DISIPLIN
ROHANI: TERPAKSA atau SUKARELA?
oleh
Wahyu Dwijayati, M.Div.
PENDAHULUAN
Jika
kita mendengar istilah “disiplin”[1] seringkali yang terlintas dalam
benak kita adalah gambaran-gambaran negatif, misalnya: hukuman, tuntutan,
perintah yang harus ditaati atau paksaan/tekanan untuk melakukan
sesuatu. Tidak jarang ada sebagian orang tertentu merasa “disiplin”
sebagai momok namun terpaksa ditaati supaya tidak terjadi
konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan.
Apakah
disiplin khususnya disiplin rohani adalah sesuatu yang bersifat memaksa
seseorang secara khusus bagi Anggota Kelompok Kecil (AKK) dan Pemimpin Kelompok
Kecil (PKK)? Atau sebaliknya apakah disiplin rohani adalah bagian
yang menyenangkan bagi seorang murid yang hendak
bertumbuh? Bagaimana kita dapat melihat pentingnya disiplin rohani
dalam kerangka meningkatkan kualitas pemuridan yang menjadi fokus pelayanan
Perkantas?
TINJAUAN
ALKITAB
Dalam
PL, kata yang dipakai untuk menerangkan disiplin adalah ysr (baca:
yasar). Kata ini mengalami pergeseran arti dari admonish (mis:
Mzm. 94:10, LAI: menghajar; Ams. 9:7, LAI: mendidik), dan discipline (mis:
Ul. 4:36, LAI: mengajar; Ams. 3:11, LAI: didikan), menjadi chastise atau
menghukum untuk kebaikan (mis: Im. 26:18, 28; Ams. 19:18). Kata
disiplin juga dikaitkan dengan kata benda mûsÄr yang
digunakan dalam konteks mengkoreksi (Ams. 15:33, NASB: instruction) yang
akan memimpin kepada hikmat dan didikan. Pendisiplinan seorang anak
oleh ayahnya memberikan suatu analogi bagi pendisiplinan umat perjanjiannya
(Ul. 8:5; Ams. 3:11-12; cf. Ibr. 12:4-11).
Dalam
PB, kata kerja yang digunakan paideuŨ dan kata benda paideia memiliki
kesamaan dalam pergeseran arti seperti ysr dan mûsÄr. “Dan Musa dididik dalam segala hikmat orang
Mesir . . .” (Kis. 7:22) dan “. . . Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar
(didisiplin) oleh ayahnya?” (Ibr. 12:7). Kata paideuŨ juga
digunakan dalam konteks disiplin ilahi (Ibr. 12:6).
DEFINISI
Istilah
disiplin rohani telah diterapkan dalam bidang keagamaan sejak permulaan sejarah
manusia yang ditemukan dalam Yudaisme maupun Kekristenan. Seorang
pengikut Kristus biasanya dipanggil disciple (murid), yang berarti di
dalam hidupnya mencakup disciplines dalam menjalankan kebenaran
karena kepercayaan kepada Kristus (Flp. 3:9).
Disiplin
rohani adalah aktifitas-aktifitas orang percaya yang dilakukan dalam menabur
benih dalam Roh (Gal. 6:8).[2] Disiplin rohani menjadi bagian
dari orang-orang yang hidup di dalam Roh atau orang yang menjadi milik Kristus
(Gal. 5:24). Orang yang seperti ini akan mampu menyalibkan segala
hawa nafsunya melalui disiplin rohani untuk menyenangkan Kristus.
John
Wesley mengatakan “It was a common saying among the Christian of the primitive
church, the soul and the body make a man, the spirit and discipline make a
Christian, impliying that none could be real Christians without the help of
Christian discipline”[3] (Ada ungkapan di kalangan orang
Kristen mula-mula yang mengatakan jiwa dan tubuh membentuk seorang manusia, Roh
dan kedisiplinan membentuk seorang Kristen. Tanpa penerapan disiplin
rohani tidak ada orang yang bisa disebut sebagai orang Kristen sejati).
Richard
Foster mengatakan bahwa disiplin rohani adalah kegiatan, sendiri maupun
bersama, yang kita lakukan sebagai cara untuk menempatkan diri kita di hadapan
Tuhan agar Ia dapat bekerja di dalam diri kita.[4]
Allan
Coppedge dalam bukunya yang berjudul The Biblical Principles of
Discipleship mengatakan bahwa seorang murid Kristus harus membayar harga
dari pengenalannya akan Tuhan dengan cara berkomitmen menjalankan disiplin
rohani; sebab relasi dengan Tuhan dapat dibangun melalui disiplin rohani.[5] Adalah suatu hal yang aneh
bila AKK/PKK yang notabene mengaku sebagai murid Kristus tapi mengabaikan
disiplin rohani.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa: pertama, disiplin rohani merupakan bagian
hidup yang tidak dapat dilepaskan dari seorang yang menjadi murid
Kristus. Disebut bagian hidup berarti disiplin rohani cenderung
melibatkan investasi waktu dalam hidup kita. Kedua, disiplin
rohani merupakan upaya aktif dari orang yang telah menjadi milik Kristus untuk
makin menyerupai Kristus. Memang Roh Kudus memampukan orang Kristen
untuk menjalankan disiplin rohani, tapi tanpa kemauan dari dalam diri orang
Kristen itu sendiri disiplin rohani tidak akan terjadi.
TUJUAN
DAN PENTINGNYA DISIPLIN ROHANI
Seseorang
yang telah menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat adalah seseorang
memiliki status sebagai manusia baru (2Kor. 5:17). Sebuah status
yang dianugerahkan Allah namun tetap menuntut tanggung jawab manusia untuk
menjalani status tersebut. Kenyataan menunjukkan meskipun seseorang
telah menjadi ciptaan baru namun kebiasaan-kebiasaan manusia lama masih sulit
dihilangkan. Di sinilah perlunya penerapan disiplin rohani, yaitu
supaya kebiasaan-kebiasaan lama kita diubah dengan kebiasaan-kebiasaan baru
yang sesuai dengan status kita yang baru.
Jadi
tujuan disiplin rohani adalah menciptakan struktur kebiasaan rohani dalam hidup
kita.[6] Suatu kebiasaan hidup yang
terpola sejak lama biasanya sulit untuk diubah. Perubahan itu kadang
menyakitkan, sebab perubahan itu hendak menggeser rasa aman kita atas kebiasaan
tertentu kita selama ini. Dulu pada waktu AKK/PKK belum bertobat ia
mungkin tidak pernah meluangkan waktu untuk bersaat teduh atau berdoa
syafaat. Ketika ia sudah bertobat maka ia harus membiasakan diri
bangun pagi untuk bersaat teduh. Bagi mereka yang suka bangun siang
akan kesulitan untuk membiasakan diri bangun pagi. Namun sekarang kebiasaan
baru harus mulai diterapkan di mana “rasa aman” karena kebiasaan lama harus
digeser dengan ketaatan untuk memiliki waktu teduh bersama Tuhan.
Sementara
itu T.M. Moore mengatakan bahwa tujuan disiplin rohani adalah pertumbuhan orang
Kristen. Hasil dari disiplin rohani adalah menjadi lebih serupa
dengan Yesus.[7] Dengan kata lain, melalui
disiplin rohani kita bertumbuh melampaui diri kita untuk menjadi lebih serupa
dengan Juruselamat dan Raja kita. Tidak ada lompatan atau perubahan
yang besar tanpa perubahan-perubahan kecil yang pasti dan bertahap.
BEBERAPA
PRINSIP TENTANG DISIPLIN ROHANI
Apakah
yang mendorong AKK/PKK melakukan disiplin rohani? Mengapa
melakukannya? Apakah didorong oleh keinginan untuk mencapai
kurikulum KTB yang telah ditetapkan oleh Perkantas? Ataukah AKK/PKK
didorong oleh kasih kepada Allah dan keinginan untuk bertumbuh menyerupai
Kristus? Di bawah ini ada beberapa prinsip tentang disiplin rohani,
antara lain:
1. Disiplin
rohani menolong kita untuk menyenangkan hati Tuhan
Disiplin
rohani bukanlah tugas yang menakutkan. Kita tidak diharuskan begitu
ketat mengikut Tuhan hingga merasa ketakutan. Disiplin rohani akan
menjadi sebuah paksaan atau tuntutan jika aktifitas-aktifitas yang dilakukan
bukan berasal dari keinginan untuk mengasihi Tuhan. Tuhan Yesus
rajin berdoa di pagi hari bukan karena terpaksa atau melakukan sebuah
tuntutan. Ia begitu mengasihi Bapa dan rindu bersekutu dengan
Bapa-Nya, meskipun sepanjang hari hingga malam Ia sibuk melayani tetapi
keesokan paginya Ia tetap mengambil waktu untuk berdoa (Mrk. 1:35).
Disiplin
rohani tidak bertujuan untuk membuat kita bermegah atau menyenangkan hati kita
sendiri. Yesus sendiri mengakui tiga disiplin yang penting dalam
Yudaisme yaitu memberi, berdoa dan berpuasa (Mat. 6:2, 5, 16) serta memurnikan
ketiganya dari motivasi self display dan self righteous orang-orang
Farisi.
Kasih
kepada Tuhan menjadi kunci apakah disiplin rohani menjadi paksaan atau
sukarela. Thomas Kempis mengatakan, “Disiplin rohani mengajar kita bagaimana
menjadi sahabat Allah; bagaimana mempunyai persahabatan yang indah dengan
Allah.”[8] Bila seseorang mengasihi
kekasihnya tentu ia tidak keberatan untuk berlama-lama bercakap-cakap dengan
kekasihnya, atau ia tidak merasa rugi jika harus mengerjakan sesuatu hal yang
membutuhkan pengorbanan, seperti pepatah yang mengatakan “Demi cinta ‘kan ku
arungi samudra atau ‘kan kudaki gunung yang tinggi.” Jika kita
sungguh mengasihi Tuhan tentu kita tidak akan merasa terpaksa melakukan hal-hal
yang menyenangkan hati-Nya, sekaligus yang membuat kita bertumbuh makin
menyerupai-Nya.
2. Disiplin
tidak harus kaku
Tuhan
tidak membimbing semua orang dengan cara yang sama, termasuk dalam menjalankan
disiplin rohani. Tuhan tidak menuntut kita menjadi orang lain ketika
kita rindu bertumbuh mengenal Dia. Disiplin rohani juga bukan
sekedar ikut-ikutan. Bila Martin Luther setiap hari bisa berdoa
selama tiga jam lebih, bukan berarti kita harus berdoa tiga jam
juga. Oleh karena itu, tiap orang seharusnya mengenali bagaimana ia
memulai berdisiplin rohani. Jika seorang petobat baru, ia mungkin
akan belajar hal-hal yang dasar seperti bersaat teduh dan berdoa
syafaat. Namun bagi seorang yang lebih dewasa rohaninya—disiplin rohani
yang mungkin ia harus lakukan adalah hal-hal yang merupakan peningkatan (advance)
dari disiplin rohani yang pernah ia terapkan.
Disiplin
rohani juga tidak kaku sifatnya. Tidak semua orang bisa melakukan
suatu disiplin rohani dengan sempurna. Ada orang yang bisa berpuasa
tetapi ada orang yang tidak boleh berpuasa karena alasan
kesehatan. Jadi yang menjadi ukuran bukan seberapa banyak seseorang
telah melakukan disiplin rohani, tetapi apakah ada kerinduan untuk menyenangkan
hati Tuhan (seperti di poin pertama). Dengan demikian disiplin tidak
menjadi tuntutan tetapi suatu kerinduan pribadi.
3. Disiplin
rohani menuntut kerja keras
Disiplin
rohani meskipun bukan paksaan tetapi tetap menuntut kerja
keras. Paulus berkata, “Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasai
seluruhnya, . . .” (1Kor. 9:27). Hal ini menunjukkan bahwa dalam
menjalani panggilan sebagai rasul, ia melatih dirinya dalam disiplin sedemikian
rupa agar pelayanannya menjadi berkat dan mencapai tujuan yang Tuhan inginkan. Tanpa
kerja keras tidak ada hasil yang maksimal yang bisa
didapatkan. Seseorang mungkin ada yang senang memainkan biola tetapi
tanpa kerja keras/latihan yang terus menerus tidak mungkin ia bisa memainkan
biola dengan baik. Demikian pula dengan disiplin rohani, agar disiplin
itu tertanam baik dalam diri kita, perlu adanya usaha yang maksimal sampai
kebiasaan kita terstruktur atau meresap menjadi bagian hidup.
Menerapkan
disiplin rohani membutuhkan ketekunan, sebab tidak jarang kita gagal menerapkan
disiplin tertentu. Kegagalan bukan menjadi akhir dari
segala-galanya. Ketika kita melihat kegagalan terjadi, hal itu akan
menolong kita menyadari bahwa melakukan disiplin rohani juga perlu anugerah
Allah, perlu melibatkan Allah dalam mengubah diri kita menjadi serupa gambaran-Nya. Hal
ini menunjukkan bahwa kita tidak boleh bermegah ketika berhasil melakukan suatu
disiplin rohani, sebab kalau kita bisa melakukannya semata-mata anugerah
Allah.
Selain
itu, perubahan yang terjadi ketika menerapkan disiplin rohani mungkin tidak
langsung bisa dilihat. Namun seperti lagu “sedikit demi sedikit tiap
hari tiap sifat, Yesus merubahku” itulah keyakinan kita bahwa dengan kerja
keras kita akan makin menyerupai Kristus.
BAGAIMANA
MENERAPKAN DISIPLIN ROHANI
Bagaimana
kita memulai untuk berdisiplin rohani? Mungkin kita akan membuat rencana
sebagai berikut, misalnya: Saya memutuskan hendak berdoa untuk KTB-KTB yang
saya pimpin. Maka saya menetapkan untuk berdoa pada malam hari tiap
pukul 22.00 selama tujuh menit. Apapun yang kita sudah rencanakan,
yang penting adalah menentukan sasaran yang tepat. Kunci menetapkan
sasaran yaitu: pertama, tetapkan sasaran yang hendak dicapai. Kedua,
jadikan sasaran itu suatu tantangan untuk dijangkau. Ketiga, sasaran
hendaknya dapat diukur.[9]
DISIPLIN
ROHANI APA YANG MENJADI BAGIAN DARI AKK/PKK
Disiplin
waktu bersama dengan Tuhan
Disiplin
dalam menghafal bagian-bagian dalam Alkitab
Disiplin
dalam persekutuan
Disiplin
dalam memberi
Disiplin
dalam berdoa
Disiplin
dalam berpuasa
Disiplin
dalam ibadah umum
PENUTUP
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin rohani seharusnya tidak menjadi
bagian yang menuntut atau memaksa diri kita malahan menjadi bagian yang dengan
sukarela kita melakukannya karena melalui disiplin rohani kita hendak
menyenangkan Allah kita. Jika kita mulai bosan/enggan ataupun
terpaksa melakukan disiplin rohani, itu ibarat ada gejala-gejala penyakit yang
harus diwaspadai. Adakah kita telah melakukan disiplin untuk menyenangkan
diri sendiri atau orang lain sama seperti orang Farisi yang melakukan disiplin
Taurat demi self display dan self righteous? Atau
adakah dosa-dosa yang masih kita pelihara sehingga hal itu menghambat kita
untuk bertumbuh?
[1]Kata benda discipline memiliki arti
yang bervariasi: 1. a branch of instruction (e.g. physics); 2. the
enforcement of order; dan 3. the sanctions associated with keeping
order (e.g. being under church discipline). Sedangkan dalam bentuk
kata kerjanya berarti to train to obedience, sehingga memberi kesan bahwa
disiplin adalah suatu proses dengan seperangkat sanksi yang menyertainya (lih.
David J. Atkinson, eds, “Discipline,” New Dictionary of Christian Ethics
and Pastoral Theology [Downers grove: IVP, 1995]310).
[4]Richard Foster, “Menguasai Disiplin
Rohani,” Penerapan Praktis Pola Hidup Kristen (Malang: Gandum Mas,
1997) 453-454.
[8]Richard Foster, “Tujuan Disiplin
Rohani,” Penerapan Praktis Pola Hidup Kristen (Malang: Gandum Mas,
1997) 462.
Komentar
Posting Komentar