ECOLOGY
REDEEMED: THE STORY OF CREATION REVISITED
oleh
Yusuf Desawanto
KRISIS
EKOLOGI: CERMIN KETIDAKUTUHAN TEOLOGI KRISTEN?
Krisis
lingkungan hidup yang terjadi saat ini sudah sampai pada taraf mencemaskan
hampir seluruh penduduk dunia. Patut menjadi perhatian kita bahwa krisis
lingkungan hidup ini telah memunculkan kecurigaan terhadap teologi
Kristen, yang dianggap telah mendorong perilaku eksploitasi alam secara
destruktif. Lynn White Jr., seorang sarjana dari Universitas California,
Los Angeles, menyatakan bahwa seluruh masalah (krisis) lingkungan hidup yang
dihadapi dunia saat ini disebabkan oleh teologi penciptaan Yahudi-Kristen, yang
pada gilirannya mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
yang bersifat eksploitatif dan merusak alam.1 Tuduhan ini mengindikasikan
adanya kecurigaan banyak pihak akan pengaruh teologi Kristen terhadap tindakan
eksploitasi alam oleh negara-negara yang notabene memiliki tradisi kekristenan
kuat.
Namun
benarkah teologi Kriten yang alkitabiah telah mendorong sikap yang eksploitatif
dan destruktif terhadap lingkungan hidup? Executive Director dari Churches’
Center for Theology and Public Policy di Washington D. C., James A. Nash,
di dalam artikelnya yang berjudul “Toward the Ecological Reformation for
Christianity” mengatakan:
In
most mainstream Christian traditions, the ecosphere is still perceived
theologically and ethically trivial, as the scenery or stage for the
divine-human drama, which alone has redemptive significance. Nature is seen as
a composite of “things,” “raw materials,” or “capital assets,” that have only
instrumental value for human economic production and consumption, without regard
for the fact that these “objects” are also an astonishing diversity of
“subject” struggling for sustenance and space in complex
interdependency. Human kind is viewed as an ecologically segregated
species, designed for managerial mastery and possesed with an ultimately
sanctioned right to exploit nature’s bount, with the only restriction being not
to harm other humans . . . Dualism and anthropocentrism remain as prime
characteristics of most contemporary Christian theological perspectives in the
churches and academies.2
Memang
ternyata permasalahannya terletak pada perspektif teologis yang banyak
mempengaruhi tradisi gereja hingga saat ini. Beberapa waktu yang lalu, para
teolog telah memiliki perspektif yang antroposentrik dalam memahami teologi
penebusan. Penebusan hanyalah dilihat di dalam kerangka Allah yang
menyelamatkan manusia secara individual, dan tidak terkait dengan keberadaan
ciptaan lainnya. Karena itu, teologi penciptaan dilihat secara terpisah
dari teologi penebusan. Bahkan di bawah bayang-bayang keberadaan teologi
modern, teologi penciptaan dianggap sebagai salah satu bentuk teologi
natural. Akibatnya, teologi penciptaan selalu dipandang inferior terhadap
teologi penebusan (soteriologi), dan fokus ajaran gereja sejak abad ke-20 terus
berkisar pada ajaran yang antroposentris.3
Claus
Westermann, sebagaimana dikutip Yonki Karman, dalam pendahuluan bukunya Creation, menuliskan
satu pernyataan yang harus kita simak bersama:
Bila
teologi dan khotbah gereja hanya berurusan dengan keselamatan, bila Allah
berurusan dengan manusia sebatas pengampunan dosa dan pembenaran, konsekuensi
yang tak dapat dielakkan adalah bahwa hanya dalam konteks inilah manusia
berurusan dengan Allah dan Allah berurusan dengan manusia. Ini berarti Allah
tidak peduli dengan cacing yang terinjak atau dengan penampakan bintang baru
dalam gugusan Bima Sakti. Lalu pertanyaannya, Ia Allah macam apa, yang
melakukan segala sesuatu bagi keselamatan manusia, namun sama sekali tidak ada
sangkut pautnya dengan manusia dalam situasi hidupnya? Sejarah keselamatan
macam apa yang sama sekali tak berurusan dengan sejarah real?4
Sadar
atau tidak, hingga saat ini masih banyak gereja yang menempatkan ajaran tentang
penciptaan sebagai subordinasi terhadap ajaran penebusan. Pada akhirnya jemaat
hanya memahami alam dan ciptaan yang lain tidak lebih sebagai latar (background)
dari “panggung sandiwara” penebusan manusia oleh Allah.
Melalui
tulisan ini penulis mencoba mengangkat kembali teologi penebusan secara utuh,
yang berangkat dari kerangka teologi perjanjian (covenan theology). Penulis
mencoba menggambarkan kerangka dasar sejarah penebusan dengan menempatkan
penciptaan sebagai bagian yang integral di dalamnya. Sebagian besar isi tulisan
ini merupakan hasil studi literatur penulis di dalam menyelesaikan tugas
akhirnya di seminari, dengan judul “Sebuah Studi Tentang Ekologi Berdasarkan
Etika Perjanjian Lama Serta Relevansinya Bagi Panggilan Gereja Untuk Konservasi
Alam/Lingkungan Hidup.”
IKATAN
PERJANJIAN KOSMIK DALAM NARASI PENCIPTAAN
Apa
yang disebut sebagai Narasi Penciptaan adalah teks yang teruntai dalam Kejadian
1-2. Berkaitan dengan peran narasi penciptaan dalam Kejadian 1-2 terhadap
perjanjian Allah dengan Israel, John H. Sailhamer menyatakan bahwa penulis
kitab ini mengajukan dua perspektif teologis yang sangat jelas. Yang pertama,
melalui Kejadian 1-2, penulis ingin menegaskan bahwa Allah perjanjian
Israel telah berkarya dan menyatakan diri-Nya sejak terciptanya langit dan
bumi. Kedua, penulis bermaksud menunjukkan bahwa panggilan para bapak leluhur
dan perjanjian Sinai memiliki suatu tujuan ultima (ultimate goal), yaitu
menegakkan tujuan Allah yang sesungguhnya di dalam penciptaan alam semesta.5
Pemahaman
terhadap keutuhan kisah penciptaan dalam Kejadian 1-2 di dalam seluruh narasi
keselamatan Israel memiliki signifikansi bagi pembangunan eco-theology PL.
Narasi penciptaan dalam Kejadian 1-2 bisa dikatakan sebagai the blueprint dari
relasi perjanjian Allah, Israel dan tanah yang akan mengisi lembar sejarah
keselamatan Israel di dalam narasi selanjutnya. Bagian ini akan membahas
perkembangan konsep ekologi dalam Perjanjian Lama, dengan melihat relasi dan
peran ciptaan lain (bumi dan seisinya) terhadap manusia dalam relasinya dengan
Allah. Pembahasan kita akan berangkat dari tiga sudut pandang; sudut pandang
relasi Allah dengan alam, sudut pandang relasi manusia dengan alam (ciptaan
lain), dan akibat kejatuhan dosa manusia terhadap alam.
Allah
dan Bumi: Penciptaan dan Kepemilikan Ilahi
Ditinjau
dari struktur narasinya, Kejadian 1:1-2:3 dapat dianggap sebagai satu kesatuan
unit. Baik di dalam kanon Ibrani maupun kanon Kristen, narasi penciptaan
diawali dengan kalimat, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej.
1:1). Kalimat ini sangat signifikan karena menggambarkan jati diri Allah
serta relasi-Nya dengan alam semesta.6 Terence Fretheim memberikan
komentar yang menarik mengenai “ayat prolog” kanon PL ini:
Genesis
stands at the beginning because creation is such a fundamental theological
category for the rest of canon. God’s continuing blessing and ordering work at
every level is creational. Moreover, only in relationship to the creation can
God’s subsequent actions in and through Israel be properly understood. The
placement of creation demonstrates that God’s purposes with Israel are
universal in scope. God’s work in redemption serves creation, the “entire”
creation, since it reclaims a creation that labors under the deep and pervasive
effects of sin. 7
Fokus
dari narasi penciptaan bukan semata-mata penekanan terhadap tema karya Allah di
masa lampau (yang mengawali sejarah bumi dan manusia), tetapi juga penekanan
terhadap tema keberadaan bumi dan hubungannya dengan jati diri Allah.8 Christopher J. H. Wright
mengangkat empat hal yang sangat penting berkenaan dengan relasi Allah dengan
bumi ciptaan-Nya: (1) the goodness of creation; (2) creation is
distinct from, but dependent on God; (3) creation de-divinized; (4) the
glory and praise of God.9 Sedangkan Birch, dalam
pembahasannya mengenai Creator and Creation, memisahkan antara beberapa
penyataan karakter Allah Pencipta, dan penggambaran karakter ciptaan dalam
narasi penciptaan.10 Beberapa hal yang berkaitan
dengan relasi antara jati diri Allah dan karakter ciptaan (bumi) yang
perlu dipaparkan di sini adalah sebagai berikut.
Pertama,
Allah berdaulat atas bumi (ciptaan), sekaligus dekat dengannya. Narasi
penciptaan di dalam Kejadian 1-2:3 sarat dengan penggambaran kedaulatan Allah
atas seluruh ciptaan. Setidaknya terdapat dua unsur yang nampak di sini.
Pertama, kata BÄrÄ’ hanya
digunakan untuk menggambarkan aktivitas ilahi Allah sebagai subyek atas
ciptaan, dan tidak pernah digunakan untuk menggambarkan aktivitas ciptaan.11Kedua, kedaulatan Allah yang
melekat dengan kekuasaan Allah ini dinyatakan berulang kali di dalam ekspresi,
“Berfirmanlah Allah, ‘Jadilah…’ Dan jadilah demikian” (Kej. 1:3, 6, 7, 9,
dst.). Ekspresi yang berkaitan “firman” Allah merupakan pelukisan kekuasaan
Allah, sehingga hanya dengan ucapan-Nya, Allah menjadikan dunia ini. Wenham
mengomentari ekspresi ini dengan mengatakan, “His word is supreme: a simple fiat
is sufficient. He speaks and it is done. Word and deed reveal his omnipotence.”12
Di
samping kedaulatan dan kekuasaan Allah, narasi penciptaan khususnya dalam
Kejadian 2, memuat penggambaran relasi Allah yang dekat dengan ciptaan. Ronald
A. Simkins memberikan suatu pendekatan penafsiran yang menarik terhadap
Kejadian 2, dengan melihatnya di dalam suatu metafora pertanian. Allah yang
menciptakan langit dan bumi dikisahkan terlibat dan berinteraksi dengan
ciptaan, seolah Ia digambarkan di dalam suatu metafora “Pemilik taman bumi”
ini.13 Dalam Kejadian 2, relasi
antara Allah, Adam, dan taman Eden (Gan-Be‘Ä“den = “taman di Eden”)
merupakan penggambaran relasi antara Sang Pemilik taman, manusia (Adam) yang
merawat taman atau bumi (Kej. 2:8, 15), dan taman (bumi). Allah menyediakan
semua kebutuhan Adam, terlibat pembicaraan dengannya, memberi kebebasan
kepadanya, dan berjalan di Taman Eden. Semua penggambaran ini adalah suatu
penggunaan bentuk “antropomorfisme” (anthropomorphic in character),14 di mana Allah yang berdaulat
dilukiskan memiliki karakter-karakter manusia.
Kedua,
seluruh ciptaan Allah adalah baik. Di samping menggambarkan kedaulatan Allah
atas karya penciptaan, Kejadian 1-2:3 juga menekankan karakter dari ciptaan
(bumi dan isinya), yaitu bahwa semua ciptaan-Nya itu adalah baik. Kata
“baik” (tôb ) diulang hingga enam kali pada bagian ini. Sedangkan frasa
“sungguh amat baik” (hinnÄ“h-tôb ) digunakan pada Kejadian 1:31 untuk
melukiskan semua ciptaan yang telah Allah ciptakan hingga hari keenam.
Istilah tôb dapat mengacu kepada makna “baik” dalam kualitas estetika
(keindahan), dan juga “baik” dalam kualitas moral.15
Wright
memberikan empat dimensi kebaikan ciptaan Allah (the goodness of creation) yang
perlu disimak di sini.16 Dimensi pertama, kualitas
baik yang dimiliki bumi dan ciptaan lain merupakan cerminan dari karakter Allah
sendiri. Penulis PL menegaskan bahwa bumi dan seluruh ciptaan lainnya pada
dasarnya adalah baik, dan kebaikan itu adalah refleksi Sang Penciptanya. Dimensi
kedua dari kebaikan ciptaan adalah independensi (keterlepasan) kualitas baik
pada ciptaan dari penilaian manusia. Penulis Kejadian selalu mendahului
pernyataan tentang kebaikan ciptaan dengan klausa, “Allah melihat. . .” (Kej.
1:4, 10, 12, 18, 21, 25, 31). Ini menunjukkan bahwa alasan pertama mengapa
ciptaan memiliki kualitas baik adalah karena Allah, sebagai Penciptanya,
menegaskannya secara definitif. Hal yang penting selanjutnya adalah fakta bahwa
penilaian baik ini dinyatakan Allah sebelum penciptaan manusia. Dengan
kata lain, kualitas baik yang ada di dalam ciptaan adalah “theologically
and chronologically prior”17 terhadap penilaian
manusia. Dimensi ketiga adalah kualitas kebaikan ciptaan dalam hubungannya
dengan tujuan penciptaan yang Allah tetapkan (teleologikal), yang sejalan
dengan perkembangan dan perubahan-perubahan di dalam sejarah alam dan manusia.18 Kebaikan ciptaan dalam aspek
teleologis ini juga berkaitan dengan fungsi ciptaan, artinya bahwa ciptaan
disebut baik jika ia berfungsi dan bekerja sebagaimana Allah maksudkan sejak
semula. Hal ini berarti bahwa kebaikan ciptaan bukan suatu aspek yang telah
sempurna sejak semula (pada saat diciptakan), bersifat permanen, atau tidak
berubah sejalan dengan sejarah yang telah Allah “gulirkan.” Dimensi keempat
adalah dimensi eskatologis. Hal ini dijelaskan Wright berikut:
Creation
is not yet all God planned it to be, even apart from the effect of the fall.
God built into creation an enormous capacity for procreation: inexhaustible
resources of replication, fecundity and diversity. As we experience it, of
course, the world is also suffering the effects of human sin, from which it
longs to be liberated (Rom. 8:19-21). So Paul locates the double hope of human
redemption and cosmic liberation in the glory, the will and the Spirit of God.19
Kejatuhan
Adam di dalam dosa bukan saja berdampak pada seluruh umat manusia, tetapi juga
berdampak pada “rusaknya” kebaikan bumi dan ciptaan lain (Kej. 3:17-18). Maka
sejarah penebusan manusia sebenarnya juga berkaitan dengan sejarah penebusan
bumi dan ciptaan lainnya. Oleh sebab itu, di dalam pengharapan eskatologis
terhadap kesempurnaan pemuliaan manusia pada saat kedatangan Kristus yang
kedua, terkandung juga pengharapan terhadap puncak kesempurnaan (consummation)
kebaikan dari ciptaan—yaitu di dalam langit dan bumi yang baru.20 Ini adalah inti dimensi
eskatologis dari kebaikan ciptaan, yang telah dinyatakan sejak narasi
penciptaan.
Hal
ketiga berkaitan dengan relasi antara jati diri Allah dengan karakter
ciptaan adalah bumi diciptakan untuk menyaksikan kemuliaan Allah. Pada
pembahasan mengenai the goodness of creation di atas, telah
disinggung masalah dimensi teleologis dari ciptaan; ciptaan disebut baik jika
ia berfungsi di dalam tujuan penciptaannya, sebagaimana Allah telah
tetapkan. Pada bagian ini, dimensi teleologis dari ciptaan ini akan
diperjelas dengan satu pertanyaan, “untuk tujuan apakah bumi dan isinya
diciptakan?” Narasi penciptaan di dalam kitab Kejadian tidak banyak menjawab
pertanyaan ini, kecuali bahwa secara ontologikal keindahan dan kebaikan moral
yang Allah nyatakan di dalam keberadaan setiap ciptaan adalah cerminan jatidiri
Allah yang menciptakannya.21 Northcott mengutip sebuah
analisis yang dikembangkan Richard C. Austin dalam Hope for the Land, yang
menegaskan bahwa tanggung jawab dasar dari seluruh kehidupan di bumi ini, baik
manusia atau ciptaan lainnya, adalah meresponi Allah di dalam pujian dan
penyembahan.22
Dari
penekanan akan hal ini, para teolog PL melihat bahwa relasi covenant tidak
saja terjadi antara Allah dan manusia secara eksklusif, tetapi juga melibatkan
kosmos atau ciptaan lain.23 Northcott mengutip Robert
Murray yang menyebut relasi perjanjian ini dengan istilah the cosmic
covenant.24 Perjanjian Allah dengan Nuh
setelah peristiwa air bah (Kej. 9:9-17) merupakan gambaran yang paling jelas
mengenai konsep cosmic covenant ini. Di ayat 12 Allah menyatakan
tanda dari perjanjian-Nya (covenant) dengan Nuh: “Inilah tanda perjanjian yang
Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, yang bersama-sama
dengan kamu, turun-temurun, untuk selama-lamanya.” Perjanjian (covenant) Allah
bukan hanya melibatkan Nuh, tetapi juga melibatkan “segala mahluk yang hidup.”
Jadi, keteraturan, keindahan, dan harmoni yang nampak di dalam ciptaan bukan
terjadi karena ciptaan memiliki kesakralan di dalam dirinya, melainkan secara
teleologis ia diciptakan untuk menjadi pujian, hormat, syukur dan kemuliaan
bagi Allah Sang Pencipta dan Pemilik kosmos itu sendiri.
Manusia
dan Bumi: Perwakilan dan Tanggung Jawab
Narasi
penciptaan tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan manusia yang
ditempatkan Allah secara unik di tengah ciptaan yang lain. Kejadian 1:26-30
adalah catatan yang menegaskan peran manusia di dalam relasi perjanjian
Allah-manusia-bumi. “Peran unik” yang diberikan Allah kepada manusia harus
dijelaskan untuk menjawab tuduhan bahwa Alkitab telah memberikan pembenaran
kepada orang Kristen untuk bersikap eksploitatif terhadap alam dan ciptaan
lain. Karya Lynn White adalah salah satu yang paling banyak dibicarakan oleh
para teolog dan sarjana PL.25 White yakin bahwa kisah
penciptaan PL telah memberikan kontribusi bagi paradigma antroposentisme kepada
orang Kristen di dalam melihat ciptaan yang lainnya. Dalam artikelnya ini,
ia mengatakan, “Christianity, . . . not only established a dualism of man
and nature, but also insisted that it is God’s will that man exploit nature for
his proper ends.”26
Dalam
kerangka penafsiran terhadap narasi penciptaan yang utuh, tuduhan White ini
tentu saja tidak dapat serta merta dibenarkan.27 Dengan mempertimbangkan
konteks bagian ini di dalam hubungannya dengan keseluruhan sejarah keselamatan
PL, serta latar belakang kebudayaan Timur Dekat Kuno yang mempengaruhi penulis
Kejadian, “peran unik” manusia atas ciptaan lain sebenarnya dapat didefinisikan
dengan lebih tepat. Beberapa konsep berkenaan dengan peran manusia di dalam
kerangka perjanjian kosmis Allah-manusia-ciptaan lain akan dipaparkan pada
bagian ini.
Yang
pertama, manusia adalah gambar Allah: berkuasa atas bumi sebagai wakil Allah.
Keberadaan manusia di dalam relasi covenantal antara Allah, manusia,
bumi dan seisinya memang unik. Keunikan manusia ini bukan berarti ia
benar-benar superior dalam segala hal atas ciptaan yang lain. Saat
penciptaannya manusia juga tidak di dalam hari yang khusus, melainkan bersamaan
dengan penciptaan binatang liar dan segala jenis ternak dan segala jenis
binatang melata di muka bumi (1:24-27). Bahkan Allah menggunakan bahan yang
sama (tanah) untuk menciptakan manusia serta segala binatang hutan dan segala
burung di udara (2:7, 19). Dua hal yang benar-benar membedakan manusia dengan
ciptaan yang lain adalah: Allah menciptakan manusia di dalam gambar Allah, dan
Allah memerintahkan manusia untuk memerintah atas ciptaan lainnya. Di dalam
Kejadian 1:26, 28 Allah berfirman, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut
gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala
binatang melata yang merayap di bumi.”
Istilah
“gambar” (ceºlem) dan “rupa” (Dmût) telah membawa banyak masalah di dalam
penafsirannya. Namun di dalam banyak penggunaan, ternyata baik istilah ceºlem maupun dmût sering
digunakan secara bergantian (mis. Kej. 1:27 dan 5:1). Kedua istilah ini dapat
dilihat sebagai satu kesatuan frasa yang memiliki konotasi “menjadi wakil” atau
“menjadi model.” Kedua istilah ini tidak dapat dipahami sebagai indikasi adanya
aspek-aspek ilahi di dalam diri manusia (jiwa, roh, rasionalitas, kehendak, dan
sebagainya).28 Hal ini jelas nampak dari
bukti bahwa di luar narasi penciptaan dalam kitab Kejadian ini, tema “di dalam
gambar Allah” tidak disebutkan lagi di sepanjang PL.29 Makna yang lebih komprehensif
dari penggunaan istilah “gambar dan rupa Allah” ini adalah jika ia dikaitkan
dengan konteks ideologi kerajaan. Oleh karena itu Gerhard von Rad menegaskan
bahwa makna image of God lebih menunjukkan tujuan penciptaan daripada
natur keberadaan manusia—lebih kepada teleologis daripada ontologis.30
Dalam
Kejadian 2:26 dan 28, tampak jelas bahwa tujuan penciptaan manusia di dalam
gambar dan rupa Allah adalah untuk “berkuasa” (r¹dâ; Kej. 1:26) dan
“menaklukkan” (k¹bašh); Kej. 1:28) bumi dan seisinya. Kedua istilah ini berbeda
di dalam penekanan, namun tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain di dalam
hal ini. Pada satu sisi, käbash memberikan ijin kepada manusia untuk
memberdayakan ciptaan lain untuk kebutuhan hidupnya. Hal ini sebenarnya berlaku
di dalam ciptaan lainnya, yang memanfaatkan bumi untuk bertahan hidup. Karena
itu, meski manusia menggunakan alat atau teknologi di dalam memberdayakan
ciptaan lainnya, pada prinsipnya tidak berbeda dengan ciptaan lain yang
bertahan hidup dari apa yang diberikan bumi kepadanya.31
Sedangkan
konsep “berkuasa” (rädâ) berkaitan erat dengan “diciptakan dalam gambar
dan rupa Allah,” di mana manusia ditempatkan Allah di tengah bumi ini sebagai
wakil-Nya, agar bumi dan isinya terus berfungsi sebagaimana tujuan
penciptaannya yang ditentukan oleh Allah. Dalam hal ini, Allah sebagai Raja,
menempatkan manusia untuk menjaga dan mengendalikan order of creation,
sehingga seluruh ciptaan-Nya tetap dalam “kebaikan” dan mampu mencerminkan
pujian dan kemuliaan bagi Dia.32 Dengan demikian, konsep
berkuasa atas dan menaklukkan alam bukanlah sebuah konsep yang eksploitatif dan
merusak. Manusia sebagai gambar Allah adalah manusia yang menguasai bumi dan
ciptaan lain, sekaligus menjaga keseimbangannya agar tetap memberikan kemuliaan
bagi Allah.
Kedua,
Wright juga mengajukan suatu model peran manusia atas bumi yang ia sebut
sebagai model servant-kingship.33 Pada dasarnya peran sebagai
raja dan sekaligus pelayan memiliki dasar yang kuat di dalam teologi PL. Di
dalam teologi PL, peran seorang raja selalu dikaitkan juga dengan peran seorang
gembala, di mana kaum yang dipimpinnya tidak dilihat sebagai obyek, tetapi
subyek yang harus diayomi dan dibela hak-haknya. Meski demikian, baik
peran stewardship yang sering diangkat oleh beberapa penulis yang
memperhatikan masalah lingkungan hidup, maupun peran servant-kingship yang
diangkat oleh Wright, merupakan pengejawantahan peran dan fungsi manusia
sebagai imago dei atau wakil Allah di dalam menjaga keseimbangan
alam. Kedua istilah ini sebenarnya dapat saling melengkapi keutuhan peran
manusia yang seharusnya mengayomi, dan bukan mengeruk keuntungan dari
alam. Stewardship adalah konsep perwujudan konkret dari pelayanan
manusia kepada Allah yang mempercayakan bumi dan alam untuk dikelolanya.
Sedangkan servant-kingship merupakan konsep fungsi atau peran kita
sebagai wakil Allah bagi bumi, alam, atau lingkungan hidup.
Dampak
Kejatuhan Manusia: Kutukan bagi Bumi
Alur
narasi penciptaan yang tercatat dalam Kejadian adalah sebuah narasi dengan alur
yang cepat. Harmoni di dalam order of creation yang digambarkan oleh
penulis Kejadian pada pasal 1-2, ternyata dengan cepat berubah pada pasal 3.
Pemberontakan manusia (Adam dan Hawa) terhadap perintah Allah akhirnya juga
membawa dampak bagi ikatan relasi perjanjian antara Allah, manusia, dan bumi
atau kosmos. Di dalam Kej. 3:17, setelah Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, Allah
berfirman, “Karena engkau mendengarkan perkataan isterimu dan memakan dari buah
pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka
terkutuklah tanah karena engkau . . .” Pemberontakan manusia ternyata tidak
saja berdampak kutukan bagi manusia itu sendiri, tetapi juga kutukan bagi
“tanah” di mana manusia hidup.
Catatan
dampak kejatuhan manusia dalam dosa terhadap ciptaan lainnya juga tampak di
dalam narasi air bah (Kej. 6-9). Ketika Tuhan melihat bahwa “kejahatan manusia
besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan
kejahatan semata-mata” (6:5), Ia akhirnya mendatangkan air bah bagi seluruh
manusia di bumi. Bencana air bah ini oleh beberapa ahli dinilai sebagai
gambaran chaosyang kembali mengancam order of creation (bdk. töºhû
wäböºhû dan T•hôm – “samudera raya” dalam Kej. 1:2).34 Dalam narasi air bah, Allah
seakan “melepaskan” kontrol-Nya atas kosmos sebagai akibat kejahatan dan dosa
manusia. Richard J. Bauckham dalam essay-nya “First Step to a
Theology of Nature,” menjelaskan juga tentang hal ini:
How
does the fall effect nature? Is it only in human history that God’s creative
work is disrupted, necessitating a redemptive work, whereas in the rest of
nature creation continues unaffected by the fall? This cannot be the case,
because humanity is part of nature, and since humanity is the dominant species
on earth human sin is bound to have very widespread effects on nature as a
whole. The fall disturbed humanity’s harmonious relationship with nature,
alienating us from nature, so that we now experience nature as hostile, and
introducing element and violence into our relationship with nature (Gen. 3:15,
17-19; 9:2).35
Namun,
pertanyaan penting yang kemudian muncul adalah: “Apakah bumi dan alam juga
jatuh di dalam dosa?” Apakah kejahatan moral juga bekerja di dalam keteraturan
ciptaan yang lain, sebagaimana tampak di dalam hati manusia? Jelas Alkitab
lebih memberikan gambaran bahwa kejatuhan manusia dalam dosa telah merusak
relasi manusia terhadap alam semesta (ciptaan lain), dan bukan “keberdosaan”
alam semesta. Narasi air bah di dalam Kej. 6-9 sendiri menggambarkan bahwa
aspek hukuman (kutukan) itu sendiri terjadi pada manusia dan bukan pada air bah
tersebut.
Perlu
ditambahkan di sini bahwa taman di Eden bukan keseluruhan dari planet bumi ini.
Taman ini adalah suatu tempat di mana manusia ditempatkan Allah pertama kali,
berkuasa atasnya, dan merasakan suasana aman dan terpenuhi segala kebutuhannya.
Implikasi dari penghukuman Allah, yaitu keluar dari taman Eden ini, berarti
bahwa manusia akan berada di dalam lingkungan hidup yang tidak kondusif lagi.
Yang perlu menjadi catatan juga adalah bahwa kutukan Allah dalam Kejadian 3:17
ditujukan kepada “tanah” (hm'd'a] – ’ádämâ; yang berarti “peace
of ground” atau “earth in material substance”).36 Von Rad memberikan catatan
terhadap ayat ini dengan mengatakan bahwa kutukan itu menyangkut dimensi
pekerjaan dari kehidupan manusia laki-laki (Adam), yang harus ia kerjakan
dengan bersusah payah.37
Dari
bagian ini didapatkan gambaran yang lebih jelas bahwa PL telah memberikan suatu
dasar yang kuat bagi sebuah keterkaitan antara sejarah penebusan dengan ikatan
perjanjian Allah-manusia-alam semesta. Bumi, alam, lingkungan hidup dan ciptaan
yang lain tidak pernah dilihat oleh PL sebagai “unsur pelengkap” bagi
eksistensi manusia. Seluruh kosmos memiliki peran penting di dalam sebuah
perjanjian cosmic antara Allah, manusia, dan kosmos. Alkitab (PL)
tidak pernah memberikan kontribusi normatif bagi sikap eksploitatif terhadap
alam. Kejatuhan manusia di dalam dosa yang menjadi unsur perusak
perjanjian di atas.
1Tulisannya berjudul “The Historical
Roots of Our Ecological Crisis” dicetak dan diterbitkan berkali-kali oleh
berbagai media yang menyoroti masalah krisis lingkungan hidup. Yang pertama
oleh D. & E. Spring, Ecology and Religion in History (eds. New
York: Harper and Row, 1974); yang terbaru dicetak ulang dalam diskusi para
tokoh Injili, R. J. Berry, The Care of Creation: Focusing Concern and
Action (Downers Grove: InterVarsity, 2000) 31.
6Steven Bouma-Prediger, For The
Beauty of the Earth: A Christian Vision for Creation Care (Grand Rapids:
Baker, 2001) 91.
10Let Justice Roll Down: The Old
T'estament, Ethics, and Christian Life (Louisville: Westminster/John Knox,
1991)72-86.
11Gordon J. Wenham, Genesis 1-15 (Dallas:
Word, 1987). 14; bdk. von Rad, Old Testament Theology(trans. D. M. G.
Stalker; New York & Evanston: Harper & Row, 1962) 1:142.
15Francis Brown, S. R. Driver, and
Charles A. Briggs, The New BDB-Gesenius Hebrew-Aramaic and English Lexicon
of the Old Testament (Peabody: Hendrickson, 1979) 3663.
19Ibid. 108. Bdk. Francis Bridger
“Ecology and Eschatology: A Neglected Dimension.” Tyndale 41/2 (1990)
297-300; juga W. Sibley Towner, “The Future of Nature.” Interpretation 50/1
(January 1996) 27-34.
22Seperti yang dikutip Michael S.
Northcott, The Environment and Christian Ethics (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996) 180.
27Beberapa sarjana dalam The
Care of Creation telah memberikan jawaban atas tuduhan White. Martin Harun
(“’Taklukkanlah Bumi dan Berkuasalah…:’ Alkitab Ibrani dan Dampaknya untuk
Lingkungan Hidup” JPZ 13/2 [November 1998 – April 1999] 86-112) juga
memberikan argumentasi yang baik di dalam membantah artikel White tersebut.
34Von Rad, Genesis 123-124.;
Simkins, Creator 202-204; Wright, OT Ethics 129-132;
Birch, Let Justice 94-95. 4
Komentar
Posting Komentar