ECOLOGY
REDEEMED: TEOLOGI KRISTEN DAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP
oleh
Ferry Y. Mamahit
PENDAHULUAN
Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) baru saja mengadakan hajatan besar, UN Climate
Change Conference 2007 di Bali pada 3-14 Desember 2007. Ini
adalah sebuah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tentang perubahan iklim, dengan
isu utama perubahan iklim akibat pemanasan global (global warming). Di
akhir acara, sebagian negara bersedia meratifikasi kebijakan yang telah dibuat,
tetapi sebagian yang lain, khususnya negara-negara maju penghasil polutan
tertinggi, enggan melakukannya karena “belum cocok” dengan jumlah minimum
persentase emisi yang ditentukan. Kini, hiruk pikuk konferensi ini
sudah berakhir dan menyisakan sebuah pertanyaan, “so what gitu lho?”
Apa kelanjutan semua ini?
Bagi
orang Kristen di Indonesia, yang hidup dalam dwi-kewarganegaraan (Indonesia dan
Kerajaan Sorga), mengusahakan pelestarian, penyelamatan atau apa pun yang
berkaitan dengan lingkungan hidup (ekologi) adalah suatu keharusan dan bukan
pilihan. Krisis ekologis seperti ini terus mendesak orang Kristen
untuk mengambil tindakan konkret dan praktis. Masalahnya, apakah
usaha ini telah ditopang oleh usaha berteologi yang benar? Sebab,
bukankah “praktik hidup yang benar” (orthopraxy) seharusnya lahir dari “ajaran
yang benar” (orthodoxy)? Tulisan singkat ini adalah usaha untuk
menjelaskan dasar teologis bagi praksis mengatasi krisis lingkungan hidup yang
sedang terjadi sekarang ini.
PENCIPTAAN
(CREATION) LINGKUNGAN HIDUP
Kekristenan
memahami alam atau lingkungan hidup sebagai sesuatu yang
positif. Ini sejalan dengan pernyataan Alkitab sendiri yang
mengatakan bahwa alam semesta, yang Allah telah ciptakan selama enam hari (hexaemeron) ini,
adalah “baik” adanya (Kej 1). Kata “baik” di sini secara luas
menyangkut sesuatu yang baik, menyenangkan, atau menyukakan secara ekonomis,
praktis, materi, moral, dan teknis-filosofis (Bowling 1980:345). Ini
berarti bahwa kebaikan ciptaan Allah selalu harus dipahami dalam perspektif
yang utuh, bukan hanya kuantitasnya tetapi juga kualitasnya.
Kebaikan
alam yang seperti ini tampak nyata, pertama, dalam keteraturannya (ordinatio),
di mana alam semesta ini ada dan hidup di dalam hukum-hukum yang
menggerakkan sekaligus membatasinya. Ini dapat terjadi karena
Sang Logos(Firman) Allah yang kreatif dan berkuasa terus menerus menopang
apa yang telah dijadikan oleh Allah (Ibr. 1:3) pada saat penciptaannya,
sehingga terjadi keselarasan di dalam ciptaan-Nya ini; dan kedua, dalam
kegunaannya (intentio), di mana semua ciptaan Allah ini, sebagai suatu
ekosistem, memainkan fungsinya dengan tepat dalam sebuah desain besar ciptaan
ini. Jadi, baik keteraturan maupun kegunaan, keduanya adalah bagian
integral dari aktivitas Allah (opera dei).
Secara
teologis, ciptaan ini baik karena diciptakan dengan tujuan yang tertinggi (the
ultimate purpose), untuk diri Allah sendiri. Ciptaan ini dijadikan
dari dan untuk Allah, untuk kesenangan sekaligus kemuliaan-Nya (dalam
hubungannya dengan Kristus, baca Kol. 1:16). Nilai dari seluruh
ciptaan (termasuk lingkungan hidup!) ini selalu harus berada dalam kaitannya
dengan Sang Pencipta. John Calvin, salah satu reformator Protestan,
menegaskan bahwa, dari perspektif ilahi, ciptaan—dalam hal ini alam
semesta—adalah sebuah panggung kemuliaan Allah, di mana melaluinya, Ia
merefleksikan kemuliaan-Nya sendiri (Schreiner 1995:65-66). Karena
itu, alam atau lingkungan hidup seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang sakral
(Gilkey 1993:109-141) karena ia ada dan diciptakan oleh dan untuk Sang
Pencipta.
PERUSAKAN
(DECREATION) LINGKUNGAN HIDUP
Sayangnya,
kondisi ideal dan sakral di atas tidak bertahan lama. Sekarang, alam
atau lingkungan hidup tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang positif tetapi
juga sesuatu yang negatif. Lingkungan hidup sepertinya memiliki
wajah ganda, di satu sisi, ia berwajah baik, karena masih dapat mewujudkan fungsinya
bagi kebaikan atau kemaslahatan manusia. Di sisi lain, ia berwajah buruk,
karena tidak dapat lagi melayani kepentingan manusia, karena sudah diperas
habis-habisan (dieksploitasi), dan akhirnya hal ini justru membawa bencana bagi
manusia. Singkatnya, ia telah menjadi “berkat” maupun “kutuk” bagi
manusia.
Hal
ini terlihat cukup jelas tampak dalam narasi kitab Kejadian (1-11), di mana
“tanah,” yang secara simbolis-teologis dipahami sebagai bagian dari ciptaan
ini, menjadi “terkutuk” (Kej. 3:17), karena manusia harus “bersusah payah” (“toil”
atau “pain” [BDB:781] yang berkaitan dengan konteks penderitaan) mencari rezeki
dari tanah ini. Bencana tidak berakhir di sini, sebab hal itu
berlanjut dalam bentuk hukuman ilahi atas manusia dan lingkungan hidupnya, di
mana Allah “mendatangkan” air bah yang telah membinasakan apa saja yang hidup
(Kej 7:21-23). Suatu kontras yang sangat tajam antara “penciptaan” (creation)
dan “penghancuran” (decreation).
Penghancuran
(juga dapat disebut “perusakan”) lingkungan hidup tidak terjadi dengan
sendirinya. Ia menjadi rusak dan negatif karena pengaruh dosa
manusia. Pada saat manusia pertama (Adam dan Hawa) jatuh ke dalam
dosa, lingkungan hidup juga mengalami dampak kejatuhan itu. Pemberontakan
manusia melawan Allah telah merusak aspek-aspek amanat ilahi yang diembannya,
termasuk amanat ekologis. Dosa manusia memiliki efek domino yang
kuat, di mana akibatnya telah menyentuh dan memengaruhi ciptaan-ciptaan Allah
yang lain, termasuk lingkungan hidup (Kaiser [1996]:10-11) itu
sendiri. Sebagai antitesis, dosa manusia telah merusak keberadaan
dan maksud penciptaan lingkungan hidup ini. Rusaknya seluruh tatanan
ciptaan ini (decreation) berakibat pada satu hal, terjadinya desakralisasi
lingkungan hidup.
Prinsipnya,
ada korelasi timbal balik antara manusia yang telah jatuh ke dalam dosa dan
krisis lingkungan hidup. Manusia, yang tadinya diciptakan sebagai
“penguasa-penatalayan” atas ciptaan Allah yang lain (Deanne-Drummond 1999:21),
setelah jatuh ke dalam dosa, berubah menjadi “penguasa-perusak” sesama
ciptaan. Mandat ekologis untuk menaklukkan (mengelola?) secara
bertanggungjawab bumi dan segala isinya ini (Kej. 1:28-30) telah terdistorsi
menjadi suatu penaklukan yang biadab dan tidak bertanggungjawab. Celakanya,
pengelolaan lingkungan hidup—dalam bentuk sumber daya alam—dengan gaya seperti
ini dianggap sah dan benar, padahal yang terjadi adalah suatu “manipulasi” dan
“instrumentalisasi” lingkungan alam sebagai sumber untuk memenuhi kepentingan
(tepatnya, “keserakahan”!) manusia saja (Breshears
2000:296). Akibatnya, lingkungan hidup menjadi rusak setelah
dieksploitasi yang besar-besaran (secara massive!) untuk memuaskan
ketamakan dan kepentingan manusia yang berdosa itu sendiri.
PENEBUSAN
(REDEMPTION) LINGKUNGAN HIDUP
Sebagai
Sang Pencipta, Allah bertanggungjawab atas seluruh
ciptaan-Nya. Ketika menciptakan manusia dan alam semesta ini, Ia
telah menetapkan di dalam rancangan-Nya yang kekal bagaimana akhir keberadaan
seluruh ciptaan ini. Ia mengetahui akhir dari awalnya, dan Ia akan
menggenapi apa yang menjadi maksud-Nya bagi ciptaan ini untuk kebaikan-Nya
sendiri (Grudem 1994:332). Meski rancangan ini coba digagalkan oleh
manusia berdosa yang memberontak kepada-Nya—yang juga berakibat pada kerusakan
lingkungan hidup—Ia telah menetapkan satu-satunya cara atau jalan keluar
bagaimana seluruh ciptaan ini dapat diselamatkan, yaitu melalui cara penebusan
(redemption).
Uniknya,
penebusan yang membawa keselamatan bagi seluruh ciptaan diusung langsung oleh
Allah sendiri, di dalam Anak-Nya, Yesus Kristus. Keselamatan melalui
usaha penebusan ini dinyatakan di dalam dan melalui; dan ditetapkan di atas
dasar hidup, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus (McGrath
1994:275). Kristus adalah satu-satunya jalan bagi penebusan yang
utuh atas seluruh ciptaan ini. Menurut para sarjana Alkitab, teks
alkitabiah, seperti Roma 8:19-23, telah dipakai untuk mendukung konsep ini
(Bray 1998; Moo 2000; Schreiner 2003). Melalui penebusan Kristus,
relasi antar sesama ciptaan yang sudah ditransformasi ke dalam hubungan yang
lebih harmonis. Ini dilakukan Kristus pertama-tama, dan terutama,
melalui penebusan manusia. Penebusan manusia akan berdampak secara
positif pada lingkungan hidupnya karena melaluinya akan terjadi transformasi
secara utuh bagi semua ciptaan yang lain (Dyrness [1991]:42; Plantinga
2002:96).
Namun,
ada hal yang penting dan harus selalu diingat bahwa penebusan yang dilakukan
oleh Kristus ini selalu berfokus pada manusia. Ini dapat dipahami
dalam konteks hukum moral. Sebagai gambar dan rupa Allah sekaligus
representasi Allah di tengah ciptaan lain (Dailey [1992]:1-13), manusia adalah
satu-satunya mahluk ciptaan yang memiliki kapasitas moral untuk
bertanggungjawab atas kejatuhan dirinya ke dalam dosa dan kerusakan lingkungan
hidup yang diakibatkannya. Karena manusia adalah aktor antagonis
utama (“biang kerok”) atas kerusakan tatanan penciptaan Allah, maka ia
adalah satu-satunya yang harus menanggapi karya penebusan Kristus itu dengan
benar dan tepat, bukan lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup,
termasuk benda-benda anorganik, tanaman, dan binatang, tidak dapat melakukan
hal itu karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk menanggapi karya penebusan
Kristus (Oden 1898:375).
Karena
kerusakan lingkungan hidup disebabkan oleh ulah manusia yang telah jatuh ke
dalam dosa, maka penebusannya pun bergantung pada penebusan manusia
itu. Artinya, untuk menyelamatkan lingkungan hidup, maka manusia
harus lebih dulu diselamatkan baik dari dosa spiritual (moral) maupun
dosa ecological-nya. Ketika manusia ditebus dari dosa-dosa yang
seperti ini, maka citra Allah di dalam dirinya akan
dipulihkan. Penebusan manusia adalah kunci bagi penebusan ciptaan,
sebab, sebagai “mahkota ciptaan Allah” dan “penguasa-penatalayan,” ia sangat
berperan dalam mewujudkan keutuhan ciptaan. Akibatnya, tanggung
jawab manusia terhadap Allah, sesama manusia dan lingkungan hidupnya, juga akan
ikut diperbarui dan dipulihkan (Mamahit [2007]:11). Dengan demikian,
manusia akan menjadi lebih bertanggungjawab dalam mengelola bumi dan segala
isinya, sesuai dengan disain aslinya sebagai “penguasa-penatalayan.”
PENCIPTAAN
KEMBALI (RECREATION) LINGKUNGAN HIDUP
Dengan
dipulihkannya tanggung jawab manusia melalui penebusan (redemption) yang
dikerjakan oleh Kristus, maka akan terjadi penciptaan kembali (recreation) atas
lingkungan hidup. Artinya, penebusan ini akan berdampak langsung
pada penciptaan kembali (recreation) lingkungan hidup. Pola seperti
ini, sesungguhnya dapat dilihat dari narasi Nuh (air bah), setelah penghancuran
bumi dan segala isinya, Allah menciptakan kembali bumi dan isinya menjadi
“baru” (Kej 9:8-17). Selanjutnya, di sepanjang Perjanjian Lama (PL),
“negeri” atau “tanah” yang terancam hilang, akhirnya diberikan kembali dalam
keadaan baru kepada umat Allah. Konsep ini terus berlanjut sampai
Perjanjian Baru (PB), di mana Kristus hadir dan membawa pembaruan kembali
ciptaan-Nya (“recreation”). Penciptaan kembali ini seharusnya
dilihat dalam kerangka perjanjian (covenant) yang Allah buat antara diri-Nya dan
manusia, yang kemudian dimateraikan dengan menaruh busur-Nya (pelangi?) sebagai
tanda perjanjian antara Allah dan segala mahluk hidup yang ada di bumi.
Penciptaan
kembali adalah hasil akhir dalam seluruh skema penyelamatan Allah atas seluruh
ciptaan-Nya. Ini adalah sebuah realita di mana anugerah Allah
akhirnya akan menyentuh seluruh ciptaan-Nya. Meski manusia adalah
target utama penebusan Allah, dan keselamatan itu dimulai dari manusia, Allah
tidak ingin keselamatan itu hanya eksklusif dialami olehnya. Ia ingin agar
manusia juga membagikan anugerah-Nya bersama kepada ciptaan yang lain, menebus
masyarakat, dunia binatang, dan bahkan bumi itu sendiri (Witmmer
2004:188). Proses bergeraknya kekuatan anugerah dari titik manusia
ke titik-titik ciptaan Allah yang lain akan terus berlangsung di sepanjang
sejarah manusia dan bumi ini sampai menuju akhir sejarah itu.
Akhirnya,
dalam perspektif eskatologis, garis penebusan manusia dan lingkungan hidupnya
akan bersinggungan dengan garis kekekalan di akhir zaman. Alkitab
menyaksikan akan ada saat di mana semua mahluk akan masuk ke dalam “kemerdekaan
kemuliaan anak-anak Allah” (Rm 8:19-22) di dalam “langit dan bumi” yang baru
(Why 21:1-8). Keadaan ini akan terjadi ketika Allah akan mengarahkan
seluruh ciptaan ini kepada suatu pemenuhan akhir (a final fufillment),
kebangkitan kemanusiaan yang tertebus dan kemerdekaan semua
ciptaan. Dasar dari pengharapan ini adalah karena kebangkitan
Kristus adalah “buah pertama” dari kemerdekaan ini (WEF
1993). Puncak dari pengharapan eskatologis ini tidak akan terjadi di
dalam bumi yang sekarang, tetapi sebagaimana visi kenabian PL dan pengharapan
eskatologis PB, akan menemui penggenapannya di dalam realitas langit dan bumi
yang baru, yaitu Eden yang telah ditebus (Deswanto 2006:109) atau ecology
redeemed.
PENUTUP
Dalam
perspektif teologi Kristen, memahami lingkungan hidup dan semua krisis yang
terdapat di dalamnya tidak dapat dilepaskan dari gambaran yang besar dan utuh
tentang hubungan-hubungan eksistensial antara Allah, Sang Pencipta, dan
ciptaan-Nya, contohnya dengan melihat trialektika
Allah-manusia-bumi. Allah yang independen, manusia dan bumi yang
dependen terhadap Allah sekaligus interdependen antara keduanya (Mamahit
[2007]:9). Juga, yang tidak kalah penting, isu lingkungan hidup ini
tidak dapat dilepaskan dari ketetapan sejarah keselamatan (salvation history)
atau sejarah penebusan, di mana sejarah telah, sedang dan akan bergerak dalam
pola “penciptaan-penghancuran-penebusan-penciptaan kembali” (“creation-decreation-redemption-recreation”). Seluruh
ciptaan, yang di dalamnya temasuk manusia dan lingkungan hidup, ada dalam
seluruh diskursus sejarah penebusan ini.
Beberapa
implikasi dari pemahaman ini adalah, pertama, krisis lingkungan hidup
harus dilihat sebagai masalah atau isu teologis (spiritual dan moral), sebab
lingkungan hidup berkaitan erat dengan Allah, Sang Pencipta, dan
tugas/tanggungjawab manusia, sang “penguasa-penatalayan.” Manusia
yang telah berdosa kepada dan terpisah dari Allah serta tidak lagi bertanggungjawab
atas kodrat dan amanat ekologis yang diterimanya; kedua, krisis lingkungan
hidup dan penyelamatannya dari kehancuran harus diletakkan dalam kerangka
penebusan manusia. Penebusan manusia oleh Kristus akan berdampak
pada penebusan ciptaan yang lain, termasuk lingkungan hidup itu sendiri; dan
akhirnya, ketiga, usaha-usaha mengatasi krisis lingkungan hidup atau
penyelamatannya dari kehancuran harus diletakkan dalam kerangka misi Kristen,
usaha penebusan seluruh umat manusia yang berdosa. Melalui pemulihan
hubungan dengan Allah, manusia (yang sudah tertebus dari dosanya) akan memiliki
pemulihan hubungan yang benar dengan sesama dan lingkungan hidupnya.
Usaha-usaha
PBB (seperti UN Climate Change Conference di atas), Green Peace (atau
WALHI di tingkat lokal!), World Wild Foundation, Al Gore dengan filmnya “An
Incovenient Truth,” Pertemuan-pertemuan Earth Summit, Festival Go
Green! atau apa pun—dengan motivasinya masing-masing—yang mencoba
mengatasi krisis lingkungan hidup patut diacungi jempol, dihargai dan
didukung. Namun, bagi orang Kristen, apa saja yang dilakukan untuk
mengatasi krisis lingkungan hidup harus dilakukan secara konkret dan konsisten
dengan motivasi etis dan dasar teologis yang benar. Ekologi yang
tertebus mensyaratkan tindakan penebusan Kristus dan manusia yang
tertebus. Semua umat tebusan Allah selayaknya turut menjaga
lingkungan hidup dan mengatasi krisis yang ada di dalamnya secara Kristen,
sebab untuk itu orang Kristen diciptakan dan dipanggil!
SUMBER
ACUAN
Bowling,
Andrew 1980. “bwj.” Theological wordbook of
the Old Testament. Vol. 1. Ed. Harris, RL, Archer Jr.,
GL, and Waltke, Bruce K. Chicago: Moody.
Bray,
Gerald 1998. Romans. Downers Grove:
InterVarsity.
Breashears,
Gerry 2000. “Ecology, ecological movement.” Evangelical
dictionariy of world missions. Ed. Scott
Moreau. Grand Rapids: Baker.
Brown,
F, Driver, SR., and Briggs, CA 1962. A Hebrew-English lexicon
of the Old Testament. Oxford: Clarendon.
Dailey,
Thomas F [1992]. “Creation theology: The ‘dominion’ of
biblical anthropology.” Irish Theological Quarterly 58.
Deanne-Drummond,
Celia 1999. Ekologi dan teologi: Buku pegangan. Jakarta:
Gunung Mulia.
Deswanto,
Yusuf 2006. “Sebuah studi tentang ekologi berdasarkan
etika Perjanjian Lama dan relevansinya bagi panggilan gereja untuk konservasi
alam/lingkungan hidup.” Skripsi M. Div., Seminari Alkitab Asia
Tenggara.
Dyrness,
William [1991]. “Are we our planet’s keeper.” Christianity
today.
Gilkey,
Langdon 1993. Nature, reality and the sacred: the nexus
of science and religion. Minneapolis: Fortress.
Grudem,
Wayne 1994. Systematic theology: An introduction to
biblical doctrine. Grand Rapids: Zondervan.
Kaiser,
Christopher B. [1996]. “The integrity of creation: In
searching of a meaning.” Perspective 11.
Mamahit,
Ferry Y [2007]. “Apa hubungan Porong dan
Yerusalem? Menggagas suatu ekoteologi Kristen.” Veritas 8.
McGrath,
Alister 1994. Christian theology: An introduction. Oxford:
Blackwell.
Moo,
Douglas J 2000. Romans. Grand Rapids:
Zondervan.
Oden,
Thomas C 1989. The word of life. San
Francisco: Harper and Row.
Plantinga
Jr., Cornelius 2002. Engaging God’s world. Grad Rapids:
Eerdmans.
Schreiner,
Susan E 1995. The theatre of his glory: Nature and
natural order in the thorught of John Calvin. Grand Rapids: Baker.
Schreiner,
Thomas R 2003. Romans. Grand Rapids: Baker.
Witmmer,
Michael E 2004. Heaven is a place on earth. Grand
Rapids: Zondervan.
World
Evangelical Fellowship [1993]. “Evangelical Christianity and the
environtment.” Transformation 9.
Komentar
Posting Komentar