Dampak
Parpol Miskin Nutrisi
oleh
Graal Taliawo
Kemiskinan
menimpa siapa saja, termasuk partai politik (parpol). Kekurangan nutrisi
(modal) ini mengakibatkan parpol gagal berkiprah. Parpol pun menjual diri;
tidak berfungsi maksimal. Akibatnya, demokratisasi terhambat; rakyat pula yang
dirugikan.
Parpol
adalah salah satu pilar berdemokrasi. “Dalam kehidupan demokrasi keberadaan
parpol sangat krusial” (Miriam Budiardjo, 2008: 422). Artinya, tanpa kehadiran
parpol, proses bernegara tidak akan berjalan demokratis. Peran penting ini
menuntut parpol harus berfungsi maksimal. Jika parpol bermasalah, maka macet
pula demokratisasi di negeri ini.
Faktanya,
kemiskinan modal merupakan persoalan utama parpol di Indonesia. Merambatnya
politik kartel (Kuskridho, 2009), dan kehadiran partisan non-parpol sebagai kader
karbitan yang diusung, membenarkan tudingan itu. Alih-alih mengusung
mereka yang mampu mengemban program, ternyata parpol menungganginya dengan
hanya mengusung mereka yang berduit dan populer.
Fungsi
parpol sebagai rekruitmen politik mensyaratkan adanya kaderisasi bagi anggota,
sebelum terjun aktif merebut kekuasaan. Dengannya, seseorang diharuskan menjadi
kader aktif dan berpartisipasi di organisasi dalam rentan waktu tertentu.
Fungsi komunikasi politik mengharapkan hadirnya komunikasi kepentingan dua arah
antar parpol dengan konstituennya. (Michael Rush dan Phillip Althoff, 2003:
22-24). Namun, ketika banyak keluhan terhadap kiprah parpol yang tidak memihak
rakyat menunjukan kegagalan fungsi-fungsi ini. Demikian juga dengan fungsi
partisipasi politik dan sosialisasi politik yang masih jauh dari harapan.
Kekurangan
nutrisi menyebabkan parpol bertingkah pragmatis dan menjadikan uang sebagai
yang terpenting. Parpol mengedepankan keuntungan ketimbang fokus menjalankan
fungsi-fungsinya. Akibatnya, parpol yang seharusnya berfungsi menjaring
aspirasi, berubah wajah menjadi penjaring modal demi kepentingan elitnya.
Adalah
penting adanya modal (uang) untuk menggerakkan infrastruktur organisasi parpol.
Ketiadaan modal yang memadai, tentu menghalangi laju gerak mesin partai untuk
bekerja. Inilah mengapa parpol bermanuver—menghalalkan berbagai cara—demi
memperolah pasokan nutrisi itu. Tentu bukan persoalan, jikalau
pengumpulan itu dilakukan melalui cara bermartabat dan tidak menafikan fungsi
parpol. Tetapi fakta berbicara lain. Pencarian modal itu umum dilakukan dengan
cara-cara tidak etis. Bahkan demi rupiah, parpol rela menjual diri dan
idealismenya. Parpol bersedia dijadikan “angkutan kota” bagi mereka yang
berduit untuk merebut kekuasaan. Parpol bersedia disewa, dan siap mengusung
calon yang mendaftar, dan atau ditawari menjadi kader dadakan; asal berduit dan
mampu memberi suntikan dana. Tentu baik, jika calon yang diusung cakap dan
lolos syarat kememimpinan. Tapi sejauh amatan, kondisi kebalikan yang dominan.
Syarat
penjaringan calon dengan uang sebagai penentu—bukan kualitas yang teruji—akan
melahirkan perilaku koruptif. Pesta demokratis yang dilalui juga hanya akan
menghasilkan pemimpin cinta uang dan miskin pengabdian. Korupsi pun merajarela,
sebab upaya pengembalian modal atas ongkos pemilu atau pemilukada harus
dilakukan. Itulah mengapa korupsi kian merebak di berbagai daerah sejak
dimulainya kepemimpinan.
Akibat
lain, sakit hati karena dilecehkan juga harus dituai kader parpol. Karena tidak
terikat sebagai anggota parpol, calon yang diusung kerap bertindak tidak etis
(seenaknya) terhadap partai yang mengusung, semisal kasus seorang pejabat
gubernur yang pergi menjabat sebagai menteri, namun tanpa berpamit kepada
parpol yang mengusung (detiknews.com). Itulah
resiko. Harga diri parpol akan diremehkan, jikalau parpol terus melacur demi
rupiah.
Perlu
berbenah
Partai
politik adalah organisasi yang dibangun atas dasar kepentingan dan cita-cita
bersama. Organisasi ini hadir sebagai representasi dan wadah perjuangan bagi
kepentingan rakyat. Pengertian ini mengharuskan parpol sebagai milik bersama,
dan bukan milik segelintir elit politik saja. Implikasinya, sumber pembiayaan
parpol seharusnya berasal dari masyarakat. Keuangan parpol harus ditopang oleh
pengikut atau konstituen setia yang diwakili. Partisipasi ini bisa terjadi,
jika ada komitmen bersama untuk mengubah perilaku simbiosis-parasitisme (saling
menghisap) dengan relasi simbiosis-mutualisme (saling menguntungkan)
antar parpol dengan konstituennya. Sejauh ini, dalam berbagai kampanye, parpol
masih nampak aktif membagikan uang sebagai sogokan kepada calon pemilihnya.
Parpol masih menempatkan konstituen sebagai orang lain yang perlu
dibeli suaranya. Padahal, dalam iklim demokrasi dewasa, kondisi seperti ini
seharusnya dihindari. Dan kondisi sebaliknya yang seharusnya terjadi. Adalah
tugas kader parpol menciptakan loyalitas publik terhadap lembaga politik itu.
Waktunya
bagi parpol mendidik konstituen agar berpolitik secara dewasa dan tidak sempit:
sebatas memberi suara. Apalagi, partisipasi model ini sesungguhnya masih
partisipasi minimal atau politik aktif paling kecil (Michael Rush dan Phillip
Althoff, 2003: 127). Pengikut parpol harus diajak melangkah ke tahap
berpartisipasi dewasa politik, dengan kerelaan memberi sumbangan sukarela kepada
parpol. Namun, semua ini bisa terjadi, jikalau parpol terlebih dahulu
menunjukan kiprah keberpihakan kepada kepentingan rakyat. Di samping, rakyat
juga telah menjadikan parpol sebagai saluran legal aspirasinya. Tanpa ini,
konstituen berhak menolak mendukung, termasuk menolak ketika harus
bersumbangsih membangun parpol.
Hal
lain, adalah perlu parpol diarahkan berbentuk organisasi kader. Menjadikan
parpol sebagai rumah pembentukan calon pemimpin bangsa. Selain akan melahirkan
kader yang loyal dan berkualitas, posisi partai kader akan menimbulkan
keterlibatan aktif dan keterikatan anggota. Dengan begitu, iyuran wajib bisa
diberlakukan, dan menjadi pemasukan utama bagi kebutuhan finansial parpol.
Tuntutan
pembenahan ini bersifat segera. Sebab, selain fungsi parpol yang sudah kian
melemah, penyelenggaraan berbagai pemilukada juga sudah di depan mata. Ini
adalah momentum tepat menuju perbaikan. Tanpa ini, di samping impian
demokratisasi tetap terhalang, kepentingan rakyat akan terus dikorbankan.
Komentar
Posting Komentar