"Dilarang
Membuang Sampah Sembarangan!" (sebuah tinjauan ekopsikoteologis)
oleh
Milhan Kahandik Santoso
Beberapa
minggu yang lalu, saya melihat ada satu tayangan di salah satu televisi swasta.
Ketika saya melihat tayangan terseut, perasaan dan pikiran saya dikacaukan oleh
adegan-adegan di dalam tayangan tersebut. Adegan-adegan yang terlewati membuat
saya semakin tertarik untuk melihatnya dan memikirkan mengapa hal tersebut bisa
terjadi. Bila saya bisa menceritakan secara sederhana dan singkat, acara itu
mengulas sebuah reality show tentang perilaku-perilaku masyarakat
perkotaan yang melanggar aturan-aturan. Tampaknya sudah menjadi suatu hal yang
wajar bagi setiap orang seperti membuang sampah sembarangan, meskipun sudah ada
peringatan di tempat tersebut bahwa tidak boleh membuang sampah sembarangan.
Sama halnya dengan perilaku pengunaan listrik dengan sembarangan padahal juga
ada peringatan untuk tidak melakukan pemborosan pemakain listrik.
Tiba-tiba
terbersit di dalam pikiran saya mengapa hal yang sudah kita ketahui bahwa itu
salah tetapi tetap kita lakukan. Mungkin ini juga harus menjadi pertanyaan
reflektif untuk setiap kita yang secara tidak sengaja ataupun sengaja membaca
artikel ini. Suatu hal yang sangat ironis tampakanya sewaktu saya melihat
adegan-adegan tersebut. Secara sadar ataupun tidak sadar kita juga sering
melakukan hal tersebut bukan? Sudah diberitahu tidak boleh berbohong tetapi
kita tetap saja berbohong, ya mungkin seperti itu. Karena fokus utama kali ini
mengenai ekologi dan krisis yang dihadapi maka penulisan saya ini bertujuan
untuk mengkaji mengapa perilaku-perilaku manusia yang cenderung tidak
menghargai alam ini menjadi kebiasaan yang sulit sekali untuk dihilangkan meskipun
diberikan hukuman yang sangat berat.
Hal
yang paling ironis dari tayangan tersebut adalah sebuah pertanyaan yang selalu
dilontarkan oleh pembawa acara tersebut setelah memergoki orang-orang yang
melanggar aturan tersebut. Ia selalu bertanya, “apakah saudara tahu bahwa
membuang sampah sembarangan itu tidak boleh?” dan mereka semua menjawab tahu,
jawaban tersebut selalu terngiang-ngiang di dalam benak saya sewaktu
menulis artikel ini. Parahnya, permasalahan ini tidak hanya dihadapi oleh orang
yang berpendidikan rendah tetapi juga orang yang memiliki gelar lebih dari
satu, baik orang beragama maupun tidak. Sewaktu pertanyaan tersebut ditanyakan
kepada setiap kita maupun saya, pastilah kita juga menjawab hal yang sama
seperti orang-orang di dalam adegan tersebut. Permasalahannya sekarang adalah
kita tahu bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan tetapi kenapa kita masih
selalu melakukannya?
Apakah
kita bisa menyebut bahwa setiap kita adalah orang-orang yang bebal dan rasanya
menjadi sangat pesimis sekali bagi setiap kita untuk mampu berubah dari
perilaku membuang sampah sembarangan yang sudah melekat sekali di kehidupan
kita. Pertanyaan-pertanyaan yang beberapa minggu ini selau mewarnai
pemikiran-pemikiran saya akan coba untuk saya petakan menjadi beberapa bagian.
Dari hasil pengamatan saya saya melihat di sini ada dua aspek yang terpisah
jauh dan tidak terintegrasi yaitu aspek kognitif dan aspek perilaku. Secara
kognitif kita tahu bahwa apa yang kita lakukan tersebut salah namun secara
perilaku kita tetap melakukannya. dari hipotesis yang saya bangun saya berusaha
untuk melihat apa yang menjadi jembatan yang hilang antara aspek kognitif kita
dengan aspek perilaku kita mengapa terjadi jurang di antara keduanya.
Perilaku
membuang sampah sembarangan akan menjadi fokus amatan utama di dalam pembahasan
saya. Mengapa harus memilih perilaku ini? Mengapa bukan perilaku yang lebih wah
seperti penebangan hutan liar atau eksploitasi sumber daya alam seperti minyak
bumi? Karena perilaku membuang sampah sembarangn adalah perilaku yang kita
semua pernah melakukannya bahkan sering. Meskipun terlihat kecil tetapi efek
yang dihasilkan sangatlah besar bila semua orang di dunia ini melakukannya
seperti sampah plastik yang dibunga ke selokan dan sungai sehingga menghasilkan
dampak banjir yang cukup besar bahkan semakin parah setiap tahunnya di ibukota
dan kota-kota lainnya. Saya juga rindu supaya setiap kita tidak hanya menyerap
secara kognitif tetapi dapat bersama-sama untuk merefleksikan dan berani
mengambil tantangan untuk berubah!
Pada
saat awal ini saya akan membahas dahulu dari segi bagaimana terbentuknya suatu
perilaku membuang sampah sembarangan. Ada beberapa aspek yang dapat menjelaskan
bagaimana perilaku membuang sampah sembarangan ini muncul. Pembentukan perilaku
ini sangat cocok bila kita mau melihat dari sudut pandang teori planned
behavior (Ajzen, 1991). Menurut Ajzen, perilaku seseorang muncul karena ada
beberapa hal yang menyebabkan munculnya perilaku tersebut yaitu sikap, norma
subjektif, dan kemampuan mengontrol perilaku. 3 hal ini yang menjadi penyebab
utama bagaimana perilaku membuang sampah sembarangan ini bisa terbentuk dan
bertahan kuat di dalam perilaku kita. Pertama, kita akan melihat bagaimana
sikap kita terhadap perilaku membuang sampah sembarangan, lebih tepatnya
bagaimana sistem belief kita terhadap perilaku ini. Kemungkinan di
dalam pikiran alam bawah sadar kita, kita menganggap bahwa membuang sampah
sembarangan ini buka sesuatu hal yang salah dan wajar untuk dilakukan.
sangatlah mungkin kita bisa merasa bahwa perilaku membuang sampah sembarangan
ini bukan suatu hal yang salah dan tidak berdosa. Pemikiran ini sangatlah tidak
tepat dan alkitabiah karena alkitab mengajarkan kepada setiap kita untuk
memelihara dan melestarikan alam. Pemikiran yang salah yang mungkin
menjadi belief kita adalah kita cenderung memisahkan antara tanggung
jawab dengan alam dan tanggung jawab dengan Tuhan. Pola pikir seperti ini akan
membuat kita memposisikan alam berada di bawah derajat manusia dan hak
sepenuhnya manusia untuk memakainya dan meenghabisinya. Pemikiran ini
menjadikan manusia tidak memiliki rasa hormat terhadap alam. Masih banyak
lagi belief-belief yang mungkin mendasari munculnya perilaku ini.
Pengaruh
yang tidak kalah besarnya dengan belief adalah norma dari lingkungan sekitar
seperti keluarga, tetangan, sekolah, dan gereja. Pengaruh lingkungan merupakan
suatu faktor besar di dalam munculnya suatu perilaku. Lewin menegmukakan
teorinya bahwa perilaku merupakan suatu fungsi dari lingkungan, jadi perilaku
membuang sampah sembarangan ini tentu tidak akan pernah lepas dari pengaruh
lingkungan sekitar kita. Saat ini, dalam menangggapi masalah pembuangan sampah
sembarangan ini sudah menjadi pola perilaku di masyarakat yang “biasa” atau
legal karena semua orang melakukannya. Secara tidak sadar maka perilaku
membuang sampah sembarangan ini akan menjadi suatu bentukan perialku yang
terinternalisasi di dalam pikiran kita bahwa menurut orang-orang di sekitar
kita membuang sampah sembarangan bukanlah hal yang salah atau berdosa. Lebih mengenaskannya
lagi, banyak orang tua yang menunjukkan perilaku tersebut di depan anaknya
sendiri. Tentu saja perilaku tersebut tidak akan menjadi contoh dan pastilah
anaknya akan meniru perialku yang dilakukan oleh orang tuanya tersebut. Perlu
diingat, cara seseorang manusia belajar yang paling mudah adalah dengan imitasi
dan sebagain besar kita belajar suatu perilaku adalah dengan imitasi.
Saya
berusaha mengobservasi perialku tersebut dari komunitas yang dianggap paling
rohani saja yaitu di komunitas gereja, kalau di komuniats luar seperti di mall,
tempat hiburan umum, perilaku tersebut pastilah akan sering kita lihat tetapi
kenyataanya juga terjadi. Sampah yang sering saya jumpai di gereja yang
kebetulan saya amati dan dibuang oleh orang dewasa adalah warta gereja yang
berserakan di jalan bahkan bisa sampai terbuang di jalan berjarak 100 meter
dari gereja. Sekali lagi harus saya katakan, kita cenderung menyepelekan
hal-hal kecil seperti ini dan orang tua maupun lingkungan sekolah juga sangat
jarang mengajarkan hal ini. Bahkan saya melihat sebuah skripsi di Universitas
Brawijaya mengenai perancangan pembinaan perilaku membuang sampah sembarangan
di 2 sekolah negeri. Mengapa sampai perlu dibuatkan sebuah rancangan pembinaan
pembuangan sampah pada tempatnya yang seharusnya pembinaan ini sudah dilakukan
di rumah-rumah dan sekolah-sekolah. Tentulah dilatarbelakangi oleh suatu alasan
yaitu perilaku ini sudah menjadi suatu budaya dan lingkungan sudah tidak dapat
mengajarkan dan mencontohkan hal yang benar di kalangan anak-anak. Kita tidak
menyadarinya secara langsung bahwa anak-anak menjadi seorang anak yang tidak
bertanggung jawab terhadap lingkungannya dengan suka membuang sampah
sembarangan merupakan akibat dari pola didikan orang tua yang tidak benar.
Orang tualah yang seharusnya bertanggung jawab atas pola didikan yang tidak
disiplin dan berusaha untuk mengajarkan hal yang benar secara terus-menerus.
Saya
merasa bahwa sangatlah jarang ketika ada seorang anak yang membuang sampah
sembarangan dan ditegur oleh orang tuanya. Lucunya, saya pernah melihat anak
yang menegur orang tuanya karena membuang sampah sembarangan. Yang perlu kita
semua pikirkan dan renungkan adalah apakah sekarang saya sudah menjadi contoh
bagi orang-orang di sekitar saya baik anak, orang tua ,teman, maupun rekan
pelayanan mengenai masalah membuang sampah sembarangan dan apakah kita juga
sudah mengajarkan hal ini kepada orang-orang yang berada di sekitar kita. Bila
kita belum melakukannya tentulah belum terlambat untuk melakukan perubahan
karena sekali lagi yang perlu kita ingat bahwa norma subjektif di lingkungan
memiliki peran yang cukup besar dalam pembentukan suatu perilaku.
Faktor
ketiga adalah perceived behavior control yang berarti bahwa seseorang
akan melakukan suatu tindakan yang dirasa ia lebih mudah untuk dilakukannya
karena tersedianya sumber daya. Jadi, orang tidak akan membuang sampah
sembarangan bila tersedia banyak tempat sampah di pinggir jalan. Saya kurang
setuju dengan faktor ketiga ini bila diterapkan pada perilaku yang salah karena
bisa menjadi itu adalah faktor malas untuk mencari sumber daya dan cenderung
menyalahkan pihak luar bukan dirinya sendiri. dari penelitian yang dilakuakn
Kaiser dan Gutscher (2003) bahwa perceived behavior control tidak
memiliki pengaruh secara langsung terhadap proecological behavior. Saya
merasa sedih karena banyak orang mengatakan bahwa mereka membuang sampah
sembarangan karena tidak tersedianya fasilitas tempat sampah yang memadai untuk
mereka dapat mematuhi aturan. Jika kita memiliki rasa kepedulian terhadap alam
dan menghargainya seperti seorang sahabat maka kita tidak akan memperlakukan
alam secara sembarangan.
Uraian
yang saya sampaikan di atas merupakan aspek-aspek pembentukan daripada suatu
perilaku dan ada beberapa aspek kognitif yang mendasarinya tetapi pada bagian
ini saya perlu untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai aspek-aspek kognitif
atau pola pikir apa yang secara tidak sadar membuat kita membuang sampah
sembarangan karena sebagain kita mungkin tidak menyadari menagap saya begitu
mudahnya membuang sampah sembarangan? Pertama, manusia dilahirkan dengan
sifat-sifat egois yang cenderung mementingkan kepentingan dirinya sendiri dan
mencari segala sesuatu yang nikamt untuk dirinya. Pencarian kenikmatan
dan selfish bisa menjadi faktor utama mengapa kita semua masih suka
membuang sampah sembarangan. Sewaktu kita mau membuang sampah sembarangan pasti
ada seklumit pemikiran, “wah tempat sampahnya jauh” atau “kan ga ada yang tahu
kalo aku buang sampah di sini,” bisa juga kita tidak berpikir apa-apa lagi dan
langsung “terabas.” Pemikiran ini menunjukkan secara tidak sadar kita ini lebih
menyukai sesuatu hal yang menyenagkan bagi kita. Bila kita mencari tong sampah
yang tempatnya jauh maka akan lebih merepotkan dibanding dengan membuang
sembarangan. tidak dapat kita pungkiri bahwa sifat-sifat manusia yang egois dan
mencari kesenangan kita sendirilah yang membuat bumi ini menjadi rusak.
Penebangan hutan secara liar, pengerukan sumber daya alam sebebas-bebasnya, dan
pembangunan kota-kota metroplis yang tidak seiring dengan penghijauan kota
adalah perilaku manusia yang berusaha mencari kenikmatan dan egois untuk
memperkaya diri mereka masing-masing. Hasrat untuk mencari keuntungan
sebesar-besarnya dari sumber daya alam karena keserakahan akan harta membuat
malapetaka bagi kita semua warga bumi ini.
Setelah
kita mengetahu apa penyebab-penyebab munculnya perilaku membuang sampah
sembarangan. Kita akan melihat kembali pertanyaan di awal yaitu kita tahu bahwa
perilaku membuang sampah sembarangan itu salah tetapi kita masih melakukannya.
Jadi yang menjadi jawaban di pertanyaan ini adalah kita hanya secara knowledge, kita
tahu bahwa membuang sampah sembarangan itu tidak boleh tetapi secara tidak
sadar kita memiliki natur-natur bawan yang egois dan pencari kenikmatan untuk
diri sendiri. Sangat mungkin, kita memiliki pandangan bahwa perilaku membuang
sampah sembarangan itu bukan dosa dan tidak memiliki dampak yang besar kepada
alam. Faktor kedua adalah belief yang kita dapat dari lingkungan
bahwa perilaku membuang sampah sembarangan bukan hal yang salah karena semua
orang melakukannya dan tidak ada pihak yang secara khusus peduli terhadap hal
ini baik orang tua, sekolah, dan teman-teman. Sehingga pemikiran bahwa perilaku
membuang sampah sembarangan ini salah hanya sampai ke tahap knowledge
bukan aplikasi.
Semua-semua
permasalahan ini adalah akibat dari dosa di dalam hidup manusia. Dosa-dosa
ketamakan, keegosian, dan hawa nafsu menjadi penyebab daripada kerusakan bumi
ini. Kita tidak akan sanggup menghindarkan diri dari bencana-bencana akibat
kerusakan sistem tata surya karena semua ini merupakan akibat dari setiap
perilaku manusia yang berdosa yang tidak bertanggung jawab terhadap alam. Oleh
karena itu kita sebagai orang Kristen harus benar-benar bertobat sebelum
menjalankan kedisiplinan dalam memelihara bumi. Kunci utama adalah perbaikan
relasi dengan Tuhan terlebih dahulu dan selalu memiliki hubungan yang pribadi
dengan Dia maka perilaku yang akan kita wujudkan bukan semata-mata hasil dari
pola perilaku duniawi tetapi ada karakter-karakter Kristus di dalam perilaku
sehari-hari kita. Kita akan menjadi orang yang bertangggung jawab tidak hanya
kepada Tuhan tetapi juga kepada alam.
Secara
umum kita dapat melihat bahwa perilaku membuang sampah sembarangan, tidak lagi
bisa kita anggap remeh karena perilaku membuang sampah sembaranagn ini telah
menjadi budaya non-formal di bangsa kita. Permasalahan ini sangatlah serius dan
tidak dapat kita biarkan karena pemanasan global bukan semakin mendingin tetapi
semakin memanas. Kita memang tidak mungkin mampu untuk meredam gejolak panasnya
bumi dan habisnya energi alam, oleh karena itu kita hanya dapat mengubah
perilaku kita yang tidak bertanggung jawab. Apakah perlu kita mendengar sebuah
semboyan yang dikumandangkan oleh Forum Indonesia yaitu, “Membuang sampah
sembarangan merendahkan martabat manusia dan bangsa!” baru kita mau berubah.
Perubahan perilaku yang bersahabat dengan alam seperti membuang sampah pada
tempatnya dan menghemat pemakian sumber daya alam, pasti akan sanggup
memperpanjang umur bumi. Namun, tujuan kita semata-mata bukan untuk
memperpanjang umur bumi tetapi kita mentaati mandat dari Tuhan untuk menjaga
dan melestarikan bumi sebagai tanggung jawab manusia. Motivasi kita bukan
karena takut kiamat akan semakin cepat tetapi motivasi kita semata-mata hanya
untuk Tuhan.
Saya
sangat berharap bahwa kita tidak hanya membaca dan mendapatkan pengetahuan baru
dari artikel-artikel yang ada tetapi tidak mengambil sebuah komitmen untuk
berbuat sesuatu. Terutama kita mau mengambil bagian yang sangat sederhana untuk
tidak lagi membuang sampah sembarangan, juga ikut menanamkan selalu kepedulian
akan alam bagi orang-orang yang ada di sekitar kita baik itu teman dan
keluarga. tetapi yang terpenting adalah mulailah dari diri kita sendiri dengan
melakukan apa yang benar sesuai dengan kebenaran. Selamat Berusaha!
Komentar
Posting Komentar