Kemenangan Mutlak Kristus di dalam Hidup Orang Percaya


Kemenangan Mutlak Kristus di dalam Hidup Orang Percaya 
oleh Yusuf Deswanto, M.Div.

“Kemenangan Mutlak Kristus di dalam Hidup Orang Percaya”
Konsep Christus Victor dan Dampak Penebusan Kristus bagi Kehidupan Kristen sehari-hari.

"and then he told me, ‘My grace is enough; it’s all you need. My strength comes into its own in your weakness.’ Once I heard that, I was glad to let it happen. I quit focusing on the handicap and began appreciating the gift. It was a case of Christ’s strength moving in on my weakness."
(2 Corinthians 12:9 – Message)

  KEMENANGAN KRISTUS = KEMENANGAN ORANG PERCAYA?
            “Seringkali untuk hal-hal sementara, seperti bila kita sedang sakit, bila sedang menghadapi ujian dan permasalahan, kita mengandalkan Yesus.  Namun untuk memperoleh keselamatan kekal, kita malah mengandalkan diri sendiri.”  Itulah sepenggal kalimat di dalam penyajian Injil dari sebuah metode tertentu, yang digunakan untuk menjelaskan apa itu “iman yang tidak menyelamatkan,” yang kemudian disebut sebagai “iman sementara.”  Pesan di dalam kalimat penyajian Injil gaya metode ini sarat dengan makna teologis mengenai apa itu “beriman kepada Kristus.”         
Namun, kalimat di dalam penyajian Injil metode ini mungkin sekarang (sejauh pengamatan penulis) telah bergeser menjadi sebaliknya: “untuk memperoleh hidup kekal kita mengandalkan Kristus, tetapi untuk hal-hal lain di dalam hidup kita kita seringkali mengandalkan diri sendiri.”  Mengapa demikian?  Beban dan tantangan hidup yang berat di tengah dunia yang jungkir balik saat ini memang sangat potensial melahirkan manusia-manusia yang traumatik, yang kemudian seolah tak berpengharapan di dalam menatap masa depannya.  Kondisi keluarga yang carut marut, beban berat ekonomi yang menghadang, serta suasana sosial politik yang penuh intimidasi terhadap kekristenan sangat berpotensi melahirkan pribadi-pribadi Kristen yang “kerdil.”  Kalau kita memperhatikan khotbah-khotbah di gereja saat ini, nampaknya tema-tema penghiburan dan penguatan jauh lebih banyak melampaui tema-tema misi dan pengutusan jemaat untuk mampu “berbuat sesuatu” di tengah kehidupannya yang penuh tantangan.  Hal ini dapat dikatakan sebagai indikasi bahwa umat Kristen pada umumnya datang ke gereja dengan ekspektasi (harapan) untuk dipulihkan dari “kekalahan-kekalahannya” menghadapi tantangan hidup.  Khotbah “penghiburan” itu sendiri tidak salah, karena memang Yesus-lah sumber kelegaan yang sejati (Mat. 11:28).  Namun, seharusnya gereja dan umat Tuhan juga harus sadar bahwa mereka dipanggil menjadi domba di tengah kawanan serigala (Mat. 10:16), dan bahwa Ia juga telah memberikan kuasa-Nya bagi kita (Kis. 1:8) untuk “berbuat sesuatu” di tengah dunia ini.  Semua fenomena di dalam gereja ini memunculkan pertanyaan, “Apakah dampak kuasa kemenangan Kristus di atas kayu salib benar-benar memiliki dampak konkret dalam kehidupan Kristen saat ini?”
            Berangkat dari pertanyaan di atas, tulisan ini berusaha menjelaskan secara sederhana satu konsep penebusan Kristus yang disebut dengan Christus Victor (Kristus Pemenang).  Diharapkan melalui tulisan ini pembaca dapat kembali menyadari bahwa kemenangan Kristus di atas kayu salib bersifat mutlak dan menentukan (decisive) atas kehidupan umat-Nya.  Tulisan ini tidak hendak membahas perdebatan mengenai teori penebusan secara mendalam, melainkan memaparkan secara singkat penekanan dampak kemenangan Kristus di dalam konsep Christus Victor.

KONSEP CHRISTUS VICTOR DI DALAM DOKTRIN PENEBUSAN
            Kata penebusan di dalam bahasa Inggris adalah atonement, yang secara hurufiah berarti “proses menyatukan atau merekonsiliasi yang terpisah” (the state of being at one or being reconciled).  Secara teologis “penebusan” dapat diartikan sebagai karya Kristus yang menyelesaikan masalah dosa manusia untuk kemudian menghubungkan kembali manusia kepada Allah.  Wayne Grudem mendefinisikan penebusan sebagai “karya Kristus yang dikerjakan di dalam kehidupan dan kematian-Nya untuk mendapatkan keselamatan kita.”[1]  Puncak karya penebusan Kristus ini ialah penyerahan diri-Nya sebagai korban penebusan untuk memenuhi tuntutan ilahi atas dosa manusia, sehingga manusia dapat direkonsiliasikan dengan Allah.
Di dalam diskusi mengenai doktrin penebusan Kristus sepanjang sejarah gereja, terdapat banyak teori yang diajukan oleh para teolog yang saling berbeda (bahkan bertentangan) satu dengan yang lain.  Secara umum, terdapat tiga teori besar berkenaan dengan penebusan Kristus yang berseberangan dalam menjelaskan bagaimana dan untuk apa (siapa) Yesus Kristus mengerjakan karya penebusan-Nya.  Yang pertama adalah yang disebut dengan ransom theory (teori tebusan).  Pelopor teori ini adalah Origen (A.D. 185-254), seorang teolog dari Alexandria, yang kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh beberapa teolog lainnya, seperti Gregory of Nyssa, Gregrory the Great, Agustinus, dan John of Damascus.[2]  Teori ini menyatakan bahwa Kristus menjadi korban tebusan yang dibayarkan kepada Setan sebagai pengganti dari jiwa manusia yang mati dalam dosa, tetapi Setan tertipu karena Kristus sendiri akhirnya menang atas maut.[3]  Teori ini jelas memiliki kelemahan dasar.  Keberatan paling dasar dari teori ini adalah hakekat kekuasaan Setan yang jelas di bawah kuasa dan otoritas Allah sendiri.  Gambaran tentang hal ini sangat jelas tampak di dalam drama perjumpaan Allah dengan Iblis di dalam Ayub 1.  Maka, jika kuasa Iblis / Setan sendiri dibatasi oleh otoritas Allah, mengapa Allah harus menebus manusia darinya?  Di samping itu, Allah tidak mungkin menggunakan cara penebusan yang mengandung tipuan atau trik.
Teori kedua yang banyak dibicarakan adalah satisfaction theory (teori pemuasan).  Teori ini berangkat dari pandangan bahwa manusia berhutang kepada Allah.  Kristus mati untuk memuaskan satu prinsip di dalam natur Allah Bapa, yaitu keadilan Allah.[4]  Teori yang dipengaruhi latar belakang tradisi hukum Romawi ini dipelopori oleh Anselm (1033-1109), seorang Uskup Agung dari Canterbury.  Teori ini dikembangkan dan dimodifikasi oleh beberapa teolog terkemudian.  Pada abad ke-16 John Calvin mengembangkannya menjadi the penal theory, di mana dosa dilihat sebagai pelanggaran hukum, dan demi Keadilan Allah pelanggaran hukum tersebut harus dihukum.[5]  Sementara pada abad ke-17, teori pemuasan dikembangkan oleh Hugo Grotius dengan istilah governmental theory.  Teori ini berpandangan bahwa Allah adalah pemberi hukum yang mengerjakan dan memelihara hukum di alam semesta.  Jadi, ketika manusia berdosa melanggar hukum, ia harus diadili dan akan berakhir pada kematian kekal.[6]  Masalah dari teori ini, khususnya pandangan yang masih asli dari Anselm adalah bahwa manusia memang tidak akan mampu membayar kesalahannya, sebab perbuatan baiknya tidak akan memuaskan Allah.  Ketidakmampuan ini kemudian menyebabkan Allah menjelma menjadi manusia, namun hal ini dilakukan-Nya bukan sebagai hutang, melainkan demi kehormatan-Nya sendiri.[7]    
            Teori ketiga adalah the moral influence theory (teori pengaruh moral).  Teori ini dipelopori oleh Peter Abelard dari Inggris, yang menekankan bahwa penebusan adalah kasih Kristus yang tersedia bagi semua orang.  Kasih Kristus di kayu salib menunjukkan keadilan yaitu bahwa kasih-Nya mampu membenarkan orang berdosa.  Karya penebusan juga menjadi semacam tindakan simbolik yang efeknya dapat dirasakan oleh manusia.[8]  Teori ini jelas memiliki kelemahan yang mendasar, karena kematian Kristus di kayu salib bukan sekedar demonstrasi kasih Allah di mana manusia dapat belajar daripadanya.  Kematian Kristus memiliki dampak langsung (objective effect) bagi manusia.
            Beberapa teori lain yang dicatat oleh beberapa sarjana adalah pengembangan dari ketiga teori ini.  Sebenarnya beberapa teori di atas dapat dikelompokkan di dalam dua pandangan besar tentang penebusan: yang pertama adalah pandangan penebusan Latin (Latin view of atonement), dan yang kedua adalah pandangan Klasik (Classical view of atonement).[9]  Pandangan Latin berfokus pada penebusan yang ditujukan bagi kepentingan (keadilan dan kasih) Allah sendiri.  Sedangkan pandangan Klasik melihat bahwa penebusan Kristus memiliki dampak penting bagi manusia itu sendiri. 
Konsep Cristus Victor sendiri oleh Erickson dikategorikan sebagai pengembangan teori tebusan (ransom theory).[10]  Teori ini sudah mulai diuraikan di dalam pemikiran Martin Luther.  Pandangan Luther terhadap penebusan Kristus sebenarnya sejalan dengan teori penghukuman (the penal theory), yang mana penebusan dipahami sebagai karya Kristus yang menanggung hukuman ilahi karena dosa manusia (pandangan Reformasi pada umumnya).  Namun. Luther juga menjelaskan bahwa karya Kristus adalah sebuah kemengan atas “tirani-tirani,” di mana tirani-tirani ini dapat diartikan dengan luas sebagai hukum (law), murka Allah (ther wrath of God), dan kuasa jahat (evil power).[11]  
Pada tahun 1931, seorang Bishop dari Swiss, Gustaf Emanuel H. Aulén, mengajukan konsep penebusan Christus Victor di dalam bukunya, Christus Victor: An Historical Study of the Three Main Types of the Idea of the Atonement.  Secara hurufiah Christus Victor berarti Christ is the One who won the victory (Kristus Pemenang).[12]  Aulén menyebut konsepnya sebagai “pandangan klasik,” di mana penekanannya kepada kemenangan Kristus secara decisive (menentukan) atas kuasa jahat Iblis yang membebaskan manusia dari belenggunya.  Pandangannya didasarkan pada dua pendekatan: pendekatan dramatik – bahwa Alkitab berfokus pada drama peperangan antara Allah dengan kekuatan-kekuatan jahat yang membelenggu manusia, serta pendekatan dualistik – yaitu adanya dua kekuatan yaitu Allah dan Setan yang terus berperang di dalam tataran kosmik (semesta secara menyeluruh).[13]  Konsep penebusan yang bermotif kemenangan ini dapat disimpulkan dalam tiga hal: (1) Penebusan sebagai sebuah karya Allah Secara Pribadi; (2) Penebusan sebagai Kemenangan atas Pengaruh Kuasa Jahat; dan (3) Penebusan sebagai proses Rekonsiliasi.[14]

DAMPAK KEMENANGAN MUTLAK KRISTUS DALAM HIDUP DAN PELAYANAN KRISTEN  
Terlepas dari perdebatan yang masih mungkin muncul sebagai respons atas teori penebusan klasik atau Christus Victor,[15] pandangan Aulén ini memberikan kontribusi pemikiran yang signifikan khususnya bagi kehidupan praktis Kristen.  Di dalam kondisi hidup yang penuh dengan tantangan berat saat ini, setiap orang Kristen harus sadar bahwa hidup di dunia ini bagi orang percaya adalah sebuah “peperangan rohani.”  Kesadaran bahwa kemenangan Kristus yang bersifat mutlak itu seharusnya dapat menjadi “senjata” yang dapat digunakan oleh semua orang percaya untuk berani masuk dalam peperangan rohani tersebut.  Di dalam 1 Korintus 12:9, rasul Paulus mengisahkan pengalamannya yang harus menghadapi realita hidup yang sulit.  Dan Allah meneguhkannya dengan berkata, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.”  Anugerah Allah cukup bagi setiap orang percaya.  Demikian pula kemenangan-Nya cukup bagi setiap kita, umat-Nya.
Secara konkret, apa yang bisa dikerjakan oleh setiap orang percaya dalam memasuki arena peperangan rohani tersebut?  Kehidupan doa yang terus bertumbuh adalah sarana utama seseorang agar dapat mengimplementasikan kemenangan Kristus di dalam hidupnya.  Doa sebagai peperangan rohani harus didasarkan pada keyakinan bahwa Allah berkuasa penuh dalam mengontrol alam semesta dan segala kekuatan jahat yang ada di dalamnya.  Berdoa dengan keyakinan atas kemenangan Kristus yang mutlak membawa orang Kristen untuk tidak lagi “cengeng” menghadapi beratnya beban dan tantangan hidup yang ada.
Di dalam kehidupan pelayanan Kristen, kesadaran akan kemenangan decisive Kristus atas kuasa jahat yang bersifat menyeluruh (kosmik), seharusnya membawa pelayanan Kristen semakin penetratif di dalam merebut jiwa-jiwa dari belenggu kuasa jahat.  Peperangan dengan kuasa kegelapan adalah bagian dari pelayanan orang Kristen secara praktis.  Ketika orang Kristen masuk dalam pelayanan (apapun bentuknya), ia sedang masuk di dalam sebuah sebuah pergumulan melawan kuasa kegelapan. 
Penulis sendiri melihat realita di tengah pelayanan, betapa sulitnya saat ini mengajak mahasiswa untuk bertumbuh di dalam pelayanan pemuridan.  Bukan hanya penolakan, bahkan intimidasi secara frontal sedang dipertontonkan oleh kuasa kegelapan melalui orang-orang yang menolak kuasa dan otoritas Allah.  Yang di temui di tengah pelayanan PMK saat ini adalah semangat otonomi dan kebebasan independen dari pengaruh otoritas apapun (dan siapapun).  Semangat ini sangat berbahaya, karena Alkitab (terutama PB) sangat menekankan ketaatan terhadap otoritas kelembagaan (misalnya pemerintah atau gereja) yang ditempatkan Allah sebagai wakil-Nya di dunia ini.   Penulis sampai pada kesimpulan bahwa “kecanggihan” strategi dan metode apapun yang digunakan untuk membawa mahasiswa ke dalam penebusan Kristus dan kemudian masuk di dalam pertumbuhan rohani, tidak akan berhasil tanpa adanya kemenangan di dalam peperangan rohani dalam merebut jiwa-jiwa dari semangat zaman ini yang jahat.
Karena itu, di dalam lingkup pelayanan Perkantas yang semakin luas, sebaiknya setiap komponen pelayanan yang ada segera menyadari, bahwa segala metode dan strategi pelayanan yang sedang dirancangkan akan “mandul” tanpa kesadaran akan pentingnya “berperang” di dalam doa peperangan rohani.  Ingatlah selalu, “perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara” (Ef. 6:12).  Namun kuatkan dan teguhkan hati, karena  senjata kita juga telah diperlengkapi oleh kuasa Allah, yang sanggup meruntuhkan benteng-benteng dunia ini (2 Kor. 10:4).  Dalam kehidupan pribadi dan dalam pelayanan, kita sebenarnya sudah diberi kuasa untuk menang, karena Christus Victor, Kristus Yesus Tuhan kita adalah Sang Pemenang.




[1]Systematic Theology (Leicester: InterVarsity, 1994) 568.
[2]Millard J. Erickson, Chirstian Theology (2nd ed.; Grand Rapids: Baker, 1998) 810-813.   
[3]Ibid. 810. Bdk. Grudem, Systematic 581.
[4]Erickson, Christian 813.
[5]Ferry Y. Mamahit, “Christus Victor dan Kemenangan Orang Kristen Terhadap Kuasa Kegelapan,” Veritas 5/1 (April 2004) 4.
[6]Ibid. Bdk. Grudem, Systematic 582. Juga Paul Enns, The Moody Handbook of Theology(Chicago: Moody, 1989) 321.
[7]Mamahit, “Christus Victor” 5.
[8]Ibid.
[9]Ibid. 7.
[10]Christian 810-813.
[11]Seperti yang dikutip Mamahit dari H. D. McDonald, The Atonement of The Death of Christ: In Faith, Revelation and History (Grand Rapids: Baker, 1985) 181-195.
[12]Mamahit, “Christus Victor” 7.
[13]Seperti yang dikutip Mamahit dari Gustaf Aulén, “Chaos and Cosmos: The Drama of the Atonement,” Interpretation 4/2 (April, 1950) 157.
[14]Ibid.
[15]Sebagai satu ide tentang penebusan yang berakar pada teori tebusan (ransom theory), penulis sendiri masih memiliki keberatan berkaitan dengan konsep dualistik yang menjadi salah satu dasar konsep Aulén ini.



Komentar