers reported having sexual intercouse
before marriage, just 12 percent kept their promise.”[2]
Perlu
ada terobosan signifikan dari sekolah, lembaga-lembaga pendidikan dan
organisasi-organisasi kepemudaan Kristen untuk lebih kreatif berperan serta
mempersiapkan kader-kader pemimpin masa depan bangsa. Bukan hanya mendorong
mereka untuk mentaati agenda-agenda yang sudah digariskan—yang hanya akan
menghasilkan perubahan outside-in yang sangat rapuh—tapi yang terpenting
menjadi pendamping dan pembimbing di tengah-tengah pergumulan identitas mereka
di zaman ini.
Perdian
Tumanan
Staf
Mahasiswa Perkantas Surabaya
[1]“Civic
Activist Approaches for Engaging Youth in Social Justice” dalam Beyond
Resistance! Youth Activism and Community Change: New Democratic Possibilities
for Practice and Policy for America’s Youth (ed. Shawn Ginwright., et. al;
New York: Routhledge) 22.
[2]The
Scandal of the Evangelical Conscience: Why Are Christians Living Just Like the
Rest of the World(Grand Rapids: Baker, 2005) 23.
Komentar
Posting Komentar