oleh Victor Kurniawan
Saya
memiliki seorang sahabat yang selalu mengatakan demikian ketika ditanyakan
asalnya, "Saya berasal dari Dusun Ngandong, Desa Pakem, Kecamatan
Sukolilo, Kabupaten Pati.” Suatu ketika saya bertanya kepadanya, “Kenapa dirimu
ketika ditanyakan asalmu, selalu mengeluarkan jawaban yang sama dari dulu
sampai sekarang, padahal sekarang kamu tinggal di Solo?” Dia menjawab dengan
sederhana, “alasannya satu, karena aku bangga dengan tempat itu, tempat
kelahiran, pertobatan, dan awal dari kehidupan yang aku nikmati hari ini”. Dia
tidak malu mengakui desa terpencil di Jawa Tengah sebagai salah satu identitas
karena tempat itu memiliki makna untuk dirinya.
Ketika
membaca bagian ini, tampak Paulus memiliki sebuah kebanggan yang sama. Paulus
sedang dalam pemenjaraan di Roma saat itu, yang disebabkan karena pemberitaan
Injil yang dilakukannya (ay. 12). Namum, Paulus tak malu dengan Injil, bahkan
meminta Timotius untuk juga tidak malu. Tidak hanya itu, Paulus mengundang
Timotius untuk turut ambil bagian dalam pemberitaan Injil (ay. 8). Mengapa?
Karena Injil telah menjadi bagian hidupnya, menyentuh hidupnya, dan dia telah
dipanggil untuk memberitakannya, maka tidak ada alasan untuk malu (ay. 11).
Selain itu, Injil juga memiliki kuasa yang sangat besar untuk mematahkan kuasa maut
dan mendatangkan hidup kekal (ay. 10), sehingga haruslah diberitakan.
Dalam
pelayanan kita di komponen siswa, mahasiswa, dan alumni, kita diundang seperti
Timotius untuk terus menyatakan kisah Injil yang penuh kuasa dengan tidak
pernah malu. Kisah tersebut harus terus dikisahkan melalui pelayanan yang kita
lakukan, sebab ada tiga hal yang akan dicapai, tranformasi personal, komunitas,
dan bangsa. Tanpa malu, mari kita kisahkan dan hidupkan Injil yang penuh kuasa
itu diantara siswa, mahasiswa, dan alumni terus menerus apa pun resikonya demi
kehendak Allah dan hadirnya transformasi di tengah bangsa ini.
Komentar
Posting Komentar