HAM,
Etika Politik, dan Budaya Politik
oleh
R. Graal Taliawo
Usulan
dicantumkannya syarat moral (tidak pernah berzina) bagi calon kepala daerah
oleh Mendagri (Menteri Dalam Negeri) Gamawan Fauzi dalam UU No. 32 Tahun 2004
menuai protes. Syarat itu dinilai membatasi hak warga negara dalam berpolitik.
Kembali, hak, kebebasan, tanggung jawab moral dan etika poltik terbuka
didiskusikan.
Inisiatif
pengajuan tidak lepas maraknya bermunculan kandidat Pemilukada (Pemilihan
Kepala Daerah) dengan latar belakang non-parpol, dan kontroversial. Kemunculan
Julia Perez dan Maria Eva misalnya. Dua nama itu dinilai cacat moral dan tidak
memiliki modal kapasitas dalam berpolitik—kecuali bermodal duit dan
kepopuleran. Di sisi lain, prinsip berdemokrasi dan HAM menjamin kehadiran
setiap warga negara di gelangang politik itu.
Etika
berpolitik
Perlu
apa agar proses demokrasi berjalan, tanpa melanggar HAM, namun tetap
bertanggung jawab? Menerapkan politik etis, optimalisasi fungsi Partai Politik
(parpol), dan pendewasaan politik masyarakat adalah kuncinya.
Berpolitik
(berdemokrasi) tanpa etika tentu kekacauan adalah buahnya. Sebagaimana kultur
kehidupan teratur yang diidamkan, etika juga referensi moral menempati posisi
sentral dalam menjamin keteraturan berpolitik. Pertimbangan etis pengambilan
keputusan adalah syarat mutlak berpolitik. Tanpa ini, politik yang ada hanya
permainan pragmatik semata, dan tentu jauh dari esensi politik. Berpolitik
menuntut etika, dan etika mensyaratkan standar atau ukuran moral.
Dalam
berpolitik, selain kebebasan pribadi, etika dan norma masyarakat harus menjadi
acuan, sebab kegiatan itu (berpolitik) melibatkan kepentingan dan hak
masyarakat (orang lain). Hak individu harus bekontekstualisasi dan beradaptasi
dan dibatasi oleh hak masyarakat. Hal ini tidak bisa dihindari. Sebab, individu
yang bebas itu, mau tidak mau harus hidup, dan akan dibentuk oleh norma yang
ada dalam masyarakat, walaupun norma itu akan dilawan dan atau diterima (Franz
Magnis-Suseno, 2003: 17). Artinya, dalam memainkan peran politik, seseorang
tidak hanya mendasarkan pada hak individu sebagai ukuran. Hak individu terikat
oleh hak sosial atau norma masyarakat.
Konteks
Pemilukada, sang kandidat haruslah orang yang memiliki sejarah tidak mencederai
etika masyarakat, memiliki kaitan emosional, bersentuhan, serta memiliki jejak
interaksi dengan masyarakat lokal. Tanpa ini, bukan hanya menghalangi, namun
juga akan mencederai legitimasi kekuasaannya. Di sini tuntutan rekam kedekatan
sosial—bukan bersifat pencitraan dan upaya instan—adalah syarat mutlak harus
ada.
Celah
pemanfaatan
Kedewasaan
dan kemampuan bernalar menetapkan pilihan adalah jaminan selanjutnya bagi
terciptanya proses demokrasi dan budaya politik etis. Dengan nalar yang cerdas,
masyarakat mampu memilih calon sesuai dengan dasar etis yang dimilikinya. Tanpa
kekuatan nalar, demokrasi yang ada hanya “kebohongan proses” dan keuntungan
bagi mereka yang populer. Sayangnya, kedewasaan berpolitik bukanlah produk
alami. Kedewasaan politik harus diusahakan dan berjalan linier dengan
ketercukupan akses pendidikan, serta pendidikan politik yang memadai. Hanya
mimpi, jika pemerataan pendidikan belum nyata, namun ramai-ramai diasumsikan
bahwa masyarakat Indonesia “sudah cerdas”. Untuk daerah yang maju akses
pendidikannya hal itu dimungkinkan. Namun, bagaimana dengan wilayah yang sarana
dan kondisi pendidikannya masih jauh dari ideal? Pertanyaan ini patut, sebab
pembangunan manusia Indonesia, dan pemerataan pendidikan masih jauh dari
tujuan, akibat kekorupan pejabat publik.
Kurangnya
akses pendidikan ini, sepertinya dimanfaatkan parpol dan kandidat yang bermodal
popularitas. Hal ini nyata, sebab calon yang kurang kualitas (belum dewasa
politik), namun berduit dan populer umumnya hanya bernyali bertarung di daerah
dengan mayoritas penduduknya berpendidikan rendah (berkembang). Calon
terpopuler akan menang, sebab masyarakat yang belum dewasa politik tidak akan
memikirkan rumitnya visi dan misi, apalagi mencermati program kandidat. Cukup
bermodal mengenal, entah lewat media, masyarakat tipe ini akan mudah menentukan
pilihannya.
Dalam
konteks inilah, saran Mendagri mendapat legitimasinya. Raelisasi saran Mendagri
menciptakan kondisi “memilih di antara kandidat yang baik”—tidak cacat moral.
Masyarakat diberi pilihan (kandidat) yang baik adanya, sehingga siapapun yang
terpilih, tetap itu pilihan yang baik. Walaupun tidak ada jaminan bahwa di
kemudian hari mereka tidak akan cacat moral, semisal melakukan korupsi, dll.
Di
sisi lain, pendidikan politik yang seharusnya dilakukan parpol dan pemerintah
(melalui KPU) masih berkutat pada “bagaimana memilih”, namun belum melangkah
mendorong masyarakat berpikir “mengapa harus memilih”. Masyarakat dan bangsa
kita pada umumnya baru tiba pada pemilu prosedural, dan masih harus diorong
menuju pemilu yang substansial. Politiik etis dan kedewasaan politik harus ada.
Dengannya, akan nyata demokrasi substansial yang menjadi tujuan demokrasi
prosedural itu.
Sumber
gambar: http://taufik79.files.wordpress.com/2008/04/pilkada1.jpg
Komentar
Posting Komentar