Berpacu Melawan Kuda: Sebuah Tantangan Kepemimpinan


Berpacu Melawan Kuda: Sebuah Tantangan Kepemimpinan
oleh Sendjaya

Menjadi pemimpin Kristen? Banyak orang yang mau. Bahkan berambisi. Ada popularitas, hormat, akses, posisi, fasilitas, kebanggaan, kepuasan diri yang dapat dinikmati. Inilah sisi glamorous dari seorang pemimpin, yang memang menjadi rebutan orang.

Kalau itu yang menjadi acuan dan fokus, tidak heran banyak pemimpin yang asal-asalan. Pemimpin yang kelihatan besar jiwanya namun sebenarnya kerdil dalam karakter. Pemimpin yang tampak penuh otoritas namun sebenarnya rendah dalam konsep diri. Pemimpin yang pandai beretorika dan berkarisma tinggi namun sebenarnya sedang bermain sandiwara menipu orang lain, dirinya sendiri dan Allah.

Namun pemimpin punya sisi yang lain, yaitu sisi yang tidak enak. Sisi yang membuat ia kesepian. Sisi yang membuat hati begitu pedih karena ditolak, dikecewakan, dibenci, dan dimusuhi orang lain. Sisi yang membuat ia tak ubahnya seperti tali yang dipakai untuk permainan tarik tambang; ditarik ke dua arah yang berlawanan.

Itulah hidup Yeremia, seorang pemimpin besar yang tidak bahagia. Bagaimana ia bisa berbahagia? Dia dipilih Allah untuk mengemban sebuah misi yang sulit "untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam" (1:10). Dia dari semula ditentukan menjadi seorang "prophet of doom". Benar, seorang nabi pembawa bencana.

Merenungkan hidup dan pelayanan nabi Yeremia adalah sebuah pengalaman yang membuat kita rendah hati. Minimal ada tiga pelajaran kepemimpinan yang muncul.

Pisau Bermata Dua
Pelayanannya memiliki orientasi yang negatif; memberitakan penghakiman Allah yang penuh kengerian terhadap orang Yehuda. Siapa yang suka mendengar pesan Yeremia bahwa penduduk Yerusalem akan diperbudak di Babilonia? Siapa yang suka mendengar dosa-dosanya ditelanjangi bertubi-tubi oleh seorang yang sama itu-itu saja?

Tugas pemimpin Kristen itu bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, ia harus 'comfort the afflicted'. Di sisi lain, ia harus 'afflict the comforted'. Menghibur orang yang susah dan menyusahkan orang yang terhibur; kedua-duanya memerlukan cadangan emosi yang sangat besar. Namun nature kedua sisi tersebut sangat kontras.

Menghibur orang yang sedang kesusahan justru menolong kita untuk semakin kuat secara
spiritual, mental, dan emosional. Obat yang paling mujarab unutk mengatasi penderitaan kita adalah menolong orang yang sedang menderita.

Sebaliknya, menyusahkan orang yang sedang terhibur membuat kita terpukul secara spiritual, mental, dan emosional. Terkadang begitu berat pukulan tersebut sampai kita tidak kuat untuk bangun lagi. Itulah hal pertama yang saya pelajari.

Berani Menderita Demi Kebenaran
Kalau Allah membangkitkan orang-orang secara khusus untuk menegur dan menyatakan kesalahan di masa lalu, bukankah aneh apabila Allah yang sama tidak berbuat hal yang sama di masa kini dimana evil semakin merasuk kedalam struktur, dimana dosa semakin canggih bersembunyi dibalik kemasan dan jubah yang seakan tidak bercacat, dimana manusia semakin membuang Allah dari setiap ruang kehidupan.

Inilah jaman dimana kesucian, keadilan, dan kebenaran perlu dinyatakan lebih serius. Celakanya, penghakiman akan dimulai dari rumah Allah.

Namun adakah orang yang siap dipakai Allah seperti Yeremia? Siap untuk menyusahkan orang yang sedang terhibur? Adakah yang mau menjadi pemimpin?

Selama 40 tahun pelayanannya (627-587 BC), pelayanan Yeremia mengundang oposisi, konflik dan aniaya. Bukan saja ia menjadi bahan caci maki orang diselilingnya. Kerap kali nyawanya diujung tanduk. Dia dikejar-kejar untuk dibunuh oleh raja-raja, imam-imam, dan nabi-nabi palsu.

Mungkin jauh lebih mudah bagi kita untuk menerima bahwa kalau yang menolak dan melawan kita adalah orang yang kita tidak sukai, atau kita tidak kenal dekat. Namun bagaimana kalau itu adalah para sahabat karibmu? Bahkan, keluargamu sendiri? Inilah yang dialami Yeremia (20:10 dan 12:6).

Tidak ada yang lebih menyakitkan dari pengalaman dimusuhi oleh sahabat karib! Tidak ada luka hati yang lebih besar daripada dihianati anggota keluarga sendiri! Yang sudah
pernah mengalami ini pasti mengerti betapa sakitnya. Apalagi jika ia seorang pemimpin.

Terkadang mau tidak mau pemimpin harus terlibat dalam konflik. Bukan sebagai tujuan, tetapi sebagai konsekuensi logis dari tugas yang dipikulnya dan prinsip yang dipegangnya. Tapi sedikit pemimpin yang suka konflik. Banyak yang sengaja memilih menghindari konflik, dan jatuh dalam pelukan kompromi. Karena konflik membuat luka di hati.

Pada saat pemimpin menyatakan dimana ia berdiri, pada saat Yeremia menyatakan kebenaran Allah, maka yang sakit bukan hanya yang mendengar, tapi terlebih adalah yang menyampaikan. Ini hal kedua yang saya pelajari.

Beban Kasih yang Dalam
Truth hurts, itu memang benar. Tapi siapa yang sakit? Siapa yang lebih sakit? Yang mendengar atau yang menyampaikan? Saya pikir, yang menyampaikan. Tidak heran Yeremia sampai mengutuki hari lahirnya sendiri (20:14). Bandingkan dengan Elia yang minta nyawanya dicabut oleh Tuhan (1 Raja 19:1-18).

Sampai disini, saya pikir sangat manusiawi kalau Yeremia putus asa dan mundur. Lagian, sampai kapan bangsa Yehuda ini akan bertobat? Daripada mati konyol, lebih baik melakukan hal yang lain bagi Tuhan. Daripada cari musuh, lebih baik pilih kerjaan yang membuat banyak teman. "To hell with them!" Itulah sikap pertama yang ia bisa ambil.

Sikap kedua yang sangat manusiawi adalah ia tetap melakukan tugasnya, namun dengan hati yang tawar. Tanpa belas kasihan. Tanpa kepedulian. No mercy. No compassion.

Ia dapat memperlakukan orang-orang yang membuat hidupnya sengsara dengan perlakukan yang sama yang mereka tunjukkan kepadanya. Meski semua itu terjadi di dalam hati. Ia dapat memilih untuk menganggap dirinya sebagai 'victim', dan lalu menjadi sama jahat dengan 'victimizer'. Ketika 'victim' menjadi victimizer' dan 'the opressed' menjadi 'the opressor', maka sikap yang ada menjadi lebih kejam, penuh perasaaan mengasihi diri dan balas dendam. "You want to play rough, let's play rough!"

Namun Yeremia tidak memilih kedua sikap tersebut. Reputasinya sebagai 'the weeping prophet' muncul bukan karena ia mengasihi diri sendiri. Tapi karena ia menangisi dosa bangsanya. Matanya menjadi pancuran air mata (9:1) karena cintanya kepada Allah,
karena cintanya kepada orang-orang yang ia layani, termasuk yang membencinya, mencaci-makinya, menghianatinya, dan ingin membunuhnya.

"Relationships gain strength when they are stretched to the breaking point and do not break", tulis Philip Yancey. Kalimat ini dalam, sulit kita mengerti secara mendalam sampai kita benar-benar mengalaminya sendiri. Namun Yeremia membuktikan kebenarannya.

Ia tetap taat melakukan panggilan Allah dalam dirinya. Ia tidak membiarkan penderitaan yang ia alami membuat dia mengasihi diri dan patah semangat. Ia tidak mengijinkan
kepahitan hidupnya menjadikan hatinya tawar terhadap Allah dan sesamanya. Ia tidak mengijinkan kondisi sekitarnya dan orang disekelilingnya mengganggu komitmen-nya menjalani panggilan Allah dalam hidupnya.

Meski kepalanya penuh air mata, ia tetap bersuka menanti rahmat Tuhan yang selalu baru setiap pagi. Itulah yang ia tulis dalam Kitab Ratapan. Kitab yang menjadi jendela jiwa
dari pemimpin besar ini, yang ditulisnya setelah Yerusalem menjadi reruntuhan puing.

Itulah pelajaran ketiga. Namun tentu bukan yang terakhir. Karena ada banyak hal lain dalam diri Yeremia yang patut diteladani. Betapa ketajaman konfiksi imannya dan kristalisasi karakternya membuat saya malu dan merasa sangat kecil.

Menjadi pemimpin Kristen? Tunggu dulu. Siapkah kita melalui ketiga pelajaran diatas? Ketika diawal Yeremia mengeluh kepada Allah betapa berat medan yang ia hadapi, inilah jawaban yang ia terima dari Allah:

"Jika engkau telah berlari dengan orang yang berjalan kaki, dan engkau telah dilelahkan, bagaimanakah engkau hendak berpacu melawan kuda?" (12:5)

Sendjaya
Melbourne, 28 November 2002


Komentar