KERAJAAN
IMAM: TEOLOGI KERAJAAN ALLAH DAN IMPLIKASINYA
“In
evangelio est Dei regnum Christus ipse”
(Marcion)
PENDAHULUAN
Tidak dapat
disangkal lagi, Kerajaan Allah merupakan salah satu topik terpenting dalam
kitab-kitab Injil dan Perjanjian Baru dan pada umumnya para sarjana dari
berbagai aliran teologi yang berbeda setuju bahwa berita utama yang disampaikan
Yesus adalah tentang kerajaan Allah. Jürgen Moltmann, seorang teolog pencetus
teologi pengharapan (Theology of Hope) menyatakan eratnya hubungan Yesus dengan
berita Kerajaan Allah melalui pernyataannya, “Anyone who gets involved with the
Kingdom of God. This is an inescapable fact, for Jesus’ own concern was, and
is, God’s Kingdom. . . . That is obviously and palpably true; for who is Jesus?
Simply the Kingdom of God in Person.”3 Hans Küng, seorang teolog
Katolik, juga merumuskan pentingnya Kerajaan Allah sebagai pusat proklamasi
Yesus dengan menyatakan, “This seems [Kingdom of God] is at center of His
proclamation. . . .”4 Hal yang sama dikemukakan oleh
Jon Sobrino, seorang teolog pembebasan dan imam Yesuit, “The most certain
historical datum about Jesus’ life is that the concept which dominated his
preaching, the reality which gave meaningfulness to all his activity, was ‘the
Kingdom of God.’”5 Teolog pembebasan lain dari
kalangan Protestan Choan-Seng Song turut mengklaim sentralitas Kerajaan Allah
sebagai inti dari berita Yesus. Melalui kutipannya dari pandangan Güther
Bornkamm ia menulis, “The reign of God, then, sums up the whole message of
Jesus.”6 Bahkan ia lebih jauh
menyimpulkan bahwa identitas Yesus tidak dapat dilepaskan dari berita Kerajaan
Allah yang disampaikan-Nya, “It is more than that. All Jesus said and did has
to do with the reign of God.”7 Walter Rauschenbusch, bapak
teologi Social Gospel, yang menempatkan Kerajaan Allah sebagai dasar
berteologinya untuk menentang konsep eksklusif sempit Gereja sebagai kerajaan
Allah, menyatakan pentingnya kerajaan Allah
If
theology is to offer an adequate doctrinal basis for the social gospel, it must
not only make room for the doctrine of the Kingdom of God, but give it a
central place and revise all other doctrines so that they will articulate
organically with it. This doctrine is itself the social gospel. . . . To
those whose minds live in the social gospel, the Kingdom of God is a dear
truth, the marrow of the gospel.8
David
Wenham menyimpulkan bahwa para sarjana modern yang tampaknya tidak dapat
sepakat dalam hampir setiap hal tentang Yesus, “. . . are nearly unanimous on
this one point—that Jesus proclaimed the coming of the Kingdom.”9
Sayangnya,
kesepakatan tersebut tidak diiringi dengan kesepakatan yang sama terhadap
definisi dan intensi Kerajaan Allah yang disampaikan Yesus.10
Pemahaman
yang berbeda tentang makna Kerajaan Allah Yesus tampaknya didasari
oleh adanya motif tertentu untuk mendukung suatu sistem teologi yang
dipegang atau diyakini agar tampak konsisten dan koheren. Akibatnya terjadi
pengabaian pada penelusuran makna Kerajaan Allah secara historis-biblikal dari
Kitab Suci. Salah satu contoh yang penulis ingin bahas secara singkat adalah
pandangan Kerajaan Allah menurut teologi feminisme yang dikemukakan oleh salah
satu tokohnya, Elisabeth Schüssler Fiorenza.
Pada
dasarnya penulis setuju dengan fondasi biblika yang dikemukakan Fiorenza
bahwa basileia (dia ingin konsisten dengan tetap memakai kata
Yunani basileia untuk “Kerajaan Allah”) harus dipahami dalam “. . .
etos umum Yahudi pada masanya, dan apabila sejarah dan komunitas Israel menjadi
fokusnya.”11 Sayangnya, fondasi yang apik
ini sangat terganggu oleh motif dan keinginannya untuk menonjolkan cita-cita
kesetaraan gender, antara laki-laki dan perempuan, yang sedang diusungnya.
Akhirnya, definisi Kerajaan Allah yang sebenarnya sangat luas dan mencakup
aspek-aspek yang sangat kaya, disempitkan dengan satu istilah, “duduk bersama.”12
Realitas-realitas
yang sama, seperti contoh di atas, dapat pula kita temui dalam formulasi
Kerajaan Allah dalam teologi pembebasan, teologi pengharapan atau bahkan dalam
teologi konservatif-Injili sekalipun.13 Bruce Chilton mengeritik
keserupaan metodologi kaum konservatif dalam melihat kitab suci, khususnya
dalam kaitan dengan tema kerajaan Allah, melalui pernyataannya:
The
retreat of conservative Christians from the Scripture has been more strategic.
They cite the Bible and instruct themselves in its contents, but they also
restrict the number of meanings they will accept from Scripture. . . . The fact
is that fundamentalists ignore meanings that do not suit their theology.14
Dari
pembahasan awal ini penulis berkesimpulan sedang terjadi bias makna dalam
konsep Kerajaan Allah. Meskipun pada dasarnya para teolog setuju bahwa konsep
Kerajaan Allah harus kembali dilihat dari perspektif Yudaisme, tampaknya
terlalu banyak godaan untuk mengusung motif teologi (atau agenda) tertentu, yang
hasilnya justru sering menjerumuskan dan bukan memperjelas makna kerajaan
Allah. N. T. Wright, seorang teolog PB Injili yang sangat terkenal saat ini,
mengeritik kecenderungan ini dengan menyatakan, “Again, attempts have often
been made to align kingdom-language with church-language, as though ‘the
church’ is the real meaning of the kingdom.”15
DEFINISI
KERAJAAN ALLAH DALAM PERJANJIAN LAMA: KERAJAAN IMAM
Menurut
penulis, cara satu-satunya agar kita dapat memahami dengan baik pesan atau
makna Kerajaan Allah yang disampaikan Yesus hanyalah dengan melihat kembali
konsep ini sedikit ke belakang menurut tradisi Perjanjian Lama, sebab penulis
yakin apa yang disampaikan oleh Yesus bersumber dari Perjanjian Lama (bdk. Mat.
5: dan tentu tidak asing bagi kalangan Yudaisme saat itu yang memang erat
memegang Perjanjian Lama 16.
Pada
umumnya para ahli setuju bahwa konsep Kerajaan Allah yang berkembang dalam
Yudaisme bukanlah dalam makna area kekuasaan atau sebuah teritorial dengan
seorang raja yang memerintah di atasnya.17 Kerajaan Allah juga tidak
boleh dipahami dalam pengertian modern seperti halnya Kekaisaran Jepang atau
konsep kerajaan Inggris (Kingdom), karena kedua kata ini bertendensi simbolik
saja. Sekarang ini, seorang Ratu di kerajaan Inggris atau Kaisar di Jepang,
tidak lagi mempunyai kuasa apapun untuk memerintah. Kekuasaan politik atau
militer sepenuhnya terletak dalam tangan seorang Perdana Menteri. Ia hanya
menjadi penguasa simbolik untuk mempertahankan tradisi kuno yang sudah hampir
terkikis habis oleh tuntutan sistem demokrasi-liberal modern. Ambiguitas inilah
yang menyebabkan banyak kalangan yang kurang sepakat dengan istilah Kingdom
of God, dan lebih setuju dengan terminologi Reign of God.18
Kata
Ibrani untuk Kerajaan Allah adalah Malkuta de-Adonai. Seorang ahli
Perjanjian Baru, C. H. Dodd mengatakan bahwa Malkut merupakan kata
benda abstrak yang dapat berarti: kemerajaan (kingship), kuasa pemerintahan (kingly
rule), pemerintahan (reign) atau kedaulatan (sovereignty).19 Secara sederhana ia
mengartikan the malkuth of God (Kerajaan Allah) sebagai, “God reigns
as King” atau bertakhtanya Allah sebagai raja.20 Dengan demikian, frasa
Kerajaan Allah dapat diartikan, “. . . the idea of God, and the term
‘kingdom’ indicates that spesific aspect, attribute or activity of God, in
which He is revealed as King or sovereign Lord of His people, or of the
universe which He created.”21 Kaufmann Kohler, seorang
teolog Yahudi memberikan definisi lain namun serupa (dan menguraikan secara
lebih jelas tentang King of the universe yang dipaparkan Dodd), “Reign
or sovereignty of God as contrasted with the kingdom of the worldly powers.
The hope that God will be King over all the earth, when all idolatry will
be banished, is expound in prophecy and song.”22 Dari dua definisi ini
terlihat satu pengertian yang sama bahwa Kerajan Allah sama sekali tidak
menunjuk kepada sebuah lokasi atau tempat yang istimewa dan penuh dengan
kebahagiaan (seperti gambaran surga yang banyak dipahami orang Kristen selama
ini) melainkan menunjuk kepada pemerintahan Allah atas umat-Nya dan atas
semesta ciptaan-Nya, yang berbeda bahkan bertolak belakang dari
pemerintahan dunia ini. Penulis sepakat dengan John Meier, seorang teolog
Katolik, yang mempertegas bahwa defisini ini berlaku untuk menunjukkan relasi
yang erat antara Allah sebagai Raja dengan umat sebagai hamba-hamba yang
diperintah-Nya, bukan dalam pengertian suatu cakupan teritorial, “Hence his
action upon and his dynamic relationship to those ruled, rather than any
delimited territory, is what is primary.”23
Dalam
sejarahnya, konsep the kingship of YHWH mengalami perkembangan yang
signifikan. Sejarah the kingship of YHWH sebenarnya telah ditulis
sejak Taurat.24 Melalui pujian umat dalam
Keluaran 15:18, setelah mereka berhasil lolos dari kejaran bala tentara Mesir
lewat peristiwa spektakuler yang dilakukan YHWH di depan mata mereka, termaktub
dengan jelas pengakuan bahwa hanya YHWH-lah yang layak untuk memerintah mereka
selama-lamanya. Pengakuan mereka ini kemudian ditahbiskan lewat kovenan Sinai,
di mana mereka diangkat dari antara segala bangsa menjadi “kingdom of priest,”
Kerajaan Imam, kerajaan di mana Allah memerintah dan umat patuh serta
melayani-Nya (Kel. 19:4-6; bdk. Ul. 33:5).25
Dalam
perkembangan selanjutnya, terjadi hal yang sangat tidak diinginkan. Umat
ternyata meminta raja dari kalangan mereka (1Sam. 8:6-22).26 Tindakan demikian sama saja
dengan pemberontakan terhadap sistem teokrasi mutlak yang telah dideklarasikan
Allah di Sinai melalui Musa hamba-Nya.27 Perjalanan berikutnya
menyebutkan Tuhan “memaklumi” hal ini (1Sam. 12), namun aturan main yang
ditetapkan adalah sang raja terpilih tidak punya kedaulatan atas umat.
Dalam
hal ini penulis menemukan satu masalah pelik yang ada di balik konsep kerajaan
Allah. Apakah ada dua kerajaan di dalam kerajaan Allah: kerajaan yang bersifat
spiritual-teokratis (dipimpin oleh YHWH) dan kerajaan yang bersifat
politis-monarkis (dipimpin oleh raja-manusia)? Masalah ini tidak mudah namun
menjadi titik berangkat penting yang pada akhirnya membawa kita memahami makna
Kerajaan Allah Yesus.28
Masalah
ini hanya dapat dipecahkan jika kita kembali melihat dua ayat yang sudah
disebutkan sebelumnya: Keluaran 19:4-6 dan Ulangan 17:14-20.
Di
dalam Keluaran 19:4-6, Allah mendeklarasikan Kerajaan Allah yang
diistilahkan-Nya: Kerajaan Imam.29 Penulis setuju dengan
komentar John I. Durham terhadap Keluaran 19:6 yang menyatakan bahwa makna
Kerajaan Imam ini tidak dapat dilepaskan dari dua konteks yang melekat dan
melatarbelakangi konsep ini yakni “harta kesayangan” dan “bangsa yang kudus,”
yang merupakan dwitunggal penting dalam kovenan YHWH dengan Israel.30 Sebagai “harta kesayangan,”
Israel “. . . become uniquely Yahweh’s prized possession by their
commitment to him in covenant,”31 dan sebagai “bangsa yang
kudus,” Israel:
. .
. then represents a third dimension of what it means to be committed in faith
to Yahweh: they are to be a people set apart, different from all other people
by what they are and are becoming—a display-people, a showcase to the world of
how being in covenant with Yahweh changes a people.32
Dengan
demikian, sebagai Kerajaan Imam, Israel, “. . . was always supposed to be: a
kingdom run not by politicians depending upon strength and connivance but by
priests depending on faith in Yahweh, a servant nation instead of a ruling
nation.”33
Dengan
dasar ini, penulis berkesimpulan bahwa maksud YHWH mendirikan kerajaan-Nya34 di tengah-tengah Israel,
bukanlah untuk membentuk suatu dinasti monarki-ekslusif (apalagi fasis) yang
paling jaya, paling kuat dan paling superior tanpa dapat ditandingi
bangsa-bangsa lain di sekitarnya, seperti eskpansi militer model Nebukadnezar
dari Babel, Koresy dari Persia atau Aleksander Agung dari Yunani. YHWH
menghimpun dan mengangkat Israel untuk masuk dalam kerajaan-Nya hanya demi satu
tujuan: menjadi model atau patron bagi bangsa-bangsa kafir
di sekitarnya tentang bagaimana hidup taat dan beriman kepada YHWH agar
mereka pun pada akhirnya hanya me-Rajakan YHWH.
Dari
pembahasan ini, penulis menyimpulkan ada tiga poin pokok yang menjadi inti
Kerajaan Imam Sinai: pertama, YHWH sebagai inisiator; kedua, kekudusan
sebagai fokus utama dan ketiga, Israel sebagai umat kesayangan YHWH, yang
tujuan utamanya bukan untuk membentuk suatu umat yang ekslusif dan superior
tetapi suatu umat yang inklusif, di mana kerajaan itu pada akhirnya tidak hanya
mencakup Israel tapi seluruh kosmos.
Konsep
ini makin lengkap tatkala kita mencermati Ulangan 17:14-20.
Penulis
berpandangan bahwa bagian ini menegaskan antisipasi YHWH akan kemungkinan
terbentuknya suatu bentuk pemerintahan monarki dalam umat.35 Dengan demikian, YHWH tidak
sepenuhnya menolak konsep raja-manusia,36 tetapi YHWH menetapkan aturan
main yang jelas, sebab kecenderungan terjadinya pelanggaran terhadap ketetapan
Kerajaan Imam yang telah dideklarasikan di Sinai sangat besar. Ayat 16-17
menjelaskan tiga hal yang dapat mengancam Kerajaan Imam YHWH: pertama,
jangan memelihara banyak kuda. Sudah menjadi kenyataan, saat itu kuda merupakan
lambang atau simbol kekuatan militer. Kejayaan suatu bangsa salah satunya
diukur dari berapa banyak pasukan berkuda yang dimiliki (bdk. Kel. 14:23; 2Taw.
16:8; Mzm. 20:7; Hab. 1:8). Durham, melalui kutipannya terhadap pandangan
Mowinckel, bahkan mengatakan bahwa pasukan berkuda merupakan simbol perlawanan
kepada Allah.37Kedua, jangan beristri banyak.
Larangan ini tidak dapat dimengerti jika dipandang dari pandangan orang modern
yang sering mengaitkan hal ini dengan persoalan moral-etis sebuah pernikahan.
Dalam konteks politik dunia timur dekat kuno saat itu, perkawinan berkaitan
dengan ikatan politik satu bangsa dengan bangsa lain dan ikatan politis saat
ini tidak semata bertendensi relasi diplomatis seperti sekarang ini, tetapi
pasti ada unsur perkawinan religius (bdk. dengan kegagalan Salomo [1Raj.
11:4-8]). Christensen menjelaskan ekses buruk dari pola ini dengan sangat baik,
“. . . which has been a center for political power and intrigue from its
inception.”38 Ketiga, jangan mengumpulkan
emas dan perak yang banyak. Larangan ini bertujuan menghindarkan Israel dari
bersandar pada kekuatan ekonomi seperti yang kerap dilakukan bangsa-bangsa
kafir.
Jadi
jelas, ketiga larangan yang diajukan YHWH sebagai prasyarat raja-manusia
berdasar pada tiga hal yang berpotensi menggagalkan Israel menjadi sebuah
Kerajaan Imam, yakni kekuatan militer, politik dan ekonomi.39
Dengan
dasar inilah kita baru dapat memahami dengan lebih tepat perasaan tertolak YHWH
dalam 2 Samuel 8:7, tatkala umat meminta seorang raja-manusia. Yang sebenarnya
mereka inginkan bukan sekadar seorang raja-manusia tapi lebih jauh mereka ingin
menginstitusionalisasi suatu kerajaan monarki baru yang ekslusif, yang pada
akhirnya mengizinkan pembangunan kekuatan militer, politik dan ekonomi yang
kuat demi kelanggengan eksistensi diri.40 Sikap ini tentu sama saja
dengan menolak konsep Kerajaan Imam yang telah dideklarasikan YHWH bagi mereka.
Pasca
kejatuhan Saul, YHWH ingin merestorasi cita-cita Kerajaan Imam ini melalui Daud
dan keturunan-Nya. Formulasi janji YHWH kepada Daud dalam 2 Samuel 7:1-17,
tetap memuat inti deklarasi Kerajaan Imam Sinai yakni ketaatan kepada YHWH
(2Sam. 7:14) dan jangan lupa, konteks bagian ini adalah rencana pembangunan
Bait Allah yang menjadi sentral ibadah umat, persis seperti Sinai yang
merupakan pusat ibadah umat ketika berada di padang gurun setelah keluar dari
Mesir (bdk. Kel. 3:12, “. . . kamu akan beribadah kepada Allah di gunung ini”).
Perhatikan juga respon Daud dalam 2 Samuel 7:22-26 yang turut menyatakan bahwa
Israel ada untuk YHWH dan bukan sebaliknya; dengan kata lain Daud hanya
mengagungkan eksistensi YHWH sebagai sang Raja sebenarnya.41
Formulasi
yang sama juga termaktub dalam 1Raja-raja 9:5-6. Khusus dalam bagian ini, ada
satu konteks menarik yang dipaparkan. Janji peneguhan kerajaan Salomo dibarengi
dengan syarat ketaatan mutlak dari Salomo dan semua keturunannya kelak (1Raj.
9:6). Ketidaktaatan mereka akan membawa: pertama, kehancuran
kerajaan; kedua, pembuangan (9:7) dan ketiga, kehancuran Bait Allah
sebagai pusat ibadat (yang baru saja diresmikan) (9:8). Indahnya, semua ini
disimpulkan dalam pengulangan kisah kovenan Sinai sebagai perekat utama, “Maka
orang akan berkata: Sebab mereka meninggalkan Tuhan, Allah mereka, yang membawa
nenek moyang mereka keluar dari tanah Mesir. . . .” (9:9). Dari sini penulis kembali
menyimpulkan: pertama, Raja sesungguhnya adalah YHWH. Setiap raja Israel
harus takluk dan tunduk di bawah otoritas-Nya. Ia-lah pengendali sejati dari
sejarah Israel; kedua, setiap tindakan atau sikap yang hendak “mengkudeta”
Kerajaan Imam yang ditetapkan YHWH akan dibayar dengan sangat mahal. Hukuman
pasti tiba: hancurnya kerajaan, pembuangan dan robohnya Bait Allah.
Kebalikannya, khususnya pada masa pembuangan dan pasca-pembuangan, umat
benar-benar akan diyakinkan bahwa Kerajaan Allah telah hadir, dan YHWH kembali
bertakhta di Sion, melalui tiga tanda konkret: pertama, restorasi dinasti
Daud (hadirnya Mesias);42kedua, dibangunnya kembali Bait
Allah dan ketiga, kembalinya umat dari pembuangan untuk menyembah YHWH
yang berimbas pada konsekuensi musuh-musuh pasti akan ditaklukkan.
Dari
penelusuran ini penulis melihat ada progresifitas konsep dari kovenan Sinai
kepada pejanjian dengan Daud dan Salomo. Namun, di sisi yang lain ada
kecenderungan yang berbahaya bagi umat dari perkembangan konsep ini. Hal yang
paling berbahaya adalah mulai munculnya nasionalisme sempit karena salah
menafsir tiga poin pokok di atas. Dengan demikian, penulis mengusulkan supaya
setiap idealisme pada masa Daud, dan seterusnya pada masa pasca-pembuangan,
harus dilihat dari cita-cita Kerajaan Allah kovenan Sinai. Penekanan ketiga
dari Kerajaan Imam Sinai, Israel sebagai umat kesayangan YHWH, sering dipandang
sebagai poin penting untuk melegalisasi perang suci (mungkin seperti
pasukan crusade Kristen), apalagi setelah berulang kali mengalami
kepahitan pasca-pembuangan. Dari stand-point inilah kita baru dapat
mengerti dengan jelas kontroversi seputar pertentangan Yesus dengan tokoh-tokoh
agama pada zaman-Nya.
KERAJAAN
ALLAH YESUS: RESTORASI KERAJAAN IMAM
Dari
pembahasan di atas penulis berkesimpulan bahwa Kerajaan Allah dalam Perjanjian
Lama merupakan panggilan imamat bagi Israel untuk masuk dalam ketaatan mutlak
kepada YHWH dan menjadi model bagi bangsa-bangsa kafir. Bukan itu saja, mereka
bahkan dipanggil menjadi agen utama ilahi untuk menunjukkan kepada
bangsa-bangsa kafir bagaimana hidup me-Rajakan YHWH dalam kesucian dan
kekudusan agar mereka pada akhirnya juga hanya menyembah YHWH. Wright
menyatakan hal ini dengan kalimat yang sangat indah:
. .
. the creator God had purposed from the beginning to address and deal with the
problems within his creation through Israel. Israel was not just to be an
“example” of a nation under God; Israel was to be the means through which the
world would be saved.43
Konsekuensinya
sederhana: Israel dipanggil untuk meninggalkan segala bentuk upaya mengikuti
pola-pola kerajaan kafir yang ada hanya demi kelanggengan eksistensi dan
institusi mereka; dan sebenarnya inilah berita Kerajaan Allah yang Yesus bawa:
bertobat dari segala agenda-agenda kelompok atau golongan dalam menghadirkan
Kerajaan Allah yang sebenarnya hanya mengikuti pola-pola bangsa kafir.44
Sayangnya,
pada masa Yesus cita-cita Kerajaan Imam ini terdistorsi. Berbagai kalangan
bermunculan dan berupaya untuk menafsirkan makna Kerajaan Allah berdasarkan
cita-cita golongan mereka. Tujuannya satu: kelanggengan eksistensi kerajaan
Israel. Golongan yang pertama adalah mereka yang bergerak dalam perjuangan
secara revolusioner. Konteks pembuangan dan penjajahan yang dialami umat Israel
secara silih berganti membuat menjamurnya gerakan-gerakan ini. Kelompok yang
kebanyakan dimoderasi oleh kaum zelot ini menggencarkan cita-citanya dengan
mencaplok doktrin Kerajaan Allah untuk mendapatkan dukungan luas. Semboyan
mereka adalah, “No King but God!”45 Golongan kedua adalah kaum
esenit yang terkenal dengan gaya hidup asketisnya yang mempunyai penafsiran
sendiri terhadap Kerajaan Allah. Mereka terlalu menekankan aspek ritual dan
kesucian etis sehingga akhirnya mereka menjadi kaum escapist yang
“suka” melarikan diri dari dunia nyata. Wright menamakan golongan ini dengan
sebutan kelompok quietist yang memiliki semangat, “. . . separate
yourself from the wicked world and wait for God to do whatever God is going to
do.”46 Bagi mereka, Kerajaan Allah
ada dalam dimensi keheningan dan kesendirian jauh dari orang-orang kafir, sesat
dan berdosa.47 Golongan terakhir berasal
dari kalangan istana, Herodes. Orang ini punya “penyakit” messianic
syndrome sehingga rela untuk melakukan kompromi-kompromi politik kotor.
Dengan modal uang banyak dan posisi strategis, ia membangun segala sesuatu yang
diperlukan (kota benteng, istana dan Bait Allah yang megah) untuk melegalisasi
dirinya sebagai the coming king.
Lahirnya
golongan-golongan ini membuat konsep Kerajaan Imam YHWH di Sinai
ditinggalkan.. Ketiga konsep yang umum berkembang di Palestina pada zaman Yesus
seperti di atas tidak sejalan dengan konsep Kerajaan Imam Sinai. Itulah
sebabnya tidak satu pun dari pola itu sejalan dengan pandangan Yesus. Yesus
memberikan pemaknaan yang kontras dan beroposisi dari konsep Kerajaan Allah
yang umum dianut saat itu. Ia mengajak setiap pendengar dan pengikut-Nya untuk
melihat kembali makna Kerajaan Imam yang telah dideklarasikan YHWH bagi Israel
dan memanggil mereka untuk percaya dan bertobat serta mengikut Dia untuk
menjadi Israel yang sejati (the real Israel): Israel yang memancarkan ketaatan
mutlak kepada YHWH.48
Beberapa tindakan
dan perkataan Yesus yang menurut penulis dapat merepresentasikan semangat
Kerajaan Imam Sinai ini adalah:49 Pertama, Yesus
merepresentasikan tindakan YHWH menjadi inisiator perjanjian.50 Dalam teologi perjanjian di
dunia timur dekat kuno, tujuan perjanjian (kovenan) adalah ketaatan.51 Poin ini sangat tampak dari
ajakan berulang-ulang yang disampaikan-Nya untuk taat kepada-Nya.52 Dalam hal ini, Yesus
mengasosiasikan tindakan yang biasa dilakukan YHWH pada masa lampau kepada
Israel dengan tindakan-Nya.53 Kedua, Yesus
merepresentasikan tindakan YHWH untuk membentuk suatu umat yang kudus bagi-Nya.
Salah satu tindakan yang sangat tampak adalah peristiwa penyucian Bait Suci
sebagai pusat ibadat umat.54 Hal lain yang memuat berita
pembentukan umat yang kudus adalah berita pembenaran dan penghakiman yang
berulang-ulang ditekankan Yesus.55 Ketiga, Yesus menunjukkan
diri sebagai YHWH yang datang untuk mengasihi kembali umat-Nya dengan tujuan
supaya umat menyampaikan kasih itu kepada segala bangsa.56 Ide ini biasanya dikaitkan
dengan kontras terang (umat Allah)57 dengan gelap (umat Iblis).58 Dan menariknya, Yesus kembali
mengasosiasikan diri-Nya sebagai terang, julukan yang hanya pantas disandang
YHWH.59
Pokok
tentang Kerajaan Imam ini juga diulas dengan sangat teliti oleh Petrus (1Pet.
2:9). Dalam konteksnya, jelas Petrus ingin menyatukan konsep Kerajaan Imam
dengan pribadi Yesus (lih. ay. 4-8).60
Dari
pembahasan ini, penulis berkesimpulan bahwa berita Kerajaan Allah yang disampaikan
Yesus yang menuai banyak kontroversi dari orang-orang sezaman-Nya, tidak hanya
disebabkan oleh karena berita itu berbeda dengan berita Kerajaan Allah yang
umum berkembang saat itu. Lebih jauh, Yesus sedang mendeklarasikan diri sebagai
Sang Pembawa Kerajaan Allah itu sendiri, dan konsekuensi logisnya jelas bahwa
berita Kerajaan Allah itu tidak dapat dilepaskan dari pribadi Sang Pembawa,
seperti yang dikatakan Wright, “Equally important, it [kingdom of God] could
never be divorced from the person and deeds of the proclaimer.”61 Kesimpulannya jelas: Yesus
adalah YHWH sendiri; Dia adalah Sang Raja yang kekal, yang harus ditaati! Maka
benarlah kata-kata Marcion seperti yang penulis kutip di atas, “In evangelio
est Dei regnum Christus ipse” (dalam Injil, Kerajaan Allah adalah Kristus
sendiri).
Konsepsi
Kerajaan Allah tidak pernah berbicara tentang sebuah teritorial atau daerah
dengan sebuah sistem politik dan struktur birokratis di dalamnya. Kesimpulan
penulis dari pembahasan ini ialah bahwa Kerajaan Allah yang dimulai dengan
deklarasi Kerajaan Imam Sinai berfokus pada Pribadi Agung yang dinobatkan
sebagai Raja, Yesus Kristus. Di dalam Dia, seluruh perjalanan sejarah dunia
mencapai klimaksnya. Di dalam Dia, surga dan bumi yang dulunya terpisah karena
dosa dan pemberontakan manusia, disatukan kembali. Di dalam Dia, Allah berkenan
menerima manusia kembali untuk menjadi umat-Nya yang kudus. Di dalam Dia, umat
baru itu: sebuah imamat rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah
sendiri, dipanggil untuk meninggalkan apa pun juga, untuk taat dan menyaksikan
kebesaran kemuliaan-Nya kepada segala makhluk dan seluruh isi semesta ini.
REORIENTASI
PEMURIDAN MASA KINI
Dari
pemaparan yang cukup panjang lebar, penulis berkesimpulan bahwa istilah
Kerajaan Allah pertama-tama harus dilihat kembali dalam konteks dari mana
istilah itu berasal yakni Yudaisme yang tentu saja tidak dapat dilepaskan dari
Perjanjian Lama sebagai sumber utama tradisi Yudaisme. Kedua, dalam pemahaman
Yudaisme, Kerajaan Allah tidak pernah secara khusus berbicara dan mengacu
dengan “dunia lain” yang tidak punya kait-mengait dengan dunia kita saat ini.
Penulis pikir pembaca yang budiman akan sangat setuju dengan pandangan penulis
apalagi kalau kita mengambil contoh dari Doa Bapa Kami yang diajarkan oleh
Yesus sendiri dalam Matius 6:10, “datanglah Kerajaan-Mu, jadilah
kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” Dengan demikian, Kerajaan Allah
juga berbicara tentang kini dan sekarang, bukan hanya besok dan masa akan
datang.
Penulis cukup
terkejut membaca analisa Wright pada buku populernya, Following Jesus:
Biblical Reflections on Discipleship62 terhadap lagu Imagine dari
John Lenon. Dalam salah satu baitnya John Lenon menentang keras adanya surga
dan mengatakan bahwa tempat itu tidak ada. Menurut Wright pandangan Lenon
tersebut merupakan reaksi terhadap dugaan terhadap adanya surga dan neraka yang
baginya hanyalah mitos yang diciptakan oleh kalangan mediocre (mandek karena
suka berpuas diri) untuk membentuk moralitas kaum menengah yang nyaman dalam
kekuasaan (status quo), sedangkan orang-orang seperti dia hidup di jurang
ketidaknyamanan dan tanpa kuasa. Wright menambahkan bahwa semboyan mereka
adalah, “Karena satu saat nanti engkau akan pergi ke sana, lebih baik engkau
bertindak baik-baik selama hidup—yang seringkali berarti, lebih baik engkau
duduk, tutup mulut dan tidak usah bertingkah dan jadi orang yang terlalu banyak
mengganggu apa yang sedang berlangsung.”63 Suka atau tidak, pandangan
ini ada benarnya meskipun penulis seratus persen menolak definisi Lenon
tersebut. Orang-orang Kristen saat ini tampaknya menjadi orang-orang mediocre yang
cukup berpuas diri dengan jargon-jargon mendapat hidup kekal. Padahal kalau
ditilik lebih jauh mereka tidak lebih dari sekadar orang-orang bermental escapist,
yang suka melarikan diri dari banyaknya realitas hidup yang membutuhkan
kehadiran mereka di sana sebagai warga Kerajaan Allah. Gereja menjadi tempat
persembunyian orang-orang bermental status quo, suara mereka sangat
nyaring terdengar di seantero gereja, namun jika kembali dalam realitas hidup,
mereka diam seribu bahasa. Pada akhirnya pemuridan Kristen yang begitu mulia
dan agung yang mencakup aspek-aspek menyangkal diri, memikul salib dan mengikut
Yesus (bdk. Mat. 16:24; Mrk. 8:34; Luk. 9:23; 14:27) disempitkan pada sebatas
aktivitas untuk meyakinkan orang per orang terhadap “hidup kekal” di dunia nun
jauh nan permai itu. Bagi penulis, sedikit banyak pandangan ini muncul karena
konsep Kerajaan Allah yang salah kaprah dan selalu ditafsirkan sebagai dunia
yang nun jauh di sana dan merupakan tempat yang indah nan permai.
Bagi
penulis, sejalan dengan pembahasan sebelumnya, Kerajaan Allah adalah
sebuah realitas kosmik (bukan ilusi atau sesuatu yang abstrak dan nun jauh di
sana) yang menyeluruh dan menunjuk kepada Suatu Pribadi bahwa Kristus adalah
Sang Raja yang patut disembah oleh segala makhluk di jagad ini dan bahwa setiap
murid-murid-Nya dipanggil untuk men-Tuhankan Dia dalam setiap aspek kehidupan
mereka. Di dalam setiap aspek itu, realitas kosmik itu hadir dan melakukan
penetrasi yang pada akhirnya menyadarkan setiap pribadi bahwa sungguh Kristus
adalah Raja semesta ini. Dari makna ini, kita dibawa kepada suatu klarifikasi
bahwa Kerajaan Allah pertama-tama dan terutama berbicara tentang cita-cita
eskatologis bahwa Kristus adalah Raja yang sudah dinobatkan dan
setiap makhluk dipanggil untuk taat dan menyembah-Nya (Fil. 2:10-11; Kol.
1:15-18).
Pertanyaan
aplikasi yang mungkin perlu direnungkan oleh rekan-rekanku yang banyak terjum
dalam Kelompok Tumbuh Bersama sekarang ini adalah, “Apa fokus dan tujuan dari
pemuridan kita?” Saya takut dalam KTB kita banyak menekankan private
religion, kekristenan yang pro-me (untuk saya, keluarga saya dan
orang-orang terdekat saya “tanpa peduli” dengan apa yang terjadi dengan dunia
di sekitar saya) dan kembali memilah-milah antara ranah rohani dan ranah
sekuler. Kita sangat senang kala melihat anggota-anggota KTB “berkepastian
keselamatan” tapi “kurang senang” jika bertemu dengan gembel bau dan kelaparan
yang tiap hari nongkrong di depan pagar kost kita. Kita sangat
bersemangat untuk berdoa bagi keselamatan keluarga dan sanak famili kita namun
kurang sukacita dan bergairah untuk mendoakan peperangan rohani terkait dengan
perkembangan politik dunia dan huru-hara yang makin merajalela di seantero bumi
ini. Seorang murid Kristus yang sejati akan senantiasa melihat bahwa Kristus
adalah satu-satunya Tuhan atas sejarah dan dunia (bukan hanya Tuhannya untuk
dirinya saja). Mata rohaninya akan senantiasa dipenuhi dengan linangan air mata
bukan hanya saat orang-orang yang dekat dengannya belum mengenal Yesus tapi
juga saat melihat bahwa seisi dunia ini belum taat dan menyembah Yesus sebagai
Raja mereka. Visi hidupnya adalah seperti yang diungkapkan oleh rasul Paulus
dalam Roma 1:5, “Dengan perantaraan-Nya kami menerima kasih karunia dan jabatan
rasul untuk menuntun semua bangsa, supaya mereka percaya dan
taat kepada nama-Nya.”
Sekali
lagi, Pemuridan Kristen bukanlah sekadar “memindahkan seseorang dari
neraka jahanam ke surga yang sejuk, berumput hijau, berair tenang nan nyaman
cemerlang,” tapi lebih dari pada itu pemuridan Kristen bertujuan membentuk
suatu umat Allah yang kudus dan taat dan setia mewartakan kepada dunia bahwa Yesus
adalah Raja dan bahwa segala makhluk harus taat kepada-Nya. Setiap aspek
kehidupan mereka akan terus memancarkan realitas tunggal bahwa Yesus Kristus
adalah Raja.
1Tulisan ini diangkat dan diolah
kembali dari Tugas Akhir penulis yang berjudul Konsep Mesias Menurut
Tradisi Eskatologi Yahudi dan Sumbangsihnya Bagi Penafsiran Kristologi khususnya
pada Bab IV, “Makna Kerajaan Allah yang Dibawa Oleh Yesus dan Evaluasi Terhadap
Pandangan Kristologi Masa kini.”
5Christology at the Crossroads (Maryknoll:
Orbis, 1984) 41. Lih. juga Gustavo Gutiérrez, The Truth Shall Make You
Free: Confrontation (Maryknoll: Orbis, 1991) 117.
8A Theology for the Social Gospel (Nashville:
Abingdon, 1945) 131 [penekanan oleh penulis]. Bagi penulis, inilah salah satu
kekeliruan Agustinus yang menyamakan Kerajaan Allah dengan gereja, “Then it
must be out of His present kingdom, the Church, that they are gathered. .
. . Therefore the Church even now is the kingdom of God, and the kingdom
of Heaven. . . .” (The City of God [trans.; New York: The Modern Library,
1950] 725, 726) [penekanan oleh penulis].
10N. T. Wright, The Challenge of
Jesus: Rediscovering Who Jesus Was and Is (Downers Grove: InterVarsity,
1999) 34. Walter Rauschenbusch, misalnya, melihat Kerajaan Allah adalah
konsep yang harus dibedakan dari Gereja (lih. A Theology 132-138).
Agustinus di pihak lain justru mengasosiasikan Kerajaan Allah dengan Gereja.
Pandangan yang sama dengan Agustinus, yang menyamakan Kerajaan Allah dengan
Gereja dapat pula dilihat dari pandangan tokoh-tokoh Dispensasionalisme seperti
John Walvoord yang menyatakan, “Concerning this, Jesus said, ‘The Kingdom of
Heaven is like a mustard seed. . . . The church, like a mustard seed, had
a small beginning. Jesus and his disciples outwardly seemed like a small and
insignificant beginning for a great undertaking. Yet in the centuries that has
followed, the professing church has became a gigantic institution, including
millions of individuals” (Major Bible Prophecies [Grand Rapids: Zondervan,
1991] 212 [penekanan oleh penulis]). Bagi Gutiérrez, seorang teolog pembebasan
terkenal, Kerajaan Allah identik dengan pembebasan (liberation). Pembebasan
yang ia maksudkan ialah pembebasan dalam tendensi politis dan sosial, “It can
even be said that historical, political, liberating actions mean the growth of
the kingdom. . . .” (The Truth 15-16). Pandangan ini mirip dengan
defiinisi yang diberikan oleh Reinhold Niebuhr, “Kingdom of God seemed to be an
immanent force in history, culminating in a universal society of brotherhood
and justice” (The Nature and Destiny of Man [New York: Charles Scribner’s
Sons, 1964] 2.245). Ini berbeda dengan konsep Kerajaan Allah Küng yang
kelihatannya memiliki kemiripan dengan konsep demitologisasi Bultmann. Ia
menekankan transcendental atau heavenly Kingdom yang
berbeda dari religio-political theocracy (On Being a Christian 215,216)
. Satu artikel yang membahas dengan baik dan cukup panjang lebar tentang
perbedaan pandangan konsep Kerajaan Allah antara yang pro dengan konsep other-worldliness of
the Kingdom dengan konsep this-worldly of the Kingdom versi
Herbert Braun serta memberikan implikasinya secara singkat namun padat, adalah
tulisan Günter Klein, “The Biblical Understanding of the Kingdom of God,” Interpretation 26/4
(October 1972) 388-394. Dengan demikian terjadi ketegangan-ketegangan antara
nilai transenden dengan imanen, masa depan dengan masa kini, atau tekanan
antara makna institusionalisme dengan makna am dari Kerajaan Allah
tersebut.
11Untuk Mengenang Perempuan Itu:
Rekonstruksi Teologis Feminis tentang Asal-usul Kekristenan (terj;
Jakarta: Gunung Mulia, 1995) 165.
13Bagi penulis kegagalan fatal dari
banyak kalangan Injili sekarang ini dalam menjelaskan definisi Kerajaan Allah
adalah kecenderungan sempit untuk menyamakan Kerajaan Allah sebagai suatu
lokasi tempat tinggal orang-orang percaya setelah mati (surga) untuk hidup
kekal. Ini banyak ditemui dalam metode-metode penginjilan masa kini. Ayat-ayat
tentang Kerajaan Allah dikutip secara sembrono untuk mendukung teologi “hidup
kekal” ini.
14Chilton “The Reign of Forceful
Grace” dalam Jewish-Christian Debates: Kingdom, Messiah (Minneapolis:
Fortress, 1998) 135 [penekanan oleh penulis].
17Lih. ambiguitas yang muncul dari
kata Inggris Kingdom dalam buku C. H. Dodd, The Parables of the
Kingdom (New York: Charles Scribner’s, 1961) 21.
18Lih. Song, Jesus and the Reign
of God 5. James Dunn cenderung memakai terminologi Kingdom of God karena
memang kata Yunani dari istilah ini, basileia, secara literal
berarti Kingdom (Jesus Remembered. Vol. 1. Christianity in the
Making [Grand Rapids: Eerdmans, 2003] 383). Secara filosofis, John Meier
sebenarnya lebih setuju dengan istilah reign, rule, kingship atau kingly
power dari pada kingdom. Ia menggunakan istilah kingdomhanya
demi alasan praktis. Alasan utama yang ia kemukakan saat memakai frasa ini
adalah karena frasa ini sudah sangat umum digunakan dalam banyak buku dan
artikel. Selain itu penggunaan istilah lain akan membingungkan bagi “pendatang
baru” yang ingin berdiskusi dengan topik ini (A Marginal Jew: Rethinking the
Historical Jesus [New York: Doubleday, 1994] 2: 240). Dalam hal ini
penulis cenderung untuk menyetujui pandangan Meier.
19The Parables 21. Reign dapat
diterjemahkan “pemerintahan”, sovereignty dapat diterjemahkan
“kedaulatan” tetapi dua kata berikutnya kingship dan kingly
rule sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Saya bersyukur untuk
Ev. Nindyo Sasongko yang memberikan alternatif terjemahan seperti di atas.
23A Marginal Jew 2: 240. Lih.
juga definisi serupa yang diberikan oleh Sanders, “We should all agree that
‘kingdom’ is a concept with a known core of meaning: the reign of God, the
‘sphere’ (whether geographical, temporal or spiritual) where God exercises his
power” (Jesus and Judaism [Philadelphia: Fortress, 1985] 126).
24Menurut penulis, Chilton agak
sedikit keliru saat ia memetakan Kerajaan Allah dengan hanya memakai kitab
Mazmur sebagai dasarnya, di mana ia mengatakan, “In Psalms we must reckon with
a much more nuanced application of a language of kingship to God than the
modern fixation on eschatology would allow” (Pure Kingdom 31). Meier
mengatakan bahwa memang banyak pakar yang mengikuti pola Sigmund Mowinckel,
yang menamakan Mzm. 47, 93, 96, 97, 98 dan 99 sebagai “royal enthroment psalms.”
Namun penulis setuju dengan Meier yang kemudian menyatakan bahwa, “Yet, the
theme of God’s kingship over Israel is by no means restricted to the Book of
Psalms” (A Marginal Jew 2:245). Selman turut mencatat bahwa kebiasaan
hanya melihat enthronment Psalmsmengakibatkan timbulnya pemisahan antara
konsep Kerajaan Allah (kingdom of God) dengan Kingship of YHWH “. . .
it is usually tacitly assumed that there is no real distinction between
statements that Yahweh is King and that he has a kingdom. As a result, little
attention has been given to those passages which contain specific mention of
Yahwe’s kingdom. This failure to reckon with a separate concept is particularly
evident in the case of the Psalms, where discussion has tended to be limited to
the cultic implications of the so-called ‘Enthronement Psalms’” (“The Kingdom
of God” 162).
25Sehubungan dengan catatan kaki 24,
penulis setuju dengan Meier yang menyatakan bahwa secara mengejutkan banyak
Mazmur-mazmur yang mengetengahkan locus atau tema bahwa YHWH adalah
Raja, ternyata meminjam ide ini dan ide-ide lain seputar peristiwa kovenan
Allah dengan Israel dalam Pentateukh (A Marginal Jew 2:245). Penulis
mencatat beberapa di antaranya: Mzm. 68:9, 18, 25, 35-36; 89:10-11 (kata
“Rahab” dalam ayat ini menunjuk kepada bangsa Mesir. Bdk. Yes. 27:1; 30:7;
51:9); 93:4; 95:8-11; 99:6-9.
26Bdk. dengan penolakan Gideon untuk
memerintah Israel saat orang Israel memintanya untuk memerintah mereka (Hak.
8:23). Menariknya, Tuhan sepertinya sudah mengantisipasi hal ini melalui
peraturan yang ditulis dalam Ul. 17:14-20. Merupakan hal yang keliru untuk
menyatakan bahwa kebiasaan untuk mengangkat seorang raja-manusia adalah
kebiasaan bangsa-bangsa kafir tanpa melihat motif dan filosofi di balik
pengangkatan raja tersebut. Patrick menyatakan bahwa, “There was a rather
general understanding in the ancient Near that the authority of a ruler was
circumscribed by divine and natural law.” Contoh yang ia kemukakan adalah
meskipun ada hukum-hukum yang memakai nama penguasa, namun perlu dicatat
bahwa Code Hammurabi, hukum tertinggi Babilonia modern, dinyatakan sebagai
sebuah pewahyuan dari dewa Shamash, raja langit dan bumi (“The Kingdom of God”
74-75). Nel memaparkan bahwa acuan dewa (ilah) sebagai raja merupakan hal yang
lumrah dalam negara-negara tetangga Israel seperti Mesir, Mesopotamia dan
Siria. Sebagai contoh, Marduk disebut sebagai raja di kisah penciptaan Babilonia;
Amun-Re disebut sebagai “king of gods” dan “king of heavens” (“$lm” dalam NIDOTTE 2.960).
28Dalam hal ini, penulis kurang
setuju dengan analisa Selman untuk mengatasi kesulitan ini yang sekadar
menyimpulkan bahwa, “The kingdom of God is frequently thought to be manifest
through human beings” tanpa memberikan argumentasi yang jelas terhadap
kesimpulan ini (“The Kingdom of God” 183).
29Untuk melihat perbebatan seputar
terminologi Kerajaan Imam lihat John I. Durham, Exodus (WBC; Waco:
Word, 1987) 263. Penulis menemukan konsep yang sama dengan yang dianut oleh
teolog Yahudi terkenal Jacob Neusner yang dalam membandingkan konsep Kerajaan
Allah Kristen dengan Yahudi mengatakan, “Christianity’s kingdom of God concerns
personal obedience in the private life; the Torah’s kingdom of Heaven speaks to
the formation of a kingdom of priests and a holy people, a light to
the nations, a community that embodies the Torah and realizes God’s will not in
some one place but in every circumtances subject to God’s plan and will” (“A
Judaic Response to Forceful Grace” dalam Jewish-Christian Debates 155)
[penekanan oleh penulis].
30Ibid. Kegagalan terbesar dalam
melihat konsep ini adalah terjadi karena kebanyakan ahli memisahkan makna
Kerajaan Imam dari dua konteks ini.
34Pernyataan ini jangan sampai
disalahpahami bahwa Kerajaan Allah baru berdiri seiring dengan deklarasi Israel
sebagai “warga” pertama dari kerajaan ini. Dalam hal ini penulis sepakat dengan
pernyataan Selman, “The Old Testament never speaks of a beginning of Yahweh’s
kingship, but only of Israel coming to acknowledge that kingship for herself as
she entered into covenant with her God” (“The Kingdom of God” 182) .
35Penulis setuju dengan Duane L.
Christensen yang melalui komentarnya terhadap ay. 14 menyatakan bahwa, “The law
of he king acknowledges that a time will come when the people of Israel will
desire a king. . . .” (Deuteronomy 1:1-21:9 [WBC; Nashville: Thomas
Nelson, 2001) 383.
36Christensen membahasakannya dengan
lebih baik, “This is not a command but a concession. . . .” (ibid. 384).
37Durham mengutip pandangan Mowinckel
dalam mengomentari Ul. 15:1, yang mengatakan, ”. . . and the phrase ‘horses and
chariots’ is the standing OT phrase characterizing human military forces
as against God’s . . . .” (Exodus 205) [penekanan oleh penulis].
39Ibid. 384-385. Berbagai hal yang
selama ini dianggap “keberhasilan” Salomo (1Raj. 10:14-28) bagi penulis justru
merupakan awal dari kegagalannya. Perhatikan konteks selanjutnya dari bagian
ini 1Raja-raja 11-12. Bdk. juga dengan pandangan Christensen, Deuteronomy 382.
Penilaian positif yang diberikan kitab penulis-penulis kitab Deuteronomistik
kepada harta kekayaan Salomo selalu hanya dikaitkan dengan perhatian yang
serius dari Salomo untuk membangun Bait Allah. Emas dan perak dalam arti positi
senantiasa dikaitkan dengan persembahan untuk Bait Allah (bdk. 2Taw. 9:24).
Dalam perjalanan kerajaan Israel Selatan, beberapa raja jatuh karena tiga
persoalan ini, misalnya: Yoas yang jatuh karena menyerahkan emas dari rumah
Tuhan demi jaminan keamanan dari Hazael, raja Aram (2Raj. 12:17-18); Raja Asa
mengerluarkan emas dan perak untuk mengadakan persekutuan militer dengan
Benhadad, raja Aram (2Taw. 16:2-3); Hizkia yang mempertontonkan emas, perak,
persenjataan dan berbagai hartanya pada para utusan Babel untuk kerjasama
membangun kerjasama politik dan militer demi mencegah ancaman Asyur (2Raj.
20:12-21).
40Konteks bagian ini, di mana dua
anak Samuel yang diharapkan menjadi pemimpin yang tangguh bagi mereka ternyata
gagal dalam moralitas (8:1-5) padahal di pihak lain Filistin terus merongrong
ekstistensi bangsa ini sejak masa hakim-hakim, tentu menjadi dasar kuat untuk
mendukung asumsi ini. Lih. juga penafsiran P. Kyle McCarter Jr. terhadap
perikop ini dalam bukunya 1Samuel (AB; New York: Doubleday, 1980)
159-160. Lih. juga analisa Gerhard Von Rad yang menyatakan bahwa, “In Israel
the monarchy arose under Philistine pressure” (“%l,m, and tWkl.m: in OT”
dalam TDNT 1.565).
41Inilah semangat yang ada dalam
kitab-kitab Deuteronomic history yang kebanyakan adalah hasil
refleksi umat pasca pembuangan (lih. 1Taw. 17:14).
44Wright secara baik membandingkan
kata “bertobat” yang diucapkan Yesus dengan yang pernah diteriakkan Josephus
saat menjadi komandan pasukan Roma untuk meredakan beberapa gerakan pemberontak
di Galilea, “metanoÄ“sein kai pistos emoi genesesthai”—repent and believe in me.
Kata-kata ini tentu tidak dimaksudkan agar para pemberontak mengakui dosa-dosa
yang berkaitan dengan perilaku moral-etis, seperti yang selama ini selalu
dipahami kalangan Kristen. Wright menyatakan maksud ungkapan ini sebagai
berikut, “So when he confronted the rebel leader, he says that he told
him to give up his own agenda and to trust him, Josephus, instead” (The
Challenge 43-44) [penekanan oleh penulis].
47Tentu mereka akan sangat marah
ketika melihat Yesus justru memperuntukkan Kerajaan Allah itu bagi mereka yang
tertindas, kaum berdosa dan kalangan marginal (bdk.
48Wright menyimpulkan, “The kingdom
of God, he said, is at hand. In other words, God was now unveiling his
age-old plan, bringing his sovereignty to bear on Israel and the world as he
had always intended bringing justice and mercy to Israel and the world”
(ibid.) [penekanan oleh penulis].
49Bertil E. Gärtner dengan sangat
baik mencatat tiga hal berkaitan dengan tindakan Yesus yang merepresentasikan
tindakan YHWH kepada Israel: pertama, pengampunan Yesus atas dosa; kedua,
Yesus menyatakan diri-Nya lebih besar dari Musa; ketiga, Yesus berkuasa
atas setan; keempat, Yesus memiliki otoritas sebagai hakim; kelima,
Yesus sendiri adalah manifestasi dari kehadiran Kerajaan Allah (“The Person of
Jesus and the Kingdom of God,” Theology Today 40/2 [April 1970]
32-34).
50Bdk. Luk. 22:20 (lih. “Cawan ini
adalah perjanjian baru. . . .” Bdk. Yer. 31:31). Bdk. dengan penafsiran istilah
“perjanjian baru” dari penulis Ibrani (8:8-12; 10:16-17). Lih. Yes. 42: 6 yang
ada dalam konteks bahwa sang Mesias-lah yang akan membawa perjanjian baru itu.
Lih. juga Yoh. 13:34.
51Pandangan menarik dikatakan oleh
Sanders yang mengemukakan bahwa jumlah dua belas dari murid Yesus bukan tanpa
makna. Itu adalah simbol restorasi Israel yang mewakili dua belas suku, umat
baru yang taat (lih. Jesus and Judaism 118-119).
53Contoh yang paling konkret di mana
ia mempersonalisasi Kerajaan Allah di dalam diri-Nya tampak dari ucapan-Nya dalam
Mat. 11:29, ”. . . pikullah kuk. . . .” Ajakan Yesus ini mirip dengan definisi
Kerajaan Allah yang dipahami oleh tradisi rabbinic, the yoke of Torah (lih.
Neusner, “Living under the Yoke” 101). Wright meyatakan bahwa ayat ini
mengontraskan the yoke of the law dengan the yoke of the kingdom (Jesus 302).
Wright memberikan penguatan terhadap asumsi penulis bahwa ayat ini menunjuk
kepada maksud Yesus mempersonalisasi Kerajaan Allah dalam diri-Nya dengan
menyatakan, “Instead of being under Torah itself, the summons was now to be
under Jesus” (Jesus 302).
54Mat. 21:12-13; Mrk. 11:12-19. Luk.
19:45-48; Yoh. 2:13-16. Literatur PL sering mengaitkan kekudusan dengan Bait
Allah, misalnya: 1Taw. 29:3; 2:6; Yes. 6:1-3.
56Luk. 19:41-44. Lihat juga
perumpamaan dalam 18:12-14; tiga perumpamaan dalam 15:1-32. Lih. 1Pet. 2:9, “.
. . imamat yang rajani . . . supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang
besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada
terang-Nya yang ajaib. . . .” Bdk. dengan referensi PL yang dipakai Petrus
untuk mengembangkan idenya yakni Yes. 43:20-21, “. . . umat yang telah Kubentuk
bagi-Ku akan memberitakan kemasyhuran-Ku.”
57Hal ini juga tertuang dalam
keyakinan kaum esenit di Qumran, bahwa mereka adalah anak terang (children of
light). Sayangnya, mereka menganut konsep sempit dengan memaknai kesucian
asketis. Akhirnya, terang mereka tidak dinikmati semua orang tapi untuk
eksistensi diri mereka sendiri.
59Luk. 2:32; Mrk. 4:21-25 dan Luk.
8:16 adalah perumpamaan yang ada dalam konteks kerajaan Allah. Dalam kaitan
dengan konteks pelita dan terang ini, Wright memberikan komentar yang indah
yang mengaitkan perumpamaan ini langsung dengan Yesus, “The best explanation of
this is in terms of a combination of themes: the coming of YHWH to his people,
the coming of the kingdom, and of course the coming of Jesus himself. . .
.” (Jesus239-240) [penekanan oleh penulis]. Lih. juga Yoh. 1:4-9; 8:12. Bdk.
dengan ungkapan Perjanjian Lama yang mengasosiasikan pelita/terang dengan YHWH
2Sam. 22:29; Ayb. 29:3; Mzm. 27:1 dan Mi. 7:8.
60Dalam bagian ini terkandung tiga
pokok Kerajaan Imam: Mesias yang menjadi representasi YHWH sebagai inisiator,
umat yang kudus, dan umat kepunyaan (kesayangan) Allah.
Komentar
Posting Komentar