oleh Victor Kurniawan
“As
long as poverty, injustice and gross inequality persist in our world, none of
us can truly rest”. Nelson Mandela, London 2005
Pendahuluan
Kompas
edisi 10 Maret 2011, memberikan sebuah ulasan yang gamblang mengenai
kemiskinan di Indonesia. Ulasan ini merupakan hasil dari Seminar Nasional
bertema “Korupsi yang Memiskinkan”, pada 21-22 Februari 2011, yang
dihadiri oleh mantan wakil presiden Republik Indonesia Yusuf Kalla, dan para
praktisi yang peduli dengan masalah kemiskinan. Menurut data yang
dilansir Kompas, yang didasarkan pada data dari Badan Pusat Stastistik, angka kemiskinan
di Indonesia pada tahun 2010 adalah 31,2 juta jiwa atau 13,3 persen dari jumlah
penduduk di Indonesia. Sebenarnya angka tersebut relatif lebih kecil ketimbang
data yang dilansir Badan Pusat Statistik pada tahun-tahun sebelumnya (lihat
tabel 1). Namun, angka kemiskinan ini hanya menghitung kemiskinan absolut[1] yang
diukur dari pendapatan, itu pun diukur pada standar yang paling minim. Angka di
atas belum memasukkan mereka yang digolongkan tidak miskin namun rentan dengan
kemiskinan[2].
Jika dimasukkan, tentu persentasenya lebih dari 13,3 persen.
Kemiskinan
di Indonesia
Tahun
|
Jumlah
(Juta Orang)
|
Persentase
|
Anggaran
Kemiskinan
(Rp
Triliun)
|
2006
|
39.30
|
17,8
|
42,0
|
2007
|
37,17
|
16,6
|
51,0
|
2008
|
32,53
|
14,2
|
63,0
|
2009
|
32,53
|
14,2
|
66,2
|
2010
|
31,02
|
13,3
|
94,0
|
Sumber:
Kompas, 22 Februari 2011
Jika
diukur dengan standar garis kemiskinan internasional yakni pendapatan 2 dollar
AS per hari jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 100 juta jiwa atau 42
persen dari penduduk di Indonesia. Ini hampir sama dengan penduduk Vietnam dan
Malaysia. Jadi bisa dikatakan Indonesia adalah rumah bagi penduduk miskin di
Asia Tenggara.
Wajah
kemiskinan Indonesia bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari didepan mata
kita dalam bentuk kian luasnya peta daerah kemiskinan, masih banyak daerah
tertinggal, memburuknya angka kematian ibu dan bayi, masih tingginya kasus
kurang gizi, dan busung lapar, tingginya anak putus sekolah, tingginya jumlah
penerima raskin (beras miskin), dan jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat)
yang mencapai 70 juta lebih orang. Kondisi ini sangatlah memprihatinkan bagi
sebuah bangsa yang sudah 65 tahun Merdeka.
Di
tengah kondisi demikian bagaimana sikap kita sebagai murid-murid Yesus yang
hidup sebagai warga negara Indonesia? Kita perlu memikirkan hal ini, sebab kita
bukanlah tamu di negeri ini, bukanlah pelengkap penderitaan negeri ini, tetapi
kita adalah warga negara Indonesia yang berhak dan wajib untuk menjadi bagian
dari pembangunan bangsa ini. Selain itu, kita adalah murid Yesus, yang diutus
bukan untuk keluar dari dunia ini, tetapi terlibat aktif di tengah dunia (lihat
Yohanes 17:18).
Kemiskinan
Dan Kekristenan
Seorang
bernama Arief Budiman mengatakan demikian :
“Sudah
menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan tokoh-tokoh agama di dunia ini berpikir
secara normatif, dan menekankan prioritas pada kehidupan di alam baka. Dalam
menghadapi kemiskinan di dunia, mereka memang beranggapan bahwa ini adalah
ketidakadilan. Akan tetapi, yang mereka lakukan biasanya adalah menyuruh orang
untuk tawakal, pasrah, sambil menekankan bahwa keadilan yang abadi akan mereka
dapatkan di akhirat nanti. Untunglah, masih ada, meskipun jumlahnya masih
sedikit, tokoh-tokoh agama yang perpikir dan berbuat lain.”[3]
Pernyataan
di atas adalah pandangan yang jamak mengenai agama, kekristenan tentu saja
termasuk di dalamnya. Bahkan di dalam anotasi artikel Soe Hok Gie berjudul Agama
Dalam Tantangan, dia menuliskan tentang kisah pertemuannya dengan seorang
wanita yang menyatakan bahwa the meaning of God is nothing, agama
(Kristen) menanamkan rasa berdosa pada umat Tuhan, tidak toleran, dan melarikan
diri dari kenyataan[4].
Dua pernyataan ini terdengar pedas, tetapi ini adalah fakta bagaimana penilaian
orang pada para pengikut agama bahwa kita tidak peduli dengan realitas di dalam
dunia ini, termasuk di dalamnya kemiskinan. Pertanyaannya siapakah yang salah?
Mereka yang menilai kita, atau kita—murid Yesus, yang salah menafsirkan dan
mengamalkan nilai-nilai di dalam kitab suci?
Melihat
lebih dalam bagian-bagian kitab suci, kita akan menemukan banyak bagian di
dalamnya yang menunjukkan kepedulian Allah terhadap ketidakadilan dan
kemiskinan. Sebuah studi penelitian Alkitab yang difokuskan kepada
bagian-bagian perjanjian lama membuktikan hal tersebut. Paling tidak, ada 200
kali serangkaian kata untuk kemiskinan muncul di dalam bagian-bagian perjanjian
lama. Namum, rangkaian kata kemiskinan yang diungkapan di sini terkandung
perbedaan-perbedaan prinsip di dalamnya. Menurut John Stott, paling tidak ada
tiga makna di balik rangkaian kata kemiskinan yang muncul di dalam perjanjian
lama. Pertama, ditinjau dari segi ekonomi, ada orang yang miskin karena
ketiadaan materi, mereka yang tak mampu memenuhi segala kebutuhan dasarnya.
Kedua, dari segi sosial, ada orang yang miskin karena penindasan, merupakan
korban ketidakadilan dan ketidakberdayaan. Ketiga, ditinjau dari segi
spiritual, ada orang miskin yang rendah hati, yang sadar akan
ketidakberdayaannya dan berharap hanya kepada Allah[5].
Di dalam ketiganya, Allah selalu tampil sebagai pembela, hadir ditengah-tengah
mereka dan menjadi penolong bagi mereka.
Di
dalam Yesaya 1 : 12-17 dikatakan demikian,
Apabila
kamu datang untuk menghadap di hadirat-Ku, siapakah yang menuntut itu dari
padamu, bahwa kamu menginjak-injak pelataran Bait Suci-Ku? Jangan lagi membawa
persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Kalau
kamu merayakan bulan baru dan sabat atau mengadakan pertemuan-pertemuan, Aku
tidak tahan melihatnya, karena perayaanmu itu penuh kejahatan.
Perayaan-perayaan bulan barumu dan pertemuan-pertemuanmu yang tetap, Aku benci
melihatnya; semuanya itu menjadi beban bagi-Ku, Aku telah payah menanggungnya.
Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan muka-Ku,
bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya,
sebab tanganmu penuh dengan darah. Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah
perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat,
belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda.
belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda.
Di
dalam bagian ini, Allah marah kepada bangsa Israel, karena ibadah mereka tidak
disertai terwujudnya kebenaran dan keadilan bagi orang-orang tertindas,
anak-anak yatim, dan para janda. Bahkan, Allah berfirman melalui mulut nabi
Yesaya, bahwa dengan gagalnya mereka untuk mewujudkan keadilan, lebih baik
mereka tidak melakukan ibadah sama sekali.[6] Bagian-bagian
ini menunjukkan keberpihakan Allah kepada kemiskinan itu sendiri. Para janda,
anak yatim, dan orang-orang tertindas adalah potret kemiskinan pada masa itu,
merekalah kemiskinan itu sendiri, dan Allah membela mereka.
Yesus
pun membawa pesan kepedulian Allah kepada yang miskin, tertindas, dan lemah,
dalam inagurasi pelayanan-Nya di Lukas 4:18-19, dikatakan demikian,
“Roh
Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar
baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan
pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta,
untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat
Tuhan telah datang."
Secara gamblang Yesus
mengungkapkan tujuan kedatang-Nya ketengah dunia, yaitu memberitakan kabar
baik. Berita yang Dia bawa tidak hanya menekankan masalah spiritual semata,
tetapi juga masalah-masalah publik, yaitu kemiskinan, ketertindasan, dan
kelemahan. Kehadiran Yesus ke tengah dunia memberikan sebuah pengharapan tidak
hanya kepada yang miskin, lemah, dan tertindas secara spiritual, tetapi juga
kepada mereka yang miskin, lemah, dan tertindas secara fisik. Bagi orang-orang
di zaman Yesus, berita ini terasa menyejukkan. Ketika itu, kondisi sosial
ekonomi sangatlah suram. Hanya sebagian kecil dari kelompok sosial atas di
Yerusalem atau tuan-tuan tanah di Galelia yang menikmati kemakmuran, sedangkan
mayoritas masyarakat pada zaman Yesus hidup dengan pendapatan yang minim.
Kondisi ini masih ditambah dengan penjajahan bangsa Rom, dan pajak sangat
tinggi yang ditetapkan oleh para penguasa Romawi pada masa itu, semakin
lengkaplah derita bangsa Israel pada masa itu.
Kepedulian
Allah kepada kaum miskin, tertindas, dan lemah, melalui Yesus, dapat kita
temukan di banyak bagian kitab Injil. Kebenaran ini dapat juga dilihat dengan
reputasi Yesus dimata para pemimpin agama karena sering bergaul dengan
orang-orang yang dianggap tidak layak pada zamannya (Lihat Matius 8-9)[7].
Perkataan dan tindakan-Nya menarik orang-orang miskin, tertindas, dan lemah.
Yesus melakukan itu semua, karena itulah kerinduan Allah yang harus Dia genapi.
Kerinduan
Allah adalah Kerinduan Kita
Fakta-fakta
mengenai kepedulian Allah dan Yesus kepada kaum miskin, lemah, dan tertindas,
merupakan panggilan bagi kita yang mengaku murid Yesus, untuk juga turut peduli
dengan mereka, untuk hadir dan menolong mereka untuk terus memiliki
pengharapan. Ditunjang dengan kondisi sosial Indonesia pada masa kini,
panggilan ini terasa semakin kuat bagi para murid untuk bertindak, memulihkan,
dan menghidupi kerinduan Allah di negeri ini.
Apa
yang bisa kita lakukan untuk memenuhi panggilan ini? Pertama-tama, kita mulai
dengan komitmen kita untuk berani menghidupi Injil dengan radikal, di mana
berita injil tersebut tidak hanya diberitakan di dalam ruang-ruang ibadah,
tetapi juga membawa injil tersebut kedalam ruang-ruang publik di mana kaum
miskin, lemah, dan tertindas berada. Pada masa Yesus, berita Injil tidak hanya
diajarkan di sinagoga atau bait Allah, tetapi juga di dalam ruang publik,
pasar, bukit dan tempat-tempat lainnya. Dia juga tidak hanya berkhotbah tetapi
juga melakukan tindakan-tindakan baik bagi kaum miskin, lemah, dan tertindas
pada zamannya. Kita perlu terus memberitakan Injil sambil terus memerangi
berbagai bentuk kemelaratan dan ketimpangan-ketimpangan sosial.
Kedua,
di tengah kondisi negeri kita yang sepertiga penduduknya hidup di dalam
kemiskinan, ketertindasan, dan kelemahan, kita perlu memiliki komitmen untuk
memiliki gaya hidup sederhana. Gaya hidup sederhana memiliki keterkaitan erat dengan
solusi terhadap kemiskinan, kelemahan, dan ketertindasan. Dengan hidup
sederhana kita dapat memberikan kontribusi yang lebih banyak untuk memberikan
pertolongan kepada yang membutuhkan. Komitmen serupa diungkapkan oleh
peserta kongres Laussane (1974), mereka menyatakan demikian :
Kita
semua dikejutkan oleh kemiskinan dari jutaan orang dan terganggu oleh
ketidakadilan yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Kita semua hidup dalam
keadaan makmur menerima tugas untuk menerapkan sebuah gaya hidup sederhana
dengan tujuan memberikan kontribusi lebih banyak lagi baik bagi upaya-upaya
memberikan pertolongan dan pekabaran injil[8]
Ketiga,
kita perlu melakukan tanggung jawab sosial kita bagi yang miskin, lemah, dan
tertindas, baik secara individu maupun secara komunitas, sesuai dengan potensi
yang diberikan Tuhan kepada kita. Memang tidak mudah, karena untuk melakukan
tanggung jawab sosial kita bagi yang miskin, lemah, dan tertindas, kita perlu
menyangkali diri dan mungkin diperhadapkan kepada ketidaknyamanan. Namun itu
adalah panggilan ilahi kita sebagai seorang murid yang harus kita kerjakan.
Pada
akhirnya para murid Yesus, pengikut-pengikut Allah haruslah menjadi pejuang
garis depan untuk membela kaum yang miskin, lemah, dan tertindas.
Oleh:
Victor Kurniawan (Staf Mahasiswa Perkantas Malang)
[1] Kemiskinan
absolut yaitu kemiskinan yang diukur dengan ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan
dasar sehari. Mereka yang miskin secara absolut masih dihadapkan pada pertanyaan
“apa yang bisa dimakan hari ini” dan “dari mana memperolehnya,”“bagaimana
memperoleh uang untuk membayar uang sekolah anak-anak”, dan“bagaimana membeli
obat apabila ada anggota keluarga yang jatuh sakit”.
[2] Rentan
dengan kemiskinan seringkali diistilah dengan kemiskinan relatif diarahkan
kepada mereka yang sudah bisa memenuhi kebutuhan dasarnya tetapi mereka tidak
bisa memenuhi standar normal kehidupan yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
(Kolko, 1962)
[3] Agama
dan Kemiskinan Perspekstif Kristen dalam Jurnal studi pembangunan
kemasyarakatan dan lingkungan volume 2, no 3/2000.
[4] Rudy
Badil, Luki Sutrisno Bekti, dan Nessy Luntungan (ED). SOE HOK GIE…Sekali lagi:
Buku Pesta dan Cinta di Alam bangsanya. Jakarta : Gramedia, 2009.
[5] Stott,
John, Isu-Isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani. Jakarta: YKBK, 1984
[6] Labberton,
Mark, Bahaya Ibadah Sejati, Surabaya: Literatur Perkantas Jatim: 2011
[7] Labberton,
Mark, Bahaya Ibadah Sejati, Surabaya: Literatur Perkantas Jatim:2011
[8] Stott,
John, The Radical Disciples (Murid Yang Radical), Surabaya: Literatur Perkantas
Jatim :2010.
Komentar
Posting Komentar