oleh Charles Christano
Pengantar:
Judul
ini menuntut penggalian makna yang kompleks. Pemahaman mengenai murid
itu sendiri sudah dapat menghabiskan banyak halaman, belum lagi murid
yang radikal. Jangan pernah kita lupa ketika berbicara tentang murid,
sesungguhnya kita juga harus memikirkan tentang calon pemimpin masa depan kita. Tetapi
begitu ada murid harus ada gurunya! Murid yang memiliki karakter
pemimpin tanpa dapat ditawar harus mendapatkan guru yang berkarakter
pula. Guru semacam itu jelas manusia yang semakin langka. Dia bukan hanya
orang yang pandai tetapi yang dapat digugu (dipercayai) dan ditiru (dijadikan
teladan), yakni manusia yang berkarakter unggul!
Untuk
“menghasilkan” murid yang radikal, dibutuhkan karakter dari calon murid
yang memiliki “keunggulan” pula, paling tidak secara potensial. Bukan
rahasia lagi bahwa pada umumnya, tidak sedikit yang pandai dan cerdas
malah tidak dapat membeli bangku karena biaya pendidikan semakin tidak terjangkau. Alih-alih
sampai menjual sawah atau “warisan” yang memang tidak seberapa, yang diterima
malah hanya mereka yang dapat membayar harga tertinggi.Sejak seleksi
penerimaan calon murid saja sudah membutuhkan “modal” yang mahal.Di
situlah dibuka pintu awal untuk lahirnya para koruptor bagi para
“pemimpin” hari esok kita;dari kepolisian, militer, para ahli hukum (calon
hakim, jaksa, advokat), juga calon camat, bupati, walikota, gubernur, bahkan
petinggi negara yang lebih tinggi lagi.
Dengan datangnya
era reformasi dan demokratisasi menjanjikan fajar baru! Ternyata sampai
pemilukada juga bermetamorfosa menjadi pemilu-kadal! Bukannya orang-orang
yang memiliki kecerdasan, kemampuan, ketrampilan - istimewanya yang memiliki
integritas, kredibilitas yang terbaik - yang “terpilih”, tetapi siapa yang
bisa membayar lebih mahal. Ternyata pesta demokrasi, sistim pemilu
langsung malah “menyemai” orang-orang licik. Begitu mereka menduduki
kursi yang dapat dibeli, mereka langsung menggunakan kalkulator
bagaimana harus mengembalikan modal untuk membeli suara rakyat! Parahnya, rakyat
yang semakin banyak yang termis-kinkan justru terus diiming-imingijenis
kehidupan yang semakin materialistis dan konsumeristis! Pada hal begitu
banyak pemilih pada dasarnya memang juga kurang berpendidikan! Betapa
mudahnya mereka tergiur dan terbeli hanya dengan sejumlah uang “receh”
yang menjadikan banyak mereka terbuai mimpi janji-janji “membela nasib wong
cilik” dsb.dsb.
Kita
dipusingkan dengan semakin sarat dan begitu banyaknya mafia yang mengepung
bangsa dan negara kita.berbagai mafia tadi memang memiliki jaringan dan
jejaring yang begitu sophisticated. Siapa lagi orang-orang kuncinya yang merekayasa
dan berkolusi kalau bukan “orang dalam” bahkan para petinggi yang
semakin gendut dan buncit, baik lingkar pinggang maupun rekening banknya. Mafia
yang satu belum terbongkar sampai tuntas, ditemukan mafia lainnya.
Ujung-ujungnya tercium bau bahwa
Membatasi
diri (hanya) dalam bidang murid dan pemuridan, betapa kita dikejutkan
bahwa untuk penyediaan buku-buku pelajaran (yang seharusnya menuntut
seleksi dari yang tersedia dan ditawarkan di pasar, masih harus juga
melalui tender), ternyata malah ada mafianya juga.Kalau hal ini terbukti
benar—mengingat konteks mafia hukum kita yang sudah begitu njlimet, ribet dan
ruwetnya, pasti bukan tugas yang sukar—ke depan mutu SDM kita
jelas lebih ditentukan oleh mafia penyediaan buku pelajaran dan bukan pada
anak bangsa yang lebih berhak mendapatkan kesempatan untuk menjadi murid! Ironis
sekali ketika kita semakin dituntut untuk bersaing dengan semua Negara dan
bangsa yang masing-masing berlomba begitu sengitnya untuk menyediakan
SDM yang handal sehingga memiliki nilai “jual” yang tinggi,bagaimana kita akan
dapat menemukan calon pemimpin yang berkarakter yang dapat dibanggakan?
Murid
dan Pemuridan dalam Alkitab.
Harus
diakui istilah murid dalam PL sedikit sekali disebutkan. Yang
dekat dengan istilah murid justru agak mengejutkan, yakni abdi! Misalnya
saja “[S]esudah Musa hamba TUHAN itu mati, berfirmanlah TUHAN kepada Yosua bin
Nun, abdi Musa” (Yosua 1:1).
Agar
kita langsung dapat melihat kesamaannya, kita akan membandingkan
dengan tulisan seorang rabi Yahudi. Inilah pesannya kepada salah seorang murid
(anak rohaninya). ‘[A]pa yang telah engkau dengar dari padaku di depan
banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat
dipercayai, yang juga cakap me-ngajar orang lain.’ (2 Timotius
2:2).
Tidak
ada salahnya kita dapat membandingkan juga dengan apa yang ditulis oleh seorang
rasul yang tidak menjadi martir sampai di usianya yang sangat lanjut! ‘[A]pa
yang… telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah
kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang
Firman hidup – itulah yang kami tuliskan kepada kamu.’ (1 Yohanes 1:1).
Dari
ketiga ayat di atas ada persamaan mendasar yang mencolok. Hubungan
antara guru dengan muridnya tadi bukan hanya semata-mata pada ketika
terjadi penyampaian (pemindahan) sejumlah pengetahuan, tetapi ada sesuatu yang
lebih esensial dan substansial dari hanya sekedar penyampaian (ilmu)
pengetahuan. Kehidupan sang guru begitu erat lekat dengan muridnya.Bukan
hanya apa yang didengar oleh murid, tetapi apa yang dilihat,
disaksikan, bahkan “diraba”.Adanya “alat peraga” yang hidup secara
konkret.
Yosua hidup
begitu dekat dengan Musa selama puluhan tahun. Mutu relasi antara
guru dan murid tadi jauh lebih dekat dari pada hubungan bahkan antara Harun
(dan Miriam) dengan Musa! Yosualah yang diajak oleh Musa ikut naik ke
gunung ketika Musa mempersiapkan diri untuk menerima Dekalog (Sepuluh
Hukum)!
Dalam
terang semacam itulah kita menemukan ayat yang berikut dalam PL! “[A]ku harus
menyimpan kesaksian ini dan memeteraikan pengajaran ini di antara
murid-muridku” (Yesaya 8:16).
Yesaya diperintahkan Tuhan
bahwa dia harus menyimpan apa yang Tuhan sampaikan
kepadanya dan melindunginya secara rapi dan aman. Dari ungkapan ini
kita tahu betapa ada kepercayaan yang sangat besar dari guru kepada para
murid! Dalam bagian lain dari kitabnya kita akan tahu mengapa apa
yang diberikan Tuhan harus dirahasiakan begitu rupa!
Sungguh
menarik bahwa untuk murid, digunakan לכןיך (limmuwd)
atau למןך (limmud) dari akar kata למך (lamad). Memang ada
kaitan dengan “ilmu” juga. Bagi kita mungkin berlebihan. Kata (lamad)
tadi mengandung makna: orang yang telah diberi pelajaran secara baik, orang yang
sudah menjadi terbiasa karena menerima pengajaran.akar kata (lamad)mengandung
makna: akar. Dari kata tadi kita mengenal istilah “radix,” lalu istilah
bentukannya, “radikal”. Jadi murid yang radikal adalah murid yang mengacu
pada akarnya, dari gurunya sendiri! Sedangkan
Yang
tidak kurang menariknya, sekali lagi walau kita kurang nyaman dibuatnya, dalam
hal didik-mendidik, akar kata “lamad” tadi dikaitkan erat dengan “galah
rangsang” (bdk. Kis. 26:14). Semacam bambu yang diruncingkan
ujungnya, sehingga bukan saja menjadikan kita akan sakit kalau
menendangnya, bahkan melihatnya saja sudah membuat kita menjadi segan dan
kurang nyaman!
Dalam
budaya Timar Tengah, sebagai insentive untuk mengajar
murid digunakan “pentung” atau “tongkat” (bdk. Amsal 10:13; 13:24; 26:3;
29:15). Tetapi kalau kita mau jujur, di zaman modern pun kita mengenal
istilah “carrot and stick”. Wortel (carrot) merupakan insentif untuk
yang berhasil dan berdaya guna, tetapi “pukulan” atau hukuman bagi
yang gagal atau tidak produktif! Adanya reward dan pusnishment!
Kembali
pada inti permasalahan kita: para pendidik yang ahli dan piawai, dalam
memberikan pelajaran kepada anak didik, bila perlu digunakan pentung, atau
tongkat!Istimewanya kepada murid (anak didik) yang nakal dan bandel (bukan
hanya malas).
Mudah-mudahan
kita akan lebih mudah memahami makna ayat-ayat yang justru menggunakan
istilah murid dalam PL! “[T]uhan ALLAH telah memberikan kepada-ku lidah
seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi sema-ngat baru
kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti
seorang murid. Tuhan ALLAH telah membuka telingaku, dan aku
tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang. Aku memberi punggungku
kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipikukepada orang-orang
yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku
dinodai dan diludahi.’ (Yesaya 50:4-6).
Menurut
logika yang wajar, murid seharusnya mendengar dan bukan untuk
(banyak) berbicara (apalagi untuk menasihati atau mengajar orang
lain!). Tetapi ayat kita mengejutkan kita! Bukannya murid hanya
mendengarkan sebaliknya malah (seakan-akan mendahulukan)agar murid
diberi lidah untuk “memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu”.
Ada semacam filsafat “On the job training”!
Cara
Tuhan Allah dalam memberikan pendidikan kepada para murid rupanya
berbeda dari cara kita mendidik orang lain! Allah tidak menghendaki para
murid untuk belajar dan terus belajar sehingga kepalanya dipenuhi banyak ilmu
tetapi menjadi pasif atau yang lebih buruk lagi pandainya hanya mengeritik! Para
murid tidak dilarang untuk mengambil prakarsa, lebih “cepat lebih
baik” dalam melakukan praktik pelayanan!
Ada
apa dengan kebanyakan lembaga pendidikan teologia yang ternama yang
meluluskan banyak alumni cemerlang? Rupanya untuk menjaga dan
memelihara citra dan nama baik kelembagaan,maka para murid dilarang untuk
berkhotbah, apalagi mengajar orang lain selagi masih menjadi murid. Minimal
mereka harus “menguasai” ilmu berkhotbah. Dan untuk itu para
murid harus“menguasai” bahasa-bahasa asli Alkitab! Termasuk bahasa Latin!
Sementara
itu di sekitar kita ada semakin banyak orang yang menderita. Mereka
kebingungan! Mereka menjadi putus asa karena harus menunggu giliran yang lama
untuk dilayani. Ironisnya para “hamba Tuhan” yang punya nama dan
memiliki “jam terbang yang tinggi”, menjadi kelewat sibuk dan semakin
tertindih oleh begitu banyak “tugas” dan pelayanan yang sudah antri panjang!Yang
sukar dimengerti, seandai-nya mereka-mereka tadi berhasil
mendidik murid, bukankah pelayanan yang ter-bengkalai tadi dapat
diatasi dengan sistem multiplikasi dan delegasi!
Janganlah
ada yang menyimpulkan bahwa saya menganjurkan untuk siapa pun boleh terjun
dalam pelayanan tanpa ada kualifikasi mendasar yang terpenuhi! Saya yakin yang
saya apungkan di atas merupakan benang merah yang diajarkan oleh Alkitab.
Keluaran
18:14 malah cukup dini mengoreksi Musa, hamba Tuhan yang luar biasa! Dia ditegor
dan dinasihati oleh mertuanya. Perhatikan ayat 17-26! Bandingkan juga
dengan Bilangan 11:11-17!
Di
PB, kita membaca, “[I]a memanggil orang-orang yang dikehendaki-Nya dan mereka
pun datang kepada-Nya. Ia menetapkan dua belas orang untuk
menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil dan diberi-Nya
kuasa untuk mengusir setan.’ (Markus 3:13-15).
Betapa
menarik ketika kata “menetapkan” (ποιεω, poieoo) mengandung makna dan
penterapan yang sangat luas termasuk antara lain: terlatih dan memberlakukan,
juga menggenapi tanpa harus menunda-nunda. Ketika kata tadi dikaitkan
dengan istilah “untuk menyertai Dia” semakin lebih menarik lagi. Para
murid ditetapkan untuk bukan hanya mendengar ajaran dan perintah-Nya tetapi
juga sesegera mungkin mempraktikkan pelayanan dalam bermacam bentuk dan
cara, tetapi mereka juga harus selalu memiliki keterkaitan dan
keterhubungan (persekutuan) dengan pribadi Yesus secara dekat dan hangat.
Kebenaran yang
barangkali tidak secara eksplisit segera kita tangkap menjadi begitu
jelas apabila kita hubungkan dengan konteksnya, “[K]emudian rasul-rasul
itu kem-bali berkumpul dengan Yesus (perhatikan Markus 6:6b-7) dan memberitahukan
(melaporkan) kepada-Nya semua yang mereka kerjakan dan ajarkan”
(Markus 6:30).
Untuk
diutus-Nya (αποστελλο, apostelloo) mengandung makna: yang
disisihkan, dikhususkan, dikuduskan untuk disuruh keluar dengan tugas
tertentu. Tetapi kata apostelloo juga terdiri dari kata απο (apo)
yang berarti dari sesuatu yang dekat, misalnya berhubungan
dengan tempat, waktu atau dari hubungan dengan yang mengutusnya! Itulah
sebabnya kita diingatkan, “[A]ku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa
menerima orang yang Kuutus, ia menerima Aku, dan barangsiapa menerima
Aku, ia menerima Dia yang mengutus Aku.” (Yoh. 13:20).
Kita
menjumpai paralel Markus 6:7 dalam Lukas 9:1-2. Kita mungkin ingin
menge-tahui berapa lama Yesus telah beserta dengan para murid dan
mengajar mereka sebelum mereka diutus sebagai wakil-Nya. Tetapi rasa
ingin tahu kita semakin menjadi-jadi ketika kita membaca,“[K]emudian dari pada
itu (Luk. 9:1,2) Tuhan menunjuk tujuh puluh murid yang lain, lalu
mengutus mereka berdua-dua mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak
dikunjungi-Nya. Kata-Nya kepada mereka (tujuh puluh murid yang
lain!): “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena
itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia
mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu. Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus
kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala. ” (Luk.
10:1-3).
Keterbatasan
ruang tidak mengijinkan kita untuk membahas masalah ini lebih panjang lebar.Yang
jelas Yesus hanya mengajar dan mendidik para murid dalam waktu yang
pendek, sekitar tiga setelah tahun. Itu pun di antaranya Dia sudah
mempercayai mereka untuk segera diutus agar melakukan praktik pelayanan
dan pengajaran! (bdk. Yes. 50 di atas!). Dan Yesus pernah
“gagal” ketika murid-murid-Nya tidak mampu melayani sebagaimana yang
diharapkan! (bdk. Mrk. 9:14-19). Apakah Yesus menjadi malu karena
citra-Nya dirusakkan oleh kinerja para murid? Tidak! Sebaliknya kegagalan
para murid dijadikan rangsangan untuk para murid mau belajar secara lebih
mendalam lagi!
Keempat
Injil memang tidak pernah secara eksplisit mengisahkan di mana dan kapan
Yesus mengajar tujuh puluh murid yang lain di luar dua belas rasul! Kira-kira
siapa yang mengajar mereka? Kapan dan di mana? Bukankah dapat saja para
rasul juga sudah melaksanakan ajaran dan perintah Tuhan untuk merekrut dan
mengajar mereka?(cf.2 Timotius 2:2). Kalau rasul-rasul saja bisa gagal,
lalu mengapa pula Yesus berani mengutus tujuh puluh murid yang lain?Apakah
Yesus memang mau citra-Nya semakin hancur? Yesus tahu benar bahwa
kegagalan bukan akhir segala-galanya!
PB
menggunakan istilah μαθητης (mathetes) untuk murid, yakni orang yang
belajar!Mathetes berasal dari kata μανθανω, manthano, dari akar kata
μαθ, math. Kita juga mengenal istilah matematika. Dengan demikian menjadi
seorang murid dituntut muatan usaha yang keras, penuh tantangan dan perhitungan. Para
murid harus benar-benar belajar secara sungguh-sungguh, tetapi juga
mempraktikkan apa yang diajarkan oleh guru mereka, dan … masih ada
“nilai tambah” lainnya yang merupakan ciri istimewa.
Di
atas sudah sempat disinggung keterkaitan dan keterhubungan (persekutaun)
yang begitu kental, kuat dan hangat antara murid dengan gurunya. Itulah
sebabnya PB dengan jelasmenyebutkan istilah: “murid-murid Yohanes
(Pembaptis)” Matius 9:14; Markus 2:18. Sedangkan orang-orang Farisi mengklaim sebagai
murid-murid Musa (Yohanes 9:28).
Lalu apa
yang dapat membedakan antara murid Yohanes Pembaptis dari murid Musa dan
dari murid Yesus? Apakah dari ajaran-ajarannya? Tentu bisa, tetapi tidak
mutlak. Dalam praktek hidup pelayanan, betapa ada saja orang
terkecoh ketika menilai seseorang karena lembaga pendidikan dan guru-guru
yang pernah mengajarnya. Lebih dari pada mencermati
ajaran-ajaran (yang memang penting!) ternyata ada faktor lain yang begitu
sukar ditangkap!barangkali mengenal mereka yang tamat dari seminari Injili
ternyata kepribadiannya tidak injili. Sebaliknya ada juga yang
jebolan dari seminari liberal yang terbukti injili benar! Bukan saja
ajaran-ajarannya, tetapi kehidupannya begitu otentik, memiliki integritas dan
karakter yang mendatangkan kemuliaan bagi nama Tuhan! Anda
Apanya?
Tanpa
banyak membuang waktu marilah kita simak ayat berikut ini! “[S]eorang muridtidak
lebih dari pada gurunya…Cukuplah bagi seorang murid jika
ia menjadi sama seperti gurunya.” (Mat. 10:24,25).
Dalam
dunia persilatan, para guru (suhu) biasanya tidak akan memberikan segala
ilmu dan keahliannya kepada para murid agar jangan sampai terjadi ada murid
yang dapat menyainginya atau mengalahkannya. Siapa tahu, mungkin ada
juga di antara para pemimpin kristiani yang begitu rupa menjaga reputasinya
sehingga secara sadar para muridnya tidak diberi “peluang” untuk menjadi sama
dengannya, apalagi menjadi lebih baik atau lebih unggul darinya.
Dari
ayat di atas, guru atau lebih tepatnya mentor – pembimbing atau
pengasuh yang memiliki hubungan pribadi yang begitu dekat dengan muridnya –
akan mengupayakan sedemikian rupa sehingga paling tidak muridnya akan
menjadi sama seperti gurunya. Dan ketika ia berhasil, orang lain akan
dengan mudahnya mengindentifikasikan murid tadi sebagai murid sang guru.
Menjelang
perpisahan-Nya, Yesus menyatakan beberapa hal yang sangat penting. Dia secara
khusus memberi tahu para murid-Nya relasi yang begitu indah, “[K]amu
adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu. Aku tidak
menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuattuannya,
tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan
kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku” (Yoh.
15:14,15). oleh
Hanya
dari satu ayat ini saja kita menemukan tambang permata yang kaya raya! Adanya
relasi yang sungguh istimewa. Para murid tidak lagi hanya sekadar
tetap murid! Mereka mempunyai teladan—contoh konkret—dari Sang
Guru dari (segala) yang (telah) diperbuat-Nya di depan mata mereka. Para
murid diangkat pada tataran sahabat.bukan tanpa syarat kecuali mereka
juga mengikuti jejak teladan sang Guru, mereka juga bukan hanya
mendengar tetapimereka juga bersedia dan siap membayar harga sebagaimana
yang dijelaskan dalam Yesaya 50 yang telah kita kutip sebelumnya. Tentunya
Dari
murid menjadi sahabat dibuktikan dengan melakukan atau berbuat apa yang
diperintahkan Guru mereka. “Tidak memberontak, tidak memalingkan wajah,
bahkan mereka membiarkan ketika punggungnya dipukuli oleh orang, ketika
janggutnya dicabuti (dalam budaya Timur Tengah merupakan penghinaan yang
mencolok!), bahkan wajahnya diludahi”.
Pemuridan
tanpa usaha pembelajaran yang sungguh-sungguh, tanpa kesediaan dan siap
membayar harga mahal karena mematuhi perintah gurunya (jangan lupa istilah
tongkat, pentung, pemukul) bukanlah pemuridan yang dikehendaki oleh Yesus. Betapa
pun tidak mudah dan beratnya, para murid tidak dibiarkan hanya pandai
berteori atau bermimpi! Mereka telah diberi teladan yang begitu mencolok. Dapat
dilihat, dipegang atau diraba karena kehidupan-Nya selalu dekat dengan para
murid! Istilah “Segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku” membuktikan
secara kuat sekali ketaatan sang Anak Tunggal Bapa.
Untuk
dapat lebih memahami kedalaman ketaatan Yesus, Anak Tunggal yang
Dikasihi Bapa dan yang seharusnya kita dengar perintah dan kehendak-Nya (cf.Markus
9:7), kita hanya perlu diingatkan akan ayat-ayat ini. “[D]an Ia, yang
telah mengutus Aku, Ia tidak membiarkan Aku sendiri, sebab Aku senantiasa berbuat apa
yang berkenan kepada-Nya” (Yoh. 8:29). “[D]alam hidup-Nya sebagai
manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap
tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelematkan-Nya dari maut,
dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan. Dan sekalipun Ia adalah
Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah
diderita-Nya” (Ibr. 5:7,8).
Bayangkan
apabila Sang Anak Tunggal Bapa agar menjadi berkenan di hati Bapa, dan agar
misi-Nya dipenuhi, “Dia sendiri harus belajar menjadi taat.” Dan
ketaatan-Nya tadi diwujudnyatakan dengan “Apa yang diderita-Nya,” bagaimana
halnya dengan kita? Saya yakin bahwa tidak mungkin seseorang dapat menjadi
murid Yesus tanpa mengenal Dia semakin dekat dan mendalam! (bdk. Fil.
1:20,21 dengan 3:10-14). Dan tidaklah mungkin seseorang dapat mengikut
jejak langkah-Nya tanpa dia sungguh-sungguh mengenal Dia!
Oleh
seorang murid yang tadinya sering bicara besar tetapi membuktikan dirinya
tidak lebih baik dari murid yang lain,dia meninggalkan warisan yang tidak boleh
diremehkan. Bayangkan ketika dia harus memalingkan wajah, menyangkal bahwa
dia mengenal Yesus hanya karena dituding oleh seorang wanita – tanpa dicabuti
janggutnya atau dilidahi mukanya—dia bermetamorfosa begitu rupa! setelah
direhabilitasi,
‘[S]ebab dapatkah
disebut pujian, jika kamu menderita pululan karena kamu berbuat
dosa?Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita , maka itu
adalah kasih karunia pada Allah. Sebab untuk itulah kamu dipanggil,
karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah
meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya”(1Pet.
2:20,21 perhatikan juga ayat-ayat 22-24).
Orang
lain, khususnya yang lagi susah dan menderita serta berputusasa, akan
dapat dibangkitkan lagi semangatnya oleh “murid yang diberi lidah untuk
menghibur mereka”. Hal itu terjadi karena murid yang memakai lidahnya
telah terlebih dahulu dipertajam pendengarnnya oleh Gurunya, setiap pagi, dalam
upaya untuk semakin mengenal Sang Guru! Dia tidak sedang mengikuti
study “on line” untuk meraih gelar lebih tinggi tetapi mengadakan “direct on
line in hot communication dengan Gurunya” sebelum dia memulai pekerjaan
dan pelayanannya atau terjebak dalam kesibukan yang begitu melelahkan! Kapankah
anda menikmati saat teduh anda yang terakhir dengan Guru anda? Luar biasa
bukan?
Percaya
atau tidak, hanya mereka yang pernah disakiti hatinya—mereka yang pernah
menangis karena diperlakukan secara tidak adil dan terkena fitnah—merekalah yang
paling tepat untuk menghibur orang lain yang sedang menderita! Hanya
orang yang pernah menangis akan dapat lebih mudah berempati kepada mereka
yang sedang menangis.
Murid-murid akan
memiliki karakter pemimpin yang baik dan handal apabila mereka menemukan guru
yang juga berkarakter unggul. Sebaliknya, pemimpin yang baik adalah
mereka yang tidak takut atau merasa terancam oleh kelebihan muridnya. Sekali
lagi hanya Yesuslah yang memberikan keteladanan yang istimewa. Bukan
saja semuanya telah Dia berikan kepada murid-murid-Nya, termasuk
hidup-Nya, bahkan Dia telah mengangkat mereka menjadi sahabat! Kita
juga mendengar, “[A]ku berkata kepadamu: Sesungguhnya jika biji
gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika
ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh. 12:24).
Seorang pemimpin
yang berkarakter unggul tidak akan puas untuk mempertahankan dirinya terus
menerus, bercokol di atas kursi kepemimpinannya. Dia akan tahu kapan
saatnya dia harusTurun, bahkan “mati” agar terjadilah alih generasi.Hanya
dengan cara demikian sajalah masa depan lembaga, termasuk gereja dan lembaga
kristiani lainnya, akan mempunyai hari esok yang lebih cerah karena akan
tersedia lebih banyak lagi pemimpin pada masanya.
Murid-murid yang
telah belajar dari guru yang berkarakter hari ini, pasti akan menjadi
pemimpin yang berkarakter pula di masa depan! Janganlah tergoda mengikuti
filsafat: No matter what, I have it MY way!
Sekali
lagi sebelum berpisah dari murid-murid-Nya Yesus berkata, ‘[A]ku berkata
kepadamu: Sesungguhnyaia akan melaku-kan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku
lakukan,bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu. Sebab
Aku pergi lepada Bapa.’ (Yoh. 14:12). barangsiapa percaya kepada-Ku,
Seorang
guru dan pemimpin yang berkarakter unggul, pasti tidak akan merasa
terancam oleh murid-murid yang baik dan berpotensi. Kepergiannya tidak
akan meningglkan kekosongan,sebaliknya malah akan mempersiapkan parapenggantinya
yang lebih hebat lagi karena apa yang ada pada pemimpin dan guru tadi akan
dilipatgandakan!
What
is next?
Akan
berkepanjangan kalau tulisan ini tidak segera diakhiri. Tetapi
sebelumnya, masih ada satu hal yang sangat penting untuk kita pahami semua yang
memiliki aspirasi untuk menjadi murid dan sekaligus calon pemimpin yang
berintegritas dan berkarakter unggul. Di sekolah yang memiliki
disiplin tinggi yang didirikan oleh Tuhan Yesus, tidak mengenal wisuda! Janganlah
terkejut dengan ungkapan itu. Walau untuk menggapai dan mengoleksi gelar
akademis tidak pernah ada batasnya—asal mau dan punya waktu serta
tersedianya dana yang mahal—di sekolah yang bernama “Sekolah yang
menjadikan para murid mengumpulkan berbagai bekas luka atau benjolan”
memang tidak pernah akan berakhir walau para murid tidak akan
mendapatkan gelar kecuali dikenal sebagai murid Yesus Kristus!
Sekali
lagi, menjelang Dia berpisah dari para murid-Nya, Dia berkata, “[M]asih
banyak halyang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu
belum dapat menanggungnya.Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia
akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran ....” (Yoh.16:12,13).
Oh,
kiranya tidak seorang pun di antara kita akan berputus asa ketika kita sedang
didisiplin sebagai murid-murid Kristus. Kata disiplin itu senditi menunjuk dari
kata disciple, murid! Kalau ada yang kelelahan karena sedang memikul beban yang
berat, undangan-Nya yang begitu manis tersediakan bagi kita semua. “ [M]arilah
kepada-Ku,semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan
kelegaan kepadamu.”
Tetapi kalau
kita simak dengan cermat, undangan yang tersedia bagi semua orang
yang menjadi lesu dan berbeban berat tadi terbukti bukan untuk semua orang! Bukan
karena Yesus berdusta atau tidak konsisten, sama sekali tidak! Simak pula ayat
kelanjutannya!
“Pikullah
kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah
lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk
yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan” (Mat.
11:28-30). Semoga!
Oleh
Charles Christano (Pendeta Emeritus GKMI Kudus, Jawa Tengah)
Komentar
Posting Komentar