Green Gospel: Dimensi Ekologis Panggilan Seorang Murid


Green Gospel: Dimensi Ekologis Panggilan Seorang Murid 
oleh Iwan Catur Wibowo

Kompas, 11 Maret 2011 di halaman Iptek melaporkan flora langka Kantong Semar Endemik Sintang terancam punah. Di hari yang sama Endi TV mengulas tuna sirip biru yang semakin jarang ditemukan dalam keadaan dewasa karena perburuan massal nelayan Jepang. Berita lain yang kerap muncul adalah tentang kota-kota kita yang berpenduduk padat dengan udara yang tercemar dan air yang keruh. Juga tentang laut yang kotor, hutan yang gundul, sawah-sawah yang fuso, sungai yang kering, sekaligus yang meluap banjiri pemukiman warga di berbagai daerah, dan lain sebagainya.
Semua berita ini sekedar contoh dari banyaknya berita lain di media massa kita hari ini, yang sesungguhnya memotret bumi kita yang sedang terluka dan sakit. Ironisnya, pembinasaan alam ini terjadi saat kita memiliki teknologi satelit yang sanggup memonitor dari luar angkasa semua spesies yang terancam, penghancuran hutan tropis, makin sedikitnya populasi air bumi, dan semua bentuk vandalisme ekologi lainnya. Artinya, semua terjadi di depan mata kita dan kita tak sanggup menghentikannya.
 Religiusitas yang tidak ramah lingkungan
Apa hubungan agama dengan isu merawat alam? Penulis yakin banyak umat beragama di negri ini tidak bisa menjawabnya, karena mengira pelestarian lingkungan hidup hanyalah terkait persoalan ilmiah atau etika sosial saja. Penulis juga menduga hari ini banyak orang percaya masih belum bisa melihat kaitan Injil dan konservasi alam. Ada ironi pula di sini: justru para aktivis lingkungan hidup yang kebanyakan agnostis atau ateis itulah yang rela “habis-habisan” menentang praktik-praktik eksploitasi alam.
Penulis tidak tahu motif apa yang menggerakkan orang-orang ateis itu menjadi pegiat lingkungan hidup yang militan. Namun penulis pernah berkesempatan berbincang dengan salah satu dari mereka. Ketika penulis bertanya, alasan sederhana ia kemukakan: “Just for the sake of humanity. Surely, it has nothing to do with eternity!” Pria asal Jerman yang tidak percaya ada kehidupan setelah kematian itu menghayati panggilannya adalah berjuang agar bumi yang sudah tua ini bisa memelihara keberlangsungan eksistensi manusia selama mungkin, setidaknya sampai generasi cucu-cicitnya. Saya menangkap kesan bahwa pria tersebut memahami hidup ini, bahkan dunia ini, adalah kisah tentang manusia.
Versi lain kisah tentang manusia diimani oleh orang beragama, yang meyakini suatu saat akan pindah atau keluar dari planet ini setelah mati atau ketika bumi ini mencapai waktu kehancurannya (akhir zaman). Bisa dikatakan semua agama punya konsep keselamatannya masing-masing, namun dengan benang merah ini: kehidupan di alam semesta ini bak sebuah kisah hanya tentang manusia, sedangkan bumi atau ekologi planet ini sekedar aspek pendukung atau latar belakang yang cepat atau lambat tidak akan dibutuhkan lagi. Tapi benarkah demikian?
 Sebuah Visi Ekologis tentang Allah dan Manusia
“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” (Kejadian 1:1). Allah menciptakan kosmos dari sesuatu yang tidak ada. Lebih lanjut Allah mengembangkan apa yang telah diciptakan-Nya dengan cara memisahkan, melahirkan, dan memberi nama. Pada setiap tahap Allah melihat karya kreatif-Nya dan dengan rasa puas menyatakannya baik. Kisah penciptaan ini kaya dengan implikasi dan signifikansi.
Berikut ini adalah tiga diantaranya: 1) Ciptaan merefleksikan kemuliaan Allah (Mzm. 19:1) namun tidak bersifat ilahi dan tidak untuk disembah (Rm. 1:25, Band. dengan Pantheisme yang memperlakukan alam sebagai tuhannya. Juga dengan penganut New Age, yang memandang bumi sebagai suatu mahluk hidup. Mereka mendewakan planet ini dengan memberikan nama baru Gaia). 2) Tidak ada yang bersifat jahat dari dunia ciptaan materi. Allah suka pohon-pohon maupun binatang-binatang. Bagaimana pun, Dia yang menciptakan mereka. 3) Allah bukanlah Pribadi yang tidak hadir. Ia secara aktif memerintah kosmos sebagai Raja-Pencipta, menopang segala yang ada dengan firman-Nya (Ibr. 1: 3).
Kisah penciptaan dalam kitab Kejadian juga menunjukkan bahwa Allah memberkati manusia dan memberinya mandat. Tentang taman yang pertama itu, kita harus ‘mengusahakan dan memeliharanya’ (2:15). Artinya, kita sudah diberkati dengan hak istimewa sebagai pelayan atas ciptaan. Seorang pelayan adalah orang yang mengelola harta benda atau urusan-urusan mewakili si pemilik. Artinya jelas, manusia tidak bebas untuk bertindak semaunya sendiri.
Menguasai dan memerintah bumi bukan berarti mengeksploitasinya tetapi lebih untuk mengaturnya, untuk mengembangkan potensinya. Tidak ada ruang di sini untuk mencemari atau menghancurkan lingkungan, sebaliknya lingkungan harus menjadi sumber-sumber penunjang dan sekaligus kesempatan untuk pelayanan.
Memang manusia pertama itu lebih menuruti godaan si ular dan melanggar batas kebebasan mereka yang ditetapkan Allah, sehingga segala sesuatu menjadi rusak. Meski begitu, perintah untuk merawat bumi tidak dibatalkan. Hak istimewa dan tanggung jawab sebagai pelayan atas ciptaan belumlah dicabut (Band. dengan Pantheisme yang memandang semua kehidupan merupakan bagian dari suatu jaringan ekosistem yang membentuk satu kesatuan tunggal. Tidak ada pencipta eksternal dalam pandangan ini dan manusia tidak memiliki hak khusus untuk memerintah alam).
 Sebuah Visi Alkitabiah tentang Bumi
Alkitab memberi kesaksian bahwa kehidupan adalah kisah yang jauh lebih besar, sebuah novel, kisah nan agung, tentang Allah. Kisah yang utuh dari dimulai dalam bagian pembuka dari kitab pertama dalam Alkitab kita (Kej. 1 dan 2) dengan Allah yang menciptakan kosmos, termasuk manusia yang serupa dengan citra-Nya, dan berakhir dalam bagian penutup dari kitab terakhir dalam Alkitab kita (Why. 21-22) dengan Allah yang menciptakan langit dan bumi yang baru.
Kita menangkap kesan dan pesan yang amat kuat bahwa kisah Allah ini diawali dan diakhiri oleh kebaikan, keindahan, dan keteraturan, baik di taman Eden itu maupun di kota Yerusalem Baru, yang turun dari sorga ke atas bumi itu. Kehidupan bumi dan segala yang ada di dalamnya (termasuk manusia) adalah perjalanan dari keindahan menuju keindahan, dari harmoni menuju akhir yang harmonis. Menakjubkan bukan, kisah tentang Allah ini dibuka dan ditutup dengan sebuah tatanan ekologi dan ekosistem bumi yang indah dan teratur!
Tentu saja, sebagaimana kita ketahui bersama, diantara dua peristiwa itu kisah ini menceritakan bagaimana segala sesuatu menjadi rusak termasuk manusia dan dunia ini. Kondisi cemar dosa itu melahirkan rencana Allah untuk melakukan sesuatu atasnya. Rencana atau kehendak Allah itu adalah rencana pembebasan, bukan penghancuran bumi, atas segala hal yang telah hilang atau rusak dari ciptaan-Nya itu. Rencana itu berpusat pada Sang Pembebas Agung, Yesus, Mesias dari bangsa yahudi. Kita semua yang menjadi murid dan mengikut Yesus menjadi bagian penting dari kisah besar ini yang akan menuju puncak kemegahannya pada saat Dia datang kembali.
Kisah agung tentang Allah di atas seharusnya ini memberi kerangka pikir (world-view) yang Alkitabiah tentang planet yang kita diami ini. Apakah dunia seperti rumah yang terbakar yang atasnya Allah membatasi tujuan-Nya hanya menyelamatkan penghuninya yang terjebak di dalamnya? Atau apakah Allah juga bermaksud untuk menyelamatkan rumah itu, yakni menyiramkan air pada nyala api dan membangun kembali rumah itu sehingga manusia bisa sekali lagi tinggal di dalamnya? Penulis yakin dengan pilihan yang ke dua.
Allah tidak hanya mengasihi dan terus menyelamatkan manusia; Ia juga mengasihi ciptaan-Nya yang telah jatuh, termasuk budaya manusia, dan termasuk ekologi bumi, Ia ingin menyelamatkannya juga. Alur kisah Alkitab itu mengharuskan kita memahami dunia/planet bumi ini dengan konteks kisah Allah yang agung itu. Ini adalah sebuah green gospel, kabar baik yang berwawasan ekologi, bagian penting dari injil yang holistik.
 Kehadiran yang Mengubahkan Lingkungan
Pertama, kehadiran Kristus. Allah, penuh kasih karunia memulai karya penebusan-Nya. Sebagaimana kita ketahui bersama, puncak penebusan itu datang melalui Yesus Kristus, yakni karya salib dan kebangkitan-Nya. Namun tujuan Yesus memperluas lebih dari sekedar keselamatan manusia, seperti yang Paulus nyatakan: “Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia dan oleh Dialah Ia telah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya sendiri, baik yang ada di bumi maupun yang ada di sorga sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus (Kolose 1:20). Paulus sebelumnya menyebut Yesus juga terlibat dalam penciptaan segala sesuatu (Kolose 1:16). Demikian juga, melalui kematian-Nya, Yesus tidak hanya menebus manusia tetapi juga memperdamaikan kembali segala sesuatu dengan Allah.
Kedua, kehadiran kita. Kita para pengikut Yesus adalah duta besar bagi kerajaan Allah dan agen perubahan di dalam dunia. Selain mandat Injil, kita juga mempunyai mandat budaya. Kita adalah bagian dari masyarakat yang mempraktikkan tugas kepelayanan atas ciptaan Allah dalam segala dimensinya, termasuk dimensi ekologi. Allah tetap sangat tertarik pada “segala sesuatu”. Ia dipermuliakan ketika kita bertindak untuk mengembangkan potensi keteraturan ciptaan dan ketika kita merawat alam ciptaan Allah sesuai dengan tujuan-tujuan-Nya. Sebab kita memahami, dalam kata-kata terkenal Abraham Kuyper, “Tak ada satu inci persegi pun dari seluruh ciptaan yang atasnya Yesus Kristus tidak berteriak ‘ini milik Ku!’”
 Menghidupi Panggilan Ekologis Seorang Murid
Berkaitan dengan krisis ekologi modern yang terjadi saat ini seperti penebangan hutan, perusakan habitat, spesies-spesies yang terancam punah, penipisan ozon dan pemanasan global, suara dan peran apa yang kita, sebagai orang murid Kristus, perlu dikembangkan sebagai orang-orang yang mengenal sang Pencipta dan yang mengasihi ciptaan? Pertimbangkan dua dari antara banyak cara mengerjakan mandat kepalayanan atas lingkungan ini untuk aplikasinya.
Pertama, kampanye lingkungan hidup. Sikap dan perilaku semua anak bangsa terhadap alam harus berbenah jika ingin kondisi tanah air kita berubah. Para murid Kristus harusnya memelopori, memrakarsai dan menggerakkan saudara-saudara sebangsanya yang religius ini agar tidak hanya menghidupi nilai-nilai kesalehan individu dan sosial, tetapi juga nilai-nilai kesalehan ekologis, demi perubahan-perubahan positif bagi kondisi alam nusantara kita tercinta ini. Para murid Kristus yang radikal harus giat mengupayakan terjadinya perubahan mendasar tentang cara kita memandang ciptaan dan cara kita memperlakukan ciptaan Allah itu.
Kampanye melalui tulisan, seminar maupun aksi teaterikal, dan lain-lain nampaknya akan efektif menjadi sarana pesan penyadaran kepedulian lingkungan hidup. Kampanye yang tak kalah penting adalah peran keteladanan para murid kepada masyarakat di lingkungan rumahnya. Rumah sederhana tetapi bersih, sampah yang terkelola baik dan ditata apik secara estetika serta berwarna “hijau” tidak hanya akan memberkati kesehatan tetangga, tetapi juga cenderung menular, melahirkan lingkungan yang “berwawasan ekologi.”
Kedua, keterlibatan dalam usaha konservasi. Konservasi terkait filosofi dan kebijakan mengelola lingkungan untuk memastikan kecukupan persediaan sumber daya alam di masa generasi mendatang. Penulis melihat hari ini konservasi lingkungan masih menjadi slogan tanpa makna di negara kita (mengingat separo Indonesia kita ini dikuasai industri pertambangan yang dalam praktiknya merupakan perusak ekologi nomor wahid itu). Para murid Kristus harus ada yang berkarya penuh di bidang ini. Itu bisa dilakukan dengan dua jalur; profesi dan keilmuan.
Secara profesi, bekerja di bidang pemerintahan bisa menjadi kesempatan besar untuk memengaruhi para penentu kebijakan pembangunan agar semakin memiliki etika pembangunan bangsa yang memperhatikan keseimbangan ekologi. Secara keilmuan, efektif sekali jika para murid Kristus ada yang menggeluti bidang ilmu yang berperan dalam pemeliharaan proses-proses ekologis yang esensial (misalnya siklus nitrogen, karbon dioksida, air global dan regenerasi tanah, serta sistem-sistem pendukung kehidupan bangsa kita seperti sistem pertanian, air dan tanah). Syukur-syukur, para murid bisa berkiprah di level internasional dalam misi konsevasi ini, karena bangsa-bangsa perlu bekerja sama untuk melestarikan, melindungi dan memulihkan kesehatan dan keutuhan ekosistem bumi.
 Langkah Awal yang Penting
Menarik merenungkan reaksi Adam Hawa ketika Allah meminta pertanggungan-jawab mereka. Adam menyalahkan Hawa, Hawa menyalahkan ular. Jelas karena takut dan malu. Menyalahkan orang lain nampaknya jadi cara mudah yang kita pilih untuk lepas tangan ketika hari ini kita dapati konsekuensi kerusakan alam makin sering berujung bencana yang menelan banyak korban. Salahkan orang kaya pemilik pabrik untuk efek global warming, salahkan orang miskin yang buang sampah di sungai, salahkan pemerintah yang tidak becus atasi banjir, dst. Tapi jika kita sungguh ingin mengubah dunia, mari kejutkanlah teman atau saudara sebangsa kita, dengan berkata, “Maaf, itu karena salah saya.” Saya pikir itu langkah awal yang kecil yang akan berdampak besar bagi pemulihan dunia. Bagaimana menurut Anda?

DAFTAR PUSTAKA
 Tragedi Bumi yang Terluka oleh John Handol ML, Leo Nababan, El-Mission Communications.
Redeeming Creation: The Biblical Basis for Environmental Sterwardship oleh Fred Van Dyke et al., InterVarsity Press.
The Transforming Vission oleh J. Richard Middleton dan Brian J. Walsh, InterVarsity Press.


Komentar