ATTACHMENT (PERTAUTAN) PADA ANAK USIA 0-5 TAHUN DAN KEMAMPUAN BERELASI PADA MASA DEWASA , MAZMUR 127:3; EFESUS 6:4
ATTACHMENT
(PERTAUTAN) PADA ANAK USIA 0-5 TAHUN DAN KEMAMPUAN BERELASI PADA MASA DEWASA ,
MAZMUR 127:3; EFESUS 6:4
oleh
Dra. Iis Achsa, S.Th., M.K.
Pola relasi antara orang tua-anak pada masa bayi dan kanak-kanak sangat
menentukan pola kepribadian dan relasi antar-pribadi pada masa dewasa. Seperti
pendapat Arnold Gesel[1],
sejak usia satu tahun, anak memiliki pengenalan akan identitas dirinya yang
mendalam juga akan menjadi benih pertumbuhan kepribadiannya di masa dewasa.
Salah satu unsur pola relasi yang penting antara orang tua-anak pada masa bayi
dan kanak-kanak disebut pola pertautan (attachment).
ATTACHMENT BEHAVIOR
Attachment adalah
pertautan. Keterikatan (kasih sayang, simpati) yang kuat terhadap seseorang
merupakan hasil dari interaksi atau hubungan interpersonal. Attachment anak
terhadap orang tua, terutama ibunya yang mengasuh sudah mulai tumbuh pada saat
ia lahir. Interaksi atau hubungan interpersonal ini berpengaruh pada
pertumbuhan intelektual dan bahasa, seperti yang dituliskan Helen Bee[2],
“…Interpersonal interactions are important for growth of the child’s
intellectual skill and language, …”(p.238). Kemampuan intelektual dan bahasa
ini merupakan dua unsur dasar kemampuan berelasi sampai dewasa.
Konsep
dasar attachment
Bowlby [3],
seorang tokoh yang mencetuskan teori ini, di tahun 1950-an menyebutkan 3 konsep
dasar attachment, yaitu sebagai berikut,
Attachment berfungsi
sebagai suatu bentuk pertahanan terhadap yang jahat. Prinsip dibalik
munculnya attachment adalah kebutuhan akan perasaan aman.
Perasaan
aman yang dihasilkan dari attachment yang positif (secure attachment)
memiliki hubungan erat dengan kemampuan untuk mengembangkan kreatifitas dan
eksplorasi (menguasai lingkungan). Hasil penelitian dari Heard and Lake, pada
tahun 1986, yang dicatat oleh Jerome Holmes[4] menunjukkan
bahwa hanya anak-anak yang mendapat pemenuhan kebutuhan attachment, yang
memiliki kemampuan untuk mengubah figur attachment-nya ke lingkungan
sekitarnya. Sehingga pada masa remaja, anak akan memiliki kemampuan untuk
bergaul, mempercayakan diri kepada orang lain, dan memiliki hubungan sosial
yang sehat.[5]
Attachment bukanlah
kebutuhan anak yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan anak lebih cepat,
tetapi merupakan kebutuhan yang terpendam sepanjang hidup manusia.
TAHAPAN
PERKEMBANGAN ATTACHMENT.
Dari banyak penelitian mengenai topik ini, para ahli memiliki kesepakatan bahwa
perkembangan attachment terjadi pada tahun pertama hingga anak
berusia 18 bulan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh H. Schaffer dan P.
Emerson terhadap 60 bayi Skotlandia usia antara usia 1 atau 2 bulan sampai sekitar
18 bulan beserta ibunya[6]didapatkan
ada tiga tahapan dasar perkembangan attachment. Yaitu,
A. Indiscriminate
attachment
Pada
tahap ini bayi dapat memprotes/menyatakan ketidak senangannya ketika ia
diturunkan atau dipisahkan dari gendongan atau pelukan. Tapi bayi tidak
mempermasalahkan siapa yang menurunkannya, baik yang menurunkan ibunya atau
orang lain. Dari pengamatan Schaffer dan Emerson, periode ini akan berlangsung
sampai anak berusia sekitar 7 bulan. Pengamat lain mengatakan bahwa periode ini
selesai pada anak sampai pada usia sekitar 5 bulan.
B. Specific
attachment
Tahap
kedua ini dimulai pada saat bayi berusia sekitar 7 bulan atau lebih awal yang
akan berlangsung selama 3 sampai 4 bulan atau lebih. Pada masa ini, bayi akan
“lekat” (attach) hanya pada satu orang, pada umumnya dengan ibunya. Bayi akan
menunjukkan kesedihannya ketika diturunkan atau dipisahkan dari gendongan atau
pelukan ibunya dan akan merasa senang jika tetap dalam pelukan ibunya. Hal ini
diekspresikan dengan senyuman dan vocalization sebagai tanda atau
ungkapan senang atau ketidak senangan mereka[7].
Biasanya
pada tahap ini, anak takut dengan orang asing yang nampak pada sekitar satu
bulan setelah memasuki tahap spesifik ini.
Setiap
bayi memiliki perbedaan ciri ketika memasuki tahapan ini. Pada anak bungsu,
menurut pengamatan Schaffer dan Emerson, memiliki strong spesific
attachment dimulai pada saat bayi berusia sekitar 22 minggu, tapi ada bayi
yang dimulai pada saat usia 1 tahun.
C. Multiple
attachment
Setelah
beberapa bulan dalam tahap specific attachment, anak mulai
menunjukkan attachment-nya pada orang lain. Pertama-tama hanya pada satu
orang, kemudian pada beberapa orang sampai anak berusia 18 bulan. Namun, pada
anak-anak tertentu, membutuhkan waktu lebih lama.
TIGA
POLA INSECURE ATTACHMENT
Mary Ainsworth[8] mengamati
lebih jauh tentang berbagai sikap seorang ibu terhadap anaknya berkaitan dengan
terbentuknya attachment. Menurutnya, anak yang protes atau menyatakan
ketidak senangan terhadap keterpisahan (diturunkan dari gendongan atau pelukan)
dan mendapatkan kembali ketentraman dengan hadirnya orang yang
meninggalkannya akan membuat anak merasa aman. Namun sekitar dua per-tiga anak
tidak menunjukkan pola semacam ini. Pola ini disebut insecure attachment,
yang mengakibatkan mereka mengalami hambatan dalam eksplorasi di kemudian hari.
Tiga pola insecure attachment yang diamati Ainsworth, adalah sebagai
berikut:
A. insecure-avoidant
Anak
protes pada keterpisahan sesaat/diturunkan dari gendongan dan ketika ada orang
yang memberi perhatian datang atau memeluknya, anak tersebut akan mendekat
dengan sikap yang gelisah, gugup, dan takut.
B. insecure-ambivalent
Pada
saat anak protes, anak tidak dapat ditentramkan kecuali orang yang memberi
perhatian kembali dan anak akan membenamkan diri dalam pangkuan atau melekat
erat (seakan tidak ingin lepas lagi).
C. insecure-disorganized,
Sikap
anak seperti pola yang pertama dan yang kedua, yang sulit ditentukan untuk
masuk kedalam kedua pola tersebut.
SIKAP
IBU DAN POLA ATTACHMENT PADA ANAK
Satu kontribusi besar berikutnya dari Ainsworth dan murid-muridnya, ketika mereka
mengadakan penelitian untuk menemukan hubungan antara orang tua dan bayinya
pada tahun pertama kehidupan bayi. Hal yang utama dari penemuan mereka adalah
tanggapan orang tua terhadap bayinya memiliki dampak yang besar, yang ditulis
oleh Jerome Holmes, sebagai berikut[9]
“The
kernel of their findings was that parental responsiveness to infant affect is a
key determinant of secure attachment….the mothers of the secure infants pick
their babies up more, and generally seem more aware of them and their needs
than the parents of insecure children ” (p.8)
Mereka
menemukan tiga sikap orang tua atau lingkungan terhadap bayi atau anaknya
yaitu, Pertama, memberi respon yang konsisten. Kedua, secara konsisten
tidak memberi respon dan Ketiga, memberi respon yang tidak konsisten.
Berdasarkan pengamatan terhadap anak-anak dengan berbagai pola attachmentyang
negatif diatas, ditemukan adanya berbagai sikap orang tua yang tidak tepat
terhadap bayi/anaknya, yang seringkali disebabkan mereka tidak mengalami
kepuasan di dalam pernikahan mereka[10] yaitu,
Orang
tua dari anak yang merasa aman, akan memberi respon dengan cepat ketika bayi
mereka menunjukkan tanda-tanda distress (menderita, sedih). Mengajak
bayinya bermain bersamanya, dan secara umum lebih memperhatikan dan awareakan
kebutuhan bayi mereka dari pada sikap ibu dari anak yang merasa tidak aman.
Orang
tua dari anak yang insecure avoidant, bersikap lebih kasar dan hanya
menjalankan tugas saja.
Orang
tua dari anak yang insecure ambivalent , cenderung kurang memenuhi
kebutuhan anak, seringkali mengabaikan bayi mereka ketika mereka dengan jelas
mengalami kesedihan. Dan mengganggu bayi mereka ketika mereka sedang bermain
dengan gembira.
Orang
tua dari anak insecure disorganized, cenderung memberi
tekanan-tekanan dan memperlakukan anaknya dengan kejam.
ATTACHMENT &
KEMAMPUAN MENJALIN PERSAHABATAN
Pembentukan attacment pada masa kecil mempengaruhi kemampuan anak
menjalin persahabatan pada masa dewasa. Jeremy Holmes mencatat penelitian yang
dilakukan oleh Hasan dan Shaver[11] (1994)
tentang tipologi attachment hubungan orang tua-anak dan relasi
interpersonal pada masa dewasa, ditulis demikian,
“…the
attachment typology of infant-parent relationship to explore intimate
relationships between adults. They see Bowlby’s key elements of secure
parenting – proximity and responsiveness – as equally applicable to successful
adult intimate relationships.” (p.16-17)
Maka
dapat dikatakan bahwa, kesuksesan menjalin relasi interpersonal atau
persahabatan seiring dengan pola relasi orang tua-anak pada masa anak tersebut
masih bayi. Hal ini terjadi karena Attachment adalah kelekatan
hubungan emosi yang membentuk kesan yang mendalam. Kesan ini akan tertanam
dengan mendalam karena kesan ini terbentuk pada masa bayi dan kanak-kanak,
ketika belum banyak kesan yang terdapat di dalam benak mereka, apalagi bila
pengalaman yang berulang-ulang terjadi di sepanjang tahun-tahun awal kehidupan
mereka. Kesan yang menyakitkan pada masa ini, akan membuat mereka takut
membangun persahabatan di kemudian hari karena mereka takut dikecewakan di
dalam persahabatan itu. Sebaliknya, kesan yang menyenangkan anak atau Secure
attachment yang “dihasilkan” oleh sikap ibu yang secara konsisten memberi
respon yang dibutuhkan anak, akan membuat anak hingga dewasa memiliki tiga
aspek pola dasar dalam membangun relasi yang efektif.
Pertama,
tidak ragu-ragu untuk datang atau bertemu dengan orang lain. Hal ini dapat
terjadi karena pengalaman mereka selama ini menyatakan, bahwa orang yang
dibutuhkannya akan datang dan bila tidak datang pun mereka memiliki keyakinan
bahwa suatu saat akan datang kembali. Apalagi, setelah mereka telah menjadi
dewasa muda, yang telah memiliki pemahaman akan banyaknya tipe orang yang
mereka temui dan akan lebih mudah paham bila satu saat terjadi penolakan.
Penolakan inipun tidak akan membuat mereka menghindari sahabatnya, walaupun
mungkin membuat mereka lebih berhati-hati. Karena orang yang memiliki sikap
positif akan cenderung untuk selalu terlibat di dalam aktifitas di
lingkungannya, seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Diane S. Berry and
Jane Hansen[12] menyimpulkan,
“…high-positive
affect (example, enthusiastic, confident) participants engaged in greater
numbers of interactions and spent more total time involved in social activity
than did low -positive affect individual”
Kedua, perasaan aman. Perasaan ini adalah salah satu penentu kualitas sebuah
komunikasi. Ada empat tahapan komunikasi berkualitas yang pada umumnya terjadi.
Pertama, percakapan basa-basi. Kedua percakapan yang berisi kegiatan-kegiatan
yang dilakukan. Ketiga, percakapan yang mengekspresikan perasaan. Dan Keempat,
mengungkapkan kemauan dan pemikiran-pemikiran yang terdalam. Perasaan aman
memungkinkan seseorang berani mengungkapkan kemauan, perasaan, dan pemikiran.
Ia tidak merasa malu dan takut ditertawakan ketika mengungkapkan pemikiran,
perasaan, dan kemauan dengan kata, ekspresi wajah, dan gerakan tubuh.
Pola attachment seseorang menentukan cara ia bersikap dan menanggapi
setiap peristiwa yang ia alami, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh
Nancy L. Collins[13] menyimpulkan,
bahwa “… adult with different attachment styles would explain and
interpret events in ways consistent with their beleifs and expectations about
themselves and others.” Ketiga, lebih bersikap positif, optimis terhadap diri,
dan orang lain juga mampu berkomunikasi dengan penuh percaya diri.[14]Dan
cenderung untuk mempertahankan pola attachment yang ia miliki.[15]
RELASI
INTERPERSONAL MEMPERBAIKI POLA INSECURE ATTACHMENT
Pengalaman membangun relasi interpersonal di masa remaja dan dewasa
dapat memperbaiki pola insecure attachment dalam diri seseorang. Dari
pengamatan yang dilakukan para ahli seperti Erikson, Robert Selman menunjukkan
bahwa menjalin relasi interpersonal atau persahabatan adalah satu
kebutuhan dalam diri setiap orang sejak kanak-kanak. Maka dapat dikatakan,
menjalin persahabatan sebenarnya dapat dilakukan secara “alami” oleh siapa
saja, juga bagi mereka yang memiliki pola insecure attachment. Memang rasa
tidak aman akan menghambat untuk membangun interpersonal, berkomunikasi
dan menjalin persahabatan, namun tetap dapat dilakukan. Bila relasi ini dicoba
terus menerus, dilatih untuk membangun relasi interpersonal akan
dapat berhasil. Hal ini dapat dibuktikan dengan dua penelitian telah dilakukan
oleh Steven Asher dan Stephen Nowicki[16] di
tempat yang berbeda, yang menunjukkan hal yang sama. Mereka merancang
serangkaian pelatihan keterampilan membangun relasi persahabatan bagi anak yang
tidak populer, dan program itu telah memperlihatkan keberhasilan.
Bila kemampuan membina persahabatan dapat dilakukan, akan memperbaiki
pola attachment-nya, karena perspektif tentang orang lain, lingkungan dan
diri sendiri akan makin luas. Dan dengan pola attachment di dalam
diri yang baru akan membawa perubahan di dalam membangun relasi dengan orang
lain[17] dan
memudahkan seseorang untuk menjalin persahabatan. Seperti hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hudson, Peyton dan Brian-Maisels[18] menunjukkan,
bahwa perkembangan yang sehat di dalam mengembangkan perspektif seorang anak,
menghasilkan anak yang lebih ramah, suka menolong dan menunjukkan tingkah laku
yang dapat menyelesaikan masalah sosial bila dibandingkan dengan anak-anak yang
kurang memiliki ketrampilan mengenal perspektif orang lain.
PENUTUP
Attachment pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi kemampuan anak untuk
menjalin persahabatan pada masa dewasa muda. Pola relasi orang tua dan anak
seringkali seiiring dengan relasi suami dan istri, apalagi pada relasi suami
dan istri yang tidak harmonis. Selain itu, pentingnya pemahaman bagi orang tua
tentang pola pengasuhan dan perlakukan yang tepat terhadap anak, karena sikap
apapun yang mereka munculkan pada anak akan terpola hingga pada masa dewasa
(Maz 127:3; Efesus 6:4). Namun demikian, perasaan tidak aman yang diakibatkan
oleh insecure attachment dapat diperbaiki, karena pola attachment positif
masih dapat terbentuk pada masa dewasa, apalagi menemukan persahabatan atau lingkungan
yang membentuk relasi interpersonalsecara sehat dan mendapatkan pelatihan
keterampilan berelasi yang efektif.
[1] Arnold
Gesell, The First Five Years of Life, New York : Harper & Brother
Publishers, 1940.p. 28.
[2] Helen
Bee, The Developing Child, London : Harper & Row, Publishers,
inc., 1975. p. 238
[3] Jeremy
Holmes, Attachment, Intimacy, Autonomy, London : Jason Aronson Inc, 1996,
p. 4-6
[4] Ibid.
[5] C.
Cybele Raver, “Relation Between Social Contingency in Mother-Child Interaction
and 2-Years-Olds’ Social Competence,” Developmental Psychology (1996)
Vol.32. No.5, p. 857
[6] Helen
Bee, p. 239 – 240.
[7] Jeremy
Holmes, p. 4-6
[8] Ibid,
p.7-8.
[9] Ibid.
p.8
[10]Lawrence
A. Kurdek, “Parenting Satisfaction and marital Satisfaction in Mothers and
fathers With Young Children” Journal of Family Psychology (1996).
Vol. 10.No.3. p. 339.
[11] Jerome
Holmes, p. 16-17.
[12] Diane
S. Berry and Jane Hansen, “Positive Affect, Negative Affect, and Social
Interaction”, Journal of Psychology and Social Psychology (1996)
Vol.71.No.4. p. 806.
[13] Nancy
L. Collins, “Working Models of Attachment : Implications for Explanations,
Emotions, and Behavior,” Journal of Psychology and Social Psychology (1996)
Vol.71.No.4. p. 826.
[14] Ibid.
[15] Marie-Cecile
O. Tidwell; Harry T.Reis; Philip R. Shaver, “Attachment, Attractiveness, and
Social Interaction : A Diary Study” Journal of Personality and Social
Psychology(1996) Vol.71, No.4.p. 743.
[16] Daniel
Goleman, Emotional Intelligence, terj. T. Hermaya (Jakarta : Gramedia,
1996), p.357-358.
[17] Sandra
D. Wilson, “Finding Hope for Change Recovery From Dysfunctional Families” Christian
Counseling Today (Summer 1995), p.24.
[18] Rolf
Muuss, p.252.
Komentar
Posting Komentar