Ideologi Pancasila; Solusi Tangkis Radikalisme


Ideologi Pancasila; Solusi Tangkis Radikalisme 
oleh Riedno Graal Taliawo

Tanggal 17 September 2009 Noordin M. Top dikabarkan tewas dalam sebuah penggerebekan di Solo. Disamping Noordin M. Top, ada beberapa pengikutnya yang juga dilumpuhkan oleh Detasemen Khusus Anti Teror (Detasemen 88) Polri. Namun sebelumnya, sudah ada anak buah Noordin M. Top yang tewas, yakni waktu penggerebekan di Temanggung. Kita patut bersyukur kepada Tuhan akan hasil capaian dari pihak kepolisian, setidaknya hasil ini akan mengurangi keresahkan yang selama ini mengantui kita. Bukan hanya menelan korban jiwa dan melahirkan berbagai tangis dari pihak yang menjadi korban (korban yang terkena bom, maupun dari orang tua para penganting bom bunuh diri), namun aktifitas terkutuk ini ikut mencoreng agama tetangga kita.
Bukan berarti dengan ini, Polisi telah berhasil membuat aksi-aksi yang sama tidak akan bermunculan lagi. Menurut data intelejen, masih ada jaringan Noordin M. Top yang berkeliaran, bahkan memiliki kemampuan yang setara dan melebihi Noordin M. Top. Dalam hal ini, Noordin M. Top bisa saja usai (mati) namun sel teroris belum usai (Jawa Pos 18/09/2009).
Dalam pengertian tertentu, Noordin M. Top adalah seorang pemimpin dari gerakan ini. Namun, di sisi lain sesungguhnya Noordin M. Top dan kawanannya adalah korban. Ya, korban dari sebuah ideologi naif dan korban dari salah tafsir terhadap makna agama. Sehingga solusi penyelesaian tidak berhenti pada pelumpuhan fisik semata. Tindakan melumpuhkan sampai kapan pun tetap diperlukan dan harus. Namun, sebagai manusia dan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kita perlu memikirkan agar mereka sebagai manusia yang disesatkan dan menyesatkan perlu diubah pola pikir dan cara pandangnya. Kita perlu memanusiakan mereka dalam mengatasi masalah ini sebab hukuman fisik, seperti dipenjara ternyata tidak memberi efek jera bagi mereka. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa korban teroris di Solo yang ternyata mantan narapidana dengan kasus yang sama, artinya semangat ideologi ini tidak mudah dilumpuhkan, sehingga membutuhkan solusi penyelesaian yang komprehensif.
Kesalahan menafsir makna agama, diiringi kekesalan terhadap negara tertentu ditenggarai sebagai akar persoalan. Namun, dalam konteks Indonesia, ideologi yang dipahami adalah akar dari persoalan teroris. Sehingga, langkah terpenting kemudian adalah bagaimana memutus laju penyebaran dari ideologi sesat ini, agar kedepan generasi muda kita tidak lagi dikorbankannya.
Bukan sebuah original product  Indonesia, namun sesungguhnya radikalisme agama adalah paham impor. Sebab negara pencinta damai dan berideologi Pancasila tidak akan melahirkan paham radikal yang mendorong penganutnya bertindak dan bersikap kontraproduktif. Jika demikian, mengapa paham ini bisa masuk dan berkembang di Indonesia? Bukankah kita memiliki alat penyaring hal-hal baru, temasuk ideologi? Apakah ideologi Pancasila yang menjadi andalan dan ciri negara kita tidak lagi pada posisi dan fungsinya?
Dalam perkembangan negara Indonesia, pertentangan ideologi yang memunculkan konflik bersenjata pernah menghiasi. Bukan hanya itu, perdebatan mengenai bentuk negara pun terjadi akibat perbedaan ideologi. Namun, dengan bijak pendiri bangsa ini menyelesaikan konflik-konflik tersebut. Uniknya konflik diselesaikan dengan semangat dan mengkristalnya kesepakatan pada sebuah ideologi, yakni ideologi Pancasila. Artinya ideologi Pancasila adalah kesepakatan mutlak (harga mati) dan solusi ampuh bagi setiap persoalan bangsa ini.
Namun, untuk menyelesaikan masalah terorisme tidak sesederhana yang kita pikirkan. Kita membutuhkan kerja keras dan konsistensi yang cukup untuk membumikan kembali ideologi Pancasila. Sebab, dalam konteks kekinian ideologi Pancasila telah dihimpit (berada dalam saingan) oleh berbagai ideologi alternatif lain. Sehingga aksi membumikan kembali bukanlah hal yang mudah, namun bukan berarti tidak bisa! Dalam pengamatan penulis, setidaknya ada beberapa hal mendasar yang berfunsi sebagai pendorong ideologi Pancasila tidak lagi pada posisi dan fungsinya.
Pertama, suatu ideologi dalam penanamannya membutuhkan proses panjang dan interaksi yang cukup. Sebab itu, jangan berharap bahwa penanaman sebuah ideologi akan berhasil jika prosesnya dilakukan sambil lalu dan asal. Kita membutuhkan sarana dan metode yang relevan bagi pencapaian transfer ideologi dan hanya akan efektif jika dilakukan melalui institusi-institusi pendidikan kita. Berbicara institusi pendidikan, yang dimaksudkan adalah institusi pendidikan secara keseluruhan (pendidikan dasar sampai perguruan tinggi).
Harus diakui, negara dan warga negara Indonesia, khususnya generasi muda tidak lagi sepenuhnya memahami dan mempraktekkan kedalaman ideologi Pancasila sebagai falsafah dan cara pandang. Ini terbuktikan dengan mudahnya berbagai ideologi baru masuk, berkembang dan meracuni perilaku generasi muda . Kemudahan ini dapat disebabkan gagalnya transfer nilai Pancasila di berbagai institusi pendidikan kita. Asumsi ini didukung oleh fakta proses transfer nilai Pancasila diberbagai institusi pendidikan kini tidak lagi menjadi suatu keharusan dan kalau pun ada cenderung bersifat formalitas saja. Akibatnya bagi kaum muda terutama para pelajar, Pancasila terdengar sebagai pelajaran yang membosankan, kolot, dan tidak membumi. Para penyampai nilai-nilai Pancasila di institusi pendidikan semakin gagap menyampaikan nilai Pancasila di tengah kondisi eksternal yang dipenuhi karakter materialisme nan pekat. Demikian ungkap sebuah media masa terhadap kondisi transfer nilai Pancasila di institusi Pendidikan kita (Pikiran Rakyat).
Banyak PT (perguruan tinggi) tidak lagi mengajarkan mata kuliah Pancasila. Bahkan di tingkat sekolah pun, banyak yang telah mengabaikan atau tidak memfokuskannya lagi. Institusi-institusi pendidikan lebih diramaikan dengan orientasi prestasi akademik (tidak salah), namun sayangnya mengabaikan pembentukan karakter atau moralitas anak didik (generasi muda kita) yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Ironis! Sehingga jangan heran banyak generasi muda Indonesia kini terjebak pada isme-isme baru dan cara hidup yang aneh-aneh, termasuk praktis hidup radikalisme agama.
Kedua, kurangnya teladan para elit bangsa dalam mengedepankan praktis hidup yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Jangankan mempraktekkan, menyebut ideologi Pancasila adalah ”harga mati saja jarang terdengar”.www.detiknews.com). Hal yang sama dikeluhkan juga oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Dr. Mahfud MD, yakni Pancasila telah banyak dilupakan oleh banyak orang terutama sejak reformasi 1998. Sejak tahun 1978 ketika lahirnya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Pancasila telah ditempatkan di sebuah sudut sejarah. Setelah reformasi 1998 Pancasila seolah hilang, tidak ada lagi pejabat-pejabat resmi yang mengutip Pancasila dalam setiap pidatonya. (
Justru saat ini banyak dipraktekan (dalam kebijakan) adalah kebijakan-kebijakan negara yang didasari oleh semangat ideologi lain, seperti ekonomi dan hukum Syariah, ekonomi Kapitalisme/Neo, yang tidak lagi dijiwai oleh semangat Pancasila sebagai dasarnya.
Ketiga, disamping nilai-nilai Pancasila yang tidak lagi mengakar dan hampir menghilang, bangsa ini telah diterpa oleh berbagai isme-isme baru sebagai alternatif pilihan. Akibatnya orang Indonesia, khususnya kaum muda dengan budaya yang ada, cenderung memilih ideologi selain Pancasila yang dinilai lebih baik dan menguntungkan. Arus globalisasi dipercaya telah menenggelamkan posisi ideologi negara yang penuh dengan nilai kebangsaan. Praktik liberalisasi, individualistik, dan sekulerisasi yang turut serta dalam globalisasi lebih diminati. Inilah kondisi umum yang menimpa para elit dan warga negara Indonesia.
Dengan kondisi dan posisi ideologi bangsa seperti ini, jangan berharap kita akan mengalami perubahan atau pun lepas dari berbagai ancaman negatif sebuah ideologi baru. Bahkan lepas dari pengaruh radikalisme agama yang telah menghantui bangsa ini pun jangan pernah mengharapkannya. Pancasila dengan nilai-nilainya perlu dan harus didengungkan kembali terutama kepada generasi muda, agar bangsa ini memiliki karakter yang kuat dan pandangan hidup bernegara sebagai pegangannya.
Dalam konteks mencabut dan menangkal pengaruh radikalisme agama, nilai-nilai Pancasila harus didengungkan kembali ke semua lingkungan pendidikan, baik di institusi pendidikan agama, maupun di institusi pendidikan umum lainnya. Proses transfernya pun tidak boleh bersifat asal, sebatas formalitas, dan tanpa penekanan. Selain itu, kita juga bisa memulainya dengan mengadakan kembali P4 dari segi semangat, namun dari segi isi dan metode perlu dikembangkan (diperluas). Sebab, dengan berbagai kelemahan, sesungguhnya program P4 dinilai banyak kalangan adalah hal yang baik dan cukup relevan.
Menurut Muhammad A. S. Hikam, sistem tafsir Pancasila dalam bentuk butir-butir P4 adalah suatu kecelakaan sejarah bagi Pancasila, disebut kecelakaan sebab pada waktu itu Pancasila cenderung ditafsirkan sepihak (dimonopoli) oleh pemerintah Orde Baru (lebih dikenal dengan istilah Asas Tunggal) yang akhirnya menciptakan sebuah kekakuan (sikap tertutup) dalam penjabaran atau tafsiran terhadap nilai-nilai Pancasila. Bentuk kekakuan itulah yang harus ditolak, namun semangat mentransfer perlu kita dicontoh (Inaugurasi & Bedah Buku, 2006).
Proses transfer pun tidak boleh berhenti dan hanya sebatas formalitas pengajaran semata, tetapi harus berlanjut dengan penyediaan sarana untuk menerapkan nilai-nilai Pancasila oleh institusi pendidikan seperti bersih-bersih bersama, penghijauan, memberi bantuan, atau pun kegiatan-kegiatan sosial lain yang dikoneksikan dengan nilai-nilai Pancasila. Sehingga nilai-nilai Pancasila terhidupi, dirasa bermanfaat, dan akhirnya menjadi sebuah pilihan ideologi atau kebiasaan kita.
Proses yang sama, tetapi dengan bentuk berbeda bisa dilakukan kepada mereka yang pernah dipengaruhi oleh radikalisme dan paham agama yang salah. Mereka perlu dibimbing dengan intensif melalui konseling (mentoring) untuk proses perubahan cara pandang, bukan pekerjaan yang mudah namun bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Kebiasaan dan pemikiran yang jahat (membunuh adalah pahala) akan tergeser melalui proses pembelajaran, pola pikir dan kebiasaan yang baik. Kita harus yakin apabila radikalisme bisa mempengaruhi pola pikir seseorang, maka ideologi Pancasila pun memiliki peluang yang sama.
Penulis merasa kurang tepat jika mereka hanya dihukum penjara, namun tidak diikuti dengan mentoring yang cukup. Ingat! Mereka bukan hanya pelaku, namun di sisi lain adalah korban sebuah ideologi. Oleh Sebab itu, mereka perlu dikembalikan pada dasar ideologi yang benar dan dalam konteks Indonesia-bernegara-berbangsa. Ideologi Pancasila adalah solusi dan kesepakatan kita, tetapi cara ini tidak berarti akan membuat kita menjadi kompromi terhadap apa yang mereka perbuat, tidak! Seharusnya yang menjadi pemikiran kita, mereka adalah manusia (berhati nurani) yang perlu dan harus disadarkan. Inilah harapan dan alasan mengapa hukuman fisik tidaklah cukup, namun harus diikuti oleh cara penyelesaian yang lain sebab yang menjadi tuan dan penggerak mereka adalah hati dan rasio yang dipengaruhi, maka sentuh, dan ubahlah dibagian itu. Harapan!!!


Referensi;
Inaugirasi dan Bedah Buku Pdt. Benyamin F. Intan, Ph. D. (Jakarta, 15 April 2006).
Jawa Pos (18 September 2009)
Riedno Graal Taliawo, Mantan Wakil Ketua UKM-KP Jubilee, Univ. Merdeka Malang.



Komentar