oleh Yusuf Deswanto
Apa
yang membuat figur Joko Widodo (yang akrab dipanggil Jokowi) menjadi fenomena
yang menarik? Harus diakui gaya kepemimpinan Jokowi yang identik dengan
“blusukan,” tampil apa adanya, dan jauh dari kesan formal, memang cukup
fenomenal. Fenomena gaya kepemimpinan sederhana dan bersahaja seperti itu
seolah menjadi simbol “perlawanan wong cilik” terhadap kepemimpinan yang “jaga
jarak” dan enggan “turba” (turun ke bawah). Hal ini semakin menguat, ketika
gaya kepemimpinan yang senada juga ditunjukkan oleh seorang Tri Rismaharini,
walikota Surabaya yang banyak mendapatkan perhatian masyarakat beberapa waktu
terakhir ini. Maka tidak berlebihan jika kita katakan, di tengah “gurun kering”
keteladanan pemimpin di Indonesia, gaya kepemimpinan yang bersih, transparan,
sekaligus dekat dengan rakyat seperti itulah yang seolah menjadi oase bagi
sebagian besar masyarakat Indonesia. Singkatnya, menjawab pertanyaan
tentang pemimpin yang bagaimana yang dicari Indonesia ke depan, maka paling
tidak dua kriteria yang harus terpenuhi: pemimpin dengan integritas, dan
pemimpin yang membumi.
Integritas:
Pemimpin Yang Transparan dan Bersih
Terlalu
lama rakyat Indonesia hidup di bawah kepemimpinan yang telah kehilangan
kesatuan kata dan perbuatan. Setelah puluhan tahun hidup dalam kungkungan
pemimpin yang tirani dan otoriter, ternyata perubahan sistem politik tak
kunjung membawa kebaikan bagi seluruh anak negeri. Sendi-sendi kepemimpinan
yang dihasilkan di era reformasi ternyata hanya melahirkan elit politik yang
pandai bersilat kata; jauh kata dari perbuatan, jauh janji dari bukti, dan jauh
mimpi daripada aksi.
“Integritas”
berasal dari Bahasa Inggris: integrity (dalam bahasa Latin: integritās). Oxford
Dictionary mendefinisikan integrity sebagai: (1) The
quality of being honest and having strong moral principles [=kualitas
untuk jujur dan berprinsip moral yang kuat]; dan (2) The state of being whole
and undivided [=suatu kondisi yang utuh dan tidak terbelah]. Secara
sederhana, istilah integritas menyatakan kehidupan yang menyatu dengan baik;
ada keterikatan antara bagian-bagian yang berbeda dari kehidupan seseorang.
Jonathan Lamb mengaitkan kata “integritas” ini dengan kata shallom dalam
Perjanjian Lama, yang ditandai dengan kehidupan yang utuh, konsisten, dan
selaras.[1]
Pertanyaannya
kemudian adalah, di dalam konteks pelayanan Perkantas, bagaimana kita
melahirkan pemimpin yang berintegritas? Lamb sekali lagi memberikan
sebuah pemikiran dalam bukunya Integritas: Memimpin di Bawah Pengamatan
Tuhan.[2] Integritas
bukan sebuah proses sekali jadi. Membentuk seseorang menjadi pemimpin
yang berintegritas butuh proses yang panjang. Lamb kemudian menjelaskan bahwa
untuk seorang Kristen menjadi pemimpin yang berintegritas, maka seseorang harus
melalui proses pemuridan yang tidak bisa instant.[3] Integritas
harus “beralaskan pada Pribadi Kristus sebagai model, Injil Kristus sebagai
dasarnya, dan Tubuh Kristus sebagai tujuan panggilan dan kehidupan yang
terus-menerus menyerupai Kristus.”[4]
Karena itu, kita harus makin setia dalam mengerjakan pelayanan pemuridan agar
kepemimpinan berintegritas dapat lahir dari pelayanan ini. Optimisme ini tidak
berlebihan, karena pelayanan kita pada dasarnya sudah on the track.
Blusukan:
Sebuah Model Kepemimpinan yang Membumi
Istilah blusukan yang
dalam bahasa Jawa bisa berarti “masuk ke tempat-tempat yang sempit dan
kumuh.” Gaya kepemimpinan Joko Widodo dan Tri Rismaharini di dalam
melakukan pendekatan kepada masyarakat di bawah secara langsung adalah sebuah
sentuhan kepemimpinan yang anti status-quo pejabat pemerintahan di
Indonesia yang identik dengan kemapanan dan kenyamanan. Alih-alih memerintah
anak buahnya dari belakang meja kantornya, pemimpin seperti ini memilih untuk
bersentuhan dengan masyarakat dari berbagai kalangan.
Reza
A. A. Wattimena, Dosen Filsafat Politik dan Filsafat Ilmu Pengetahuan di
Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya, mengatakan bahwa gaya
“blusukan” ini dapat membangun kedekatan dan rasa percaya, yang amat penting
sebagai pengikat masyarakat, supaya tak mudah pecah, dan bisa bekerja sama
menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa
rasa percaya dan kedekatan ini adalah fondasi dari masyarakat demokratis.[5]
Dengan
“blusukan”, para pemimpin politik bisa memeriksa langsung, apakah keputusan
yang telah ia buat dijalankan dengan baik atau tidak. Dari sudut pandangan
metode berpikir ilmiah, ini disebut juga verifikasi. Banyak pemimpin lupa
memeriksa lagi, apakah kebijakan yang telah dibuat sungguh membantu masyarakat
atau tidak. Dengan “blusukan,” gaya lama semacam ini bisa dihindari.[6]
Memperhatikan
gaya kepemimpinan “blusukan” ini, sebenarnya setiap insan Kristen memiliki
teladan yang sempurna, yaitu Yesus Kristus. Tidak sekadar “blusukan,” sebagai
Allah yang di dalam segala kepenuhan kuasa-kemuliaan-Nya, Kristus berinkarnasi
menjadi daging[7] dan
mengambil rupa seorang hamba yang hina.[8]
Tujuan inkarnasi-Nya bukan sekadar mengawasi dan memastikan “program
keselamatan Allah” dapat berjalan, tetapi bahkan Ia sendiri rela mengorbankan
diri hingga mati di atas kayu salib untuk keselamatan manusia. Inilah
teladan yang sempurna dari kepemimpinan yang membumi. Maka seharusnya,
kader-kader Kristen yang sejati harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat
Indonesia akan kepemimpinan yang membumi. Bukankah hal itu sangat mungkin lahir
dari pelayanan pemuridan yang kita kerjakan?
[1] Lamb,
Jonathan. Integritas: Memimpin di Bawah Pengamatan Tuhan. Jakarta:
Perkantas, 2008.
[2] Ibid.
31.
[3] Ibid.
32.
[4] Ibid.
[5] Wattimena,
Reza A.A. “Kepemimpinan ‘Blusukan’,”
http://rumahfilsafat.com/2013/01/26/kepemimpinan-blusukan/
[6] Ibid.
[7] Yohanes
1:14
[8] Filipi
2:5-8
Integritas
bukan sebuah proses sekali jadi. Membentuk seseorang menjadi pemimpin
yang berintegritas butuh proses yang panjang. Lamb kemudian menjelaskan bahwa
untuk seorang Kristen menjadi pemimpin yang berintegritas, maka seseorang harus
melalui proses pemuridan yang tidak bisa instant.[8] Integritas harus
“beralaskan pada Pribadi Kristus sebagai model, Injil Kristus sebagai dasarnya,
dan Tubuh Kristus sebagai tujuan panggilan dan kehidupan yang terus-menerus
menyerupai Kristus.”[8]
*
Penulis adalah Staf Mahasiswa Perkantas Jember
Komentar
Posting Komentar